Gereja Katolik harus serius siapkan kader yang akan berkiprah di dunia politik
15/07/2013
Gereja Katolik harus melihat tanggung jawab untuk ikut terlibat dalam urusan politik sebagai salah satu prioritas di tengah berbagai krisis dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi bangsa saat ini.
Gereja tidak boleh mengganggap keterlibatan dalam politik sebagai sesuatu yang sepele, tetapi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari panggilan untuk menghadirkan kebaikan bagi semua orang.
Hal itu dikatakan oleh Sebastian Salang, seorang aktivis dan pengamat politik dalam seminar bertajuk “Semakin Beriman, Semakin Meng-Indonesia”, yang digelar kelompok umat peserta kursus Ajaran Sosial Gereja (ASG) di Paroki St. Paskalis, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Minggu (14/7).
“Situasi politik di Indonesia saat ini telah membuat citra politik sebagai hal yang menjijikkan, kotor, penuh dengan intrik-intrik dan permainan yang menguntungkan kelompok elit. Akibatnya, ada jarak yang sangat lebar antara segelintir kaum elit dengan masyarakat biasa”, katanya.
Di tengah kondisi demikian, menurut dia, Gereja tidak boleh cuci tangan, tetapi harus mengambil peran di dalamnya, agar bisa membawa spirit perubahan.
Ia menjelaskan, peran seperti itu, harus dimainkan dengan baik oleh hirarki maupun awam, karena Gereja zaman sekarang tidak boleh lagi hanya bicara soal surga di mimbar, tetapi juga soal surga yang harus diwujudkan di tengah masyarakat saat ini.
“Sudah saatnya hirarki bangkit dari tidur panjang dan awam berhenti berdiam dalam ruang nyaman masing-masing untuk memikirkan secara bersama problem yang dihadapi bangsa ini”, kata Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) ini.
Ia menguraikan peran hiraki dan awam sebagai berikut. Hirarki harus mempersiapkan para imam yang dinilai berbakat dan bekompeten untuk nantinya terlibat dalam urusan politik.
“Karena itu sejak di seminari atau saat frater, Ordo atau pimpinan lembaga religius melirik, lalu mendidik dan mengarahkan mereka untuk terlibat dalam urusan-urusan politik”, katanya.
Setelah mendapati orang-orang yang dinilai berkompeten, mereka diarahkan untuk mengenal lebih dekat persoalan yang ada, misalnya dengan bekerja atau magang di lembaga-lembaga seperti Formappi, ICW, dan lain-lain.
Hal ini penting karena, menurutnya, berangkat dari keperihatinan akan peran hirarki yang masih sangat terbatas saat ini, hanya menampilkan individu-individu tertentu saja.
“Memang ada sebagian anggota hirarki yang suaranya lantang, misalnya Romo Benny Susetyo atau juga Romo Frans Magnis Suseno SJ yang kerap menjadi pembicara dimana-mana dan selalu kritis terhadap setiap persoalan yang ada, baik lewat tulisannya di media massa, maupun lewat TV. Tapi, mengapa hanya mereka, anggota hirarki yang lain di mana?”
Sementara terkait peran awam, menurutnya, hirarki juga harus terus mendorong awam yang berkompeten untuk terlibat dalam politik serta terus melakukan pendampingan setelah mereka masuk dalam sistem, entah sebagai pengurus partai politik atau ketika mereka sudah duduk di kursi pemerintahan atau DPR.
“Saya membayangkan politisi yang didampingi dengan baik dan selalu dituntun, pasti akan mampu membawa perubahan”, katanya.
Ia mengingatkan, untuk bisa seperti itu, memang ada proses yang panjang, tetapi Gereja harus bisa mewujudkan hal ini. “Semakin banyak anggota Gereja yang mempengaruhi ruang publik dengan setia menampilkan nilai-nilai Kristiani, maka jalan menuju perubahan ke arah yang lebih baik akan terbuka lebar”, katanya optimis.
Sementara itu, pembicara lain dalam seminar ini Pastor Adrianus Sunarko OFM, Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta mengakui, keterlibatan Gereja dalam politik tampaknya masih minim.
Meski demikian, katanya, gereja sebenarnya selalu memiliki pilihan sikap yang tegas berhadapan dengan masalah-masalah bangsa saat ini.
Ia mengatakan, peran kritis Gereja saat ini, senantiasa dibutuhkan, selain untuk menghadapi masalah kemiskinan, korupsi dan lain-lain, juga untuk melawan kekuatan-kekuatan yang mengancam persatuan, seperti fenomena munculnya Perda Syariah dan Perda Injil di berbagai tempat.
Namun, ia mengingatakan, dalam rangka keterlibatan itu, baik hirarki maupun awam, hendaknya bisa mengkomunikasikan gagasan-gagasannya agar bisa diterima oleh semua golongan.
“Dalam konteks masyarakat plural saat ini, kita mesti menghindari kecenderungan mendasarkan argumentasi pada Injil, dengan menyebut ayat-ayat. Tetapi merumuskannya dalam bahasa yang bisa diterima oleh semua”, katanya.
Ia mengatakan, inilah tantangan yang mesti diatasi olah anggota Gereja yang memilih terjun dalam politik, baik hirarki maupun awam.
Ryan Dagur, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar