MEMANDANG
PERSOALAN
MIRAS DAN
HIV/AIDS DENGAN PERSPEKTIF KE DEPAN
Oleh Santon Tekege *****
Pengantar
Dalam kenyataan, diperlihatkan
berbagai persoalan melalui media cetak maupun media elektronik di tanah Papua.
Dari sekian banyak persoalan itu, masalah MIRAS (Minuman Keras) dan HIV dan
AIDS merupakan persoalan serius oleh semua pihak di negeri ini. Maraknya
penyebaran miras dan HIV/AIDS menjadi kecemasan dan ketakutan sebagian warga di
Papua.Warga Papua yang mendiami di Pulau ini sedang dan akan mengeluh bahkan
tangisan terdengar di mana-mana.
Miras dan Virus
HIV/AIDS menjadi isu yang sedang dibicarakan publik di Papua. Mengapa semua
orang bicarakannya? Karena miras dan virus ini menjadi ancaman bagi warga di
tanah Papua. Miras dan virus dibicarakan bersamaan karena orang menilai satu
paket tanpa memisahkan satu sama lain. Artinya bahwa orang miras setelahnya
potensi untuk berhubungan seks di sembarang tempat. Penyebaran virus melalui
hubungan seks selalu dipublikasikan di publik oleh pemerintah (Propinsi dan
Kota/Kabupaten) dan semua pihak tanpa disadari untuk mengatasi dan mencari
solusi untuk meniadakan tempat-tempat hiburan Pekerja Seks Komersial (PSK) di
lokalisasi dan tempat-tempat hiburan gelap lain dari pulau ini. Warga Papua pun
tidak sadar untuk menghadapi ancaman hidup kini dan masa depannya. Dalam surat
Gembala Prapaskah 2015 oleh Mgr. Yang Mulia Uskup Keuskupan Timika mengajak
umat agar “Membangun iman melalui pola hidup sehat dan bertanggungjawab”.[1]
Uskup mengajak agar kita menjaga dan melindungi dari lonceng kematian yang
terjadi di mana-mana dan tidak menjaga hidup sehat sehingga banyak mati karena sikap
perilaku manusia sendiri seperti peperangan, penghancuran hutan, Miras, HIV dan
AIDS, sex dan pornografi, makanan yang berlebihan, keteraturan hidup, sikap
hidup ketergantungan, pemborosan, pemerasan, dan denda mendenda. Tindak lanjut
dari surat gembala ini, saya memfokuskan pada persoalan MIRAS dan HIV dan AIDS
di tanah Papua.
Miras
dan HIV/AIDS sebagai Tantangan dalam Wilayah Pelayanan Keuskupan Timika
Bagi para pemabuk dapat mengakibatkan gangguan perilaku, emosi dan
gangguan susunan syaraf pusat. Kerusakan ini permanen atau bersifat
tetap, tidak bisa disembuhkan dan hanya bisa dipulihkan. Karena itu, pengguna
akan mengalami kerusakan fisik, psikis dan spiritual. Kerusakan fisik yang
ditimbulkan oleh miras menjadikan pengguna rentan terhadap banyak penyakit dan
kelemahan fisik lainnya, yang tidak bisa dipulihkan seperti semula.
Kerusakan psikis
menjadikan pengguna tidak mampu bernalar secara baik dan bertingkah laku secara
wajar. Kerusakan spiritual menjadikan pengguna tidak mempunyai pegangan hidup,
tidak otonom dalam menentukan pilihan moral, dan mudah dipermainkan oleh
keinginan-keinginan untuk mengkonsumsi miras.
Miras merusak relasi antar anggota keluarga,
kerukunan dan kebahagiaannya serta merusak ekonomi keluarga. Bila keluarga
rusak, rusak pula masyarakat. Dalam masyarakat yang rusak itu tindak kejahatan
meningkat, kekerasan dan kerusakan moral serta gangguan keamanan merajalela.
Biaya penanggulangan dan rehabilitasi korban yang diperlukan sangat besar
sehingga menggerogoti anggaran negara “itu kalau ada biaya pemerintahan di
Papua”.
Orang yang dikuasai
miras selalu saja melakukan tindakan kekerasan dan fisik terhadap sesama yang
lain. Dan itu dilihat sebagai pelanggaran serius terhadap harkat dan martabat
manusia. Miras merusak pribadi manusia yang diciptakan Allah menurut citra-Nya,
“menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan
diciptakan-Nya mereka” (Kej. 1:27). Kita menyadari, bahwa manusia itu mempunyai
hak dan kewajiban untuk memelihara, mengembangkan, mencintai, dan membela
kehidupan yang adalah anugerah Allah.
Selain persoalan miras, realita persoalan HIV dan AIDS di Papua[2]
dengan penularannya cepat melalui perilaku hubungan seks bebas dan suka
berganti-ganti pasangan seks. Menurut data KPA Propinsi Papua sejak tahun 2006
penderita HIV dan AIDS
sekitar 2.703 orang. Penyebaran virus ini tidak diam tetapi terus menambah
penderita HIV dan AIDS
menjadi 3.252 orang pada tahun 2007. Kemudian sejak tahun 2008 penyebaran virus
sangat meningkat lagi dengan jumlah penderita sebanyak 4.305 orang dan tahun
2009 jumlah penderita 5.012 orang. Sementara BPS Propinsi 2010 melalui dinas
Kesehatan dan KPA Propinsi Papua mengatakan bahwa jumlah penderita HIV/AIDS
meningkat menjadi 10.522 orang. Perilaku hubungan seks dilakukan oleh usia
produktif yakni (15-59) tahun. Jika
demikian masa depan Papua akan menjadi sebuah impian belaka dan drama panjang
di Papua. Berita baru
kasus HIV dan AIDS pada bulan 16 Agustus 2013 adalah berjumlah 15.000 orang.
Penyebaran HIV/AIDS di Papua kian
memprihatinkan. Dari data Dinas Kesehatan Provinsi Papua per 30 Juni 2014,
jumlah penderita HIV/AIDS di seluruh Papua mencapai 17.639 orang. Ironisnya
lagi, para penderita itu umumnya adalah usia produktif antara usia 15 hingga 59
tahun[3]
(baca catatan kaki di bawah ini karena
penulis telah perlihatkan khusus penyakit penderita HIV dan AIDS di wilayah
Meepago).
Berdasarkan data
tersebut di atas, maka penulis
mengibaratkan HIV dan AIDS
sebagai bom bagi semua warga Papua dan secara khusus bom untuk orang asli
Papua. Jika demikian, kemudian hari pulau Papua akan menjadi sebuah drama
panjang. Drama panjang itu, akan menjadi sebuah sejarah bahwa pulau Papua telah
dihuni oleh orang kulit hitam dan berkeriting rambut namun kini menjadi sebuah
impian dan cerita panjang oleh suku bangsa lain di dunia. Kita tidak dapat
dipungkiri hal ini karena penyebaran virus HIV dan AIDS sebagai penyakit mematikan
seseorang manusia atau keluarga bahkan suku bisa menjadi punah di tanahnya
sendiri. Jadi apa kata dan sikap warga Papua saat ini? Apakah kita sebagai
warga negara Indoensia cuek saja tanpa berpikir untuk mengatasi? Ataukah semua
pihak sengaja membiarkan penyebaran virus HIV dan AIDS tanpa mencari solusi terbaik
demi keselamatan warga di Papua? Ataukah saya mengatakan penyebaran HIV dan AIDS di Papua merupakan sebuah
pembiaraan oleh pemerintah dan semua pihak bahkan karena ketidaksadaran oleh
warga sendiri?
Realita penyebaran HIV dan AIDS tersebut oleh sebagian orang
asli Papua melihat sebagai sebuah ancaman mematikan yang pada akhirnya membawa
pada kepunahan suku atau ras orang setempat di Papua. Padangan ini muncul dalam
berbagai seminar, diskusi, demontrasi dan cerita-cerita dikalangan masyarakat ketika
adanya informasi bahwa orang yang menghidap HIV dan AIDS terbanyak di Papua adalah
orang asli Papua. Dalam situasi demikian, orang asli Papua seringkali
bertanya-tanya dalam dirinya dan akhirnya sampai pada suatu anggapan bahwa
virus ini sengaja dibawa orang luar Papua untuk memusnahkan orang asli Papua.
Pertanyaannya, apakah tudingan seperti
itu benar? Ataukah penyakit ini memang diperuntukkan bagi orang asli Papua,
lantas orang non Papua adalah kebal dengan virus HIV
dan AIDS di Papua?
Kita jangan saling
menuding atau melemparkan kesalahanmu pada orang lain dengan banyaknya
penyebaran penyakit HIV
dan AIDS
di Papua. Kita juga jangan saling menyalahkan antara orang asli Papua dan non
Papua. Bahkan jangan saling mencurigai di antara warga Papua. Kita mengakui
bahwa virus ini menjadi ancaman dan mematikan bagi manusia yang hidup di pulau
ini. Warga Papua hendaknya kembali pada dirinya untuk merefleksikan lebih jauh
tentang penyebab penyebaran virus HIV dan AIDS ini. Sebuah ajakan bahwa warga Papua penting
untuk melihat kembali akan hukum, norma dan larangan-larangan yang ada dalam
budaya masing-masing di Papua. Dan agama masing-masing misalnya, jangan
berzinah, jangan berbuat cabul. Jika tidak melihat dan merenungkan kembali akan
budayanya dan penyebaran virus ini, maka akan merosotnya nilai-nilai religius
yang dihayati dalam kehidupan setiap kita.
Pemerintah (Propinsi
dan Kota/Kabupaten) dan semua pihak bahkan masyarakat tahu dan mempublikasikan
di publik bahwa penyebaran penyakit HIV dan AIDS adalah melalui hubungan seks
di luar nikah dan berganti-ganti pasangan seks di tempat-tempat hiburan tidak
sehat. Misalnya tempat lokalisasi, tempat karaoke, dan tempat-tempat pijat
tradisional. Lalu mengapa Pemerintah (Propinsi Papua/Papua Barat dan
Kota/Kabupaten) dan semua pihak bahkan masyarakat memelihara tempat-tempat
hiburan: Pekerja Seks Komersial (PSK) di Lokalisasi, tempat karaoke, tempat
pijat tradisional dan si kaliabo papan atas alias bunga sedap malam atau ayam
abu-abu (3A) selain bar, bir, bor dan akhirnya tewas di bawa dalam mobil bus
menjadi (4b), Jika pemerintah dan semua pihak tidak siasati penyebaran virus
“bukan dengan penyuluhan atau pengadaan alat-alat pencegahan”, maka habislah
terang sebagai tanda awal kegelapan dalam hidupnya sebagai manusia warga Papua.
Pemerintah tahu korban
banyak karena miras dan penyebaran penyakit HIV dan AIDS melalui hubungan seks dan
ganti-ganti pasangan melalui tempat-tempat hiburan tidak sehat dan tidak
kontekstual dengan norma, adat dan hukum alamiah di Papua. Namun pemerintah
malah membiarkan bahkan memelihara tempat-tempat hiburan tidak sehat dengan
alasan bahwa jumlah pemasukan dana sangat besar untuk Pendapatan Asli Daerah
(PAD) di negeri ini. Pemerintah mensosialisasikan dan mengadakan penyuluhan di
mana-mana untuk pencegahan dan penyadaran penyebaran HIV dan AIDS di pulau Papua. Pemerintah
juga mengadakan alat-alat kondom setiap tahun untuk mencegah yang bukan
merupakan solusi.
Pemerintah tanpa
menyadari, mereka memperbanyak tempat-tempat hiburan tidak sehat (Lokalisasi,
tempat pijat tradisional, tempat karaoke dan bar (3A dan 4B) bahkan mungkin
perdagangan perempuan di hotel-hotel) di pulau Papua. Pemerintah tanpa
menyadarinya mereka mengambil sikap pembiaraan terhadap warga Papua, selalu
mengadakan berbagai kegiatan termasuk penyuluhan, pengadaan alat kontrasepsi
pria dan wanita bahkan di jalan-jalan mengatakan bahwa “Kota beriman”, “Tanah
yang diberkati”. Namun
di dalamnya penuh dengan segala kemunafikan. Faktanya korban karena miras dan virus
HIV dan AIDS
terus meningkat setiap tahun di pulau Papua. Itulah letak sikap pembiaraan
pemerintah terhadap warganya karena mementingkan milyaran rupiah dibanding
keselamatan warga Papua khususnya orang asli Papua dari ancaman dan penyakit
yang mematikan ini. Jadi pemerintah sengaja memeliharan tempat-tempat hiburan
tidak sehat dan tempat-tempat lokalisasi yang merupakan tempat penyaluran
hubungan seks demi kepentingan pemerintah dan penguasa di negeri ini.
Sikap kita sebagai
warga Papua hendaknya saling mendukung untuk mengatasi miras dan penyebaran
penyakit HIV dan AIDS
di Papua. Miras dan Penyebaran virus HIV dan AIDS menjadi tanggung jawab semua
warga Papua. Kita jangan diam dengan realita miras dan penyebaran virus HIV dan AIDS terhadap warga Papua. Saya
secara pribadi mengajak kepada Pemerintah (Propinsi dan Kota/Kabupaten) untuk
membubarkan dan menutup segala bentuk hiburan tidak sehat yang mendatangkan
virus HIV dan AIDS
di seluruh tanah Papua. Kita jangan mengutamakan milyaran rupiah, tetapi
mengutamakan keselamatan manusia dari merusak tubuh karena miras dan penyebaran
HIV dan AIDS
di bumi ini. Dengan sikap demikian, pasti akan mengetahui dari mana datangnya
virus ini, kemudian tidak saling mencurigai antara warga Papua dan meniadakan
dari konflik sosial ke depan. Namun hendaknya kita saling mendukung untuk
keselamatan manusia dibanding milyaran rupiah untuk kepentingan diri dan
pemerintah kedua Propinsi paling timur di Indonesia ini.[4]
Moral
Sosial Digugah oleh Injil dan Iman
Warta Injil selalu baru
sewaktu kita mendengarkannya. Dikarenakan selalu menggugah hati para pengikut
Kristus untuk menghidupkan rasa tanggunggjawab mereka di tengah dunia. Kerajaan
Allah tidak jauh dan Allah mengetuk pintu hati kita. “Berbaliklah dan percaya
pada kabar gembira”. Kalau kabar gembira sudah sampai pada hati kita, kita
tidak punya alasan lagi untuk terus mengeluh mengenai kejahatan miras dan virus
HIV dan AIDS. Mari kita balikkan arah dan kita tatap masa depan. Memang miras
dan HIV/AIDS mengakibatkan banyak penderitaan, tetapi bisa ditolong. Kapan kita
mulai tolong para penderita ini?
Saya percaya bahwa
dengan iman, kita hendak berkiblat pada Allah Sang Pemilik Kehidupan. Dalam
iman, kita menanggapi kehendak Allah supaya terjadi sesuatu yang baru. Apalagi
yang dikehendaki Allah selain kehidupan-Nya menular dan menyebar? Biarlah
kemuliaan Tuhan tetap untuk selama-lamanya, biarlah Tuhan bersukacita karena
perbuatan-perbuatan-Nya (bdk Mzm 104:31). Dengan keyakinan dan beriman kepada
Allah, kita menyambungkan diri dalam anak Allah, yakni Yesus dari Nazaret,
hadir ditengah kita, “semua orang memuji Dia” (Luk 4:15). Kata mereka,
“bukankah Ia ini anak tukang kayu? Bukankah Ibu-Nya bernama Maria dan
saudara-saudara-Nya Yakobus, Yusuf, Simon, dan Yudas ? dan bukankah
saudara-saudara-Nya perempuan semuanya ada bersama kita? (Bdk Mat 13:55-56).
Ya, memang Allah beserta kita itu telah menjadi saudara dalam persaudaraan
antar kita. Dengan iman yang kuat, kita menyambut perutusan Kristus yang
bersabda: ”Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam
segala kelimpahan” (Bdk Yoh 10:10). Semboyang orang beriman kepada Allah yang
hidup ialah “Jadilah pembela kehidupan. Secara bersama-sama meyakini dengan
iman yang teguh, kita berusaha mewujudkan kesejahteraan bersama. Kita ingin
mewujudkan iman kita dalam perhatian pada sesama kita yang menderita karena
konsumsi miras dan penderita HIV/AIDS. Kita memperhatikan sesama kita yang
menderita dan menolongnya adalah perwujudan iman kita akan Allah “Aku
menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku” (Yak 2:18). Untuk
membela kehidupan itu, apakah memerlukan Gereja.
Opsi
Gereja: Mengutamakan Para Korban Miras dan HIV/AIDS
Allah mengutus Yesus ke
dunia untuk misi penyelamatan bagi semua umat manusia. Perutusan itu digenapi
dengan jalan salib. Demikian pun umat manusia mengalami salib yang sama seperti
Anak Allah Yesus dalam peziarahan hidup setiap kita.
Warta tentang Yesus
tersiar di mana-mana. Ia memberitakan Injil Kerajaan Allah. Dalam pewartaan
itu, Yesus menyembuhkan berbagai penyakit dan kelemahan manusia. Ketika orang
banyak berbondong-bondong mengikuti Dia; ketika dibawa kepada-Nya semua orang
yang buruk keadaannya; ketika Yesus melihat orang banyak dan murid-murid-Nya
ada di antara orang banyak itu (bdk Mat 4:23, 5:2).
Atas dasar refleksi
ini, kita dipanggil untuk melanjutkan warta keselamatan itu pada semua orang
dan semua bangsa. Dengan harapan bahwa umat manusia mengimani Yesus yang sedang
berkarya dalam kaum lemah, menderita sakit dan lapar, yang ditindas, dan
dimarginalkan oleh peradaban zaman modernisasi ini. Begitu banyak orang muda
yang masuk dalam dunia miras dan terkena virus HIV/AIDS di Papua.
Orang yang miras dan
kena virus HIV/AIDS adalah korban penderitaan. Karena mereka mengalami
penderitaan sakit, mental lemah dan lumpuh, dan tunggu waktunya untuk menghadap
kepada Allah. Di sini tugas kita adalah mengutamakan para korban miras dan
HIV/AIDS, kita mengangkat martabat para korban ini, kita menguatkan iman mereka
akan Allah bahwa Ia mencintai dan menyapa mereka dan mempersiapkan jalan
solusinya. Dengan kotbah di bukit, para pengikut Yesus dipesan supaya mengumat
(bdk Mat 7:21). Dengan maklumat di kampung halaman-Nya sendiri, Yesus
mewajibkan mereka yang berdoa bersama Dia, supaya mereka menjadi agen
pembebasan yang justru menolong orang lain dan asing (bdk Luk4:21-24).
Berangkat dari pendasaran kotbah Yesus ini, kita diajak agar mengutamakan para
korban Miras dan HIV/AIDS. Kita menjadikan mereka sebagai anak-anak Allah.
Menjadikan mereka sebagai manusia yang dihormati dan dihargai oleh semua pihak
dengan jalan berkomunikasikan dengan para korban. Di sini diperlukan Gereja
terlibat dalam kehidupan nyata di tengah umat. Gereja adalah kita, kita mesti
berkatekese dengan para pemuda dan pemabuk serta bagi mereka yang terkena virus
yang mematikan manusia di kota-kota besar maupun di kampung-kampung dalam
wilayah pelayanan Keuskupan Timika.
Penutup
Para
pemabuk dan orang-orang yang terkena virus adalah manusia. Mereka mesti
dikuatkan iman akan Allah. Mereka mesti disapa dan dihormati. Memberikan
kepercayaan pada mereka bahwa mereka adalah ciptaan Allah. Kita sebagai umat
Allah, hendaklah kita mengumat dengan para korban ini. Mengutamakan mereka
adalah opsi Gereja. Karena itu, kita mesti duduk terdepan untuk mengangkat mereka.
Memberikan keteguhan iman akan Allah.
Karena
semakin hari semakin meningkat para pemabuk dan terkena virus mematikan itu
sehingga saya mengharapkan kepada keluarga agar menyediakan waktu untuk saling
berdialog hati sebagai keluarga. Diharapkan juga kepada Gereja-gereja di
kampung-kampung maupun di kota-kota untuk melibatkan semua orang muda dalam
kegiatan menggereja dan sosial kemasyarakatan agar mereka pun menatap masa
depan hidupnya. Para pimpinan setempat entah gereja maupun pemerintah di kampung-kampung
maupun di kota-kota jangan berdiam diri dan mencueking situasi para korban
MIRAS dan HIV dan AIDS di seluruh Tanah Papua.
Tetapi dukunglah kepada
keluarga-keluarga dari korban miras maupun virus mematikan ini agar keluarga
mengimani akan Allah dan bangkit dari penderitaannya. Sekolah-sekolah katolik,
Kristen Protestan, dan sekolah-sekolah dari agama lain untuk melatih
kesetiakawanan, terbuka kepada agama apa pun, dan penuh perhatian pada orang
muda. Selain itu, pusat-pusat Gereja Katolik, Kristen Protestan, dan
agama-agama lain hendaklah mengusahakan adanya ruang dialog antara orang muda
dan khususnya para korban miras dan HIV/AIDS serta mengusahakan layanan teman
dialog yang paham bagi para korban penderitaan yang dialaminya. Diharapkan kepada
pemerintah Propinsi Papua dan Papua Barat, kota/kabupaten di seluruh tanah
Papua agar hentikan bahkan tiadakan tempat-tempat hiburan tak sehat[5]
dari negeri tanah Papua ini. Akhirnya kita bersama-sama mengangkat martabat sebagai
manusia ciptaan Allah di dunia ini, bukan menyingkirkan atau bukan menambah
berbagai tempat hiburan tak sehat agar semakin bertambah korban kemanusiaan
tetapi meniadakan semua hal yang mengorbankan manusia dari negeri ini.
Demikianlah!!!
Penulis: Petugas Pastoral Keuskupan Timika Papua
[1] Pada kesempatan
masa prapaskah tahun ini, Gereja mengajak kita untuk merenungkan tema “Membangun
Iman melalui Pola Hidup Sehat dan Bertanggungjawab”. Iman bukan hanya soal
percaya pada Tuhan tetapi bagaimana kepercayaan itu mempengaruhi kehidupan yang
sehat dan bertanggungjawab.Iman mendasari segala tindakan kita untuk mencari
kehidupan yang sehat. Untuk itu kita harus menjalani hidup ini dengan penuh
tanggungjawab. Tantangan yang kita hadapi sekarang ini adalah krisis moral yang
telah menghancurkan peradaban publik di segala bidang. Manusia tidak menghargai
budaya kehidupan. Perilaku manusia mengarah pada kehidupan yang tidak menyehatkan.
“Lonceng kematian “ terjadi di mana-mana karena ulah manusia yang tidak
bertanggungjawab . Banyak orang sakit atau mati karena peri laku tidak sehat dari manusia sendiri seperti peperangan, penghancuran hutan, Miras,
HIV dan AIDS, sex dan pornogarafi, makanan yang berkelebihan, keteraturan hidup
, sikap ketergantungan, pemborosan, pemerasan dan denda mendenda. Secara sadar
dan tidak sadar, Kita hidup dalam budaya kematian yang mengancam peradaban
zaman ini. Krisis iman dan moral sebagai
akar persoalan yang menyebabkan hidup menjadi tidak sehat dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan sebagai orang beriman. Maka itu dalam masa prapaskah ini
saya mengajak kita untuk merenungkan tiga hal yaitu iman, hidup sehat dan
tanggungjawab.
[2] Maraknya
Penyakit HIV dan AIDS di Tanah Papua. Kumpulan berbagai
informasi di media cetak lokal di Timika dan Jayapura-Papua sejak 2006-2015.
[3] Penyebaran HIV/AIDS di Papua kian
memprihatinkan. Dari data Dinas Kesehatan Provinsi Papua per 30 Juni 2014, jumlah
penderita HIV/AIDS di seluruh Papua mencapai 17.639 orang. Ironisnya lagi, para
penderita itu umumnya adalah usia produktif antara usia 25 hingga 49 tahun.
Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi Papua dr. Silvanus A. Sumule, SpOG
mengatakan bahwa kasus HIV/AIDS pertama kali ditemukan di Papua pada tahun 1996
dan dalam jangka waktu 18 tahun, angka ini telah meningkat dengan sangat tajam
menjadi 6.579 penderita HIV dan 11.060 orang penderita AIDS, atau hingga 30
Juni 2014 totalnya mencapai 17.639 orang. “Dari jumlah itu, 1.229 orang di
antaranya telah meninggal dunia karena penyakit ini. Khusus untuk wilayah adat
Meepago yang meliputi kabupaten Nabire,
Paniai, Dogiai, Deiyai, Mimika dan Intan Jaya, jumlah kasus HIV/AIDS
mencapai 6.984, dan 446 di antaranya telah meninggal”. Menurutnya, angka
ini diperkirakan masih jauh lebih kecil dari keadaan yang sebenarnya, karena
ada sejumlah kabupaten yang belum menyampaikan datanya dengan baik. “Sesuai
perkiraan paling konservatif dari Dinas Kesehatan Papua, ada sekitar 25.000
orang yang telah terkena HIV/AIDS di Papua. Ini berarti masih ada 7.361 yang
harus ditemukan,” ungkapnya kepada Cenderawasih Pos, edisi Selasa (18 November
2014).
[4] Catatan Penolakan: Pemerintah sengaja membiarkan berkembangnya
virus HIV dan AIDS
tanpa mencari solusi alternative oleh Pemerintah Indonesia di Papua. Akibatnya
banyak orang (orang Papua dan Non Papua) terjangkit virus ini. Maka banyak
orang menjadi korban kematian di Tanah Papua. “Pemerintah Indonesia sengaja
membiarkan virus ini agar orang asli musnah di negeri Papua. Pembiaran Pemerintah
Indonesia itu, dapat dinilai bahwa bentuk penolakan pada manusia yang mendiami
di pulau Papua. Apalagi jika kita bandingkan antara Orang Asli Papua jumlah
penduduknya adalah 30% sementara penduduk Non Papua adalah 70% (BPS Propinsi Papua sementara sejak 2011).
Saya menilai bahwa pembiaran berkembangnya penyakit HIV dan AIDS itu, akan menjadi anak panah
yang jitu pada pemusnahan suku orang asli Papua. Bentuk pembiarannya adalah
oleh Negara Indonesia pada warga penduduk di bumi Papua”.
[5] Hiburan-hiburan tak sehat adalah
hiburan yang mendatangkan miras dan virus HIV dan AIDS, antara lain tempat
pernjualan MIRAS, tempat Lokalisasi,
bar, tempat karaoke, tempat pijat dan tempat-tempat lain yang mendatangkan
miras dan virus mematikan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar