EKSEKUTIF NASIONAL
FRONT PERSATUAN PERJUANGAN BANGSA PAPUA BARAT
MENGENANG KASUS 16 MARET 2006;
KEKERASAN DI PAPUA; Rekayasa Aparat Keamanan dan Penguasa
Press Release.
Press Release.
Adalah tidak dapat dibenarkan dan tidak dapat diterima berbagai rekayasa konflik yang telah dan sedang dimainkan oleh Negara Indonesia dan para sekutunya melalui sistem-sistemnya di Tanah Papua. Ada dua bentuk rekayasa, yakni rekayasa positif dan rekayasa negatif. Negara Indonesia dan para sekutunya sudah lama menggunakan rekayasa negatif di Tanah Papua hanya untuk mencapai kepentingan politik dan ekonomi semata.
Rekayasa politik pertama dan terutama yang dilakukan Negara Indonesia dan para sekutunya pasca aneksasi kedaulatan Bangsa Papua ke dalam NKRI ialah merekayasa hak kepemilikan tanpa disetujui oleh pemilik hak ulayat melakukan MoU antara RI dan AS tentang Pembukaan Tambang PT Freeport di Timika - Papua Barat pada tahun 1967. Rekayasa politik kotor Negara Indonesia itu didukung penuh oleh pemerintah Amerika Serikat dengan alas an kepentingan ekonomi. MoU illegal ini ditanda tangani dalam rangka mewudkan upaya NKRI untuk memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat yang digelar pada tahun 1969. Mulai sejak itu, Papua Barat telah dijadikan sebagai Arena Rekayasa Kasus-kasus selanjutnya. Rekayasa kasus-kasus selanjutnya di Tanah Papua hingga saat ini adalah hanya untuk mempertahankan Papua ke dalam NKRI dan rekayasa dalam rangka mempertahankan /mencapai kepentingan ekonomi; Sementara, manusia Papua tidak dihargai martabatnya.
Berbagai kekerasan yang tidak ada ujung pangkal penyelesaiannya sudah lama tumbuh subur di Tanah Papua. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah RI tidak mampu menjamin keselamatan rakyat Papua ke dalam NKRI. Ketidak-mampuan itu tercermin dalam berbagai kekerasan demi kekerasan yang direkayasa sedemikian rupa oleh negara Indonesia melalui sistem-sistemnya yang didukung oleh para sekutunya. Dari awal Tanah Papua direbut dengan merekayasa (manipulatif), maka langkah-langkah yang ditempuh oleh RI untuk mempertahankan tanah Papua dalam NKRI pun dengan berbagai bentuk rekayasa (manipulatif) pula. Rakyat Papua sudah mengetahui dan menyadari dari sejak awal RI merebut Tanah Papua bahwa Papua dan Indonesia memang beda. Perbedaan itu nampak dalam pandangan ideologi, sosial budaya, letak geografis, dan lain sebagainya. Sangat tidak mungkin ketidak-samaan dalam berbagai hal itu bersatu dibawah bingkai NKRI. Rekayasa demi rekayasa (manipulatif) itu tidak mematahkan semangat juang dari rakyat Papua untuk berdaulat penuh.
Hingga saat ini, Pemerintah Indonesia tidak menyadari bahwa rekayasa kasus demi kasus yang sedang diterapkan di Tanah Papua itu justru menumbuhkan Nasionalisme Papua, membangkitkan semangat perjuangan pembebasan bangsa Papua dari berbagai tirani penindasan RI dan para sekutunya yang sudah lama tumbuh subur di Tanah Papua. Indonesia tidak intropeksi diri bahwa ketika Indonesia menghadapi penjajahan dari negara-negara Kolonial juga mengalami hal-hal serupa. Kini Indonesia sedang menerapkan bentuk-bentuk rekayasa (manipulatif) peninggalan para kolonial itu di Tanah Papua. Dan memang Negara Indonesia paling pintar dari gurunya (para kolonial) dalam merekayasa kasus demi kasus di Tanah Papua. Melalui kasus-kasus rekayasa itu Indonesia dapat menipu para negara-negara kolonial yang mengajarkan bentuk-bentuk rekayasa kotor itu. Negara-negara di dunia dapat tertipu dari kasus-kasus rekayasa (manipulatif) yang sudah dan sedang dilakukan RI di Tanah Papua.
Kini Negara Indonesia melebihi para gurunya (para kolonial) dalam hal merekasa kasus demi kasus untuk meredam gerakan perjuangan bangsa Papua. Ironis memang murid yang baru belajar teori dan praktek rekayasa (manipulatif) dari para gurunya, RI paling lihai dalam menipu sampai para gurunya (para negara-negara kolonial) benar-benar ditipu dan terbuai dengan kelicikan muridnya (Negara Indonesia). Salah satu kasus rekayasa Negara Indonesia adalah kasus bentrokan antara polisi dan massa rakyat Papua pada tanggal 16 Maret 2006 di depan Universitas Cenderawasih di Abepura - Jayapura - Papua. Berikut ini pengakuan seorang anggota polisi tentang kasus 16 Maret 2006: Kalian sebenarnya tidak bersalah, kejadian kemarin penguasa Indonesia yang bermain, tetapi kamu jalani saja, demikian pernyataan Polisi Obeth Epa pada tanggal 17 Maret 2006 di Sel Rumah Tahanan Negara (RUTAN) Polda Papua. Pengakuan Obeth Epa ini disampaikan ketika berada dibawah ancaman, intimidasi, penghinaan dan penyiksaan brutal oleh polisi di Sel RUTAN Polda Papua. Saat itu Obeth Epa juga ditahan di Sel RUTAN Polda Papua karena melakukan pelanggaran ‘menembak salah sasaran dimana tembakan dengan menggunakan pistolnya itu mengenai seorang ibu (istri seorang anggota polisi) pada saat Brimob dan Dalmas Polisi bergerak menuju ke arah massa untuk membubarkan massa aksi damai secara paksa.
Berdasarkan pengakuan anggota Polisi tersebut, para aktivis HAM berusaha menggali informasi lebih banyak tentang aktor-aktor dibalik peristiwa bentrokan 16 Maret 2006 tersebut. Dari hasil penyelidikan dari berbagai pihak tersebut menyimpulkan bahwa bentrokan 16 Maret 2006 adalah lagu lama yang dinyanyikan kembali oleh kaki tangan penguasa untuk mencapai empat kepentingan, yakni: 1) Untuk meredam demonstrasi damai yang meluas dan menggema di negara-negara dunia dengan tuntutan sentral: tutup PT Freeport Indonesia di Timika- Papua; dan AS, RI dan Papua mengadakan dialog atau perundingan; 2) Bagi pihak-pihak yang terlibat secara langsung dan tidak langsung untuk meredam demonstrasi itu mendapatkan imbalan atau balas jasa, antara lain berupa uang; 3) Untuk menaikan pangkat dan jabatan bagi aparat Indonesia yang terlibat dalam meredam demonstrasi damai yang meluas dan menggema itu; 4) Untuk membangun mosi tidak percaya dan mendegragasikan gerakan perjuangan pembebasan bangsa Papua.
Keempat kepentingan Indonesia dan para sekutunya itu benar-benar terwujud pada waktu itu. Tetapi khusus untuk point keempat gagal dipertahankan oleh Negara Indonesia karena perjuangan bangsa Papua tidak dikubur dengan adanya tragedi 16 Maret 2006 dan diatas reruntuhan itu terbangunlah gerakan Papua dari para aktifis muda Papua yang pantang menyerah. Kebanyakan mahasiswa yang dipukul mundur, kini mereka sudah menyebar ke berbagai penjuru dunia untuk melanjutkan misi penyelamatan bangsa Papua.
Awalnya Negara Indonesia berhasil membangun mosi tidak percaya, tetapi setelah membongkar permainan RI dibalik kasus itu dan hal itu dikampanyekan ke berbagai penjuru dunia, maka masyarakat Internasional menekan Jakarta untuk mengubah status kasus yang awalnya digiring ke kriminal murni menjadi tahanan politik. Buktinya pada Bulan Maret 2007 rombongan DPR RI dipimpin Hutasoit datang menemui para tahanan politik di Lembaga Pemasyarakatan Abepura. Hutosoit mengatakan: Kalian sekarang menjadi tahanan politik, bukan tahanan kriminal dan kini kalian menjadi artis-artis Internasional, demikian kata politisi RI itu. Ini membuktikan bahwa kebenaran itu tidak terkalahkan, tetapi pada akhirnya kebenaran itu keluar sebagai pemenang akhir. Demikian pula, Negara Indonesia telah sekian lama berusaha membungkam gerakan perjuangan rakyat Papua, tetapi pada saat yang tepat sesuai kehendak Tuhan kebenaran itu akan keluar sebagai pemenang akhir. Buku kajian Ilmiah Prof Dr Drooglever tentang sejarah Papua telah membuka tirai kebenaran yang sudah lama terkubur, juga buku-buku sejarah lain yang ditulis oleh orang Papua maupun peneliti lain telah membuka jalan menuju kebebasan total bagi bangsa Papua. Dan entah senang atau tidak senang, entah suka atau tidak suka Negara Indonesia harus menerima kenyataan yang akan terjadi itu bahwa ketika lonceng kemenangan kebenaran itu berkumandang, maka di saat itu pula semua bentuk rekayasa kekerasan RI dan para sekutunya di Tanah Papua akan berakhir. Silahkan RI dan para sekutunya menanam rekayasa kasus demi kasus di kebun Papua, tetapi RI akan memanen hasil pada waktunya. Tergantung Negara Indonesia, apakah terus menerus menciptakan rekayasa kasus demi kasus untuk mempertahankan Papua yang nantinya akan berdaulat penuh, ataukah Negara Indonesia mengakui kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua dan mengatur peralihan kekuasaan adminitrasi pemerintahan dari NKRI ke NFRPB secara bermartabat, serta selanjutnya mengatur kerja sama antara dua bangsa dan dua negara setara yang saling menguntungkan? Pilihannya kembali kepada negara Indonesia.
Berdasarkan uraian rekayasa atas kasus demi kasus hingga masa kini, maka pada peringatan hari tragedi 16 Maret yang ketujuh (16 Maret 2006 - 16 Maret 2013), atas nama korban ketidak-adilan, kami Front PEPERA Papua Barat menyatakan dan menyerukan dengan tegas bahwa:
Kini Negara Indonesia melebihi para gurunya (para kolonial) dalam hal merekasa kasus demi kasus untuk meredam gerakan perjuangan bangsa Papua. Ironis memang murid yang baru belajar teori dan praktek rekayasa (manipulatif) dari para gurunya, RI paling lihai dalam menipu sampai para gurunya (para negara-negara kolonial) benar-benar ditipu dan terbuai dengan kelicikan muridnya (Negara Indonesia). Salah satu kasus rekayasa Negara Indonesia adalah kasus bentrokan antara polisi dan massa rakyat Papua pada tanggal 16 Maret 2006 di depan Universitas Cenderawasih di Abepura - Jayapura - Papua. Berikut ini pengakuan seorang anggota polisi tentang kasus 16 Maret 2006: Kalian sebenarnya tidak bersalah, kejadian kemarin penguasa Indonesia yang bermain, tetapi kamu jalani saja, demikian pernyataan Polisi Obeth Epa pada tanggal 17 Maret 2006 di Sel Rumah Tahanan Negara (RUTAN) Polda Papua. Pengakuan Obeth Epa ini disampaikan ketika berada dibawah ancaman, intimidasi, penghinaan dan penyiksaan brutal oleh polisi di Sel RUTAN Polda Papua. Saat itu Obeth Epa juga ditahan di Sel RUTAN Polda Papua karena melakukan pelanggaran ‘menembak salah sasaran dimana tembakan dengan menggunakan pistolnya itu mengenai seorang ibu (istri seorang anggota polisi) pada saat Brimob dan Dalmas Polisi bergerak menuju ke arah massa untuk membubarkan massa aksi damai secara paksa.
Berdasarkan pengakuan anggota Polisi tersebut, para aktivis HAM berusaha menggali informasi lebih banyak tentang aktor-aktor dibalik peristiwa bentrokan 16 Maret 2006 tersebut. Dari hasil penyelidikan dari berbagai pihak tersebut menyimpulkan bahwa bentrokan 16 Maret 2006 adalah lagu lama yang dinyanyikan kembali oleh kaki tangan penguasa untuk mencapai empat kepentingan, yakni: 1) Untuk meredam demonstrasi damai yang meluas dan menggema di negara-negara dunia dengan tuntutan sentral: tutup PT Freeport Indonesia di Timika- Papua; dan AS, RI dan Papua mengadakan dialog atau perundingan; 2) Bagi pihak-pihak yang terlibat secara langsung dan tidak langsung untuk meredam demonstrasi itu mendapatkan imbalan atau balas jasa, antara lain berupa uang; 3) Untuk menaikan pangkat dan jabatan bagi aparat Indonesia yang terlibat dalam meredam demonstrasi damai yang meluas dan menggema itu; 4) Untuk membangun mosi tidak percaya dan mendegragasikan gerakan perjuangan pembebasan bangsa Papua.
Keempat kepentingan Indonesia dan para sekutunya itu benar-benar terwujud pada waktu itu. Tetapi khusus untuk point keempat gagal dipertahankan oleh Negara Indonesia karena perjuangan bangsa Papua tidak dikubur dengan adanya tragedi 16 Maret 2006 dan diatas reruntuhan itu terbangunlah gerakan Papua dari para aktifis muda Papua yang pantang menyerah. Kebanyakan mahasiswa yang dipukul mundur, kini mereka sudah menyebar ke berbagai penjuru dunia untuk melanjutkan misi penyelamatan bangsa Papua.
Awalnya Negara Indonesia berhasil membangun mosi tidak percaya, tetapi setelah membongkar permainan RI dibalik kasus itu dan hal itu dikampanyekan ke berbagai penjuru dunia, maka masyarakat Internasional menekan Jakarta untuk mengubah status kasus yang awalnya digiring ke kriminal murni menjadi tahanan politik. Buktinya pada Bulan Maret 2007 rombongan DPR RI dipimpin Hutasoit datang menemui para tahanan politik di Lembaga Pemasyarakatan Abepura. Hutosoit mengatakan: Kalian sekarang menjadi tahanan politik, bukan tahanan kriminal dan kini kalian menjadi artis-artis Internasional, demikian kata politisi RI itu. Ini membuktikan bahwa kebenaran itu tidak terkalahkan, tetapi pada akhirnya kebenaran itu keluar sebagai pemenang akhir. Demikian pula, Negara Indonesia telah sekian lama berusaha membungkam gerakan perjuangan rakyat Papua, tetapi pada saat yang tepat sesuai kehendak Tuhan kebenaran itu akan keluar sebagai pemenang akhir. Buku kajian Ilmiah Prof Dr Drooglever tentang sejarah Papua telah membuka tirai kebenaran yang sudah lama terkubur, juga buku-buku sejarah lain yang ditulis oleh orang Papua maupun peneliti lain telah membuka jalan menuju kebebasan total bagi bangsa Papua. Dan entah senang atau tidak senang, entah suka atau tidak suka Negara Indonesia harus menerima kenyataan yang akan terjadi itu bahwa ketika lonceng kemenangan kebenaran itu berkumandang, maka di saat itu pula semua bentuk rekayasa kekerasan RI dan para sekutunya di Tanah Papua akan berakhir. Silahkan RI dan para sekutunya menanam rekayasa kasus demi kasus di kebun Papua, tetapi RI akan memanen hasil pada waktunya. Tergantung Negara Indonesia, apakah terus menerus menciptakan rekayasa kasus demi kasus untuk mempertahankan Papua yang nantinya akan berdaulat penuh, ataukah Negara Indonesia mengakui kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua dan mengatur peralihan kekuasaan adminitrasi pemerintahan dari NKRI ke NFRPB secara bermartabat, serta selanjutnya mengatur kerja sama antara dua bangsa dan dua negara setara yang saling menguntungkan? Pilihannya kembali kepada negara Indonesia.
Berdasarkan uraian rekayasa atas kasus demi kasus hingga masa kini, maka pada peringatan hari tragedi 16 Maret yang ketujuh (16 Maret 2006 - 16 Maret 2013), atas nama korban ketidak-adilan, kami Front PEPERA Papua Barat menyatakan dan menyerukan dengan tegas bahwa:
- Negara Indonesia dan para sekutunya STOP dan STOP merekasa kasus demi kasus di Tanah Papua hanya untuk mencapai kepentingan politik dan ekonomi semata.
- Masyarakat Internasional jangan sekali-kali percaya dan tertipu dengan berbagai propoganda hitam oleh Negara Indonesia melalui sistem-sistemnya untuk membangun mosi tidak percaya terhadap gerakan perjuangan pembebasan bangsa Papua, karena itu rekayasa (manipulatif) Negara Indonesia untuk memperpanjang penindasan bagi orang asli Papua dan mempercepat pemusnahan etnis Melanesia di Tanah Papua.
- Bagi keluarga korban, khususnya keluarga korban dari 3 anggota Brimob dan 1 anggota TNI AU yang dikorbankan oleh Negara Indonesia untuk mencapai kepentingan ekonomi dan politik semata, kami mendesak segera memberikan biaya santunan setiap bulan dan biaya pendidikan bagi anak-anak yang ditinggalkannya menjadi tanggung jawab Pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia.
- Kepada para Rektor/ Ketua pada Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta yang ada di Jayapura untuk segera menerima kembali para mahasiswa/i yang telah putus kuliah akibat tragedi 16 Maret 2006.
- Untuk mengakhiri konflik yang berkepanjangan di Tanah Papua, RI dan negara-negara di dunia serta PBB segera mengambil langkah untuk menyelesaikan konflik di Papua melalui DIALOG yang dimediasi oleh pihak ketiga yang independen berdasarkan standar internasional.
Demikian pernyataan sikap ini dibuat untuk diperhatikan dan ditindak-lanjuti oleh pihak-pihak terkait untuk menyelamatkan rakyat Papua dari kepunahan etnis.
Penjara Abepura: Sabtu, 16 Maret 2013.
Persatuan Tanpa Batas Perjuangan Sampai Menang.
Selpius A. Bobii
(Ketua Umum Font PEPERA PB, Juga Tahanan Politik Papua Barat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar