Sabtu, 30 Maret 2013

CAGAR ALAM PAPUA MENJADI ANCAMAN KEHANCURAN


Cagar Alam Panua, Dulu Rumah Maleo Kini “Istana” Tambang dan Perkebunan

Oleh Christopel Paino (Kontributor Sulawesi),  March 9, 2013 
 
Cagar Alam Panua, dengan luas menyusut dari 45.575 hektar menjadi 36.575 hektar, dengan RTRW baru pada 2010. Nasib cagar alam ini pun di ambang kehancuran. Foto: Christopel Paino
Dulu, di cagar alam ini pernah menjadi ‘rumah’ paling besar bagi maleo. Saking banyak burung endemik Sulawesi ini di sini, satu desa diberi nama Desa Maleo. Bahkan, Panua, dalam bahasa Gorontalo, berarti Maleo. Kini, Cagar Alam Panua, di ambang kehancuran, habitat maleo dan species lainpun mengkhawatirkan.
Siang akhir Februari 2013, cahaya mentari memantulkan sinar di pasir putih. Panas terik. Namun, panas mentari tak menyurutkan langkah Daud Badu. Dia terus menjejakkan kaki melewati hutan dan pasir pantai menuju lokasi penangkaran telur maleo (Macrocephalon Maleo). Dia menjelajah di Cagar Alam Panua.
Usianya 44 tahun. Dia dulu pemburu, awal 2012, direkrut Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Gorontalo. Kini, dia bertugas memantau lokasi penangkaran telur Maleo di Cagar Alam Panua.
Daud memiliki kelebihan yang sulit ditandingi warga lain: mampu menebak tempat bertelur maleo. Padahal, setiap bertelur, burung langka khas Sulawesi ini membuat dua atau lebih tempat bertelur palsu. Bahkan Daud mampu membedakan mana tempat bertelur maleo dan mana gosong (Eulipoa wallacei), yang bertelur di lokasi sama.
Setelah tiba di lokasi penangkaran telur maleo sekitar enam hektar, Daud langsung menggali. Tangan terus mengais-ngais pasir yang dalam mencapai setengah meter itu.  “Kalau ini telur burung Gosong,” katanya.
Dia lalu memperlihatkan temuan dua butir telur gosong. Gosong dikenal salah satu burung endemik Sulawesi. Bentuk tubuh hampir menyerupai maleo. Namun telur lebih kecil.
Usai mendapatkan telur burung gosong. Daud melanjutkan penggalian di lokasi lain. Di tempat ini, ada puluhan lubang maleo. Sangat sulit mendeteksi tempat  bertelur asli. “Kalau yang ini telur maleo. Usia baru tiga hari.”
Daud memperlihatkan, dua butir telur maleo dengan besar tiga kali lipat dari telur ayam. Menurut dia, telur maleo akan menetas pada usia satu bulan lima hari. Ketika menetas, anak maleo langsung terbang tanpa harus belajar terlebih dahulu seperti burung lain.
Sejak bekerja sebagai penangkar telur dan pelestari maleo, Daud telah berhasil menangkar sebanyak 150 butir selama 2012. Semua menetas dengan baik. Menariknya, selain telur maleo, Daud ikut menangkar penyu di Cagar Alam Panua ini.
Banyak yang tak begitu kenal dengan Cagar Alam Panua di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Namun, di kawasan hutan dengan garis pantai indah ini, dulu merupakan habitat terbesar maleo di Sulawesi. Bahkan, nama Panua, diambil dari bahasa Gorontalo, yang berarti maleo. Karena begitu banyak maleo, sebuah desa yang berbatasan langsung dengan cagar alam ini dinamakan Desa Maleo.
Sayangnya, nasib Cagar Alam Panua kini tak sesuai nama lagi. Populasi si burung endemik Sulawesi yang makin langka dan di ambang kepunahan ini, dari tahun ke tahun makin menurun. Selain gangguan predator, alih fungsi dan keserakahan manusia merusak hutan menjadi ancaman terbesar maleo dan Cagar Alam Panua. Belum lagi perburuan telur maleo yang diyakini bisa menyembuhkan penyakit, dilakukan sembunyi-sembunyi.
Tatang Abdulah, Kepala Resort di Cagar Alam Panua, mengatakan, luas hutan Panua 45.575 hektar sesuai SK Menteri Kehutanan nomor 471/Kpts-11/1992. Namun, luas ini menyusut ketika disahkan rencana tata ruang wilayah Gorontalo tahun 2010 menjadi 36.575 hektar. Perubahan kawasan Cagar Alam Panua ini diputuskan melalui SK Menteri Kehutanan nomor 325/Menhut-11/2010 tentang penunjukan kawasan hutan Gorontalo.
Sesuai kajian tim terpadu pada 2007, kata Tatang, cagar alam ini dialih fungsi menjadi kawasan pertambangan, perkebunan, dan tata hutan kota. Padahal, pihaknya tidak memberikan rekomendasi untuk perubahan kawasan.
Menurut Tatang, selain menjadi habitat maleo, di cagar alam ini bisa ditemukan penyu tempayan, penyu sisik, penyu belimbing, julang Sulawesi (rangkong), babi rusa, anoa, tarcius, monyet Sulawesi, dan berbagai jenis anggrek.
BKSDA mengalami kendala kekurangan personil dan tidak ada pos jaga. Untuk memantau penyu pada malam hari mereka sangat kesulitan. Belum lagi di lokasi penangkaran maleo, kerap kali dimasuki ternak lepas, seperti sapi milik warga. “Banyak masalah di cagar alam ini. Ada perburuan rangkong, pencurian telur maleo dan masih ada meski sedikit, juga peladang berpindah-pindah. Namun ancaman paling besar adalah alih fungsi hutan untuk pertambangan dan perkebunan,” ucap Tatang.
Saat ini, Tatang maupun Daud, hanya bisa berharap, Cagar Alam Panua mendapat perhatian serius, baik pemerintah pusat juga daerah.
Pasir pantai yang panjang nan indah, dulu rumah dan tempat bertelur maleo yang aman. Bahkan, dulu, kawasan ini merupakan tempat tinggal terbesar burung endemik Sulawesi ini. Sampai-sampai, nama cagar alam ini Panua, berarti Maleo. Foto: Christopel Paino.
Daud memegang telur maleo. Dulu, kawasan pasir pantai di Cagar Alam Panua, adalah surga maleo berkembangbiak. Namun, kini tinggal kenangan. Tak hanya maleo yang terancam, habitat satwa endemik Sulawesi, yang ada di sini mengalami nasib sama. Alih fungsi kawasan hutan menjadi tambang dan perkebunan, mengancam habitat mereka. Foto: Christopel Paino
Telur gosong, jenis burung yang juga bertelur di pantai sepanjang Cagar Alam Panua. Foto: Christopel Paino


Sumber :http://www.mongabay.co.id/2013/03/09/cagar-alam-panua-dulu-rumah-maleo-kini-istana-tambang-dan-perkebunan/#ixzz2P5gvGKmS

Tidak ada komentar: