(Tantangan dan Harapan di Tanah Papua)
Oleh:
Selpius A. Bobii.
Abepura, 20 Maret 2013
Judul artikel ini menantang semua pihak yang
menaruh hati dan bekerja tanpa pamrih untuk menyelamatkan etnis bangsa Papua
yang sedang menuju kepunahan. Dalam artikel ini ada tiga hal yang penulis
bahas, yaitu: Apakah memang benar etnis bangsa Papua sedang menuju kepunahan?
Apa saja tantangan yang dihadapi dalam menyelamatkan bangsa Papua? Adakah
harapan bahwa bangsa Papua akan diselamatkan?
ETNIS
PAPUA SEDANG MUSNAH?
Rakyat pribumi Papua Barat adalah suku-suku yang
mendiami di Tanah Papua Barat. Papua Timur adalah PNG. Suku-suku yang mendiami
di Papua Barat berjumlah 248 suku berdasarkan penelitian oleh Tim Peneliti pada
tahun 2008.
Ada temuan bahwa ada suku-suku tertentu di Papua
Barat sudah musnah dan masih ada juga suku-suku tertentu sedang menuju
kepunahan. Penemuan yang paling mengejutkan adalah hasil penemuan para peneliti
dari Universitas Yale Amerika Serikat dan peneliti dari Australia yang
menyimpulkan bahwa di Tanah Papua sedang terjadi praktek pemusnahan etnis
(genocide), para aktor utamanya adalah TNI dan POLRI.
Penyebab pertama dan terutama pemusnahan etnis
bangsa Papua adalah operasi-operasi militer secara terbuka dan tertutup yang
dimulai oleh Negara Indonesia sejak tahun 1962 (invasi militer) untuk
mewujudkan maklumat Tri Komando Rakyat oleh Presiden RI (Soekarno).
Ada tiga jilid operasi militer yang diterapkan di
tanah Papua. Operasi jilid pertama diawali dengan pengiriman pasukan militer
secara illegal pada tahun 1962 karena pada tahun itu Papua masih di bawah
kekuasaan administrasi pemerintahan Belanda. Dan tindakan RI itu kami sebut
invasi militer Indonesia. Operasi militer jilid kedua dimulai setelah penyerahan
adminitrasi pemerintahan Papua dari Belanda ke NKRI (dari tahun 1963 - 1969).
Ada berbagai nama operasi yang digunakan RI, antara lain: operasi tumpas, operasi banteng I, operasi banteng II, operasi garuda
merah, operasi garuda putih, operasi serigala dan operasi naga. Setelah RI
memenangkan penentuan pendapat rakyat yang cacat hukum dan moral, RI masih
terus melakukan operasi militer yang paling menentukan adalah Operasi Wibawa
(1970-1974), Operasi Kikis (1977), Operasi Sadar (1979), Operasi Sapuh Bersih
(1981-1984).
Secara resmi Daerah Operasi Militer (DOM)
diberlakukan sejak tahun 1978 - 5 Oktober 1998. Pencabutan status DOM oleh RI
di Papua didorong oleh semangat reformasi yang digulirkan pada tahun 1998.
Walaupun secara de jure status Daerah Operasi Militer dicabut pada tanggal 5
Oktober 1998, tetapi secara de facto operasi-operasi militer masih berlangsung
sampai detik ini.
Operasi militer jilid ketiga dimulai sejak
reformasi tahun 1998 sampai saat ini. Beberapa operasi militer yang digelar
antara lain: Biak berdarah (06 Juli 1998), Nabire berdarah (2000), Abepura
berdarah (6-7 Desember 2000), Wamena berdarah (6 Oktober 2002), Wasior berdarah
(13 Juni 2001), Kimaam berdarah, Padang Bulan Berdarah (20 Oktober 2011), dan
operasi-operasi militer yang masih berlangsung di Puncak Jaya, Puncak, Wamena
dan Paniai, serta operasi militer tertutup lainnya di Tanah Papua.
Menurut penelitian ilmiah Universitas Yale
diperkirakan bahwa antara tahun 1963 - 1969 lebih dari 10.000 orang asli Papua
dibantai yang para aktornya TNI dan POLRI. Sejak operasi militer 1971 sampai
dengan pemberlakuan Daerah Operasi militer secara resmi tahun 1978 - 5 Oktober
1998 orang asli Papua yang telah dibantai belum dapat dipastikan karena semua
proses itu tidak terekam mengingat tidak ada ruang bagi pihak mana pun untuk
mendata dan mempublikasikan.
Operasi-operasi militer Indonesia mencakup
pemboman, penembakan, penculikan, pembunuhan, penghilangan paksa, penangkapan,
pemenjaraan, penyiksaan, pemerkosaan, perampasan ternak, penghancuran kebun,
pembakaran rumah-rumah warga dan gereja, pengusiran warga, pembunuhan melalui
peracunan lewat makan dan minum, dll.
Ada pula pembunuhan dilakukan secara sadis, yakni
dicincang dengan parang/kapak, diiris-iris dengan silet, pisau lalu disiram
dengan air cabe, pria dan wanita dipaksa bersetubuh lalu alat kelamin pria
dipotong dan istrinya dipaksa makan, kemudian mereka dibunuh, dibunuh dengan
cara menggantung, dibuang hidup-hidup dalam jurang, diisi dalam karung lalu
dibuang hidup-hidup ke dalam laut, ke dalam danau dan ke dalam kali; dikubur
hidup-hidup. Juga besi dipanaskan di api lalu dibunuh dengan memasukkan besi
panas ke dalam dubur / mulut / alat kemaluan wanita.
Pemusnahan etnis penyebab kedua adalah penyakit
sosial. Penyakit-penyakit menular yang dibawa oleh para pemukim baru yang
datang dari luar Papua Barat jika tidak segera diobati dapat merenggut nyawa.
Penyakit-penyakit baru itu antara lain: penyakit TBC, penyakit cacing pita,
penyakit tipes, penyakit kolera, penyakit hepatitis, penyakit menular seksual,
diantaranya HIV/AIDS, dll. Jaman dahulu para nenek moyang Papua tidak pernah
mengidap penyakit-penyakit jenis ini. Penyakit-penyakit ini menular dengan
cepat ketika para pemukim baru masuk dan menetap di Papua.. Pelayanan kesehatan
yang tidak memadai, sarana prasarana kesehatan yang tidak tersedia di
kampung-kampung, dan kalaupun ada, tetapi pelayanan kesehatan dengan stengah
hati adalah penyebab untuk mempercepat pemusnahan etnis Papua. Karena
penyakit-penyakit baru yang dibawa oleh para pemukim baru dari luar Papua itu
pada umumnya penyakit menular dan paling ganas, dan jika tidak ditangani segera
maka dapat mengakibatkan kematian.
Penyakit sosial yang lain adalah konsumsi minuman
keras. Saya pernah melihat di salah toko di karton tertulis: stok khusus Papua.
Saya heran bahwa ada minuman keras stok khusus Papua yang langsung dipaketkan
dari tempat produksi minuman keras. Kenapa ada minuman keras stok khusus Papua?
Apakah ada bahan campuran lain dalam stok khusus Papua itu dan jika miras itu
dikansumsi dapat memperpendek umur dan berujung kematian? Entalah! Tetapi
terbukti bahwa banyak orang asli Papua mati, keluarga berantakan, banyak kasus
kriminal terjadi, masa depan anak muda Papua hancur karena akibat mengkonsumsi
minuman keras.
Pemerintah RI dalam berbagai kesempatan
berkampanye bahwa dilarang mengkonsumsi minuman keras, tetapi justru pemerintah
memberi ijin bagi pengusaha untuk mendatangkan minuman keras dan menjual di
toko-toko tertentu, serta di bar-bar menyediakan minuman keras bagi para
pengunjang yang hendak meluangkan waktu sejenak. Tentu alasan pemerintah adalah
meningkatkan pendapatan pajak daerah untuk pembangunan. Alasan ini tidak dapat
diterima karena masih banyak potensi daerah yang tentunya dikelolah oleh
pemerintah untuk meningkatkan pendapatan daerah. Pendapatan pajak yang didapat
pemerintah dari para pengusaha yang menjual minuman keras tidak sebanding
dengan dampak dari konsumsi minuman keras yang merusak tatanan hidup
masyarakat, menghancurkan masa depan generasi muda, serta banyak orang mati.
Selain itu, ada minuman lokal alias milo. Khusus milo dapat ditangani secara
bijak oleh pemerintah dengan bekerjasama tokoh masyarakat dan agama untuk
membatasi pengelolaan minuman lokal. Dengan
tidak ada kemauan baik dari pemerintah untuk memutuskan mata rantai produksi
dan distribusi minuman keras itu dalam bentuk Peraturan Daerah, maka ini
terbukti bahwa sesungguhnya pemerintah secara tidak langsung mempraktekkan
pemusnahan etnis Papua.
Selain itu, ada pula penyakit sosial lain yaitu
program Keluarga Berencana (KB). Disaat orang asli Papua menjadi minoritas di
tanah leluhurnya, ada upaya pemerintah RI untuk membatasi kelahiran anak dengan
program KB. Bahkan ada slogan: dua anak lebih baik. Wah, ini sangat tidak dapat
diterima. Orang asli Papua yang makin minoritas yang memiliki tanah luas dan
kekayaan alam yang berlimpah dipaksa mengikuti program KB. Tentu upaya ini dalam
rangka pemusnahan etnis Papua secara tidak langsung.
Penyebab pemusnahan etnis ketiga adalah faktor
kesejahteraan. Ekonomi menjadi salah satu penyebab suku-suku di Papua Barat
dapat mengarah ke pemusnahan etnis. Dampak perekonomian ini dapat dialami oleh
suku-suku yang mendiami di kota-kota di Papua. Akibat tanah dan kekayaan
alamnya telah dikuasai oleh para pendatang baru, entah dijual atau dirampas,
maka suku-suku tertentu yang berasal dari kota-kota itu kehilangan tanah dan
kekayaan alam yang menjadi sumber penghidupan mereka, yang dapat menyebabkan
depresi, stres, gangguan jiwa, gisi buruk, sakit dan akhirnya meninggal dunia.
Ada dua wilayah yang sedang dilanda bahaya itu
adalah suku-suku asli di kota dan kabupaten Jayapura yang menjual tanah kepada
pemukim baru; juga suku-suku di Merauke kota. Anak cucu dari suku-suku yang
mendiami di dua wilayah ini akan kehilangan tanah leluhurnya. Dan ini sangat
berdampak pada eksistensi dari suku-suku itu dan dapat menuju kehancuran dan
kepunahan.
Penyebab pemusnahan etnis keempat adalah faktor
migrasi. Menurut mantan gubernur propinsi Papua pada tahun 2010 di hadapan
masyarakat asli Papua mengatakan: Kita akui bahwa jumlah migrasi di Papua cukup
tinggi, bahkan lebih tinggi di dunia karena mencapai 5% pertahun. Pada hal
normalnya 1% pertahun", ucapnya. Selain itu, menurut kepala Bapeda
Propinsi Papua, dalam bedah buku karya Antonius Ayorbaba, dengan judul: The
Papua Way: Dinamika Konflik Laten dan Refleksi 10 tahun Otsus Papua,
mengatakan: angka migrasi ke Papua pertahun 6,39% sehingga dari data sensus
penduduk sebenarnya orang asli Papua ada 30% dan pendatang 70% ", (sumber:
tabloidjubi.com, 12 Januari 2012). Sedangkan di Propinsi Papua Barat sesuai
laporan data BPS bahwa jumlah penduduk asli Papua di propinsi itu sebanyak
51,67% dari total 760.000 jumlah keseluruhan penduduk Papua Barat, (Sumber:
www.kompas.com, Selasa 11/01/2011).
Terkait dengan populasi penduduk, ada laporan
mengejutkan dari seorang akademisi dari Australia, Jim Elmslie. Laporan itu ia
beri judul: West Papua Demographic Transition and the 2010 Indonesia Census: Slow
motion genocide or not? Laporan
Jim diterbitkan oleh Univercity of Sydney, Centre for Peace and Conflict
Studies menyebutkan bahwa jumlah keseluruhan penduduk mencapai 3.612.854 jiwa.
Dalam laporan itu disebutkan bahwa pada tahun 1971 orang asli Papua berjumlah
887.000 jiwa dan pada tahun 2000 berjumlah 1.505.405 jiwa. Ini artinya
persentase pertumbuhan penduduk pertahunnya 1,84%; sementara jumlah penduduk
non Papua pada tahun 1971 sebanyak 36.000 jiwa dan pada tahun 2000 meningkat
menjadi 708.425 jiwa. Ini artinya presentase pertumbuhan penduduk non Papua
10,82% pertahun.
Lonjakan pertumbuhan jumlah penduduk non Papua
terjadi dalam sepuluh tahun terakhir. Pada pertengan tahun 2010 penduduk orang
asli Papua sebanyak 1.730.336 jiwa atau 47,89%; sementara populasi penduduk non
Papua berjumlah 1.882.517 jiwa atau 52,10%. Di akhir tahun 2010 orang asli
Papua berjumlah 1.760.557 jiwa atau 48,73% dan populasi penduduk non Papua mencapai
1.852.297 jiwa. Jumlah keseluruhan penduduk Papua hingga 2010 adalah 3.612.854
jiwa.
Dalam laporan itu, Jim memperkirakan pada tahun
2020 jumlah penduduk Papua secara keseluruhan akan mencapai 7.287.463 jiwa atau
100%; dengan pembagian jumlah orang asli Papua 2.112.681 jiwa atau 28% dan
jumlah penduduk non Papua 5.174.782 jiwa atau 71,01%. Ini artinya pertumbahan
penduduk orang asli Papua lambat dibanding non Papua. Menurut Jim penyebab
pertama karena pelanggaran HAM dan penyebab kedua yang paling utama adalah
migrasi paling besar. (Sumber:www.majalahselangkah.com/old/papua-30-persen-pendatang-70-persen-mari-refleksi/)
dan sumber aslinya (www.sydney.edu.au/arts/peaceconflict/docs/workingpapers/westpapuademographicsin2010/census.pdf).
Mari kita simak pertumbuhan penduduk non Papua.
Pada tahun 1971 sebanyak 36.000 jiwa. Pada tahun 2000 jumlah penduduk non Papua
708.425 jiwa dan tahun 2010 mencapai 1.852.297 jiwa. Pertumbuhan penduduk non
Papua antara tahun 2000 - tahun 2010 melonjak tinggi. Arus migrasi yang amat
tinggi ini tentu disebabkan dengan adanya penerapan UU Otsus Papua yang diikuti
dengan pemekaran-pemekaran propinsi, kabupaten/kota, distrik serta kampung yang
semakin meningkat. Jika pemekaran-pemekaran ini terus ditingkatkan, maka arus migrasi
akan meningkat dan diperkirakan sebelum tahun 2030 orang asli Papua menjadi
semakin minoritas dan etnis Papua musnah.
Mari kita juga simak pertumbuhan penduduk asli
Papua. Pada tahun 1971 penduduk orang asli Papua 887.000 jiwa, tahun 2000
meningkat menjadi 1.505.405 jiwa dan pada tahun 2010 berjumlah 1.760.557 jiwa.
Antara tahun 1971 - tahun 2000 penambahan penduduk orang asli Papua hanya
618.405 jiwa dan antara tahun 2000 - tahun 2010 bertambah hanya 255.152 jiwa.
Jumlah penduduk orang asli Papua versi Balai
Pusat Statistik ini belum bisa dipastikan keakuratannya, karena saya pernah
dapat kabar bahwa para kepala kampung tertentu bekerjasama dengan para kepala
distrik tertentu memasukkan nama-nama orang yang sudah meninggal dunia atau
merekayasa nama untuk mendapatkan uang bantuan berupa IDT, atau bantuan beras
miskin, atau bantuan dana pembangunan kampung (dana respek), dan juga demi
kepentingan Pemilihan Kepala Daerah/Pemilu.
Saya yakin jika diadakan Sensus Penduduk yang
kredibel, jujur dan tepat, maka jumlah penduduk asli Papua pasti didapati
kurang dari jumlah penduduk versi BPS tahun 2010; dan sebaliknya jumlah
penduduk non Papua pasti melambung tinggi karena hampir setiap kali kapal
penumpang (kapal putih) dan pesawat udara masuk ke Papua ada penambahan migran
baru di Tanah Papua.
Mari kita menyimak perbandingan populasi penduduk
asli antara Papua dan PNG. Pada tahun 1971 orang asli Papua berjumlah 887.000
jiwa dan PNG kurang lebih 900.000 jiwa. Pada tahun 2010 jumlah orang asli Papua
1.760.557 jiwa dan jumlah populasi penduduk PNG sekitar 6,7 jiwa. Pada tahun
1971 populasi orang asli Papua dan PNG perbedaannya sangat tipis. Jumlah
penduduk antara Papua dan PNG pada tahun 2010 perbandingannya sangat mencolok
yakni sebesar sekitar 4 juta jiwa. Ini artinya sejak tahun 1971 sampai dengan
tahun 2010 sekitar 4 juta jiwa orang asli Papua Barat telah hilang musnah.
Dari data-data di atas, saya menyimpulkan bahwa
di Tanah Papua sedang terjadi proses pemusnahan etnis Papua secara merangkak
perlahan-perlahan tetapi pasti (slow motion genocide).
TANTANGAN
Pemusnahan etnis Papua yang terjadi secara merangkak perlahan-perlahan tetapi pasti (slow motion genocide) adalah sebuah fakta yang tidak dapat dibantah oleh siapa pun. Kondisi ini menantang setiap orang asli Papua dan semua pihak yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan di mana saja berada untuk menyatukan tekad bersama demi menyelamatkan bangsa Papua dari darurat kemanusiaan terselubung yang amat mengerikan di Tanah Papua.
Pemusnahan etnis Papua yang terjadi secara merangkak perlahan-perlahan tetapi pasti (slow motion genocide) adalah sebuah fakta yang tidak dapat dibantah oleh siapa pun. Kondisi ini menantang setiap orang asli Papua dan semua pihak yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan di mana saja berada untuk menyatukan tekad bersama demi menyelamatkan bangsa Papua dari darurat kemanusiaan terselubung yang amat mengerikan di Tanah Papua.
Berikut ini ada beberapa tantangan yang
menghambat penyelamatan etnis Papua, antara lain: Tantangan Pertama, tantangan paling terberat dalam
misi penyelamatan etnis Papua adalah perasaan ketakutan. Takut dibunuh, takut
diteror, takut kehilangan pekerjaan, kekayaan dan jabatan, takut kehilangan
dukungan atau simpati, takut disiksa dan difitnah, takut ditangkap dan di
penjara, dan lain-lain.
Barang siapa takut kehilangan semuanya itu, maka
ia sesungguhnya kehilangan harga dirinya. Harga diri itu adalah martabat
manusia yang serupa dan segambar dengan Allah. Sebagai mahkluk ciptaan Tuhan
yang paling mulia, ia telah mengabaikan rasa takut kepada Tuhan. Ia takut
kepada hal-hal duniawi yang fana. Ia tidak takut kepada Tuhan yang memberinya
anugerah dan kehidupan dengan cuma-cuma..
Agar dapat memperjuangkan misi penyelamatan etnis Papua tanpa takut kepada hal-hal duniawi, maka yang pertama dan terutama yang kita lakukan adalah menaklukan semua perasaan ketakutan dan milikilah sikap takut kepada Tuhan. Perasaan ketakutan kepada hal-hal duniawi adalah merupakan musuh terbesar yang melawan eksistensi kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia; rasa takut juga melemahkan daya tahan kita. Musuh perasaan ketakutan itu harus ditaklukan dengan merendahkan diri dan takut kepada Tuhan. Ketika kita menaklukan perasaan ketakutan pada hal-hal duniawi, dan memiliki sikap takut kepada Tuhan, maka dalam diri kita terbangunlah tembok pertahanan yang kokoh dan tidak terkoyahkan. Tembok itu adalah kepasrahan diri dan takut kita kepada Tuhan: itulah iman, pengharapan dan kasih.
Agar dapat memperjuangkan misi penyelamatan etnis Papua tanpa takut kepada hal-hal duniawi, maka yang pertama dan terutama yang kita lakukan adalah menaklukan semua perasaan ketakutan dan milikilah sikap takut kepada Tuhan. Perasaan ketakutan kepada hal-hal duniawi adalah merupakan musuh terbesar yang melawan eksistensi kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia; rasa takut juga melemahkan daya tahan kita. Musuh perasaan ketakutan itu harus ditaklukan dengan merendahkan diri dan takut kepada Tuhan. Ketika kita menaklukan perasaan ketakutan pada hal-hal duniawi, dan memiliki sikap takut kepada Tuhan, maka dalam diri kita terbangunlah tembok pertahanan yang kokoh dan tidak terkoyahkan. Tembok itu adalah kepasrahan diri dan takut kita kepada Tuhan: itulah iman, pengharapan dan kasih.
Tantangan
kedua dalam misi penyelamatan etnis Papua adalah
ketidak-bersatuan komponen-komponen bangsa Papua. Tantangan ini sangat
mencerai-beraikan kesatuan kita sebagai satu bangsa. Bagaimana mungkin kita mau
mendirikan sebuah negara, jikalau kita tidak membangun persatuan nasional
sebagai landasan berdirinya sebuah negara bangsa yang modern? Memang tujuan
perjuangan kita satu dan sama yakni Papua Berdaulat Penuh; Tetapi kubu-kubu
pertahanan masing-masing (elemen-elemen gerakan/faksi) yang dibangun telah
melemahkan kekuatan yang ada pada kita dan ini melemahkan kedaulatan rakyat
bangsa Papua dan akibatnya memperpanjang penindasan yang berdampak pada
kepunahan etnis Papua.
Sungguh amat menyedihkan melihat kenyataan ini.
Apa solusinya? Solusinya kita harus kompromi politik internal bangsa Papua
untuk sepakati: bersatu dalam satu konsep ideologi perjuangan, bersatu dalam
agenda/program bersama, bersatu dalam satu organisasi yang menjadi kendaraan
politik bersama dan bersatu dalam kepemimpinan politik sentral (penanggung
jawab politik bangsa Papua) yang diterima dan diakui bersama.
Tantangan
ketiga adalah penerapan metode perjuangan. Ada orang
Papua bilang bangsa Papua tetap berjuang dengan jalan damai. Ada pula orang
Papua katakan kita berjuang dengan jalan perang terbuka. Ada juga bilang kita
menerapkan keduanya: dengan jalan damai dan perang terbuka.
Dalam kongres bangsa Papua pada tahun 2000 rakyat bangsa Papua telah memutuskan bahwa perjuangan ditempuh dengan jalan damai. Gereja-gereja di Tanah Papua juga telah mendeklarasikan Papua Tanah Damai pada tahun 2002. Bahkan Pangdam Cendrawasih juga menebarkan slogan: Kasih dan Damai itu Indah; Tapi slogan dari Pangdam ini hanyalah kiasan semata. Slogan yang diusung oleh Pangdam itu hanyalah sebagai tameng untuk melindungi TNI-POLRI dari berbagai tekanan dari pihak-pihak pemerhati kemanusiaan dan slogan itu sebagai jalan untuk tetap melakukan kekerasan demi kekerasan untuk memusnahkan etnis Papua. Dibalik slogan ini, konflik semakin tumbuh subur di Tanah Papua. Banyak orang asli Papua mati, banyak orang Papua mengalami diskriminasi, dimarginalisasi, menjadi minoritas, mengalami ketidak-adilan dan sedang menuju kepunahan etnis Papua secara merangkak perlahan-lahan tetapi pasti (slow motion genocide).
Tanah Papua sedang terjadi darurat kemanusiaan
secara terselubung walaupun secara nyata belum nampak. Karena itu, kami
menyarankan slogan Papua Tanah Damai itu perlu ditinjau kembali dan diganti
dengan slogan berikut ini: Papua Darurat Kemanusiaan, Mari Kita Wujudkan Papua
Tanah Damai. Deklarasi Papua Darurat Kemanusiaan itu penting agar semua pihak
memperjuangkan untuk mewujudkan Papua Tanah Damai itu.
Untuk menyelamatkan bangsa Papua dari
diskriminasi, marginalisasi, minoritas, dan kepunahan etnis Papua secara pelan
tetapi pasti yang sedang terjadi, maka apa langkah yang sangat tepat dan cepat
yang bangsa Papua tempuh? Sesuai dengan tiga pendapat berbeda dari orang Papua,
maka bangsa Papua dihadapkan pada tiga pilihan: Apakah bangsa Papua menempuh
jalan perang terbuka? Ataukah bangsa Papua tetap menempuh dengan jalan damai?
Dan ataukah kita menerapkan dua jalan itu secara bersamaan dengan pembagian
peran antara sayap sipil dan diplomat dengan jalan damai dan sayap militer
bergerilya?
Kita bisa memilih perjuangan dengan perang
terbuka, tetapi populasi orang Papua hanya 1,7 juta jiwa. Sangat tidak mungkin
orang asli Papua yang sedikit dan tidak memiliki sarana prasana perang yang
memadai ini untuk menghadapi perang terbuka dengan Negara Indonesia yang
(menurut Soedibyo pada tahun 2013) berpenduduk 250 juta jiwa dengan kekuatan
angkatan TNI dan POLRI yang didukung dengan peralatan perang lengkap. Apakah
kita harus mengorbankan sebagian orang asli Papua dalam perang terbuka dengan
Indonesia? Tentu kami sangat menghargai taktik sayap militer (TPN OPM) yang
sudah lama bergerilya di hutan sejak tahun 1965 untuk mempertahankan api
revolusi dan mengambil kembali hak kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua yang
telah dirampas oleh NKRI. Kini api revolusi itu sudah masuk juga dalam kota
sejak tahun 1998 dan rakyat sipil bangsa Papua juga sedang berjuang dan
suara-suara pembebasan Papua sudah menggema ke seluruh dunia.
Kita berjuang ini untuk menyelamatkan etnis Papua
yang sedikit ini maka kita harus mempertimbangkan dengan baik untung dan
ruginya. Memang setiap kita dilahirkan sekali dan setiap kita akan mati sekali.
Tetapi jalan yang kita tempuh dapat menyelamatkan etnis Papua yang sedikit ini
(bukan memusnahkan) dan jalan itu dapat membawa kita ke tujuan akhir perjuangan
kita yakni kebebasan total. Kita musti pikir baik-baik bahwa dengan jalan
perang fisik dapat mengorbankan etnis Papua, namun ternyata impian tidak
terwujud karena orang Papua sudah musnah dalam perang terbuka dan akhirnya
tanah Papua dikuasai selamanya oleh NKRI.
Dengan jalan perang terbuka kita tidak akan
mungkin mengusir ke luar negara Indonesia yang memiliki kekuatan
sarana-prasarana perang fisik yang memadai. Tetapi itu akan terjadi apabila
Tuhan menghendakinya dan Tuhan sendiri akan memimpin kita perang terbuka
mengusir keluar RI dari tanah Papua. Seperti ada tertulis dalam Kitab Roma:
Jika Tuhan memihak kita, siapakah yang berani melawan kita?
Camkanlah bahwa jaman sudah berubah.
Negara-negara di dunia pada jaman sekarang menempatkan perang fisik sebagai
langkah (opsi) terakhir jika upaya-upaya damai lain tidak berhasil. Upaya lain
seperti diplomasi-diplomasi politik melalui dialog atau perundingan. Karena itu
memang perang terbuka kita tempatkan sebagai opsi terakhir setelah jalan-jalan
diplomasi politik tertutup dan atau tidak membuahkan hasil yang kita inginkan
dan itu pun kalau Tuhan menghendaki demikian.
Kita belajar dari tokoh-tokoh legendaris
perdamaian seperti Moh Gandhi, Marthen Luter King, Nelson Mandela. Mereka
menggunakan metode-metode damai untuk mencapai cita-cita mereka. Memang konteks
dan jamannya berbeda dengan Papua. Perjuangan di Afrika Selatan yang dipimpin
Nelson Mandela dan Marthen Luter King di AS adalah perjuangan melawan pemberlakuan
rasisme. Bukan perjuangan untuk mengusir ke luar penjajah dari tanah
leluhurnya. Karena itu metode-metode perjuangan yang mereka gunakan hanya untuk
merombak sistem pemerintahan yang menciptakan diskriminasi dan ketidak-adilan
bagi kulit hitam oleh kulit putih. Kenapa mereka sukses? Ya karena rakyatnya
bersatu di bawah kepemimpinan sentral yang diakui dan diterima bersama.
Sedangkan perjuangan Moh Gandi adalah perjuangan
untuk berdaulat penuh. Memang perjuangan India memakan waktu yang cukup lama. Moh
Gandhi mampu membangkitkan puluhan juta India untuk melawan penjajah.
Metode-metode dengan jalan damai yang diterapkan sangat didukung oleh rakyat
India secara penuh maka dapat melemahkan resim penjajah. Akibatnya Moh Gandi
ditembak mati. Walaupun demikian, perjuangan dengan jalan damai yang
dirintisnya dapat diteruskan oleh kader-kadernya, akhirnya kemenangan diraih
oleh masyarakat India. Moh Gandhi menjadi tokoh legendaris bagi India dan juga
sebagai tokoh inspirator bagi perdamaian dunia. Kenapa masyarakat India
berhasil? Karena mereka bersatu dan tetap solid pantang mundur dan pantang
menyerah.
Apakah Bangsa Papua juga bisa bersatu di bawah
satu kepemimpinan sentral (satu penanggung jawab politik bangsa Papua), bersatu
dalam satu wadah politik bersama yang menjadi kendaraan politik bersama,
bersatu dalam agenda/program bersama serta bersatu dalam satu konsep ideologi?
Silahkan kita renungkan dan mengambil sikap untuk kita kompromi politik
internal bangsa Papua untuk bersatu agar kita tidak memperpanjang penindasan
dan orang Papua yang sedikit ini diselamatkan.
Tantangan
keempat adalah: Tanah Papua adalah dapur dunia dan
Indonesia adalah pasar terbesar yang diperhitungkan dunia. Perserikatan
Bangsa-Bangsa, Amerika Serikat, Australia, Belanda, Inggris, dan negara lain
mengetahui bahwa bangsa Papua dianeksasi ke dalam NKRI dan Penentuan Pendapat
Rakyat (PEPERA) tahun 1969 itu cacat hukum dan cacat moral. Hasil PEPERA itu
dengan terpaksa dicacat saja dan tidak ditetapkan dalam resolusi PBB, karena 15
Negara menyatakan menolak dan tidak mengakui hasil PEPERA itu.
Mengapa aneksasi Papua ke dalam NKRI itu didukung
penuh oleh AS, PBB dan dalam proses PEPERA itu cacat hukum dan moral, tetapi
dengan terpaksa hasil itu dicacat saja dalam dokumen PBB? Jawabannya: Karena
Tanah Papua mau dijadikan Dapur Dunia. Buktinya di Tanah Papua ada PT. Freeport
milik AS dan berbagai negara-negara penanam saham, BP (Penampang Minyak dan
Gas) milik Negara Inggris di Sorong dan Bintuni dan perusahaan lain.
Menjaga dapur dunia di Tanah Papua oleh
kebanyakan negara-negara menjadi lebih penting, karena itu kita menjadi korban
konspirasi kepentingan ekonomi dan politik semata. Tanah Papua digarap hanya
untuk kepentingan perut mereka, tetapi kepentingan hak kedaulatan kemerdekaan
bangsa Papua diabaikan, bahkan dirampas dan kita dipaksa tetap berada dalam
bingkai NKRI. Hasil kekayaan dari Tanah Papua dapat menyamin kebanyakan
negara-negara di dunia, terutama Amerika Serikat dan Inggris, tetapi
suara-suara kebebasan yang dikumandangkan oleh orang asli Papua pemilik
kekayaan alam itu diabaikan dan dilupakan.
Bangsa Papua harus bangkit untuk memproteksi
tanah air dan kekayaan alam serta orang Papua yang sedang menuju kehancuran.
Dewan Adat Papua (DAP) dibentuk dalam Konfrensi Besar Masyarakat Adat Papua I
pada tahun 2002 untuk memperjuangkan Hak-hak Dasar Masyarakat Adat Papua. Kami
harap ke depan DAP menata diri dan bekerja keras dalam memproteksi orang asli
Papua, proteksi tanah air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta
mengklaimnya sebagai hak mutlak bangsa Papua yang tidak dapat diganggu gugat
oleh siapa pun dan dengan kekuatan apa pun. Walaupun memang kita sadari bahwa
kita dilemahkan oleh RI melalui sistem-sistem pertahanannya, tetapi
sesungguhnya kekuatan Dewan Adat Papua dapat menggerakan masyarakat adat Papua
untuk menyatakan non cooperatif (tidak kerja sama) dengan RI dalam bentuk apa
pun dan sikap ini pernah dinyatakan oleh Tn Forkorus Yaboisembut, S.Pd selaku
Presiden NFRPB yang juga adalah Ketua Umum DAP. Bentuk-bentuk non cooperatif (tidak kerja sama) dengan RI
dalam bentuk apa pun, antara lain: tidak menjual belikan tanah untuk
kepentingan pembangunan RI di Papua, tidak memberi ijin kepada investor asing
masuk membuka tambang apa pun jenisnya untuk merampas kekayaan di Tanah Papua
dan menutup semua perusahaan yang ada di Tanah Papua sebelum menuntaskan status
hukum dan politik bangsa Papua, tidak mensukseskan Pilkda dan Pemilu, dan
lain-lain.
Kita terus menerus menjadi korban konspirasi
kepentingan ekonomi dan politik dari negara-negara di dunia, khususnya Amerika,
Inggris, dan lainnya. Semua perusahaan tambang yang beroperasi di tanah Papua
menjadi tiang utama penopang Papua Barat dalam NKRI. Dengan demikian kita
dirugikan dan dikorbankan, sementara negara-negara yang menanam saham di Papua
mendapat keuntungan berlipat ganda.
Selain itu, negara-negara di dunia lebih memilih
menjaga hubungan kerja sama bilateral dengan RI karena Indonesia adalah salah
satu negara yang memiliki wilayah yang luas dan berpenduduk banyak yang
berpeluang besar bagi pasar dunia yang amat menjanjikan. Mereka lebih memilih
mengutamakan kepetingan pasar ekonomi, ketimbang mendukung gerakan pembebasan
bangsa Papua. Walaupun negara-negara dunia menyerukan perdamaian dunia, menyerukan
kebebasan, penegakan keadilan, Hak Asasi Manusia dan demokrasi; tetapi
kenyataannya seruan mereka tidak disertai dengan tindakan nyata (aksi nyata).
Kita dilupakan oleh negara-negara di dunia, bahkan negara-negara se ras
Malanesia dan negara-negara sekawasan Pasifik pun mengabaikan suara-suara kita
dan melupakan kita. Namun, pada akhir-akhir ini negara-negara kawasan Pasifik,
khususnya Negara-negara Malanesia mulai angkat bicara tentang masalah-masalah
Papua atas desakan masyarakatnya, baik LSM, Adat dan Agama di negara masing-masing. Harapan kita bahwa mereka
dapat menerima kita sebagai anggota resmi MSG dan atau menjadi peninjau, dan
selanjutnya MSG membawa status Papua ke tingkat PIF (Pasifik Islands Forum) dan
selanjutnya dibawa ke forum PBB. Itu harapan kita dan untuk itu kita doakan.
Tantangan
kelima adalah musuh dalam selimut. Musuh dari luar kita
bisa antisipasi dan menghindar, tetapi musuh dalam selimut sulit dihindari
karena modusnya tidak terbaca. Banyak orang asli Papua yang telah dipasang oleh
RI untuk melemahkan dan menghancurkan perjuangan kita. Setiap agenda-agenda
pertemuan bocor dan agenda-agenda itu gagal dilaksanakan dan atau itu pun
dilaksanakan, tetapi tidak mencapai hasil yang maksimal karena agenda-agenda
itu telah dibocorkan kepada sistem pertahanan NKRI dan melalui sistem-sistem RI
melakukan berbagai cara untuk menggagalkan rencana agenda-agenda kita.
NKRI dalam rangka menjaga kesatuan dapat memasang siapa saja, entah itu keluarga dekat, aktifis Papua tertentu, teman dekat, pihak agama/gereja tertentu, pihak LSM tertentu, teman kerja di kantor, buruh atau masyarakat umum yang ada di sekitar rumah dan aktifitas kita. Jadi musuh dalam selimut bagaikan pembajak untuk membajak perjuangan dari dalam, dan sistem pertahanan NKRI membajak perjuangan Papua dari luar. Dengan demikian, kita sulit bersatu dan sulit untuk mewujudkan agenda/program yang telah kita susun rapi.
Musuh dalam selimut ini bekerja hanya untuk
mencapai kepentingan ekonomi semata. Mereka adalah pengkhianat, musuh rakyat
dan musuh revolusi; mestinya kita tidak perlu melibatkan mereka lagi dalam
perjuangan luhur ini. Kita harus tegas dalam hal ini. Jangan kita memberi ruang
dan waktu kepada para pengkhianat ini untuk memainkan perjuangan ini.
Tantangan
keenam adalah kekurangan finansial, sarana dan
prasarana untuk menunjang gerakan pembebasan bangsa Papua. Perjuangan bangsa
Papua dapat dikatakan perjuangan yang paling miskin di dunia. Walaupun tanah
Papua kaya dengan kekayaan alam, tetapi kita belum memaksimalkan
potensi-potensi sumber daya alam untuk mendatangkan uang. Kita juga belum
memiliki sarana penunjang yang memadai. Tempat pertemuan, seperti Aula, mesin
foto copy, mobil khusus, motor khusus, kontor khusus yang dibangun sendiri saja
tidak ada. Ironis memang! Perjuangan sudah memakan waktu setengah abad lebih,
tetapi kita belum memiliki sarana umum yang digunakan khusus untuk perjuangan
ini. Akhirnya uang sedikit-sedikit yang kita dapat habis digunakan untuk
menyewa ruangan, foto copy, menyewa motor dan mobil, menyewa rumah untuk kantor
sekretariat, dll.
Rakyat bangsa Papua juga belum sepenuhnya
mendukung kita karena kita belum satukan mereka di bawah satu komando, satu
wadah bersama dan agenda/program. Masyarakat bangsa Papua sedang bigung hendak
mau ikut faksi/organ dan agenda/program yang mana. Tentu ada rakyat bangsa
Papua yang mendukung perjuangan ini, tetapi kita belum menggunakan dana-dana
itu secara tepat dan bertanggung jawab.
Tantangan
ketujuh adalah malas tahu dan bermasa bodoh, tidak mau kerja
keras, berpangku tangan saja, tahu memanfaatkan orang lain hanya untuk mencapai
kepentingan pribadi/kelompok, menunggu menerima hasil dari kerja keras orang
lain, tidak punya pendirian, mudah dipengaruhi, mudah menyerah, mudah
tersinggung, merasa senioritas/ superioritas, merasa punya kapasitas dan
menganggap yang lain tidak punya apa-apa, tidak mau mengakui kesalahan, tidak
menghargai yang lain, tidak rendah hati. Masih banyak mental lain dipraktekkan
dan itu melemahkan perjuangan kita. Itu bertanda bahwa nilai-nilai dasar
kebudayaan kita telah dihancurkan oleh Negara Indonesia. Ini fakta! Sungguh
menyedihkan. Kapan kita hendak mengubur mental-mental busuk ini?
Tantanggan
kedelapan adalah sistem pertahanan NKRI yang sudah tertata
rapi yang menerapkan strategi serta taktik yang terencana, terarah, sistematis
dan terkontrol di bawah komando presiden Republik Indonesia untuk menghadapi
perjuangan rakyat bangsa Papua. Ini tantangan terbesar. Tujuh tantangan di atas
adalah dampak dari segala manufer politik NKRI melalui sistem-sistemnya yang
didukung oleh sarana dan prasarana yang sangat memadai. Kita memang dilemahkan
oleh NKRI melalui sistem-sistemnya yang amat kuat dengan slogan politik
Indonesia: Devide et impera (pecah belah dan jajalah).
Kekuatan NKRI berada di TNI, Polri, BIN/BAIS,
birokrasi pemerintahan dan yang terakhir adalah islam radikal sebagai kekuatan
pelengkap serta didukung oleh kekuatan lembaga-lembaga non pemerintahan
tertentu dan ikatan-ikatan penguyuban non Papua tertentu. Selain itu, NKRI di
dukung oleh negara-negara di dunia melalui kerja sama bilateral, khusus kerja
sama di bidang ekonomi. Perusahaan-perusahaan tambang milik negara-negara
tertentu di dunia yang sedang beroperasi di tanah Papua adalah bukti dukungan
nyata mereka agar Papua tetap dalam NKRI. Mampukah rakyat bangsa Papua
menghadapi dan dapat mengusir NKRI ke luar dari tanah Papua?
HARAPAN
Jawaban dari pertanyaan menantang di atas adalah: Dengan keyakinan ku dari lubuk hati yang paling dalam saya katakan: Atas campur tangan Tuhan dan dengan dukungan masyarakat Internasional yang berhati mulia, bangsa Papua pasti akan mampu meraih kemenangan, yaitu kebebasan total. Itulah iman, harapan dan kasih: itulah kekuatan bangsa Papua.
Jawaban dari pertanyaan menantang di atas adalah: Dengan keyakinan ku dari lubuk hati yang paling dalam saya katakan: Atas campur tangan Tuhan dan dengan dukungan masyarakat Internasional yang berhati mulia, bangsa Papua pasti akan mampu meraih kemenangan, yaitu kebebasan total. Itulah iman, harapan dan kasih: itulah kekuatan bangsa Papua.
Dalam upaya penyelamatan etnis Papua tentu tidak
terlepas dari berbagai tantangan. Tak ada solusi, jika tidak ada masalah.
Justru karena ada masalah, maka ada solusi. Tantangan itu adalah masalah.
Tetapi dengan adanya tantangan itu, maka kita mencari solusi untuk mengatasi
tantangan.
Menurut tn Forkorus Yaboisembut, SP.d ada
beberapa kekuatan dunia, antara lain: 1) Iman dan taqwa (IMTAQ); 2) Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK); 3) Rakyat; 4) Uang; 5) Militer; 6) Media.
Dari enam kekuatan itu bangsa Papua memiliki: iman dan taqwa, ilmu pengetahuan
dan teknologi, rakyat, dan media. Sementara khusus uang dan militer, bangsa
Papua sangat lemah.
Negara Indonesia dan para negara tertentu di dunia beranggapan bahwa bangsa Papua tidak akan merdeka karena berbagai alasan. Tetapi saya katakan bahwa RI dan siapa pun yang beranggapan demikian, saya katakan bahwa mereka bukan Yahwe/Elohim/Tuhan. Bangsa Papua akan berhenti berjuang, apabila Tuhan melarang bangsa Papua untuk tidak berjuang. Di dalam Alkitab saya tidak pernah menemukan ayat perintah Tuhan yang mengatakan bahwa bangsa Papua tidak akan merdeka.
Bangsa Papua memiliki iman dan taqwa yang amat
mendalam, dan memiliki pengalaman rohaniah yang rumit dan amat panjang. Stengah
abad lebih bangsa Papua mengembara di bawah penindasan RI dan para sekutunya;
itulah pengalaman rohaniah itu. Seperti bangsa Israel mengembara di Padang
Gurun selama 40 tahun menuju tanah perjanjian, yakni tanah Kanaan yang penuh
susu dan madu; demikian pula bangsa Papua sedang mengembara di Padang Papua
selama setengah abad lebih menuju ke Tanah Nubuatan Papua, yaitu Kota Emas,
Papua Penuh Kemuliaan Tuhan.
Gerakan pembebasan Nasional Papua hari ini ada
karena Tuhan mendukung perjuangan bangsa Papua dengan misteri tetapi nyata dan
menggagumkan. Walaupun NKRI melalui sistem-sistem pertahanannya berupaya
menumpas gerakan Papua, tetapi gagal dan akan gagal terus karena Tuhan
mendukung penuh perjuangan bangsa Papua. Sesungguhnya bangsa Papua sudah
merdeka dari dalu, tetapi Tuhan sedang mematangkan iman orang asli Papua agar
dengan terang iman dapat memahami dan melihat kehendak Tuhan dan rancangan
Tuhan yang gilang gemilang untuk bangsa Papua.
Untuk memahami kehendak Tuhan tidaklah sulit jika
setiap orang asli Papua tidak mengeraskan hati dan merendahkan diri kepada
sesama dan Tuhan. Berkenaan dengan itu, persatuan dan pemulihan menjadi hal
utama dan terutama. Persatuan terkait dengan pemenuhan kebutuhan jasmaniah dan
pemulihan adalah menyangkut pemenuhan kebutuhan rohaniah. Persatuan terkait
bagaimana semua rakyat bangsa Papua, termasuk semua komponen perjuangan bersatu
dalam satu komando untuk satu tujuan, bersatu dalam satu organisasi yang
menjadi kendaraan politik bersama; dan bersatu dalam satu konsep ideologi
perjuangan dan agenda/program bersama. Dan pemulihan terkait bagaimana setiap
pribadi memulihkan dirinya sendiri, pemulihan diri dengan sesama manusia,
pemulihan diri dengan alam lingkungan, pemulihan diri dengan leluhur dan yang
terakhir adalah pemulihan diri dengan Tuhan.
Dua hal ini: persatuan dan pemulihan ini saling
kait mengkait dan paling menentukan dalam perjuangan ini. Sesungguhnya
persatuan menyeluruh (hollistic union) dan pemulihan menyeluruh (hollistic
recovery) adalah kekuatan kita yang tidak terkalahkan.
Masa depan bangsa Papua berada dalam rancangan
Tuhan, bukan berada dalam rancangan negara mana pun di dunia. Perjuangan bangsa
Papua adalah perjuangan penggenapan nubuatan Tuhan. Melalui para abdi-abdi-Nya,
Tuhan telah menubuatkan masa depan bangsa Papua. Berikut ini nubuatan Tuhan
melalui hambanya Pdt. I. S. Kejne: Di atas batu ini ku meletakan peradaban
bangsa Papua; Sekalipun bangsa lain membangun negeri ini dengan segala hikmat
dan mahrifat, tetapi mereka tidak akan mampu membangun negeri ini, dan suatu
saat bangsa ini akan bangkit untuk membangun dirinya, Autumeri, 25 Oktober
1928. Dan Pdt. Keijne pun melukiskan masa depan bangsa Papua dalam sebuah kisah
dalam buku seruling emas Papua, yakni kisah tentang Thom dan Regi yang di
dalamnya dikisahkan adanya kota emas, masa depan bangsa Papua.
Nubuatan termasyur yang diukirkan di atas sebuah
batu dan dalam buku seruling emas oleh Pdt.
I. S. Keijne adalah bukti bahwa bangsa Papua ada dan berjalan dalam
rancangan Tuhan. Karena itu, Tanah Papua adalah Tanah nubuatan, Tanah yang
telah diberkati oleh Tuhan. Buktinya bahwa Tanah Papua menyimpan harta karun,
antara lain berupa bahan-bahan mineral seperti emas yang tiada bandingnya di
dunia. Bergunung-gunung emas diam membisu dalam ibu bumi Papua dan siap untuk
dimanfaatkan. Pada saatnya semua kekayaan itu akan mengalir ke berbagai penjuru
dunia, memberkati bangsa-bangsa sebagai ungkapan rasa solidaritas untuk
menciptakan damai sejahtera di bumi seperti di Surga. Itulah harapan bangsa
Papua.
Ada pula nubuatan Tuhan kepada salah satu tahanan
Politik Papua, tn Sananay Kraar. Pada tanggal 18 Maret 2013 jam 18.30 - 19.00
WPB ia menonton berita. Berita di TV Lensa Papua memberitakan bahwa Pangdam
XVII Cendrawasih mengatakan: Batalion infantri 751 Sentani Jayapura statusnya
ditingkatkan menjadi Batalion Raider. Tugasnya adalah: 1) Pasukan penangkal,
pemukul cepat, dan bergerak secara rahasia untuk memukul siapa saja yang mau
merongrong kedaulatan NKRI di Papua; 2) Membasmi para penjahat di Papua di
Tingginambut, Sinak dan seluruh wilayah Papua. Ketika status itu diumumkan oleh
Pangdam di depan ribuan tentara, TV Lensa Papua menayangkan sambutan meriah
dengan yel yel sambil mengangkat senjata oleh para tentara infantri 751
menyatakan kesiapannya untuk menumpas orang Papua yang mau merdeka. Setelah
pulang menonton berita itu, tn Sananay Kraar merasa putus asah dan kecewa
karena rakyat bangsa Papua yang sedang berjuang untuk kebebasan total akan dibantai dan dimusnahkan oleh tentara pemukul itu. Pada malam hari ia
berdoa menyerahkan masalah ini kepada Tuhan. Kemudian pada subuh hari Selasa,
19 Maret 2013 mendapat penglihatan dalam bentuk mimpi, ia melihat ada tulisan
Kitab Yesaya pasal 29. Ia bangun dan membaca pasal Alkitab itu. Dalam pasal itu
terdapat tiga perikop. Perikop pertama, Yerusalem terkepung tetapi diselamatkan;
perikop kedua, Bangsa yang buta; dan perikop ketiga, keselamatan sesudah
penindasan. Inti dari penglihatan itu terdapat pada Kitab Yesaya pasal 29 ayat
5 yang berbunyi: Akan tetapi segala pasukan lawanmu akan hilang lenyap seperti
abu halus, dan semua orang yang gagah sombong akan menjadi seperti sekam yang
melintas terbang. Sebab dengan tiba tiba, dalam sekejap mata. Inilah nubuatan
Tuhan dan Sananay Kraar meyakini bahwa nubuatan ini pasti akan digenapi. Ada
pula tertulis dalam Kitab Roma: Jika Tuhan dipihak kita, siapakah yang berani
melawan kita?
Camkanlah bahwa rakyat bangsa Papua itulah
kekuatan yang tidak terkalahkan. Pada rakyat bangsa Papua telah memiliki iman
dan taqwa, memiliki Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta media. Itulah satu kesatuan
kekuatan kita. Jika ada masyarakat, maka ada uang. Namun, saat ini kekuatan
uang belum diatur mekanisme sumbangan sukarela yang baku, karena organisasi
perlawanan belum tertata rapi sampai di tingkat kampung. Termasuk sayap militer
pun masih lemah karena beberapa alasan.
Satu hal yang menjadi kekuatan yang tidak
terkalahkan adalah rakyat bangsa Papua sudah bertekad bulat untuk berdaulat
penuh (merdeka). Tekad itulah modal utama dan itulah nasionalisme. Jika tidak
ada tekad dalam diri orang Papua, jika tidak ada nasionalisme ke-papua-an, maka
bagaimana mungkin gerakan ini dapat bertahan? Tekad untuk Papua berdaulat
itulah kerinduan kita. Dengan adanya kerinduan yang satu dan sama untuk Papua
merdeka penuh, maka ada harapan bahwa pada suatu saat nanti, setelah semua
pihak sadar akan betapa pentingnya persatuan menyeluruh dan pemulihan
menyeluruh, pada saat itulah kita akan menjadi satu-kesatuan utuh yang tidak
dapat terkalahkan, dan maju melangkah bersama dengan jalan damai sesuai
keputusan Kongres Bangsa Papua pada tahun 2000 bahwa mengawal perjuangan Papua
dengan jalan damai.
Walaupun negara Indonesia menerapkan berbagai
strategi dan taktik untuk membunuh tekad dan nasionalisme kita dengan politik
devide et impera (pecah belah dan jajahlah), antara lain melalui
operasi-operasi militer terbuka dan tertutup, pemekaran-pemekaran yang makin
tumbuh subur di Tanah Papua, penerapan UU Otsus Papua dan Unit Percepatan
Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), tetapi tekad (komitmen) rakyat bangsa
Papua untuk berdaulat penuh tetap kokoh. Tekad itu adalah antara hidup atau
mati, artinya kemauan untuk Papua berdaulat penuh itu tidak dapat ditawar-tawar
lagi dan berjanji berjuang sampai titik darah penghabisan.
Berbagai tawaran murahan, seperti penerapan UU OTSUS
Papua dan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) di Tanah
Papua bukanlah solusi final bagi penyelesaian masalah-masalah Papua. Solusi
final adalah bangsa Papua berdaulat penuh. Solusi itulah yang ada dalam hati
dan itu menjadi kerinduan bangsa Papua dan para solidaritas masyarakat
Internasional. Camkanlah bahwa masalah Papua bukan masalah kesejahteraan,
tetapi bagaimana menegakkan harga diri bangsa Papua, bagaimana mengembalikan
hak kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua yang telah dirampas oleh NKRI dengan
cara-cara kotor dan tidak beradab.
Memang kami tidak punya kekuatan, seperti apa
yang dimiliki oleh NKRI, kami hanya punya iman dan taqwa, kami punya ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dapat menunjang, kami punya rakyat, dan punya media;
dan memang dalam hal uang dan militer kami lemah, tetapi kami punya tekad untuk
berjuang dengan damai, kami punya tekad untuk berubah, kami punya keyakinan
yang kuat untuk mencapai kerinduan bangsa Papua dan itulah kekuatan kami yang
tidak terkalahkan dengan kekuatan apa pun.
Kami percaya pada kekuatan yang ada pada kami
walaupun itu menurut ukuran Negara Indonesia tidak sebanding dengan kekuatan
yang RI miliki. Tetapi ingatlah bahwa ada kekuatan yang sangat sulit dikalahkan
oleh RI dan siapa pun yang dimiliki rakyat bangsa Papua adalah iman (doa) dan
harapan, nasionalisme dan tekad untuk Papua berdaulat penuh.
Bangsa Papua juga memiliki kekuatan pelengkap
lain, yaitu dukungan masyarakat Internasional. Dukungan mereka dapat memotivasi
rakyat bangsa Papua untuk tetap berjuang. Mereka mendukung gerakan pembebasan
tanpa pamrih. Sebagian dari mereka mendukung dengan cara memberikan pengorbanan
moril maupun materil. Mereka menjadi sayap keempat dalam gerakan perjuangan
ini. Upaya mereka memberikan warna tersendiri kepada sayap sipil, militer dan
diplomat. Ada pula dari mereka memberikan saran yang berguna kepada ketiga
sayap yang ada.
Mereka terpanggil mendukung gerakan pembebasan
hanya semata-mata karena kemanusiaan. Karena itu sebutan yang tepat bagi mereka
adalah masyarakat solidaritas Internasional. Mereka bersolider kepada orang
asli Papua yang sedang mengalami diskriminasi, dimarginalisasi, mengalami
ketidak-adilan, menjadi minoritas dan yang sedang menuju kepunahan etnis Papua.
Mereka menginginkan bangsa Papua terbebas dari segala bentuk tirani.
Satu hal yang mereka tertarik mendukung Papua
adalah karena bangsa Papua menempuh perjuangan dengan jalan damai. Karena
perjuangan dengan jalan damai adalah perjuangan kudus dan murni. Walaupun NKRI
melalui sistem-sistemnya menerapkan berbagai strategi dan taktik untuk menumpas
gerakan Papua, tetapi bangsa Papua tetap berjuang dengan damai, dan hal ini
memotivasi solidaritas masyarakat internasional untuk mendukung Papua. Di
antara mereka ada yang kecewa jikalau bangsa Papua menempuh perjuangan dengan
kekerasan. Maka itu, ada pula di antara mereka tidak segan-segan memberi saran
kepada aktifis Papua untuk tetap berjuang dengan damai.
Mereka memberi apresiasi kepada aktifis Papua
yang sungguh-sungguh mengabdikan hidupnya bagi perjuangan Papua. Di antara
aktifis Papua tertentu mendapat penghargaan dari masyarakat internasional non
pemerintah. Salah satu aktifis yang juga tokoh Gereja Papua yang mendapat
penghargaan dari Yayasan Keadilan dan Perdamaian Tji Hak-soon di Korea Selatan
adalah Dr. Neles Kebadabi Tebai, Pr pada tanggal 13 Maret 2013. Penghargaan ini
diberikan atas upaya kerasnya sebagai penanggung jawab dan koordinator Jaringan
Damai Papua (JDP) dalam mendorong Dialog Jakarta-Papua. Penghargaan ini membuka
mata dunia bahwa di Papua ada berbagai masalah yang harus ditangani dan
diselesaikan melalui perundingan atau dialog yang setara antara Papua dan
Indonesia yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral sesuai standar
Internasional. Masyarakat Internasional tentu memberikan apresiasi dengan
penghargaan yang didapat Dr Neles Kebadabi Tebai, Pr. Mereka berharap masalah-masalah Papua dapat diselesaikan dengan bermartabat melalui
jalur diplomasi dan dialog atau jalur-jalur resmi lain di PBB.
Masyarakat solidaritas Internasional kecewa
jikalau ada orang Papua yang menjadikan perjuangan Papua hanya untuk mencapai
kepentingan pribadi. Mereka juga kecewa karena bangsa Papua tidak bersatu.
Tetapi mereka solid mendukung kita. Di antara mereka memberi saran kepada
aktifis Papua betapa pentingnya membangun persatuan nasional Papua Barat. Selain
itu, ada pula yang mengatakan mereka bingung mendukung agenda yang mana: apakah
refrendum, pengakuan atau menuju ke komisi dekolonisasi? Walaupun aktifis Papua
mengusung agenda yang berbeda-beda, tetapi mereka juga mengatakan bahwa kami
tahu tujuan perjuangan Papua adalah untuk merdeka penuh.
Mereka akan pasti memberi apreasisi
setinggi-tingginya jikalau pada suatu saat nanti bangsa Papua bersatu. Karena
kesatuan bangsa Papua akan memotivasi mereka untuk meningkatkan tekanan ke
negara mereka untuk memperhatikan dan menyelesaikan masalah-masalah di Papua.
Juga kesatuan bangsa Papua akan memberi sinyal kepada masyarakat Internasional
bahwa Papua sudah siap berdaulat penuh. Dengan demikian, solidaritas masyarakat
Internasional tidak akan bingung lagi karena kita telah bersatu dalam satu
konsep ideologi perjuangan, agenda dan program kerja bersama, bersatu dalam
satu organisasi sebagai kendaraan politik bersama (tanpa membubarkan
faksi/elemen gerakan yang ada), dan bersatu dalam kepemimpinan sentral sebagai
penanggung jawab politik bangsa Papua. Jika kita bersatu, maka kerja-kerja para
solidaritas masyarakat Internasional akan lebih terarah dan terfokus. Saat ini
mereka sedang menunggu kapan bangsa Papua akan bersatu?
Harapan mereka untuk kita bersatu agar segera
kita keluar dari penindasan adalah merupakan harapan kita bersama. Mari
saudara-saudari se-bangsa dan se-tanah air bangsa Papua di mana saja anda
berada, kita konsolidasi bersatu menjawab harapan solidaritas masyarakat
internasional. Karena persatuan nasional adalah faktor terpenting dalam
perjuangan bangsa mana pun. Bagaimana mungkin kita mau merdeka jika kita tidak
bersatu? Setelah merdeka pun dibutuhkan kesatuan nasional agar bangsa dan
negara itu tetap kokoh. Jika tidak ada kesatuan nasional, maka bangsa-bangsa
yang kuat pun akan goyah karena unsur kesatuan terpenting tidak stabil.
Persatuan nasional akan memberikan kestabilan kehidupan suatu bangsa dan negara.
Sekali lagi mari kita bersatu di bawah satu komando untuk satu tujuan yakni
menuju kemenangan akhir, menuju kemenangan iman.
Mari kita kompromi politik internal bangsa Papua
dan bersatu dalam Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) sebagai kendaraan
politik bersama untuk menuju ke mekanisme Internasional untuk mendapatkan
pengakuan secara de jure melalui jalur hukum atau jalur diplomasi dan dialog atau
jalur resmi lain di PBB. Ini hanyalah bersifat tawaran saja agar kita
mempercepat dan tiba di pelabuhan kebebasan total. Persatuan dan pemulihan kita
adalah kekuatan kita. Akhirnya, keselamatan jiwa-jiwa yang dibelenggu tirani
penindasan adalah hukum tertinggi.
“Persatuan Tanpa Batas, Perjuangan Sampai Menang”
Penulis: (Ketua Umum Front Persatuan Perjuangan Rakyat
Papua Barat, Juga tahanan politik Papua Barat di Penjara Abepura - Japura -
Papua Barat).
Publisher by
Group Justice and Peace in Land of Papua: Abepura, 26 Maret 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar