Minggu, 13 Oktober 2013

DI HARI DEMOKRASI INTERNASIONAL, PAPUA DIBUNGKAM LAGI (oleh Selpius Bobii_Prisoner Abepura Papua, Indonesia


Di Hari Demokrasi Internasional, Papua Dibungkam Lagi!


Oleh: Selpius Bobii.    

Penjara Abepura, 20 September 2013


Tanggal 15 September adalah hari Demokrasi Internasional. Di seluruh dunia merayakan hari Demokrasi itu dengan berbagai macam cara dan bentuk. Di Tanah Papua pada tanggal 16 September 2013 menggelar demonstrasi untuk memperingati hari Demokrasi Internasional yang jatuh pada Minggu 15 September 2013. Demonstrasi itu dikoordinir oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Namun pihak kepolisian setempat membungkam aksi damai itu. Di hari itu terjadi pembubaran aksi damai dan penangkapan sewenang-wenang di beberapa daerah di Tanah Papua. Misalnya di Jayapura pembubaran Demonstrasi dan penangkapan dilakukan oleh aparat gabungan TNI dan Polri terhadap para demonstran. Para demonstran yang ditangkap, menurut data yang dipublikasikan oleh Komisi Hak Asasi Manusia Asia (Asian Human Rights Commission) adalah sebanyak 71 orang. (Silahkan Anda kunjungi di web ini: www.humanrights.asia/news/urgent-appeals/AHRC-UAC-123-2013#.UjtniM20rAk.facebook).

Menurut pemberitaan media On Line Tabloid Jubi (17/09/2013/) bahwa ada delapan kabupaten dan kota di tanah Papua menggelar aksi damai, walaupun dilarang oleh pihak kepolisian setempat. Aksi damai ini dilakukan untuk memberikan dukungan kepada Pemerintah Vanuatu agar membawa masalah Papua Barat pada sidang tahunan PBB tahun ini, juga meminta saudara saudara bangsa Papua, seperti Vanuatu, Kepulauan Solomon, PNG dan Kaledonia Baru (Kanaky) untuk menindak-lanjuti hasil keputusan forum MSG ke 19, pada tanggal 21 Juni 2013 di Noumea - Kanaky, khususnya pada point 20 dan 21 tentang kasus Papua Barat.

Demonstrasi yang dilakukan dengan damai itu berakhir dengan pembubaran paksa dan penangkapan para demonstran di beberapa daerah di Papua. Menurut pemberitaan media Tabloid Jubi bahwa sekitar 100 orang ditangkap oleh gabungan TNI dan polisi. Di Jayapura sekitar 53 orang demonstran, di Sorong sebanyak 27 orang dan di Nabire 14 orang demonstran ditangkap. Mereka ditahan oleh polisi untuk diperiksa.  (Sumber: www.tabloidjubi.com/2013/09/17/aksi-knpb-di-delapan-kota-hampir-seratus-orang-ditahan-dan-diperiksa/). 

Sedangkan menurut catatan KNPB pusat yang disampaikan oleh Juru Bicaranya, Wim Mendlema bahwa para demonstran yang ditangkap sebanyak 249 orang, dengan perincian sebagai berikut: di Jayapura Kota, polisi menangkap 12 orang, di Sentani 159 orang, di Perumnas III Waena 3 orang, di Nabire 14 orang dan di Sorong sebanyak 32 orang. 
  
Seorang polisi, yang juga selaku kepala suku besar pengunungan tengah Papua, Philipus Halitopo mengatakan bahwa para demonstran itu ditangkap hanya untuk diminta keterangan saja dan tidak untuk ditahan, (sumber: www.tabloidjubi.com/2013/09/16/halitopo-mereka-hanya-dimintai-keterangan/#). 

Menurut Ketua Umum KNPB, Victor Yeimo bahwa rakyat bangsa Papua dan Anggota KNPB yang ditangkap dan ditahan oleh gabungan TNI dan kepolisian setempat itu semua sudah dibebaskan. Mereka dibebaskan setelah diminta keterangan dan diinterogasi oleh pihak kepolisian setempat.  

Penangkapan sewenang-wenang itu ditanggapi serius oleh salah satu anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), Yakobus Dumapa. Ia katakan bahwa penangkapan aktifis Papua menyimpang jauh dari semangat UU Nomor 9 tahun 1998 tentang menyampaikan pendapat di muka umum. Ia juga mengatakan bahwa penangkapan, pembunuhan dan pemenjaraan terhadap orang Papua tidak akan pernah membungkam ideologi Papua merdeka, karena itu ia meminta Negara Indonesia menempuh jalur Dialog antara Jakarta dan Papua untuk mencari solusi, (sumber: www.majalahselangkah.com/content/dumupa-penangkapan-aktivis-papua-menyimpang-dari-uu-no-9-tahun-1998).  

Praktek penanganan demonstrasi oleh pihak kepolisian di tanah Papua, sangat berbeda jauh dengan penanganan demonstrasi di luar Papua. Misalnya, di Papua sebelum tiga hari menggelar demonstrasi, penyelenggara demonstrasi harus memasukkan surat pemberitahuan ke pihak kepolisian setempat. Ini berbeda dengan luar Papua, misalnya di Jawa penyelenggara demonstrasi bisa juga memasukkan surat pemberitahuan pada pagi hari sebelum demonstrasi digelar. Di Papua, pihak (organisasi) penyelenggara demonstrasi harus terdaftar di Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol). Jika tidak terdaftar di Kesbangpol, maka kepolisian setempat tidak bisa menerbitkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP). Ini berbeda dengan di luar Papua, walaupun organisasi penyelenggara demonstrasi tidak terdaftar di Kesbangpol, tetapi polisi setempat dapat memberikan ruang kepada masyarakat untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Masih banyak ketentuan lain yang sangat tidak rasional yang
diterapkan oleh kepolisian setempat di tanah Papua selama ini.  

Di tanah Papua, kepolisian setempat menuntut agar syarat-syarat pemberitahuan demonstrasi harus dipenuhi semuanya oleh penyelenggara demonstrasi. Demonstrasi dapat dibubarkan dengan paksa oleh polisi apabila penyelenggara demonstrasi tidak memenuhi atau menaati salah satu atau beberapa syarat demonstrasi yang ditentukan oleh pihak kepolisian setempat. Bahkan pula dapat berujung pada penangkapan para demonstran dan pemenjaraan dengan sewenang wenang. 

Alasan yang selalu dipakai oleh pihak kepolisian setempat untuk membubarkan demonstrasi di tanah Papua adalah tidak ada ijin dari pihak kepolisian setempat. Pada hal sesuai dengan ketentuan UU Nomor 9 tahun 1998 tentang menyampaikan pendapat di muka umum adalah polisi hanya mengeluarkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP). Bukan polisi mengeluarkan surat ijin demonstrasi. 

Pihak penyelenggara demonstrasi punya kewajiban untuk memberitahukan rencana demonstrasi kepada pihak kepolisian setempat melalui surat yang ditanda tangani oleh penanggung jawab demonstrasi. Dan sesuai ketentuan UU Nomor 9 tahun 1998, pihak kepolisian setempat memiliki kewajiban untuk mengeluarkan STTP dan penyelenggara demonstrasi memiliki tanggung jawab untuk menjaga syarat-syarat demonstrasi sesuai ketentuan yang berlaku. 

Ironisnya adalah bahwa pihak kepolisian setempat di Tanah Papua, khususnya di Jayapura, polisi selalu memaksa penyelenggara demonstrasi untuk mematuhi semua ketentuan demonstrasi, yang sebenarnya tidak tercantum dalam UU Nomor 9 tahun 1998. Nampak sekali bahwa pihak kepolisian setempat di Tanah Papua mengakal-akali beberapa ketentuan demonstrasi untuk dipatuhi dan dilengkapi oleh pihak penyelenggara dan para demonstran. Dan ini hanya bertujuan untuk membungkam ruang demokrasi di tanah Papua.  

Di luar Papua, misalnya di Jawa dengan mudah menggelar demonstrasi tanpa harus dibungkam dan dibubarkan oleh polisi sepanjang demonstrasi berjalan dengan aman. Selain itu, tanpa Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) dari polisi pun, demonstrasi digelar di bawah pengamanan pihak kepolisian setempat. Sementara di tanah Papua, polisi setempat menerbitkan STTP saja sangat susah. Apalagi membiarkan demonstrasi digelar tanpa ada STTP. 

Di luar tanah Papua, apa pun thema atau agenda demonstrasi dapat berjalan dengan aman tanpa ada larangan dari pihak kepolisian setempat. Sementara di tanah Papua, lebih khusus lagi di Jayapura demonstrasi dengan agenda aspirasi Papua Merdeka tidak diberikan ruang oleh pihak aparat Indonesia. Mengapa terjadi demikian? Nampaknya bahwa RI secara diam-diam sudah menerapkan darurat sipil dan militer terselubung di tanah Papua. 

Pada akhir-akhir ini, di bawah kepemimpinan Kapolda Papua, Tito Karniavan (mantan komandan Densus 88 pusat) telah menutup ruang demokrasi di tanah Papua. Demonstrasi damai dengan mengusung agenda aspirasi Papua Merdeka tidak sama sekali diberi ruang. 

Walaupun Negara Indonesia adalah penganut demokrasi liberal, namun fakta di lapangan pihak aparat keamanan tidak memberi kesempatan kepada orang Papua untuk sampaikan aspirasi politiknya di muka umum. Ini sangat memalukan. 

Walaupun RI menempati urutan ketiga dalam berdemokrasi setelah Amerika Serikat dan Hindia, namun RI masih mempraktekan gaya berdemokrasi pada jaman resim presiden Soeharto, khususnya di tanah Papua. RI masih belum dewasa dalam berdemokrasi. Karena itu RI harus belajar banyak dari praktek berdemokrasi di Amerika Serikat. 

Sebagai anggota tetap Perserikatan Bangsa Bangsa, Negara Indonesia wajib melaksanakan hukum Internasional, termasuk melaksanakan kovenan-kovenan Internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. 

Tentang penyumbatan ruang demokrasi di Tanah Papua menjadi sorotan masyarakat Internasional. Dewan HAM PBB telah mengeluarkan beberapa rekomendasi dalam Universal Periodic Review (UPR) pada tahun 2012. Salah satu rekomendasinya adalah Negara Indonesia membuka ruang kebebasan berpendapat bagi warga sipil, khususnya di tanah Papua. Dan Indonesia juga diminta membuka akses bagi pekerja HAM dan wartawan/jurnalis asing untuk berkunjung ke tanah Papua.

Dalam sidang Dewan HAM PBB pada tahun 2012, Pemerintah Indonesia telah mengundang Pelapor Khusus PBB di bidang kebebasan ekspresi dan berpendapat untuk berkunjung ke Indonesia pada bulan Januari 2013. Namun, Negara Indonesia tidak konsisten dengan undangan itu. Buktinya, RI tidak memberikan kepastian bagi pelapor khusus PBB bidang kebebasan berekspresi dan berpendapat, Frank Laure untuk datang ke Indonesia, termasuk berkunjung ke Papua dan Maluku. 

Dalam sidang tahunan Dewan HAM yang digelar pada bulan Juni 2013, Dewan HAM PBB ke 23 di Genewa telah menanyakan realisasi dari rekomendasi UPR sebelumnya. Dalam kesempatan itu, pada tanggal 3 Juni 2013  Frank Laure juga meminta kepastian Jadwal kunjungan resminya ke Indonesia, (sumber: www.tabloidjubi.com/2013/06/08/pelapor-khusus-pbb-minta-kepastian-kunjungan-ke-indonesia-juga-papua/).  

Pembungkaman kebebasan ekspresi dan berpendapat di Indonesia, khususnya di Papua dan Maluku menjadi sorotan Masyarakat Internasional, bahkan sudah direkomendasikan oleh Dewan HAM PBB dalam UPR pada tahun 2012. Negara Indonesia tidak bisa menghindar dari sorotan sorotan itu. Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia seharusnya dengan jiwa besar melaksanakan Deklasi Umum HAM PBB dan Kovenan Internasional lainnya yang telah diratifikasi oleh Indonesia. 

Melalui tulisan ini, saya menyampaikan beberapa sikap di bawah ini: 

1). Negara Indonesia sebagai anggota PBB memiliki kewajiban untuk melindungi dan menghormati Hak Asasi Manusia, termasuk mengakui hak asasi politik bangsa Papua di bagian Barat sebagai bangsa yang berdaulat penuh. 

2). RI segera membuka ruang kebebasan berpendapat di muka umum, khususnya di Tanah Papua. 

3). RI berikan akses bagi pekerja HAM dan Jurnalis Asing untuk berkunjung ke Papua, termasuk beri akses bagi pelapor khusus PBB, Frank Laure untuk berkunjung ke Papua dan Maluku.  

4). RI stop melakukan intimidasi, teror, penangkapan dan pemenjaraan sewenang wenang, serta kejahatan kemanusiaan di tanah Papua.  

5). Meminta PBB, khususnya Dewan HAM dan Dewan Keamanan PBB agar menjatuhkan sanksi berat kepada Negara Indonesia atas semua pelanggaran HAM di Indonesia, khususnya di Papua dengan cara intervensi kemanusiaan dan keamanan PBB di tanah Papua.  

6). Kepada para solidaritas Internasional untuk terus bekerja tanpa pamrih bagi keselamatan rakyat bangsa Papua di negeri Papua Barat dari proses marginalisasi, diskrminasi, minoritasi dan pemusnahan etnis Papua. 

Akhirnya, "Manusia yang menghargai hidupnya, tentunya ia juga melindungi dan menghormati kehidupan sesamanya".  


Penulis: Selpius Bobii, (Ketua Umum Front PEPERA Papua Barat, juga sebagai Tawanan Politik di Penjara Abepura - Jayapura - Papua). 

Tidak ada komentar: