Oleh
Santon Tekege
Pengantar oleh Pastor Neles Kebadabii
Tebay, Pr dalam diskusi terbatas dengan tamu dari Norwegia mengungkapkan bahwa
dialog antara Jakarta dan Papua penting untuk di selenggarakan, menggingat
selama ini tidak ada satupun model penyelesaian konflik yang di tawarkan.
Konflik yang muncul sejak tahun 1963 hingga saat ini seperti bom waktu, yang
sekali waktu akan muncul terus. Pemerintah tidak mampu menyelesaikan
masalah-masalah antara lain masalah sejarah orang Papua, pelanggaran HAM,
marginalisasi, masalah kemiskinan, masalah pendidikan dan kesehatan serta
masalah terancamnya budaya orang asli Papua. Masalah-masalah tersebut tidak
pernah mencari jalan terbaik dan solusi penyelesaiannya antara orang asli Papua
dan Pemerintah. Sementara belum menyelesaikan masalah Papua, konflik dan
kekerasan pun semakin meningkat di Papua. Yang korban dari permasalahan adalah
warga Papua (orang Papua dan Non Papua), OPM dan militer Indonesia (TNI dan
Polisi) sama-sama korban di Papua. Maka itu, dialog itu penting untuk
menyelesaikan masalah Papua demi perdamaian di Papua. Jalan damai dalam
menyelesaikan sebuah persoalan adalah kerinduan seluruh warga Papua. Otonomi
Khusus “Otsus” yang telah hampir 11 tahun merumput di Papua, dianggap telah
gagal, hal ini karena pejabat Papua yang lebih kena dampak dari pada rakyat
asli Papua. Begitupun sepihak membuat RUU Otsus Plus di Papua, sementara
masalah dalam masa Otsus belum diselesaikan dengan baik malah semakin banyak
konflik dan kekerasan di Papua.
Apa
itu Dialog?
Pastor Neles menjelaskan tentang apa itu
dialog kepada Uskup Oslo Norwegia Dr. Gunnar Stalsett “President Religious for Peace: European Council of Religious Leaders” dan Stig Traavik “duta besar Norwegia” dalam kunjungannya di Pendopo Seminari Tinggi
di STFT-Fajar Timur, Abepura-Papua sejak 11 September 2013. Dialog adalah cara
komunikasi yang baik antara kedua belah pihak yang bertikai khususnya antara
Jakarta dan Papua. Jakarta dan Papua selalu mempertahankan konsepnya
masing-masing tanpa mencari jalan keluar dalam konflik dan kekerasan di Papua.
Karena itu, dialog hadir sebagai sebagai sarana untuk mempertemukan kedua belah
pihak antara Jakarta dan Papua. Walaupun demikian, awalnya dialog menstigma
sebagai politik separatis dari Organisasi Papua Merdeka “OPM”. Bahkan
konotasinya diterjemahkan agak keliru karena berbau politik oleh berbagai pihak
saat peluncuran Buku Dialog Jakarta-Papua “Sebuah Perspektif Papua” maupun
selama konsultasi publik dan terbatas dialog itu, katanya. Namun setelah
konsultasi publik tentang dialog di Papua “Kota dan beberapa kabupaten
khususnya di Wamena, Manokwari, Merauke, Fak-fak, Sorong, Timika, Paniai, dan
Nabire serta terakhir konsultasi publiknya di Jayapura”, maka warga Papua yang
menolak dialog pun diterima sebagai jalan keluar dari konflik dan kekerasan di
Papua. Demikian pun di tingkat Jakarta menerima dialog sebagai jalan dan sarana
terbaik demi menciptakan Papua Tanah Damai.
Kami membentuk Jaringan Damai Papua
“JDP” sejak 5-7 July 2011. Dalam deklarasi perdamaiannya, telah membentuk team
juru runding sebagai keterwakilan dari Papua sebanyak 5 orang sesuai kriteria
JDP. Dalam konferensi Perdamaian itu, telah hadiri sekitar 500-an orang dari
berbagai kota dan kabupaten di Papua. Dalam konferensi itu, Pastor Neles
sebagai Panitia dan menjelaskan pentingnya dialog demi perdamaian di tanah Papua
bukan pendekatan militer atau pendekatan kekerasan dan konflik di Papua.
Kemudian JDP merangkul orang menjadi anggotanya dari berbagai kalangan dan
agama serta perempuan untuk mensukseskan dialog antara Jakarta dan Papua.
Kemudian para anggotanya berperan penting dalam menjelaskan apa itu dialog dan
tujuan serta target yang hendak dicapai dalam dialog itu. Kini dialog bukan
lagi hal tabu atau dilarang dibicarakan di publik tetapi agenda bersama untuk
membicarakan dan mencari jalan penyelesaian konflik dan kekerasan di Papua demi
perdamaian di tanah Papua.
Dalam diskusi terbatas itu, seorang
anggota JDP Ibu Miriam Ambalom,
menjelaskan dialog perspektif perempuan. Para perempuan Papua sangat mendukung
dialog yang diperjuangkan oleh JDP. Dengan alasan bahwa perempuan selalu
menjadi korban di negeri Papua. Perempuan korban pihak pertama dalam konflik
dan kekerasan yang terjadi di Papua selama ini. Maka dari itu, kami mendukung
dialog itu agar kami perempuan dan anak hidup dalam damai dan aman tanpa
mengalami tekanan dan trauma seperti di masa lalu sejak 1963 hingga kini. Selain
itu, seorang ibu Iren Waromi, dia
adalah anggota JDP menyampaikan bahwa kami perempuan mendorong dialog karena
kami ibu dan anak menjadi korban dari kekerasan dan konflik bahkan kami ibu dan
anak korban dari sistem ketidakadilan baik dari perspektif budaya, pendidikan,
kesehatan, dan politik di tanah Papua. Selanjutnya Dokter Raflus Dorang, M.H menjelaskan tentang masalah kesehatan dan
HIV/AIDS di Papua. Masalah kesehatan dan HIV/AIDS juga menjadi masalah dominan
di Papua karena orang Papua dan Non Papua sama-sama mengalami yang sama dan
menderita yang sama tanpa mencari solusi penyelesaian masalah kesehatan dan
HIV/AIDS di Papua. Dalam masa Otsus pun semakin menambah masalah padahal kami berpikir
bahwa dengan adanya Otsus akan menyelesaian masalah dibidang kesehatan di
Papua. Dan selalu yang menjadi korban kesehatan adalah ibu dan anak. Angka
indeks pembangunan manusia (IPM) memperlihatkan bahwa pertumbuhan indeks
manusia sangat minim di Papua bahkan urutan ke-33 dari 33 Propinsi Indonesia
sejak 2012. Ketika kita menganalisa penurunan angka demikian karena memang
pemerintah tidak memfokuskan pada pertumbuah indeks pembangunan manusia bahkan
sangat minim diperhatikannya oleh pemerintah di Papua sebelum Otsus maupun
sesudah berlakunya Otsus di Papua sejak 2001 hingga kini 2013.
Dialog
Menjadi Isu Publik
Masalah dialog antara Jakarta-Papua
menjadi isu publik yang baik demi penyelesaian konflik dan kekerasan di Papua
sehingga kami di Jakarta sangat mendukung segala upaya yang dilakukan oleh JDP,
kata Ding Samsudin (ketua Muhammadyah
Indonesia di Jakarta). Pihak Inditernasional selalu konsen dengan isu dialog
sehingga kami di Jakarta, selalu bersedia memberikan dukungannya agar masalah
Papua diselesaikan melalui dialog, bukan dengan pendekatan konflik dan
kekerasan dan bukan pula pendekatan militer di Papua. Dialog menjadi langkah
yang baik untuk menyelesaikan masalah Papua.
Duta besar Norwegia Mr. Stig Traavik berkata bahwa ia merasa senang bertemu dengan
orang anda sekalian di Papua. Pimpinan agama di Papua berperan penting dalam
masalah Papua khususnya dalam penyelesaian konflik dan kekerasan melalui jalan
dialog demi perdamaian di Papua. Karena kami di Norwegia selalu kerjasama
antara pemerintah dan pimpinan agama. Kemudian kami selalu mencari jalan keluar
dari masalah yang kami alami bersama di Norwegia. Kini kami pun hadir di Negara
Indonesia untuk menjalankan program perlindungan hutan di Indonesia, maka kami
punya tugas besar untuk melindungi dan lingkungan di Papua. Kami tranparan saja
atas apa yang kami buat di Indonesia tanpa disembunyikan. Tanpa ragu dan
bimbang kami membangun persahabatan dengan pemerintah Indonesia dan rakyat
sipil Indonesia. Pesan terakhirnya suatu saat kami akan kembali untuk
memberikan kontribusi bagi Papua.
Apa
pesan akhir dari Diskusi terbatas itu?
Dengan demikian diskusi terbatas antara
Uskup Oslo Norwegia, “President Religions
for Peace: European Council of Religious Leaders”, Mr Stig Traavik “Duta Besar Norwegia” dan Pastor Neles Kebadabii Tebay, Pr “Koordinator
Jaringan Damai Papua” setelah menjelaskan tentang pentingnya dialog dan apa
artinya dialog antara Jakarta dan Papua demi perdamaian di Papua. Akhirnya
diskusi terbatas telah ditutup dengan pesan terakhir oleh Uskup Oslo Norwegia
bahwa kami Internasional mendukung untuk dialog dan apa saja yang dibuat
saudara-sadara di Papua demi perdamaian di tanah Papua. Dalam memperjuangkan
dialog mesti memperlihatkan “iman berbeda
tetapi aksi yang sama”. Karena itu, kami menekankan dalam aksinya mesti
berjalan bersama dalam segala aspek bukan hanya dalam dialog saja. Kami percaya
bahwa apa yang kamu buat adalah kombinasi antara iman dan aksinya demi
perdamaian di bumi ini. Akhirnya ditutup dengan ungkapan: wa…wa..wa..wa.
Abepura,
11 September 2013
Penulis:
Mahasiswa Pasca Sarjana pada STFT-Fajar Timur, Abepura-PAPUA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar