Jumat, 20 Februari 2015

OSCAR ROMERO DAN POLITIK KANONISASI

Oscar Romero dan politik kanonisasi

11/02/2015
Oscar Romero dan politik kanonisasi thumbnail
P.William Grimm, MM
Pada 30 Oktober 1984 jasad Pastor Jerzy Popieluszko ditemukan di sumber air di Polandia. Imam yang tegas dan dikenal secara internasional dalam menentang regim komunisme, dianiaya hingga tewas oleh agen polisi keamanan pemerintah.
Tidak lama setelah itu, petugas di Vatikan, kemungkinan untuk  mencari perhatian dari paus asal Polandia [Yohanes Paulus II], meminta agar Popieluszko dikanonisasi sebagai martir. Dia kemudian dibeatifikasi tahun 2010, 25 tahun setelah kematiannya.
Pada 24 Maret, 1980, Uskup Agung San Salvador Mgr. Oscar Romero ditembak secara keji di altar ketika sedang merayakan Misa. Uskup agung yang tegas dan dikenal secara internasional menentang penidasan dan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah El Salvador terhadap rakyatnya sendiri.
Saat ini, 35 tahun setelah dia ditembak, Paus Fransiskus mengatakan bahwa  kemartiran Romero  dan proses pengakuan atas dirinya sebagai orang kudus sudah semestinya dipercepat setelah mengalami penundaan di Vatikan.
Jelaslah bahwa jika Paus Fransiskus yang berasal dari Amerika Latin tidak menindaklanjuti proses tersebut, Romero akan selamanya terkubur dalam dokumen-dokumen di lemari Vatikan seperti halnya namanya terukir di katedral di San Salvador.
Penundaan itu tidak masuk akal karena di seluruh Amerika Latin bahkan di seluruh dunia Romero bahkan sudah dianggap sebagai seorang orang kudus. Gereja Anglikan bahkan telah menetapkan hari dalam kalendernya untuk menghormati Romero, juga Gereja Lutheran. Gereja Katolik yang ia layani akhirnya harus mengejar ketertinggalan baik dengan umat Katolik sendiri maupun non-Katolik dalam mengakui salah satu martirnya.
Mengapa tertunda? Jawabannya hanya satu kata: politik.
Selama ini kemartiran dan politik sangat berhubungan erat. Kemunculan fundamentalis Hindu dan Islam akhir-akhir ini yang membunuh banyak orang Kristen, biasanya dilakukan lebih dengan alasan politik daripada agama.
Pada zaman Kekaisaran Romawi, orang-orang Kristen yang menolak untuk mengikuti ritual menyembah kaisar dihukum karena dianggap sebagai ancaman bagi sistim politik ketika itu. Di Jepang pada abad ke-17, orang-orang Kristen dibunuh sebagai ‘fifth column’ yang mendukung kolonialisme Eropa. (“Firth coloumn” adalah istilah untuk sekelompok orang yang tidak setuju dengan kelompok yang lebih besar, misalnya negara)
Popieluszko dan Romero tidak dibunuh ketika mereka karena mereka berdoa. Mereka dibunuh karena doa-doa mereka mendorong mereka untuk menentang sistim politik yang menindas.
Akan tetapi, politik tidak hanya menjadi perhatian para pembunuh. Proses penentuan sebagai orang kudus pun ditandai, dan kadang-kadang dinodai, oleh politik.
Sebagai contoh Joan of Arc, yang dibakar hidup-hidup oleh Inggris setelah dia memimpin pasukan melawan mereka. Pengadilan dan hukuman atas dirinya sangat politis. Apa yang dia lakukan juga sangat politis. Dia tidak memimpin pasukan atas nama Kerajaan Allah, tetapi atas nama Kerajaan Prancis dan pengangkatan Charles VII sebagai penguasa.
Kanonisasi Joan of Arch juga mengadung aspek politik. Kendati dia dieksekusi tahun 1431, kanonisasi atas dirinya baru dilakukan tahun 1920. Ada banyak upaya selama bertahun-tahun oleh orang-orang Katolik di Prancis agar Joan dikanonisasi. Akan tetapi mengapa baru dilakukan hampir setengah abad setelah kematiannya?
Ada jawaban sedikit atas tahun tersebut, setelah Perang Dunia I dan Revolusi Rusia berakhir.
Pada satu titik selama pembantaian besar-besaran hampir setengah dari desa-desa di Front Barat Prancis memberontak. Meskipun dorongan utama dari pemberontakan itu adalah semangat para pasukan yang terus menerus dikirim untuk dibunuh, elemen lain yaitu kabar tentang revolusi yang akhirnya menyebabkan munculnya pemerintahan komunis di Rusia.
Mungkinkah kanonisasi Joan setidaknya sebagian sebagai langkah politik untuk mengembalikan kebanggaan Prancis dalam tradisi militer, dan sebagian lagi melawan komunisme, yang merupakan induk ateisme?
Hal ini membawa kita kembali kepada reaksi Vatikan yang kontras terhadap para pembunuh Popieluszko dan Romero.
Pastor Polandia itu secara terbuka menentang sistim politik komunis.
Uskup Agung Salvador sedang menghadapi system politik yang menentang komunisme dan mengaku membela Gereja dan masyarakat dari pengaruh teologi pembebasan sayap kiri.
Akan tetapi, kenyataan bahwa Romero memihak orang-orang yang sama yang juga dibela oleh ateis sayap kiri atau mengakui memihak -yakni orang-orang yang tidak punya kekuatan apa-apa, orang miskin, yang tertindas, terpinggirkan, telah membuatnya seseorang yang dicurigai di Roma.
Vatikan akan dengan sendirinya lebih ramah kepada imam Polandia yang menentang para pemberontak yang tak bertuhan.
Tidak bisa dipahami bahwa pembunuhan atas seluruh desa dan pembunuhan terhadap uskup agung, tidak peduli apapun alasan para pelaku, hanya dilihat sebagai tindakan yang tidak berketuhanan.
Tetapi, ketegasan Romero menggangu para uskup di Roma yang secara fisik merasa nyaman, membuat secara moral tidak nyaman oleh apa yang tampaknya mendukung kritik sayap kiri. Itu makanya kanonisasi Romero tidak ke mana-mana, bahkan ketika orang-orang El Salvador mengikuti kebiasaan kuno, secara de facto kanonisasi lokal.
Sekarang kita punya paus yang meningatkan kita bahwa perdamaian sejati tidak “bertindak sebagai dalih untuk membenarkan suatu struktur sosial yang membungkam atau menindas orang miskin, sehingga orang yang lebih kaya bisa dengan tenang mendukung gaya hidup mereka, sementara yang lain harus berjuang keras untuk bertahan hidup.
Tuntutan yang melibatkan distribusi kekayaan, kepedulian terhadap orang miskin dan hak asasi manusia tidak bisa ditekan dengan kedok menciptakan konsensus di atas kertas atau perdamaian sementara untuk kelompok minoritas yang puas. Martabat pribadi manusia dan kebaikan bersama lebih tinggi dari kenyamanan mereka yang menolak untuk menanggalkan keistimewaan mereka. Ketika nilai-nilai ini terancam, suara kenabian harus dinaikkan. (Evangelii Gaudium, 218)
Pastpr Jerzy Popieluszko dan Uskup Agung Oscar Romero sudah meninggikan suara kenabian itu.
Pada akhirnya, apakah bertujuan meredakan bos Amerika Latin mereka atau karena telah menyadari bahwa politik mereka sendiri telah menghambat Gereja dalam mengenali martirnya, birokrat Vatikan melanjutkan kanonisasi Oscar Romero.
Gereja tidak akan membuat Romero lebih suci dari orang-orang kudus lainnya. Jawaban mereka terhadap rahmat Tuhanlah yang menentukannya. Gereja hanya mengakui teladannya dan menyatakan kepada dunia sebagai orang yang layak ditiru; dan itu akan memiliki dampak politis bagi mereka yang percaya.
P. William Grimm, MM adalah publisher ucanews.com, dan tinggal di Tokyo.

Tidak ada komentar: