Tantangan dalam dialog antaragama dibahas
09/02/2015
Prof. Dr. Mathijs Lamberigts, seorang teolog menekankan pentingnya menghormati, keterbukaan dan belajar bagaimana jika orang tidak setuju dengan cara damai terhadap para penganut agama lain dalam ceramahnya pada 5 Februari di Universitas Santo Tomas (UST) di Manila, Filipina.
Lamberigts, dekan Fakultas Teologi dan Studi Agama di Universitas Leuven, Belgia berbicara tentang “Gereja di dunia saat ini: tantangan yang ditimbulkan oleh dialog antaragama dan kebebasan beragama” pada acara tersebut, yang diselenggarakan oleh Serikat Teologi UST dan Fakultas Dialog Antaragama.
“Dialog antaragama adalah mengetahui tradisi Anda sendiri, dengan mengetahui tradisi lain, rasa hormat, keterbukaan, dan kesediaan untuk tidak setuju satu sama lain dengan cara damai,” katanya.
Lamberigts mengatakan tantangan terbesar yang dihadapi dalam dialog antaragama dan kebebasan beragama adalah belajar bagaimana menghormati agama-agama lain.
Menurut profesor itu, penekanan pada penghormatan dapat ditemukan dalam dokumen Konsili Vatikan II.
Dr. Lilian Sison, Sekjen Komite Agama untuk Perdamaian Filipina, dan anggota forum rektor, menyoroti poin penting dari dokumen konsili seraya mengatakan: “Gereja ingin menjadi pelayanan kepada dunia hari ini. Umat Katolik dalam pelayanan kepada sesama kita harus inklusif dan belajar bagaimana berhubungan dengan agama-agama tersebut.”
Dengan mengutip pendiri Gerakan Focolare, Chiara Lubich, Mantan Rektor UST Pastor Rolando dela Rosa mengatakan, “Apakah yang melukai saya adalah diri saya sendiri”, dapat diterapkan dalam dialog antaragama kontemporer.
“Perdamaian dimulai ketika kita menyadari bahwa semua penderitaan dan rasa sakit kita sering kita buat sendiri.”
Dalam wawancara dengan CBCP News, Crescencia Gabijan, seorang profesor di Pascasarjana UST dan mantan anak didik Lubich, mengatakan bahwa itu adalah sebuah tantangan berdialog dengan orang-orang dari agama-agama lain dan melayani setiap orang “dengan kerendahan hati dan rasa hormat.”
Dia menekankan perlunya kerendahan hati dalam konteks seperti Filipina dimana Katolik adalah agama mayoritas.
Ia mengatakan sulit bagi orang Kristen untuk memahami agama minoritas sehingga “ada kebutuhan untuk rendah hati, dan pemahaman agar kita bisa tahu situasi hidup mereka.”
Gabijan juga percaya dialog antaragama merupakan sebuah tantangan saat ini, terutama di Asia, bahwa dialog tersebut menjadi pengalaman dan bukan hanya sebuah konsep.
Sumber: ucanews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar