Selasa, 29 September 2015

Berkunjung ke Papua, Utusan HAM Jerman Usulkan Hal Ini

Christoph Straesser, Utusan untuk Urusan Hak Asasi Manusia (HAM) Pemerintah Jerman mengatakan pemerintah Indonesia perlu membuat pengadilan HAM Papua. Hal ini dianggap perlu setelah Straesser berkunjung ke Papua sebagai rangkaian kunjungannya ke Indonesia pada 17-21 September 2015.

“ Saya menyarankan agar dibangun satu pengadilan HAM dan Komisi Rekonsiliasi atas apa yang terjadi di Papua belakangan ini,” kata Straesser dalam konferensi pers di Kantor Kedutaan Jerman di Jakarta, Senin, 21 September 2015.

Straesser mengatakan  ada masalah yang dihadapi masyarakat Papua saat ini. Menurutnya, ada jarak yang besar dari masyarakat asli yang lahir di Papua dibandingkan dengan masyarakat pendatang untuk mendapatkan akses pendidikan dan pelayanan medis. “Saya juga sering mendengar bahwa di sana sering terjadi serangan dan saya prihatin,” kata Straesser. 

Menurut Straesser, kesan ini muncul  dalam diskusi terbuka  dengan berbagai elemen masyarakat di Papua. “Saya terkesan atas terbukanya pembicaraan di sana dan oleh karena itu saya optimistis yakin bahwa mengenai HAM kita akan temukan satu posisi bersama Jerman dan Indonesia dengan toleransi dan saling menghormati." 

Selain itu, Straesser mengatakan,  masalah Papua  sering menjadi bahan diskusi di Jerman. “Di Jerman seringkali dikunjungi kelompok yang intens berbicara tentang masalah Papua,” katanya.

Straesser menyoroti masalah Papua sebagai situasi yang serius dan kerap dibahas di Jerman. “Kalau Anda ke Jerman pasti Anda akan sungguh terkejut dengan banyak sekali organisasi yang ada di sana dan membicarakan masalah ini,” kata Straesser. 

Meski begitu, menurut Straesser,  ada perkembangan yang positif di Papua saat ini. Sebagai gambaran, ia sudah mengajukan izin berkunjung ke Papua sebanyak tiga kali, yakni tahun 2008, 2012, dan 2015. Dua kunjungan terdahulu, pemerintah tidak mengizinkan Straesser berkunjung ke Papua. Barulah tahun 2015, ia mendapat izin berkunjung ke pulau paling timur di Indonesia. "Ini kunjungan yang berarti saya dapat bisa berkunjung ke sana,” kata Straesser. 

Dalam diskusi, Straesser  juga menyoroti  peristiwa tragedi 1965. Menurutnya, rekonsiliasi  adalah langkah yang berat. “Masa lalu sekarang seolah dibiarkan masa lalu, tidak digulingkan ke masa depan,” Bagi Straesser, hal ini adalah kesalahan. “Ini berdasarkan pengalaman kami di Eropa, termasuk dengan yang terjadi di masa lalu." (sumber Tempo. Com)

Kamis, 24 September 2015

Menko Polhukam Indonesia Tuduh Gereja Berpolitik, Pastor Amandus: "Menteri Bodoh"


Pastor Amandus Rahadat
TIMIKA - Pastor Gereja Katolik Dekenat Timika-Akimuga Keuskupan Timika, Pastor Amandus Rahadat memprotes ungkapan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Republik Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan yang menyebut Gereja terlibat dalam urusan politik.

Kata Pastor Amandus Rahadat, "Yang bilang-bilang gereja berpolitik seperti Menteri Koordinator Polhukam adalah menteri bodoh," tepisnya memprotes tuduhan tersebut, Selasa (22/9).

Sebetulnya seperti dilangsir Regional.Kompas.com Minggu (20/9/2015), Menko Polhukam, Luhut Panjaitan menyebut para pimpinan gereja terlibat, bahkan menuduh berambisi dalam politik yang masuk dalam gereja di Indonesia.

"Pak Menteri harus tahu peta wilayah pelayanan," tegas Pastor Paroki Gereja Katolik Katedral Tiga Raja Timika, Papua, itu Selasa siang.

Sebelumnya, Menteri Kabinet Presiden Jokowi dalam sidang Sinode Gereja Masehi Injil di Timor (GMIT) ke-33 di Bumi Tii Langga Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, pada Minggu (20/9/2015), menyebut gereja adalah perpanjangan tangan Tuhan, harus membawa persatuan yang lurus dan utuh untuk umatnya, sehingga jemaatnya menjadi lentera pembangunan di seluruh tanah air Indonesia.

Menurut Pastor Amandus, Menko Polhukam tidak tahu peta wilayah pelayanan antar pemerintah dan wilayah kerja gereja.

Ungkap Pastor, "wilayah pemerintah adalah seluruh aktivitas untuk mensejahterakan rakyat, khususnya aktivitas sosial politik budaya, hak asasi manusia, keamanan nasional. Sedangkan wilayah gereja, utamanya adalah wilayah moral, karena pemerintah belum mampu maka kadang gereja ikut campur, terlibat dalam urusan sosial ekonomi," tegas Imam Katolik Keuskupan Timika itu.

Mengapa Gereja di bidang sosial politik tampaknya ikut campur? Kata Pastor Amandus, karena pemerintah dan orang politik memasuki wilayah gereja. Sementara wilayah gereja adalah wilayah moral.

"Gereja adalah penjaga gawang moral: keadilan, kebenaran, kejujuran dan lain-lain. Saat ada politik kotor, saat ada korupsi, saat ada pemutarbalikan kebenaran oleh oknum pemerintah, baik eksekutif, legislatif, yudikatif dan oknum politisi, mereka memasuki wilayah gereja. Untuk itu gereja bersuara," jelasnya panjang lebar.

Kata Pastor senior itu, Gereja Katolik melarang semua petugas gereja untuk memasuki wilayah politik.

"Siapapun kalau masuk, harus resign dulu dari petugas gereja," jelas Imam Projo Keuskupan Timika itu.

Namun, kata Pastor, gereja tetap terlibat dalam politik dengan arti mendampingi umatnya, memberi pencerahan kepada umat awam.

"Pendampingan kepada umat awam agar terlibat dalam dunia politik yang adalah wilayah kaum awam. Mengkritisi gejala kotor di masyarakat, dimana wilayah moralnya diinjak-injak, sehingga umat yang kurang paham dan kurang sadar dapat bangkit dan berjuang bersama hirarki gereja demi membela keadilan, kebenaran dan kejujuran," ulasnya kepada Papuaanigou.com.

Sumber: http://www.papuaanigou.com/nasional-dan-internasional/menko-polhukam-tuduh-gereja-berpolitik-pastor-amandus-menteri-bodoh

Senin, 21 September 2015

MENKOPOLHUKAM INDONESIA: Gereja Jangan Berpolitik

Menko Polhukam: Gereja jangan berpolitik

21/09/2015
Menko Polhukam: Gereja jangan berpolitik thumbnail
Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan mengingatkan para pimpinan Gereja untuk tidak boleh ada ambisi-ambisi politik yang dimasukan dalam Gereja.
“Gereja itu perannya bukan untuk berpolitik, Gereja adalah perpanjangan tangan Tuhan, dan harus membawa persatuan yang lurus dan utuh untuk umatnya sehingga jemaatnya menjadi lentera pembangunan dimana saja di seluruh pelosok Indonesia,” kata Luhut ketika membuka acara Sidang Sinode Gereja Masehi Injil di Timor (GMIT) ke -33 di Bumi Tii Langga Kompleks Perkantoran Baa, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, Minggu (20/9/2015).
Luhut meminta, gereja harus berperan menyatukan seluruh umat. GMIT menjadi organisasi yang sudah tua dan sangat diharapkan untuk bisa memainkan peran pemersatu. Tidak hanya itu, ia juga mengharapkan agar Gereja mampu bekerja mencerdaskan jemaat.
“Saya harap dalam Sidang Sinode GMIT ke-33 ini harus bisa dikedepankan agenda ini dan Sinode GMIT harus punya warna, agar para Pendeta bisa mencerdaskan para jemaat, dan tidak hanya berkhotbah di mimbar saja,” kata Luhut.
Menurut Luhut, Gereja harus memainkan peran mendidik dan jangan hanya mau bertikai di dalam saja. “Saya senang karena sejauh yang saya pantau, GMIT merupakan organisasi Gereja yang tua yang masih bersatu, jangan ikut-ikutan seperti HKBP,” ujarnya.
Luhut mengaku terpukau dengan potensi pulau Rote yang berada di Selatan NKRI.
“Dari atas saya lihat Pulau Rote sangat indah, dan pemerintah mencanangkan pariwisata menjadi pusat penerimaan bangsa, sehingga pembangunan infrastruktur pariwisata, menjadi sangat penting sehingga saya berharap, NTT didorong agar pariwisatanya lebih bagus lagi,” kata Luhut.
Disebutkan Luhut, perkembangan ekonomi harus didukung oleh mental manusianya, dan peran Gereja sangat penting dal hal itu.
“Saya ingin melihat bahwa Rote ini menjadi pusat wisata yang bagus, juga dengan hasil rumput laut yang besar yang bisa menjadi industri. Juga perikanan, serta pertanian berkembang di sini sehingga daerah ini menjadi lebih makmur. Para Pendeta menjadi kunci untuk menyebarkan pendidikan,” ujar Luhut.
Di tempat yang sama, Ketua Sinode GMIT Pendeta Robert Litelnoni mengatakan, Sidang Sinode GMIT merupakan momentum empat tahunan yang mengumpulkan semua majelis klasis, majelis jemaat, dan majelis sinode untuk mengevaluasi pelayanan yang sudah dilaksanakan selama empat tahun.
Gereja, kata Litelnoni, saat ini selalu berhadapan dengan dinamika kehidupan yang menuntut Gereja untuk memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat. Dalam konteks NTT, berbagai masalah saat ini yang juga menjadi masalah nasional seperti kemiskinan, pendidikan, kesehatan, human trafficking, TKI/TKW, kekerasan tarhadap anak dan perempuan, pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta korupsi dan ketidak adilan, adalah bagian dari tugas dan penggilan Gereja yang tidak bisa diabaikan.
“Kita tidak bisa berjuang sendiri mengahadapi persoalan jemaat, tetapi kita perlu sehati dan bergandengan tangan dengan berbagai pihak termasuk pemerintah untuk mengatasi persoalan itu. Untuk bapak Presiden, kami berdoa kiranya beliau dapat berkujung ke daerah yang paling selatan ini yang menjadi pintu gerbang NKRI,” harap Litelnoni.
Sementara itu, Ketua Umum Panitia, Ibrahim Agustinus Medah mengatakan, kerukunan hidup di NTT terbina sudah sejak dahulu dan sudah berjalan bertahun-tahun lamanya yang patut dijadikan contoh kerukunan di Indonesia.
“Di Rote Ndao dan bahkan di daerah-daerah lain di NTT, bangunan gereja berhimpitan dengan bangunan masjid. Dalam acara pembukaan ini saja, umat Islam dan umat dari Gereja Katolik, juga turut serta dalam tarian-tarian dan paduan suara. Jika semua umat beriman meskipun berbeda namun hidup rukun, maka Tuhan akan memberikan berkat-berkatnya,” kata Medah.
Medah yang juga adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal NTT, mengatakan, jemaat GMIT saat ini sudah mencapai lebih dari 1 juta orang dengan jumlah pendeta lebih dari 1.000 orang. (Kompas.com)

PAUS FRANSISKUS: Negara Kaya memiliki "UTANG EKOLOGIS" pada Negara Miskin di dunia!

Paus Fransiskus: Negara kaya memiliki ‘utang ekologis’ pada negara miskin

18/09/2015
Paus Fransiskus: Negara kaya memiliki ‘utang ekologis’ pada negara miskin thumbnail

Negara-negara kaya memiliki “utang ekologis” yang harus dibayarkan kepada negara-negara miskin dengan mengakhiri limbah makanan, mengurangi konsumsi energi tak terbarukan dan investasi dalam pembangunan berkelanjutan, kata Paus Fransiskus.
“Lingkungan hidup merupakan sesuatu yang baik” maka setiap orang memiliki tugas untuk melindungi – tugas yang “menuntut kerjasama yang efektif dari seluruh masyarakat internasional,” kata Bapa Suci kepada sebuah kelompok Menteri Lingkungan Hidup dari negara-negara Uni Eropa.
Ketika sampai pada perumusan kebijakan dan pelestarian lingkungan, para pemimpin harus memperhitungkan prinsip-prinsip keadilan, solidaritas dan partisipasi, katanya selama pertemuan pada 16 September.
Keadilan yang lebih besar, kata Bapa Suci, berarti menangani “utang ekologis,” yaitu, hutang negara-negara kaya kepada negara-negara miskin karena ketidakseimbangan perdagangan dan “penggunaan tidak proporsional” sumber daya alam dari negara-negara kaya.
“Kita harus menghormati hutang ini,” katanya kepada para menteri tersebut, seraya menambahkan bahwa pertama dengan “memberikan contoh yang baik.”
Negara-negara harus membatasi konsumsi mereka dari energi tak terbarukan dan memberikan negara-negara yang lebih membutuhkan dengan sumber daya yang mempromosikan pembangunan berkelanjutan, katanya.
Mereka harus mengadopsi cara-cara yang lebih baik untuk mengelola hutan, transportasi dan sampah, sementara dengan “serius mengatasi masalah berat termasuk limbah makanan.”
Berjuang mengatasi degradasi ekologi harus dikaitkan dengan solidaritas dan melawan kemiskinan, katanya, karena orang miskin lebih rentan terkait lingkungan yang rusak. Ini juga perlu membantu masyarakat lebih miskin mengakses teknologi dan pembangun yang mereka butuhkan, katanya.
Terakhir, perlu ada partisipasi yang lebih besar dalam proses pengambilan keputusan sehingga orang yang sering terpinggirkan dapat bersuara, katanya.
“Di satu sisi, ilmu pengetahuan dan teknologi telah menempatkan kekuatan belum pernah terjadi sebelumnya di masa kita, di sisi lain penggunaan yang benar dari kekuatan yang mengandaikan penerapan visi” yang lebih holistik dan melibatkan lebih banyak orang dalam dialog, katanya.
Dunia sedang menghadapi “tantangan budaya, spiritual dan pendidikan,” kata Bapa Suci. Namun, solidaritas, keadilan dan partisipasi  diperlukan untuk “menghormati martabat kita dan penciptaan rasa hormat.”
Sumber: ucanews.com

Kamis, 17 September 2015

Pidato Paus Fransiskus di PBB mungkin berpijak pada para pendahulunya

Pidato Paus Fransiskus di PBB mungkin berpijak pada para pendahulunya

16/09/2015
Pidato Paus Fransiskus di PBB mungkin berpijak pada para pendahulunya thumbnail
Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat.

Pidato Paus Fransiskus di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 25 September mendatang akan menandai pidatonya yang kelima yang disampaikan secara langsung kepada perwakilan pemerintah di seluruh dunia.
Pidatonya yang akan datang hampir 50 tahun sejak 4 Oktober 1965 ketika Paus Paulus VI menjadi Paus pertama yang berbicara di Sidang Umum PBB.
Sementara isi pidato  Paus Fransiskus tidak akan diungkapkan hingga dia menyampaikan pidatonya, namun ada kemungkinan bahwa topiknya seputar martabat manusia yang menjadi dasar  kehidupan Kristen – kepedulian terhadap orang miskin dan terpinggirkan, para migran yang mencari keamanan, peduli terhadap lingkungan – bisa menjadi tema-tema yang menonjol dalam pidatonya.
Tiga pendahulu Paus Fransiskus yang berbicara di Majelis Umum PBB – Paus Paulus VI, Paus Yohanes Paulus II, dan Paus Benediktus XVI. Mereka membahas isu-isu yang mencerminkan tantangan sosial dan politik yang besar di era mereka. Tidak ada alasan bagi Paus Fransiskus akan mengubah arah, terutama pada saat ini dunia sedang menghadapi tantangan serius terkait kesejahteraan umat manusia.
Paus Paulus VI membuat sejarah tahun 1965, ketika Konsili Vatikan II baru berakhir. Dia menjadi Paus pertama yang mendorong PBB melakukan perubahan signifikan, posisi Gereja Katolik di tengah-tengah Perang Dingin dan ancaman perang nuklir menjadi latar belakang dari pidatonya.
Mengacu pada Piagam PBB,  Paus Paulus VI mendesak para pemimpin dunia “membuat diri mereka setara” dalam upaya mengatasi arogansi, yang mengarah ke konflik dan bahkan perang.
“Jangan ada satu negara pun dari anggota organisasi kalian menjadi lebih superior dari yang lain. Ini adalah kesetaraan …. Bukan berarti kalian semua sama, tapi di sini kalian membuat diri kalian setara,” kata Paus Paulus.
Mengutip Presiden John F. Kennedy, Paus Paulus mendesak perwakilan dunia mengakhiri perang: “Manusia harus mengakhiri perang atau perang akan mengakhiri umat manusia.”
Hak asasi manusia
Pada Sidang Umum PBB ke-24 pada 2 Oktober 1979, Paus Yohanes Paulus II mengangkat Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia sebagai dasar untuk semua tindakan oleh badan dunia tersebut.
Dia berargumen bahwa setiap pria dan wanita “dianugerahi dengan martabat sebagai manusia, dengan budaya sendiri, pengalaman dan aspirasi, ketegangan dan penderitaan serta harapan.”
Referensi pada deklarasi itu, ia mengatakan, “Dokumen ini adalah tonggak bagi umat manusia yang  panjang dan sulit. Kemajuan manusia harus diukur tidak hanya oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang menunjukkan keunikan manusia berkaitan dengan alam, tetapi juga dan terutama oleh keutamaan yang diberikan kepada nilai-nilai spiritual dan kemajuan kehidupan moral.”
Dia juga mempertanyakan moralitas perlombaan senjata yang melibatkan senjata baik konvensional maupun nuklir. Dia mengatakan negara-negara mencari senjata baru dan lebih canggih menunjukkan “bahwa ada keinginan untuk siap perang.”
Paus Yohanes Paulus II menyatakan, perang adalah sebuah penghinaan terhadap martabat manusia dan melanggar hak-hak dasar manusia.
Pidato kedua di Majelis Umum PBB, 5 Oktober 1995, pada ulang tahun ke-50 badan dunia itu, Paus Yohanes Paulus II  mencermati bahwa ketegangan nuklir dari era Perang Dingin telah mereda. Namun, ketegangan etnis di tempat-tempat seperti Balkan dan Afrika Tengah serta munculnya pemberontakan bersenjata.
Penerimaan perbedaan antara manusia dan budaya menjadi salah satu pesan kunci St. Yohanes Paulus kepada PBB. Ia kembali mengangkat Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai panduan untuk bertindak. Menekankan “kesetaraan” antara manusia, Paus Yohanes Paulus menyerukan rasa solidaritas dengan orang-orang yang dianiaya hendaknya muncul dalam pembahasan PBB.
Dia juga mengeluarkan seruan kepada badan dunia itu untuk membangun “keluarga bangsa-bangsa” yang akan menimbulkan “saling percaya, saling mendukung, dan saling menghormati dengan tulus.”
Globalisasi
Paus Benediktus XVI berpidato di Sidang Umum PBB pada 18 April 2008 selama perjalanannya ke Amerika Serikat. Paus Benediktus mengambil tema pidatonya dan mengulangi seruan untuk menghormati martabat manusia, kebebasan beragama dan membangun keluarga manusia.
Globalisasi merupakan sebuah topik yang menjadi perhatian utama Paus Benediktus yang dibahas dalam pidatonya. Dia mengatakan banyak negara “berisiko mengalami dampak negatif globalisasi”.
Dia mengatakan kebebasan beragama harus ditegakan karena agama berkontribusi besar untuk umat manusia dan sejarah.
Dia juga menyerukan PBB mempromosikan HAM sebagai “strategi paling efektif menghilangkan kesenjangan antara negara dan kelompok-kelompok sosial dan meningkatkan keamanan”.
Sebagai seorang imam dari negara berkembang, Paus Fransiskus kemungkinan akan mengangkat tema-tema ini dan memberikan pandangan pribadi di tengah kekhawatiran kontemporer berdasarkan pengalamannya dengan orang miskin dan rentan di negara asalnya Argentina.
Sumber: ucanews.com

Jumat, 11 September 2015

PEMERINTAH NEGARA SALOMON: MENGECAM JANGAN INTIMIDASI WARGA ASLI PAPUA


Foto : PM Kep.Solomon, Mansye Hon Sogavare 
Suva (KM) ---Melalui media onlainPACNEWS.com Rabu, (9, September 2015) merilis Kepulauan Solomon tidak akan terintimidasi oleh Indonesia atau negara lain di Forum Kepulauan Pasifik untuk mendorong Papua Barat.


Perdana Menteri Manasye Sogavare bersedia untuk bawa masalah Papua Barat ke tingkat berikutnya, untuk menuntut tindakan global melalui keanggotaannya dari Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York.



PM Sogavare membawa dengan tiga proposal pertama, untuk mendukung aplikasi persatuan gerakan perjuangan untuk Papua Barat (ULMWP) mengakui di Forum Kepulauan Pasifik menjadi status observor;
Kedua, untuk mendorong pemimpin Forum Kepulauan Pasifik mendukung resolusi memanggil Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mandat ke komisaris hak asasi manusia PBB penilaian situasi HAM di Papua Barat; dan
Ketiga, untuk mencari resolusi oleh pemimpin Forum Kepulauan Pasifik memangil untuk Papua Barat di masukan dalam daftar dekoloniasai atau wilayah non pemerintahan.
 

 
Untuk menunjukkan komitmen pemerintahnya, PM Sogavare membawa delegasi Utusan Khusus, Matthew Wale dan Pemimpin Gerakan Perjuangan Pembebasan untuk Papua Barat (ULMWP), Octovianus Mote ikut KTT FIP ke -46 di Port Moresby.

"Ini bukan masalah baru, itu salah satu yang telaah bersama bahkan sebelum menjadi bangsa yang merdeka. Kami telah mengakui mereka untuk Melanesia Spearhead Group (MSG) sebagai pengamat dan kami berharap bahwa kita mengakui ULMWP diterima menjadi pengamat pada Forum Kepulauan Pasifik.

Wakil menteri Indonesia untuk urusan luar negeri, Abdurrahman Mohamed Fachir tidak berbasa-basi ketika ia mengatakan bahwa 'masalah Papua tidak relevan' dengan Forum Pemimpin diskusi di sini di Port Moresby.

"Saya pikir ini bukan forum yang tepat untuk membahas Papua Barat untuk sejumlah alasan. Kami di sini membahas pembangunan ekonomi penting, kerjasama, bagaimana untuk mengatasi perubahan iklim, maritim, perikanan dan konektivitas ICT untuk Pasifik.

"Saya ingin mengingatkan Pemimpin forum kepulauan Pasifik bahwa Indonesia adalah negara demokrasi dan kita memiliki ketentuan paling rinci tentang hak asasi manusia dalam Konstitusi kita, bahkan kami memiliki komisi nasional yang menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia.

Menteri Fachir mengatakan negaranya sangat percaya pada prinsip internasional tidak campur tangan dalam urusan nasional negara-negara lain.

"Sekarang Pemimpin Forum untuk membahas Papua dan kami percaya pada kebijaksanaan mereka, kata Menteri Fachir.

PM Sogavare tidak setuju dengan saran oleh Indonesia bahwa agenda Papua Barat bahas di Forum Kepulauan Pasifik.

"Membawa Papua Barat di agenda Forum Kepulauan Pasifik adalah dalam kerangka pertemuan Pemimpin. Kami tidak akan keluar agenda yang ditetapkan di FIP itu, kata Sogavare.

Dia sepenuhnya mengakui kedaulatan Indonesia atas Papua Barat tapi pertanyaan bahwa kedaulatan jika hak asasi manusia rakyat disalahgunakan dan melanggar.

"Berdasarkan keanggotaan kami di PBB kita mengakui kedaulatan Indonesia atas Papua Barat. Sama- sama sebagai anggota PBB yang mengakui hak-hak orang untuk menentukan nasib sendiri dan pelanggaran HAM.

Sikap yang kuat yang diambil oleh pemerintah Sogavare juga telah diuji hubungannya dengan Jakarta.

"Mereka sudah menyatakan kekecewaannya dan kami sudah menjelaskan kepada mereka bahwa tindakan kita baik dalam kerangka Forum Kepulauan Pasifik dan MSG (MSG).

"Kami berada dalam konsultasi aktif dengan Indonesia. Itu istilah diplomatik yang sangat menarik. Mereka tidak harus setuju untuk posisi kami, tapi kami hanya berkonsultasi dengan mereka dan menjelaskan kepada mereka bahwa ini adalah hal yang benar bagi kita untuk melakukan, dan kami akan bergerak maju, kata PM Sogavare.

Dia mengatakan Pulau Solomon menghargai posisi Papua New Guinea karena perbatasan umum dengan Indonesia.

"Ini keputusan yang berdaulat untuk PNG yang harus membuat kepentingan terbaik mewakili rakyatnya, kita akan menghormati. Namun, ini adalah masalah yang melampaui kedaulatan seperti hak asasi manusia. Jika anggota dari PBB melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap rakyatnya sendiri, maka tidak ada lagi masalah yang domestik untuk negara tapi satu yang harus dibenahi oleh PBB, kata pemimpin Kepulauan Solomon itu.

Menteri Luar Negeri Fiji, Ratu Inoke Kubuabola menegaskan menghormati negaranya integritas wilayah Jakarta dan kedaulatan atas Papua Barat.

"Kami melihat Papua Barat sebagai bagian dari Indonesia dan sejauh hak asasi manusia yang bersangkutan, Fiji akan menaikkan suaranya di sini di Forum dan sama juga di PBB.

"Ketika kita membuka misi kami di Jakarta pada tahun 2012, selama pertemuan bilateral dengan mantan Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono, Perdana Menteri kami mengangkat isu-isu hak asasi manusia di Papua Barat. Saya secara pribadi telah mengangkatnya dengan mantan rekan Menlu Indonesia, Marty Natelegawa.

Jika ada pelanggaran HAM yang dilaporkan, Fiji akan mendirikannya dengan Indonesia dan meningkatkan suaranya di PBB.

"Fiji menjaga hubungan bilateral dengan Indonesia, kata Ratu Inoke.


Organisasi masyarakat sipil yang aktif terus mendorong isu Papua Barat dalam agenda Forum, mengatakan bahwa ini adalah kewajiban moral Pemimpin Pasifik untuk menemukan resolusi untuk pelanggaran hak asasi manusia yang telah menewaskan lebih dari 500.000 jiwa di Papua Barat.(Sumber : Pacenews).