Minggu, 28 Juli 2013

TATA KELOLA HUTAN INDONESIA DINILAI SANGAT BURUK

Tata kelola hutan Indonesia dinilai buruk


Tata kelola hutan Indonesia dinilai buruk thumbnail 18/07/2013

Human Rights Watch (HRW), salah satu LSM internasional terkemuka dalam laporannya yang dirilis Selasa (16/7) mengkritik tata kelola hutan Indonesia yang dinilai gagal karena praktik korupsi dan salah urus oleh pemerintah.
Hal ini, kata lembaga yang berbasis di New York Amerika Serikat ini berdampak serius terhadap HAM dan lingkungan hidup.
Mereka menyatakan, penebangan liar dan salah urus sektor kehutanan menyebabkan kerugian pemerintah Indonesia lebih dari US$7 miliar atau sekitar 70 triliun periode 2007-2011.
“Penyebabnya, seperti, pembalakan liar, subsidi siluman, termasuk penetapan harga kayu dan nilai tukar mata uang yang dipatok lebih rendah untuk menghindari pajak”, kata HRW dalam laporan tersebut yang berjudul “Sisi Gelap Pertumbuhan Hijau: Dampak Hak Asasi Manusia dari Tata Kelola yang Lemah sektor Kehutanan Indonesia”.
HRW menjelaskan, pemerintah berupaya berbenah dengan membuat beberapa kebijakan kehutanan lalu memberi label model “pertumbuhan hijau.”
Namun, dalam praktiknya sebagian besar penebangan di Indonesia tak tercatat dan fee dipatok sangat rendah, hukum dan peraturan pun tetap diabaikan.
Dalam laporan setebal 61 halaman ini, HRW mengatakan salah satu dampak kelemahan pengawasan adalah kebakaran hutan dan lahan baru-baru ini yang menyebabkan asap di berbagai daerah di Indonesia dan negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.
Joe Saunders, Wakil Direktur Program HRW mengatakan, persoalan asap bukan satu-satunya bukti nyata kerusakan akibat kegagalan Indonesia dalam mengelola hutan.
“Penegakan hukum lemah, salah urus, dan korupsi bukan hanya menyebabkan asap, juga penyebab hilangnya miliaran dollar per tahun,” katanya.
Kehilangan pendapatan yang signifikan menjadi penyebab perkembangan yang mengecewakan pada sejumlah isu HAM, terutama terkait layanan kesehatan di pedesaan.
“Dana yang seharusnya bisa untuk meningkatkan kesejahteraan publik tersedot untuk memperkaya segelintir orang dan hilang percuma karena salah urus.”
Misalnya saja, menurut HRW, pada 2011, kerugian negara mencapai lebih dari $ 2 miliar atau Rp 2 trilun,  angka yang lebih besar dari anggaran kesehatan seluruh Indonesia pada tahun itu.
Dalam catatan HRW, meningkatnya keperluan tanah untuk perluasan perkebunan juga menciptakan sengketa tanah  yang sarat kekerasan.
“Pemerintah gagal mematuhi peraturan sendiri, dengan menerbitkan konsesi di lahan yang diklaim masyarakat dan kegagalan menuntut pertanggungjawaban perusahaan yang melanggar kesepakatan ganti rugi”.
Kondisi ini memicu peningkatan sengketa agraria. Contoh, tahun 2011, sengketa berkepanjangan dengan perkebunan sawit di Kabupaten Mesuji, Sumatera Selatan memicu kekerasan antara warga dengan keamanan perusahaan. Dua petani dan tujuh karyawan perusahaan tewas.
Merespon laporan ini, Sumarto Suharno, Kepala Pusat Humas Kementerian Kehutanan mengatakan tuduhan HRW tidak semunya benar.
“Kami mengakui ada beberapa hal yang perlu terus dibenahi oleh pemerintah. Tapi  tuduhan mereka terkait kerugian yang diderita pemerintah dan warga masyarakat perlu dicek lagi, yang angkanya mencapai puluhan triliun itu”, katanya kepada ucanews.com, Rabu (17/7).
Ia mengatakan, tuduhan HRW dalam hal korupsi di sektor kehutanan juga bertentangan dengan fakta bahwa laporan keuangan Kementerian Kehutanan selama ini tanpa cacat.
Sementara itu, Zenzi Suhadi, Manager Kampanye Hutan Perkebunan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengatakan, temuan mereka menunjukkan bahwa praktek salah urus dan korupsi dalam sektor sumber daya alam, termasuk kehutanan masih marak di Indonesia.
Ia mencontohkan, pada pertengan Juni lalu, mereka melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) praktek penyalahgunaan wewenang dan penyuapan yang melibatkan 5 kasus dalam masalah perkebunan da pertambangan di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Sumatera Selatan.
“Aktor yang terlibat di dalamnya seperti menteri, mantan menteri, kepala daerah, mantan kepala daerah, pejabat kementerian, pejabat di pemerintah daerah, dan direktur perusahaan. Potensi kerugian negara mencapai Rp 2,92 triliun”, katanya.
Hal seperti ini, kata Suhadi, menjadi peringatan bagi pemerintah untuk lebih hati-hati dalam memberi izin pengeloaan hutan dan jeli melihat persoalan yang muncul di sejumlah daerah di Indonesia.
Ryan Dagur, Jakarta

Tidak ada komentar: