TAWANAN POLITIK PAPUA MERDEKA
Oleh: Selpius Bobii
Penjara Abepura, Rabu 29 Mei 2013
"Kita bukan narapidana politik, tetapi Tawanan Politik. Dalam surat
atau pernyataan sikap selama ini, saya lebih suka pakai Tawanan Politik karena
sebutan narapidana politik oleh Indonesia itu identik dengan pelaku kriminal.
Kita ditahan bukan karena melakukan kriminal, tetapi karena melakukan aksi
politik untuk Papua merdeka", demikian pernyataan Filep J. S. Karma saat
kami diskusi penyamaan persepsi menyikapi rencana pemberian grasi oleh presiden
Republik Indonesia. Pernyataan Filep di atas merupakan sikap penolakan
penyebutan "narapidana politik" oleh Negara Kolonial Indonesia kepada
para tahanan suara hati nurani yang ditangkap dan ditahan dengan
sewenang-wenang.
Dalam pertemuan yang digelar pada tanggal 24 Mei 2013, para Tahanan
Suara Hati Nurani Bangsa Papua di Penjara Abepura telah menyepakati penggunaan
"TAWANAN POLITIK PAPUA MERDEKA (TAPOL PM)". Mengapa kami sepakati
pakai sebutan Tawanan Politik Papua Merdeka dan menolak sebutan Narapidana
Politik? Pertanyaan ini ku jelaskan dalam artikel di bawah ini.
Di negara Indonesia, untuk membedakan antara orang yang diduga melakukan
aksi politik yang bertentangan dengan hukum pidana, yang masih diproses hukum
dan pelaku aksi politik yang sudah memiliki keputusan tetap (inkrah),
menggunakan sebutan "tahanan politik" dan "narapidana
politik". Disebut tahanan politik (tapol) apabila masih dalam proses
hukum; dan disebut narapidana politik (napol) apabila sudah memiliki keputusan
hukum yang inkrah (tetap).
Mari kita pahami apa arti narapidana. "Narapidana" terdiri
dari dua kata: Nara dan Pidana. "Nara" artinya "orang (person/human
being)". "Pidana" artinya kriminal atau kejahatan, atau perkara
kejahatan. Jadi narapidana artinya "orang kriminal atau pembuat
kejahatan".
Sebutan "narapidana politik" berkonotasi negatif, yaitu
"orang kriminal politik". Dengan adanya pengertian "narapidana
politik" yang berkonotasi negatif ini, maka orang yang diduga melanggar
hukum atau orang yang dipenjara akibat melakukan aksi politik dipandang juga
sebagai penjahat, maka pihak berwajib (aparat keamanan) dan sipir penjara di Indonesia
selalu menyamakan tahanan politik dengan tahanan dan narapidana kriminal umum.
Bahkan sering kali para tahanan politik diperlakukan diskriminatif dan ditindak
dengan sewenang-wenang oleh para pihak berwajib (TNI/POLRI) dan sipir penjara.
Hal itu terjadi karena minimnya pemahaman mereka terhadap status Tahanan
Politik.
Untuk menyikapi perlakuan sewenang-sewenang dari aparat keamanan dan
sipir penjara di Indonesia terhadap tahanan politik, berbagai protes dan
tekanan pun datang dari berbagai pihak dari dalam negeri maupun luar negeri,
seperti Tapol di Inggris, HRW, Amnesti Internasional, dan berbagai kalangan
lainnya. Bahkan Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa (Dewan HAM
PBB) pun mengecam perlakuan keji dan sewenang-wenang yang dilakukan aparat keamanan
dan sipir penjara di Indonesia kepada para tahanan politik yang dipenjara
karena menyampaikan pendapat di muka umum dengan damai, atau melakukan aksi
politik untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Salah satu rekomendasi
Universal Periodic Reviuw (UPR) oleh Dewan Ham PBB pada bulan Mei 2012 adalah
meminta Indonesia membebaskan para tahanan politik tanpa syarat. Dan juga
meminta Indonesia mencabut pasal pasal makar dalam KUHP, karena bertentangan
dengan prinsip-prinsip luhur dan hukum Internasional.
Sebutan narapidana politik adalah bagian dari upaya Negara Indonesia
untuk mengkriminalisasi aspirasi politik yang disampaikn dan diperjuangkan
melalui cara-cara yang damai. Memang ada pula orang yang ditahan karena membuat
aksi politik dengan kekerasan, misalnya dengan menggunakan senjata api/senjata
tradisional untuk mencapai tujuan politiknya. Sebutan narapidana politik tidak
tepat digunakan kepada mereka yang ditahan karena memperjuangkan kebebasan
bangsa nya dari penjajahan bangsa lain. Mereka yang dipenjara dengan latar
belakang kasus perbedaan ideologi kebangsaan, sipir penjara tidak mampu dan
tidak pernah mengubah ideologi yang diperjuangkannya. Karna itu sebutan
narapidana politik bagi pelaku yang berlatar belakang kasus aksi politik, tidak
tepat digunakan. Penggunaan sebutan yang tepat dalam kategori kasus ini adalah
"tawanan politik independen".
Sebutan "narapidana politik" yang berkonotasi negatif tidak
diterima oleh para tahanan politik Papua. Pada tanggal 24 Mei 2013 di Penjara
Abepura - Jayapura - Papua, para tahanan suara hati nurani bangsa Papua
menyatakan menolak tegas penyebutan "narapidana politik" dan
menyepakati menggunakan "TAWANAN POLITIK PAPUA MERDEKA".
Ide menggunakan Tawanan Politik diusulkan oleh Tn Filep J. S. Karma.
Usulan itu, awalnya terjadi diskusi panjang diantara para tahanan suara hati
nurani bangsa Papua. Akhirnya disepakati menggunakan "TAWANAN POLITIK
PAPUA MERDEKA (TAPOL PM atau TPPM)".
Pemilihan penggunaan tawanan politik karena beberapa alasan, yaitu:
pertama, sejak bangsa Papua dianeksasi ke dalam NKRI, bangsa Papua telah
ditawan oleh NKRI dan para sekutunya. Kedua, secara khusus para Tahanan suara
hati nurani bangsa Papua ditawan oleh RI di Penjara-penjara kolonial Indonesia.
Ketiga, sebutan narapidana politik berkonotasi negatif, yaitu "orang
kriminal politik atau pelaku kriminal politik".
Dalam kamus bahasa Inggris karya John
M. Echols & Hassan Shadily, kata "prisoner"
dapat disebut "orang hukuman"
atau "tawanan". Ada
beberapa jenis tawanan, antara lain: tawanan perang (prisoner of war), tawanan
politik (prisoner of political), dll.
Tawanan politik menurut Filep J. S. Karma adalah semua orang yang
ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang oleh negara melalui pihak berwajib
karena perbedaan ideologi politik atau melaksanakan kebebasan berekspresi dan
aksi politik lainnya dalam memperjuangkan kebebasan suatu bangsa, baik yang
belum diproses hukum, sedang diproses hukum maupun yang sudah mempunyai
keputusan hukum yang inkrah.
Berikut ini saya menguraikannya agar dapat dipahami dengan baik
tentang tawanan politik. Jika negara melalui aparat berwajib menangkap
dan menahan para aktifis pejuang kebebasan suatu bangsa, maka para aktifis itu
ditawan oleh negara penjajah. Para tawanan itu adalah "tawanan politik pejuang
kebebasan kebangsaan". Para tawanan politik pejuang kebebasan bangsa,
sebagai salah satu bukti nyata adanya gerakan kebebasan bangsa dari penjajahan
bangsa lain. Negara penjajah memenjara para tawanan politik secara khusus dan
negara kolonial memenjara bangsa terjajah secara umum.
Para tawanan, ada yang ditawan dalam keadaan biasa dan luar biasa.
Tawanan perang dan tawanan politik masuk dalam kategori tahanan khusus.
Dalam suasana perang antara dua negara atau dua bangsa atau lebih, jika
ada pihak lawan ditangkap dan diamankan, maka dapat disebut "tawanan
perang" (prisoner of war). Dalam keadaan tidak perang, suatu negara dapat
menahan warganya yang melakukan pembangkangan dengan kekerasan dan atau
memprotes dengan damai kepada pemerintah. Kategori kasus ini dapat dikatakan
"Tahanan Politik" atau bisa juga disebut "tawanan politik".
Dalam keadaan tidak perang/ semi perang atau perang, jika rakyat pribumi dari suatu bangsa yang menuntut kebebasan bangsa dari penjajahan bangsa lain, dan berusaha mencapai tujuannya dengan melakukan aksi politik dengan damai dan atau dengan menggunakan senjata api atau senjata tradisional. Jika diantara para pejuang kemerdekaan itu, ada yang ditahan oleh negara penjajah, maka disebut "tahanan politik" atau "tawanan politik".
Untuk membedakan antara tawanan perang, dan tahanan/tawanan politik,
maka berikut ini devinisinya. Tawanan perang adalah tentara yang ditangkap dan
ditahan selama atau setelah berakhir konflik bersenjata antara dua
negara/bangsa atau lebih. Tahanan atau tawanan politik dibagi ke dalam dua
kategori; yaitu pertama, di penjara karena pembangkangan untuk merombak tatanan
negara/pemerintahan (melakukan aksi politik, tetapi tujuan aksinya tidak untuk
mendirikan negara); kedua, dipenjara karena memperjuangkan kebebasan
suatu bangsa (melakukan aksi politik untuk mendirikan negara baru).
Untuk membedakan antara tawanan politik yang ditahan karena aksi politik
dengan tujuan memperbaiki atau merombak sistem negara/pemerintahan, dan aksi
politik untuk mendirikan negara baru, maka dalam tulisan ini saya gunakan:
tawanan politik biasa, dan tawanan politik kemerdekaan (Political Independence
Prisoner)".
Warga negara yang ditahan oleh negara akibat pembangkangan atau
melakukan aksi protes untuk memperbaiki sistem pemerintahan/negara
dikategorikan ke dalam tawanan politik biasa. Sedangkan tawanan politik untuk
kemerdekaan adalah orang yang ditahan oleh negara/bangsa lain akibat
memperjuangkan kebebasan bangsa nya dari penjajahan negara/bangsa lain.
Dengan adanya devinisi di atas, maka sudah jelas posisi tawanan perang,
dan tawanan politik biasa dan tawanan politik kemerdekaan. Tawanan perang
ditahan demi kepentingan mengetahui kekuatan lawan, dan atau untuk mencapai
perundingan antara kedua pihak yang bertikai dan atau sebagai efek jerah.
"Tawanan politik biasa" ditahan demi merehablitasi diri dalam penjara
atau tahanan rumah agar kembali menjadi warga negara yang baik dan patuh pada
peraturan yang berlaku. Dan juga tawanan politik independen pun ditahan oleh
negara untuk mengekang, merehablitasi diri dan menyerah, tetapi pada
kenyataannya, tawanan politik Pejuang Kemerdekaan pada umumnya mempertahankan
ideologi pembebasan bangsa nya dari penjajahan bangsa lain. Tak semuda para
penjajah mengubah ideologi yang diperjuangkan oleh bangsanya dan tidak semudah
pula menyerah. Ada pula tawanan politik tertentu menyerah pada rezim penjajah
dengan mengajukan permohonan grasi dan presiden memberi grasi serta menerima grasi itu. Tindakan ini
dipandang sebagai suatu pengkhianatan terhadap perjuangan kebebasan bangsa.
Karena dengan menerima grasi dari kepala negara/kerajaan berarti menyerah
kepada rezim penjajah.
Khususnya bagi tawanan politik biasa dapat menerima grasi karena ia
tidak berjuang untuk mendirikan negara baru. "Tawanan politik biasa"
selama ia dipenjara mendapat pembinaan khusus oleh negara melalui sipir penjara
untuk mengubah perilaku dan merehablitasi nama baik dengan mentaati peraturan
perundang-undangan yang berlaku di negara setempat. Seperti para Tawanan
Politik yang dipenjara karena pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia).
Diantara mereka ada pula difonis seumur hidup, namun dibebaskan oleh presiden
Indonesia dengan diberikan grasi.
Tawanan perang seringkali ditahan tanpa melalui proses hukum karena
ditangkap dan ditahan akibat konflik bersenjata antara dua bangsa/negara atau
lebih dari dua negara/bangsa. Sedangkan bagi orang yang diduga melanggar hukum
karena melakukan aksi politik yang bertujuan merombak sistem pemerintahan atau
negara, dapat ditahan untuk menempuh proses hukum guna membuktikan pelanggaran
pasal pidana (kasus) yang dituduhkan oleh pihak berwajib; jika terbukti
bersalah, maka terdakwa dijatuhi pidana penjara.
Tawanan politik pejuang kemerdekaan bangsa dapat ditawan tanpa proses
hukum dan juga ditahan melalui proses hukum. Di jaman orde lama dan orde baru,
tawanan politik kebanyakan ditawan tanpa melalui proses hukum. Sejak era
reformasi, para tahanan politik diproses melalui hukum diskriminatif rasial.
Melalui tulisan ini, kami Tawanan Politik Papua Merdeka sampaikan kepada
rakyat bangsa Papua dan para simpatisan masyarakat internasional bahwa dalam
kampanye maupun lobi politik menggunakan sebutan "TAWANAN / TAHANAN
POLITIK PAPUA MERDEKA" (TAPOL PM / TPPM). Mari kita melupakan atau
meniadakan terminologi kriminalisasi aspirasi politik dengan sebutan
"narapidana politik" (NAPOL) yang dilahirkan oleh Negara Indonesia.
Camkanlah bahwa para tawanan politik Papua merdeka bukan kriminal
politik. Justru negara kolonial Indonesia adalah "Rezim Kriminal
Politik". Mengapa NKRI adalah Rezim Kriminal Politik? Pertama, NKRI
menganeksasi kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua ke dalam NKRI melalui invasi
politik dan militer. Kedua, NKRI tidak memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi
orang asli Papua untuk Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada tahun 1969.
Karena itu saya katakan "Pemaksaan Pendapat Rakyat" (PEPERA), maka
Penentuan Pendapat Rakyat itu dapat dikatakan "cacat hukum dan
moral". Ketiga, NKRI masih mempertahankan Papua Barat dalam NKRI dengan
cara-cara kotor dan tidak beradab.
Saat ini Negara Indonesia merasa kuat dan mampu untuk mempertahankan
berbagai bangsa dari Sabang sampai Merauke yang telah direkayasa menjadi satu
bangsa dan satu negara dalam bingkai "NKRI", dengan semboyang
"Bhineka Tunggal Ika" dan dengan falsafah "Pancasila". NKRI
melakukan berbagai strategi dan taktik untuk menghancurkan tatanan dasar hidup
rakyat bangsa Papua dan menciptakan berbagai krisis di tanah Papua. Krisis
krisis itu bagaikan badai yang silih berganti. Tetapi bangsa Papua memiliki
keyakinan bahwa berbagai badai ini pasti akan berlalu; rezim NKRI pasti akan
angkat kaki dari tanah air Papua Barat; sejarah bangsa-bangsa merdeka di dunia
telah mencatat bahwa "pintu penjara" telah terbukti menjadi
"pintu" menuju "kebebasan total", dan ku yakin bangsa Papua
pun akan terjadi demikian, indah pada waktu-Nya. Amin.
Penulis: Selpius Bobii, (Ketua umum Front Persatuan Perjuangan Rakyat
Papua Barat; yang juga sebagai Tawanan Politik Papua Merdeka di Penjara
Abepura)