SAYA MENULIS, MAKA SAYA ADA
(“Sebuah Refleksi yang Disampaikan dalam Seminar
Perkenalan Pelajar dan Mahasiswa/i pada 28 September 2013[1]”)
Oleh
Santon Tekege
Dalam konteks di Papua, gaya berkata-kata
menjadi makanan harian. Menurut orang Papua hal cerita sebagai habitus harian
mereka. Dalam banyak permasalahan yang terjadi di Papua selalu diungkapkan
dalam bentuk cerita dan obrolan biasa. Karena orang Papua tak berbudaya untuk
tulis menulis.
Dalam situasi ini, mesti dikatakan demikian
karena memang banyak yang tidak terbiasa dengan tulis menulis. Tetapi kalau
disuruh cerita, kata-katanya sistematis dan terstruktur. Karena itu, saya
menyampaikan beberapa langkah yang mesti dibuat oleh setiap kita untuk menjadi
penulis yang hebat di publik.
a. Prinsip Dasar
Dalam budaya orang Papua, tulis menulis
merupakan bukan habitusnya. Karena itu, orang Papua selalu biasakan dengan gaya
cerita dan obrolan. Tetapi perkembangan globalisasi dalam modernisasi ini
menantang setiap kita untuk menulis dan terus menulis. Apalagi begitu banyak
permasalahan yang terjadi di sekitar kita, membuat dan menantang untuk terus tulis
bukan gaya berbicara tanpa catatan.
Memang dalam menulis sesuatu itu selalu ada
keraguan dan kebingungan[2]. Bagi mereka yang sudah
terbiasa menulis di surat kabar maupun menjadi penulis buku, sangat mudah dan
tidak sulit karena menjadi habitusnya. Tetapi menulis bukan sesuatu yang turun secara
tiba-tiba dari langit tetapi membutuhkan latihan. Misalnya sorang anak latihan anak
panah untuk berburu, sering panahnya tidak kena sasaran pada kuskus atau
burung yang hendak berburu tetapi setelah latihan akhirnya bisa tembak anak
panahnya kena sasaran pada binatang buruan. Contoh selanjutnya ketika belajar
mengendarai sepeda, awalnya didorong kemudian mencoba menaiki walau kadang
terjatuh, kemudian dengan motivasi yang tinggi bangkit kemudian mampu mengendarai
sampai akhirnya bisa.
Dengan demikian buanglah pandangan yang keliru
dalam konsep “jika saya cerita, maka saya ada”. Karena konsep ini tidak relevan
dalam konteks globalisasi modern di Papua saat ini. Maka dari itu, kita mesti
memajukan prinsip dasar yakni “saya menulis, maka saya” bukan “saya cerita,
maka saya ada”.
b. Setia Pada Ide
Cara berpikir setiap orang selalu beda. Begitu
pun setiap orang selalu mempunyai banyak ide-ide cemerlan. Ide yang bagus
biasanya muncul secara tiba-tiba tanpa terencana tetapi juga ide yang bagus
itu, cepat hilang dan berganti ide yang baru atau ide lain. Karena itu ketika
muncul ide, tuliskanlah sesegera mungkin di kertas anda, buku harian anda,
agenda atau di komputer/laptof anda. Maka dari itu setialah dan hargailah ide
sekecil apa pun muncul dalam akal budi setiap kita. Sekecil apa pun
sebuah ide adalah tak dapat dibeli karena dengan mahal harganya sebuah ide itu.
Jika kita sesudah memiliki ide, apa yang kita tulis? Entahlah ide-ide yang muncul dalam hati dan
pikiran kita itulah yang kira tuliskan. Untuk menuliskan itu, memulai dari hal
kecil misalnya melalui mengisi buku harian, menulis peristiwa yang kita lihat
dan rasakan ataupun peristiwa yang dirasakan penting dan menarik. Kalau sudah
terbiasa akan sedikit membantu kita, kita akan semakin terbiasa. Maka itu,
gunakanlah ide sekecil apa pun atau pengalaman yang dialaminya. Kemudian
setialah pada ide itu lalu menuliskannya dalam catatan harianmu untuk menulis tulisan-tulisan
yang lebih besar di publik.
c. Langkah-Langkah Konkrit
Beberapa criteria penulis menuliskan sebuah
berita atau isu yang menjadi perhatian baginya. Misalnya seorang jurnalis bapak
Ermanto dalam salah satu buku
berjudul Menjadi Wartawan Handal dan Profesional berpendapat bahwa,
kerja wartawan yang paling banyak dan paling berat sebenarnya bukanlah terletak
pada penulisan berita, akan tetapi dalam hal pengumpulan data dan fakta. Wartawan
harus menggali data-data dan fakta-fakta serta mengumpulkan sebagai modal dasar
untuk menjadi berita. Metode yang mesti dikembangkan dalam menganalisis suatu
berita yakni: pengamatan langsung
wartawan, informasi lisan dari orang-orang, dan informasi tertulis/bahan-bahan
tertulis dengan mempertanyakan melalui rumus “5W + 1H”. Apa itu?
Ø Siapa “who” : Siapa yang diberitakan
dalam berita itu. Kemudian Dapatkanlah nama lengkap dari orang-orang yang
terlibat.
Ø Apa “what”: Apa permasalahan atau kejadian
yang terdapat dalam berita.
Ø Kapan “when”: Kapan
kejadiannya? Catatlah hari dan waktu dari peristiwa itu.
Ø Di mana “where”: Di mana
lokasinya kejadianya. Lalu dapatkan lokasi kejadian dan gambarkanlah.
Ø Mengapa “why”: Mengapa
terjadi peristiwa itu. Mengerti apa yang menjadi penyebab peristiwa itu. Apa
yang menyebabkan konflik dan bila ada bagaimana pemecahannya.
Ø Bagaimana “how”: Bagaimana
berlangsungnya peristiwa itu. Cari lebih banyak informasi tentang peristiwa itu.
Bagaimana itu bisa terjadi. Berita yang
tidak memenuhi persyaratan teknis akan membingungkan pembaca, karena tidak
tersaji dengan lengkap. Maka itu, memperjelas pembaca, gunakanlah : “5W + 1H”.
Penutup
Dalam tulisan ini, kita
ditantang untuk pentingnya tulis menulis karena orang Papua tidak berbudaya
untuk tulis-tulis. Budaya orang Papua kaitan dengan menulis adalah gaya obrolan
atau cerita satu sama lain di sekitarnya. Budaya berbicara tanpa konsep atau
gagasan yang ada di bibir mulut mesti dirubah dengan budaya angkat pena. Begitupun
budaya konsep “saya cerita, maka saya ada” mesti dirubah menjadi “saya menulis,
maka saya ada” dan katakanlah bahwa “jika saya tidak tulis, maka orang lain pun
tidak menulis”, karena itu biasakanlah untuk menulis mulailah dari kecil menuju
menulis yang lebih besar. Demikianlah!!!
[1] Sebuah refleksi yang disampaikan
dalam seminar SIMAPITOWA, sejak 28 September 2013.
[2] Sebelum menulis
orang sering ragu dan bingun dengan dirinya dan tulisannya, jangan-jangan
dibaca orang lain. Demikian pun ketika tulisan sudah jadi dan siap untuk dipublikasikan ke
berbagai media local dan nasional bahkan ke tingkat Internasional, keraguan dan
kebingungan sering muncul. Hal ini terjadi karena takut, malu dikritik dan atau
dikoreksi orang lain, takut dibilang tata bahasanya kurang baik, atau tulisan kita tidak kontesktual. Hal
seperti itu tidak perlu dipikirkan. Justru akan bermakna positif bila kritik
dan ketakutan itu kita maknai sebagai kekuatan dalam proses tulis menulis
menjadi penulis yang hebat di public. Keraguan dan kebingungan sebagai pedang
atau senjata, sehingga membuat kita takut, tidak percaya diri, takut ditolak
itu karena merasa kalimat kita tidak bagus atau tidak menarik dalam menguraikan
ide dan gagasan. Tidak harus merasa rugi, ragu dan takut atau kebingungan karena
sudah tentu menambah poin tersendiri dalam proses latihan tulis
menulis. Maka, pada saat seperti ini setia pad aide dan tulisan kita itu paling
utama. Tidak ada kata menyerah, harus teruslah dicoba dan terus dicoba dalam
perjalanan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar