PEREMPUAN PAPUA DALAM BAYANG-BAYANG KEGELAPAN DI TANAH
PAPUA
Oleh Santon Tekege***
Pengantar
Perempuan Papua hidup dalam bayang-bayang kegelapan di tanah Papua.
Dikatakan demikian karena mereka hidup dalam suasana tidak damai dan mengalami
persoalan setiap hari. Mereka keluhkan kelakuan para kaum lelaki yang
mengorbankannya[1]. Padahal perempuan papua merupakan sumber pemersatu dan damai bahkan
sumber ekonomi bagi keluarga-keluarga di tanah Papua.
Dalam
tulisan ini, saya hendak mengajak para pembaca untuk mengetahui siapa perempuan
papua, perempuan dalam budaya papua, dan pengalaman kekerasan perempuan papua dalam
hidup nyata di tanah Papua dan sikap gereja dalam untuk mendahulukan para
korban teristimewa mereka yang lemah (tidak berdaya), kaum miskin dan tertindas
atas dasar cinta kasih Allah untuk memulihkan martabat manusia. Terutama kaum
perempuan yang menjadi korban utama di Indonesia khususnya terlihat sikap kaum
lelaki yang sering membuat kekerasan dan konflik terhadap kaum perempuan di
tanah Papua.
Siapa Perempuan Papua itu?
Perempuan
Papua adalah perempuan surga. Artinya mereka bisa tahu segalanya. Mereka mampu
mengadakan dunia bahagia dan damai seperti di Surga dalam dunia di tanah Papua.
Karena itu, perempuan Papua sebagai perempuan surga. Hatinya sungguh luar biasa
dan selalu membawa sikap perdamaian dan kebahagiaan tersendiri ketika keluarga
atau kelompok suku berada dalam kebuntuan jalan solusi atas persoalan-persoalan
yang dialami di tanah Papua.
Namun kenyataan
memperlihatkan bahwa perempuan Papua banyak mengalami kekerasan dan konflik di
keluarga-keluarga di tanah Papua. Bahkan tanah Papua yang suci dan damai ini,
dijadikan tempat sumber kekerasan dan konflik. Karena itu, perempuan menjadi korban
kekerasan dan konflik. Apalagi konflik dan kekerasan dalam rumah tangga yang
terjadi karena dipengaruhi oleh minuman keras dan persoalan lainnya di tanah
Papua. Perempuan papua sudah dijadikan sebagai tempat untuk melampiaskan emosi
sehingga terjadi kekerasan dan konflik tanpa mengatasi oleh piihak mana pun di
tanah Papua. Karena itu dibutuhkan kebijakan pemerintah dan pastoral yang berpihak
pada kaum perempuan papua.
Perempuan Dalam
Budaya Papua
Dalam
urusan rumah tangga: perempuan Papua mengandung, melahirkan, memelihara anak
dan mengurus kebutuhan keluarga. Perempuan Papua membuat alat-alat untuk
menangkap ikan, menganyam noken, dan tikar. Perempuan Papua mencari ikan,
memelihara babi, dan menjaring udang. Perempuan Papua juga berkebun, menggali
ubi, menokok sagu baik sendiri maupun saudara-saudaranya dekatnya. Membantu
suaminya mencari kayu bakar atau menebang pohon untuk membuat perahu, kayu
untuk pembuatan rumah dan lainnya.
Perempuan
papua sebagai sumber segalanya khususnya sumber ekonomi keluarga-keluarga di
tanah Papua. Siapa yang mengatakan bahwa perempuan papua bukan sumber ekonomi
alias sumber dompet ekonomi di tanah Papua? Saya pikir pasti para pembaca
mengakuinya bahwa memang benar perempuan papua sebagai seumber dompet ekonomi keluarga
di tanah Papua. Seorang laki-laki Papua jika hendak mau berhasil dalam
pengembangan ekonomi dan berantas kemiskinan, maka pertama amankan dan damaikan
hati dan segala pergumulan perempuan Papua alias Mama-Mama Papua.
Dalam
Urusan Pesta-Pesta: Perempuan Papua sebagai pendamai dan pendorong semangat
kemajuan kelaurganya dalam segala hal. Perempuan Papua sebagai motivator untuk
kaum lelaki untuk menyelenggarakan pesta dan menjamin makanan untuk berpesta.
Perempuan Papua serba bisa dan mampu melakukan segala sesuatu untuk
mengembirakan pesta. Karena dengan perempuan Papua pesta akan berjalan baik.
Mereka hadir sebagai sumber penyemangat dan pendamai satu suku ke suku lain
atau kelompok satu ke kelompok lain dalam acara pesta maupun dalam konflik
antara mereka. Kehadiran perempuan Papua akan
mengembirakan para kaum laki-laki tetapi dia juga sebagai pendamai dalam
pesta maupun dalam suatu konflik antar kelompok atau suku di Tanah Papua.
Perempuan
Papua dalam urusan politik berperan penting dan sangat diperlukan untuk
memperkaya kaum laki-laki dan meningkatkan posisi kaum laki-laki Papua. Kaitan
dengan itu, ada dua pandangan yang sering muncul di tanah Papua: Pertama, kalau memberikan banyak perempuan
kepada kampung lain dengan maksud untuk menanamkan kekuatan besar dalam kampung
asalnya dan memperbanyak kerabat dari kampung-kampung lain. Kedua, perempuan papua dijadikan sarana
mempersatukan orang lain dari kampung yang berbeda. Bahkan ketika konflik dan
suasana tidak mungkin bagi kampungnya atau masyarakat Papua, perempuan papua
menjadi simbol perdamaian di antara kedua belah pihak yang bertikai dan konflik
selama ini.
Karena
itu, perempuan papua bukan hanya sebatas sarana persatuan atau perdamaian di
antara keluarga atau masyarakatnya tetapi perempuan papua lebih dominan sebagai
pelaku pembawa persatuan dan perdamaian bahkan dia hadir sebagai seorang Mama
Papua yang tulus dan berhati mulia bagi keluarganya dan masyarakatnya di tanah
Papua. Namun kenyataan diperlihatkan bahwa perempuan papua menjadi korban
kekerasan dan konflik di tanah Papua.
Kekerasan Terhadap Perempuan
Tingginya tingkat kekerasan terhadap perempuan
di Papua Barat ternyata masih tinggi. Salah satu penyebabnya adalah kebiasaan masyarakat
setempat mengonsumsi minuman keras. Berbagai
pihak telah melakukan kunjungan dan hasil penelitian memperlihatkan bahwa Tanah Papua merupakan daerah
tingginya perendahan martabat perempuan Papua. Ketika diwawancarai kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak propinsi Papua dan
Papua Barat bahwa angka kekerasan
terhadap perempuan dan anak di tanah Papua masih tinggi. Hal
tersebut dikarenakan masih adanya kebiasaan dari masyarakat sekitar akan budaya
minum-minuman keras. Hal itulah yang kemudian memicu terjadinya kekerasan terhadap
perempuan. Tetapi
menurut saya bahwa adanya budaya dinomorduakan perempuan Papua dengan alasan
perempuan berasal dari tulang rusuk[2]. Pandangan ini berawal
dari konsep teologi biblis, di mana perempuan diciptakan dari tulang rusuk
laki-laki. Maka itu, perempuan harus
menyembah bahkan dinomorduakan dari laki-laki. Padahal perempuan dan laki-laki
satu martabat yang sama. Namun dalam budaya Papua, diperlihatkan di mana kaum
laki-laki mengutamakan laki-laki untuk melanjutkan harta warisan dan
keturunannya. Dalam pandangan itu, perempuan mengalami
diskriminasi oleh kaum lelaki di tanah Papua.
Memang mengakui akan kesulitan mengubah kebiasaan meminum-minuman keras di daerah tersebut. Namun saya yakin dengan pendekatan dari hati ke hati maupun dari badan pemberdayaan perempuan dan
perlindungan anak, persoalan itu dapat diatasi, atau paling tidak
diminimalisir. Meski angka kekerasan
terhadap perempuan tanah
Papua cukup tinggi. Namun khusus untuk keterlibatan perempuan dibidang
politik, dapat
mengembirakan. Hal tersebut dapat
dilihat dengan bertambahnya jumlah politisi perempuan yang menduduki beberapa orang DPR Papua dan Papua Barat menjadi sembilan
orang. Tentu penambahan kursi perempuan di legislatif itu juga harus dibarengi
dengan keputusan-keputusan politik yang mengangkat harkat dan martabat kaum
perempuan. Walaupun
demikian kenyataan memperlihatkan bahwa pengaruhnya tidak begitu besar karena
adanya stigma perempuan tidak tahu apa-apa.
Dengan
kata lain, peluang yang besar bagi keterwakilan politisi perempuan sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-undang dengan 30 persen keterwakilan perempuan dalam
sebuah partai, juga harus dibarengi dengan keputusan politik yang bisa mengangkat
isu-isu yang menyangkut nasib perempuan. Untuk memperkuat kekerasan terhadap perempuan dan anak
juga sempat dibicarakan para ASEAN[3]. Dalam pertemuan itu
menegaskan pentingnya pendekatan holistik dan multidisiplin dalam rangka
memajukan hak asasi perempuan dan anak dalam dunia.
Keprihatinan
Gereja Terhadap Perempuan
“Kegembiraan dan harapan,
kedukaan dan kegelisahan masyarakat zaman sekarang, khususnya mereka yang
miskin dan menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, kedukaan dan
kegelisahan para murid Kristus. Memang tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi
yang tidak menggema di hati mereka”. ”Bapa, Engkau mengurniakan kepada semua bangsa
satu asal mula bersama. Kehendak-Mulah menghimpun mereka sebagai satu keluarga
dalam Dikau. Penuhilah hati semua orang dengan api cinta kasih-Mu, dan
dengan keinginan untuk memperjuangkan keadilan bagi semua saudara-saudari mereka. Semoga dengan berbagi
hal-hal baik yang Kau anugerahkan kepada kami, kami menjamin keadilan dan
kesetaraan bagi setiap manusia, berakhirnya segala perpecahan, dan masyarakat
manusia yang dibangun berdasarkan cinta kasih dan damai” [4]. “Populorum Progressio”:
“Bila ada orang memiliki kekayaan dunia
ini, dan melihat saudaranya menderita kekurangan serta menutup hatinya bagi dia,
bagaimana cinta kasih Allah mau tinggal padanya?” (1Yoh 3:17).
Amanat Injil dan Misi
Gereja, Kewajiban Gereja untuk Menegakkan Keadilan. Dari Kristus Gereja
menerima perutusan mewartakan amanat Injil. Yang mencantumkan panggilan kepada
manusia untuk meninggalkan dosa dan
mengenakan cinta kasih akan Bapa, persaudaraan semesta, dan mengapa Gereja
berhak, bahkan wajib, mewartakan keadilan pada tingkat sosial, Nasional maupun Internasional, dan
mengecam peristiwa-peristiwa ketidakadilan. Gereja mempunyai tanggung
jawab yang khas, memberi kesaksian dihadapan dunia; bahwa dunia membutuhkan
cinta kasih dan keadilan. Kesaksian ini harus dilaksanakan dalam
lembaga-lembaga Gereja dan kehidupan umat Kristiani[5].
Pelanggaran terhadap martabat
perempuan yang menganggap bukan sebagai pribadi, melainkan sebagai benda,
sebagai obyek perdagangan, melayani kepentingan egois dan kenikmatan semata. Korban pertama atas mentalitas itu
adalah kaum perempuan. Mentalitas ini
menghasilkan penghinaan, perbudakan, penindasan terhadap kaum yang lemah,
pornografi, pelacuran, khususnya dalam bentuk terorganisasi, serta sekian
banyak bentuk-bentuk diskriminasi di
bidang budaya, politik, pendidikan, pekerjaan, dan
penggajian. Para Bapa Sinode dengan tegas mengecam bentuk-bentuk
diskriminasi-diskriminasi itu. Meminta, agar semua pihak menempuh
langkah-langkah pastoral yang tegas dan mengena pada sasaran, untuk secara
definitif mengatasi situasi itu, sehingga gambar Allah memancar dari semua manusia tanpa kecuali,
dihormati sepenuhnya.
St.
Yohanes Paulus II, memperlihatkan bagaimana keprihatinan Gereja terhadap
perempuan. Tidak jarang kaum perempuan justru
dipinggirkan dari kehidupan masyarakat dan bahkan direduksikan kedalam
perbudakan. Kerapkali mereka tidak mendapatkan kesempatan yang sama (dengan
laki-laki) untuk memperoleh pendidikan, politik, dan sosial ekonomi, dan bahkan
direndahkan dan sumbangan intelektual mereka tidak dihargai (Art 3)[6]. Dalam rapat sidang Para Waligereja Indonesia
juga sempat mempublikasikan sikap para waligereja untuk kaum perempuan bahkan
atas semua persoalan di Indonesia. “Partisipasi Kita
Dalam Memelihara Martabat Manusia dan Alam Semesta”. Secara tegas menyatakan keprihatinan atas
berbagai persoalan yang terjadi pada masa itu[7].
Dimana-mana kita masih menyaksikan dengan rasa prihatin penginjak-injakan hak
asasi manusia, ketidakpastian hukum, korupsi, suap, nepotisme, ketidakadilan
terhadap perempuan, yang ditekan, didiskriminasikan, dilecehkan, dipaksa dalam
dunia pekerjaan dan keluarga, dan ketidakadilan gender secara menyeluruh.
Di tengah keprihatinan atas
berbagai persoalan bangsa, ada secercah harapan untuk mencari jalan bagi
gerakan perbaikan kesejahteraan rakyat, khususnya rakyat kecil, miskin, lemah
dan tidak berdaya: Semakin bertambahnya jaringan aksi, aliansi, kelompok
solidaritas dan relawan, organisasi/ LSM lintas etnis, golongan dan agama, yang
bergerak di bidang pemberian bantuan hukum dan pemberdayaan kaum perempuan dan
masyarakat kecil umumnya, merupakan modal bagi gerakan yang lebih luas dalam
masyarakat. Keberadaan dan kegiatan-kegiatan kemanusiaan itu sangat didukung dan
terus didorong. Kepedulian terhadap kaum kecil dan hak-hak asasi telah
mengundang keterlibatan langsung banyak orang yang berkehendak baik, termasuk
kaum awam, para religius dan orang-orang tertahbis. Perjuangan hak-hak asasi
manusia sebagaimana selayaknya kita prioritaskan adalah sesuai dengan rencana
dan kehendak Allah yang mau menyelamatkan semua orang. Cara Allah bertindak
dengan mendahulukan yang paling menderita yakni kaum miskin dan tertindas. Maka
dari itu dari sisi manapun, didekati pilihan untuk mendahulukan dan bersama
dengan kaum miskin terus menerus merupakan acuan perjuangan hak-hak asasi
manusia.
PENUTUP
Perempuan
Papua hidup dalam bayang-bayang kegelapan karena mereka menjadi korban dari
segala aspek di Indonesia khususnya di Tanah Papua. Para perempuan adalah surga
bagi dunia Papua. makanya itu, jadikanlah perempuan Papua sebagai sumber damai
dan persatuan bahkan sumber dompet ekonomi setiap keuarga di tanah Papua.
Atas dasar refleksi ini, diharapkan
supaya orang hidup dalam damai dan persatuan sebagai suami
dan istri tanpa adanya kekerasan dan konflik. Sebagai hidup berkeluarga
mestinya saling menghargai satu sama lain sebagai laki-laki dan perempuan. Dan
memperjuangkan keutamaan-keutamaan Kristiani dalam dunia khususnya dalam
keluarga-keluarga. Dengan maksud supaya orang semakin mengenal Kristus sebagai
Anak Allah yang menyelamatkan manusia dari bayang-bayang kegelapan. Semoga!...wa...wa..wa...wa..
Penulis: Petugas Pastoral Keuskupan Timia-Papua
[1] Berbagai
kasus diperlihatkan oleh komnas Perlindungan Perempuan dan anak di Indonesia.
Dalam kasus-kasus, kekerasan dan konflik semakin banyak terlihat di pulau Papua
berkaitan dengan pola kebiasan dan budaya Papua untuk menomorduakan kaum
perempuan daripada laki-laki. Selain kekerasan dan konflik meningkat tinggi
juga karena para kaum lelaki kebiasaan mengkonsumsi minuman keras alias MIRAS
dalam keluarga-keluarga di tanah Papua.
[2]
Kejadian 1. Dalam Kitab Kejadian bab 1dunia dan
seluruh isinya dilukiskan sebagai hasil karya ciptaan Allah, ditulis sebagai
berikut:Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan
rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di
udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata
yang merayap di bumi.” Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya,
menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya
mereka. … Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik
(Kejadian 1:26-27.31a). Dari
kutipan di atas, dapat diwahyukan bahwa 1). Laki-laki dan perempuan diciptakan
sebagai hasil keputusan yang khusus dari Allah. 2). Laki-laki dan perempuan
merupakan makhluk yang berasal dari Allah yang satu dan sama. 3). Laki-laki dan
perempuan, entah bersama-sama atau secara terpisah, memiliki “keserupaan”
dengan Allah. Sebagai “gambar” Allah, baik laki-laki maupun perempuan, mereka
dimungkinkan untuk (1) berelasi dengan Allah sebagai orang-tua (parent),
dengan-Nya mereka memiliki “keserupaan,” (2) bertindak menurut teladan-Nya, (3)
melanjutkan karya penciptaaan-Nya, entah melalui eksistensi manusia yang lain
atau dengan memelihara dunia ciptaan-Nya. 4). Laki-laki
dan perempuan memiliki martabat yang sama dalam segala aspeknya. Martabat
mereka didasarkan pada “keserupaan” mereka dengan Allah, yang mendorong mereka
untuk dapat melampaui apa yang dapat mereka capai dan “mendekati” apa yang
telah direncana-kan oleh Allah bagi hidup mereka.
Kejadian 2 Versi
lain dari kisah penciptaan terdapat dalam Kitab Kejadian bab 2 (yang ditulis
abad 9-8 SM). Di sini dikisahkan bahwa laki-laki diciptakan oleh Allah lebih
dulu (Kejadian 2:7). Laki-laki itu diciptakan dari debu tanah (‘adamah), oleh
karenanya ia disebut Adam (berasal dari tanah). Sedangkan perempuan diciptakan
kemudian. Menurut penulis Kitab Kejadian, motivasi dari Allah untuk menciptakan
perempuan adalah karena “Tidak baik, kalau manusia [laki-laki] itu sendirian”
sehingga Allah merasa perlu untuk “menjadikan penolong baginya yang sepadan
dengan dia” (ayat 18), sebab dari antara semua ternak, burung-burung di udara
dan segala binatang di hutan, manusia [laki-laki] “tidak menjumpai penolong
yang sepadan dengan dia” (ayat 20). Perempuan itu diciptakan oleh Allah dari
tulang rusuk laki-laki (ayat 21-22). Ketika laki-laki melihat perempuan itu, ia
berkata: “Inilah tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” (ayat 23).
Lebih lanjut dikisahkan: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya
dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”
(ayat 24). Dari dua kisah di atas, disimpulkan
bahwa selain menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan dengan
martabat yang sama, Allah juga membuat mereka berelasi dalam kesetaraan,
kesalingan (mutuality and reciprocity), dan dalam suasana yang harmonis (bdk.
Kejadian 2:8-25). Bagi penulis Kitab Kejadian, kendati perempuan diciptakan
menyusul penciptaan laki-laki bahkan diambil dari tulang rusuknya namun sama
sekali tidak ada maksud untuk menempatkan perempuan sebagai makhluk ciptaan
kelas dua dan lebih rendah derajatnya daripada laki-laki.
Sikap dan Tindakan Yesus“Impian Allah”
tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan seperti diungkapkan dalam
Kitab Suci Ibrani tersebut di atas, dalam perjalanan waktu ternyata mengalami
kehancuran karena pelbagai macam penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan
terhadap kaum perempuan. Yesus Kristus, dalam seluruh hidup dan karya
pelayanan-Nya, mengusahakan agar impian Allah tersebut dapat diwujudkan
kembali. Hal ini dengan sangat jelas nampak antara lain dalam peristiwa-peristiwa
berikut: Pertama, di kala tradisi
Yudaisme hanya memperbolehkan orang laki-laki dewasa menjadi murid seorang
Rabbi untuk mempelajari Kitab Taurat, Yesus juga memberi hak yang sama kepada
para perempuan untuk menjadi murid-murid-Nya, seperti Marta (bdk. Injil Lukas
10:38-42). Kedua, berbeda dengan
kebiasaan orang-orang sejaman-Nya yang menempatkan kaum perempuan semata-mata
dalam wilayah domestik, Yesus justru memanggil mereka untuk menjadi
murid-murid-Nya, berjalan berkeliling bersama dengan Dia dan para murid
laki-laki lainnya dari desa ke desa dan dari kota ke kota untuk mewartakan
bahwa Kerajaan Allah sudah dekat; dan para perempuanlah yang membiayai semuanya
itu (bdk. Injil Lukas 8:1-3). Ketiga, penyembuhan
terhadap seorang perempuan yang telah dirasuki oleh setan sehingga ia sakit
sampai bungkuk punggungnya selama delapan belas tahun (Injil Lukas 13:10-17).
Yesus menyembuhkan perempuan itu di rumah ibadat pada hari Sabat. Tindakan
Yesus ini mengundang kemarahan kepala rumah ibadat. Ketika orang tersebut
memarahi orang banyak dan Yesus (yang telah melanggar hukum Sabat; yakni, pada
hari Sabat orang tidak boleh melakukan sesuatu kecuali beribadat kepada Allah),
Yesus menjawab: “Hai orang-orang munafik, bukankah setiap orang di antaramu
melepaskan lembunya atau keledainya pada hari Sabat dari kandangnya dan
membawanya ke tempat minuman? Bukanlah perempuan ini, yang sudah delepan belas
tahun diikat oleh Iblis, harus dilepaskan dari ikatannya itu, karena ia adalah
keturunan Abraham?” (ayat 15-16). Sebutan “keturunan Abraham” biasanya hanya
dipakai untuk orang laki-laki dalam bentuk plural. Dengan menyebut perempuan
tersebut sebagai keturunan Abraham, Yesus ingin menunjukkan bahwa seperti
dikehendaki oleh Allah sendiri (semua) perempuan juga merupakan bagian dari
keturunan Abraham; dan Ia juga mengakuinya sebagai seorang pribadi yang
memiliki martabat yang setara dengan laki-laki. Sekaligus ingin ditunjukkan
bahwa dengan “menegakkan punggungnya yang bongkok” itu, Yesus membebaskan dia
dari pelbagai macam belenggu yang menghalangi dia untuk berelasi dalam
kesetaraan. Keempat,
berkaitan dengan perceraian. Terhadap hukum yang mengatakan bahwa seorang
laki-laki berhak menceraikan istrinya dengan alasan apa saja, Yesus mengatakan
dua hal: (1) pada dasarnya perceraian itu dalam situasi yang wajar tidak
diperbolehkan dan hukum [tentang perceraian] itu ditulis karena hati mereka
(laki-laki) degil; (2) yang terkena oleh hukum tentang perzinahan bukan hanya
perempuan tetapi juga laki-laki (bdk. Injil Matius 19:1-9; Injil
Markus10:1-12). Kelima,
ketika masyarakat menganggap bahwa kaum perempuan tidak dapat berpikir jernih,
dan karenanya suara mereka tidak perlu didengarkan, Yesus justru belajar dari
seorang perempuan “kafir” sehingga Ia mamahami bahwa tugas pengutusan-Nya untuk
mewartakan karya keselamatan Allah ternyata diperuntukkan bagi semua bangsa
(bdk. Wanita Tirus yang anaknya kerasukan setan, Mrk 7:24-30). Keenam, setelah kebangkitan-Nya, Yesus
juga mempercayakan kepada beberapa orang murid-Nya yang perempuan untuk
mewartakan kepada para murid-Nya yang laki-laki peristiwa agung dan sangat
penting dalam sejarah keselamatan umat manusia: kebangkitan-Nya dari kematian
(bdk. Mt 28:7-10; Mk 16:7-8; Lk 23:9-10; Yoh 20:17-18).
[3] Para pemimpin
ASEAN sepakat menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak di
kawasan ASEAN. Deklarasi tersebut diambil saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
ke-12 ASEAN atau 23rd ASEAN Summit di di Muzakarah Hall, International
Convention Center (ICC, Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam pada 9 Oktober
2014. Deklarasi itu menegaskan,
kekerasan terhadap perempuan dan anak, terjadi terlepas dari tahapan dari
siklus kehidupan, baik itu di rumah, di sekolah, di tempat kerja, di area
publik atau area pribadi (termasuk dunia maya) sebagai hasil dari bias gender,
diskriminasi dan kebiasaan berbahaya lainnya yang harus dihilangkan. Para kepala negara itu juga mengungkapkan soal
kebutuhan untuk memperkuat “pendekatan secara holistik dan multidisiplin” dalam
rangka memajukan hak asasi perempuan dan anak bersandingan dengan pendekatan
yang responsif gender dan responsif umur, sekaligus sensitif pada anak. Deklarasi ini mengandung
pengungkapan bentuk kekerasan mulai investigasi (investigating), penuntutan
(prosecuting), penghukuman (punishing) dan -jika dinilai wajar- merehabilitasi
(rehabilitating) pelakunya.
[7] Pesan Sidang Para
Waligereja Indonesia 2001 “Partisipasi Kita Dalam Memelihara Martabat
Manusia dan Alam Semesta”. Secara tegas
menyatakan keprihatinan atas berbagai persoalan yang terjadi pada masa itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar