Papua
Menggugat Aneksasi
"PERNYATAAN
Ketua Umum Front PEPERA PB Menyelang 50 Tahun Aneksasi Tanah Air, Bangsa dan
Negara Papua ke dalam NKRI, 01 Mei 1963 - 01 Mei 2013"
Sejarah mencatat bahwa pada tanggal 01
Mei 1963 adalah penyerahan kekuasaan adminitrasi pemerintahan Papua secara
sepihak dari pangkuan UNTEA ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
Tanggal 01 Mei dipandang oleh Republik
Indonesia (RI) sebagai hari integrasi Papua ke dalam NKRI. Atau sering juga
para pejabat Indonesia, TNI dan Polri mengatakan bahwa 01 Mei 1963 adalah hari
di mana Papua kembali ke pangkuan ibu pertiwi Indonesia.
Sejak kapan Papua menjadi bagian
teritorial dari RI? Dan sejak kapan Papua keluar dari pangkuan NKRI, maka
dikatakan bahwa pada tanggal 01 Mei 1963 Papua kembali ke pangkuan NKRI?
Sejarah mencatat bahwa Papua belum pernah berada dalam pangkuan NKRI. Berikut
ini ada beberapa fakta sejarah, antara lain:
pertama,
Dalam suatu pertemuan untuk Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia Serikat
(RIS), Mohammad Hatta menolak Papua masuk dalam teritorial RIS. Menurut Moh
Hatta mengatakan bahwa tanah Papua sangat sulit dibangun karena dihuni oleh
suku-suku primitif.
Kedua,
pada tanggal 27 Desember 1949 dalam Komprensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag
Belanda, Papua tidak termasuk dalam wilayah kedaulatan Republik Indonesia
Serikat (RIS). Dalam KMB itu Belanda hanya mengakui kedaulatan Republik
Indonesia Serikat (RIS) dari Sabang sampai Amboina - Maluku. Tentang ini
tertuang dalam naskah piagam penyerahan kedaulatan RIS dalam pasal dua yang
disepakati dan ditanda-tangani oleh Belanda dan Indonesia. (Lihat di buku:
"Tindakan Pilihan Bebas", P. J. Drooglever, halaman 178).
Ketiga,
Karena pemisahan Indonesia dari kolonisasi Nederlands Indiche, maka konstitusi
Belanda ditinjau kembali. Dalam Sidang Parlemen Belanda yang digelar di musim
panas tahun 1951, mayoritas Parlemen Belanda menyetujui mengubah konstitusi
Belanda. Dalam perubahan konstitusi itu, Papua ditingkatkan status kolonisasi
Nederlands Niew Guinea (Papua Belanda). Jadi secara hukum dan politik Papua
bukan lagi kolonisasi Nederlands Indiche, tetapi sejak tahun 1951 ditingkatkan
status kolonisasi Nederlands Niew Guinea. (Lihihat, "Tindakan Pilihan
Bebas", P. J. Drooglever, halaman 226-227).
Keempat,
Belanda mulai mempersiapkan Papua untuk berdaulat penuh. Dalam rangka itu,
persiapan Sumber Daya Manusia (SDM) bagi orang Papua menjadi prioritas utama,
khususnya dalam bidang pendidikan dan pengkaderan, dan diikuti dengan
pengembangan dan pemberdayaan dalam bidang ekonomi kerakyatan, kesehatan, dan
lain-lain. (Lihat, Drooglever, halaman 323 - 387).
Kelima,
Rakyat Papua membentuk beberapa partai Nasional Papua (Lihat, buku Drooglever
halaman 549-562), dan menggelar pemilu untuk memilih wakil Dewan Kota dan
Daerah, kemudian memilih Dewan Papua secara langsung oleh seluruh rakyat Papua.
Dewan Papua (Niew Guinea Raad) dilantik pada tanggal 5 April 1961. (Lihat buku
Drooglever, halaman 536-548; dan 563-569).
Keenam,
para tokoh intelektual Papua mewakili seluruh Papua membentuk Komite Nasional
Papua (KNP), dan KNP menggelar Kongres Papua Pertama pada tanggal 19 Oktober
1961 di Hollandia, kini Jayapura. Dalam kongres itu KNP menyatakan Manifesto
Politik Bangsa Papua yang mana menetapkan Papua menjadi Bangsa Papua, Bendera:
Bintang Fajar, Lambang: Burung Mabruk dan Lagu kebangsaan Papua: Hai Tanah ku
Papua, serta Motto: Satu Rakyat Sejiwa (One People One Soul). (Lihat buku karya
Drooglever, halaman 570-572).
Ketujuh,
Manifesto Politik itu selanjutnya KNP secara resmi menyerahkan kepada Dewan
Papua (Niew Guinea Raad) dalam Sidang Dewan Papua yang digelar pada tanggal 30
Oktober 1961. Dan Manifesto itu dibahas dan ditetapkan dalam keputusan Niew
Guinea Raad (Dewan Papua). (Lihat buku karya Drooglever, halaman 572-573).
Kedelapan,
Manifesto Politik Bangsa Papua, khususnya Lambang dan Bendera serta Lagu
Kebangsaan Papua itu, atas perintah Ratu Yuliana, ditetapkan dalam
ordonansi-ordonansi (peraturan-peraturan ketetapan) oleh wakil Belanda di Papua
yakni Gubernur, Platteel pada tanggal 18 November 1961 setelah Rapat Luar Biasa
Dewan Papua, (Lihat buku karya Drooglever, halaman 575).
Kesembilan,
Puncaknya pada tanggal 01 Desember 1961 Merayakan Hari Kemerdekaan Bangsa
Papua, disertai dengan mengibarkan bendera Bintang Fajar diiringi lagu
kebangsaan, Hai Tanah ku Papua dan juga menaikan Bendera Belanda diiringgi lagu
kebangsaan Belanda, Hyronimus di Hollandia (kini Jayapura), dan di semua ibu
kota onderafdeling (kota dan daerah) di Nederlands Nieuw Guinea (Papua Belanda)
pun merayakannya dalam bentuk upacara. Di mana-mana di tanah Papua hal itu
terjadi di dalam suasana khidmat dan tenang dihadiri oleh penguasa-penguasa
setempat. Perayaan ini disambut secara meriah oleh rakyat di seluruh pelosok
tanah Papua sebagai hari kemerdekaan bangsa Papua, (Lihat Drooglever, halaman
575).
Inilah beberapa fakta sejarah bangsa
Papua. Dengan demikian Papua tidak pernah menjadi salah satu wilayah teritorial
dalam bingkai NKRI sebelum tanggal 01 Mei 1963. Karena itu, pernyataan para
pejabat RI bahwa pada tanggal 01 Mei 1963 Papua kembali ke Pangkuan NKRI adalah
tidak benar dan itu kebohongan publik, kebohongan intelektual dan kebohongan
sejarah. Penyerahan Papua oleh UNTEA kepada RI pada tanggal 01 Mei 1963 itu pun
dipercayakan kepada RI hanya untuk mempersiapkan pemilihan bebas bagi orang
asli Papua untuk menentukan masa depan bangsanya.
Fakta-fakta sejarah bangsa Papua
membuktikan bahwa kemederdekaan kedaulatan bangsa Papua dianeksasi ke dalam
NKRI. Sejak kapan bangsa Papua dianeksasi ke dalam NKRI? Papua dianeksasi ke
dalam NKRI melalui beberapa tahapan, yaitu:
Pertama,
Maklumat Tri Komando Rakyat (TRIKORA) oleh Soekarno, presiden RI pada tanggal
19 Desember 1961 di Alun-Alun Jakarta. Isi TRIKORA: 1) Bubarkan Negara boneka
Papua buatan kolonial Belanda, 2) Kibarkan bendera merah putih di seluruh Irian
Jaya (kini Papua) tanah air Indonesia, 3) Bersiaplah untuk mobilisasi umum.
Menurut Forkorus Yaboisembut, S. Pd dalam maklumat TRIKORA dalam point pertama
mengandung tiga hal penting, yakni: a) Presiden RI, Soekarno secara tersurat
maupun tersirat, serta secara langsung maupun tidak langsung sudah mengakui
Negara Papua, b) Namun negara Papua itu dihina sebagai negara boneka buatan
Belanda, c) Karena itu Negara Papua yang dianggap oleh RI sebagai negara boneka
itu harus dibubarkan. Maklumat TRIKORA itu adalah bukti autentik secara politik
dan hukum pengakuan Negara Papua oleh mantan presiden RI, Soekarno. Isi TRIKORA
itu juga merupakan bukti tertulis yang autentik adanya perintah aneksasi tanah
air, serta Bangsa dan Negara Papua oleh Pemerintah RI, (lihat "Pernyataan
Presiden NFRPB menjelang 50 tahun New York Agreement yang kelabu, 15 Agustus
1962 - 15 Agustus 2012", Halaman 4). Kemudian presiden RI, Soekarno
meningkatkan invasi politik dan militer sejak tahun 1962 untuk menganeksasi
Papua ke dalam NKRI.
Kedua,
Perjanjian New York antara Belanda
dan Indonesia, pada tanggal 15 Agustus 1962 adalah aneksasi tahap ke dua untuk
merealisasikan Maklumat TRIKORA. Perjanjian New York ini menjadi payung hukum
untuk mewujudkan maklumat TRIKORA. Dalam Perjanjian New York mengatur tiga hal,
yakni: a) penyerahan Papua dari Belanda ke UNTEA; b) penyerahan Papua dari
UNTEA ke NKRI; c) Persiapan dan Pelaksanaan Pemilihan Bebas. Setelah perjanjian
itu ditanda tangani yang disaksikan oleh PBB dan Amerika Serikat, maka
selanjutnya Belanda menyerahkan kekuasaan adminitrasi pemerintahan Papua ke
tangan UNTEA; dan pada tanggal 01 Mei 1963 UNTEA menyerahkan Papua ke NKRI. RI
mengkondisikan orang Papua sedemikian rupa untuk memenangkan Penentuan Pendapat
Rakyat dari sejak 01 Mei 1963. Akhirnya Pemilihan Bebas satu orang satu suara
itu, diubah menjadi pemilihan tidak bebas dan diterapkan sistem perwakilan,
yang hanya 1025 orang mewakili 800.000 jiwa lebih total penduduk asli Papua.
Karena itu orang asli Papua menyebut Penentuan Pendapat Rakyat pada tahun 1969 itu
"cacat hukum dan moral".
Aneksasi
lanjutan ketiga adalah melalui paket politik yang
dikemas dalam Undang-undang nomor 12 tahun 1969 tentang Otonomi Luas dan Real
bagi propinsi Irian Jaya (kini Papua).
Keempat,
Dengan adanya desakan rakyat bangsa Papua untuk berdaulat penuh, maka untuk
meredam aspirasi politik Papua merdeka, UU Otonomi Luas dan Real itu diganti
dengan UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua, dan
UU Otsus itu kemudian telah direvisi berkali-kali sesuai kemauan Jakarta.
Dari empat tahapan aneksasi itu,
aneksasi tahap pertama menempati urutan tertinggi karena Maklumat Trikora itu
setingkat dengan proklamasi / deklarasi /manifesto. Untuk mewujudkan aneksasi
pertama di dukung oleh Rusia. Kemudian demi kepentingan politik dan ekonomi,
Amerika Serikat memainkan peran luar biasa dan dapat menekan Belanda dan
meyakinkan PBB untuk memediasi RI dan Belanda agar menyelesaikan sengketa atas
tanah Papua. Akhirnya lahirlah aneksasi tahap kedua, yaitu Perjanjian New York
antara Belanda dan RI secara sepihak tanpa melibatkan orang asli Papua, dan
follow up-nya adalah Penentuan Pendapat Rakyat yang cacat moral dan cacat
hukum, yang dimulai dengan invasi politik dan militer untuk merealisasikan
Maklumat TRIKORA. Aneksasi tahap kedua oleh RI di dukung penuh oleh Amerika, PBB
dan negara sekutu lainnya.
Aneksasi tahap ketiga dan tahap keempat
dikemas dalam paket politik UU Otonomi Khusus (Otsus) untuk mempertahankan aneksasi
tahap pertama dan kedua. Aneksasi tahap ketiga dan keempat di dukung penuh oleh
Negara-negara tertentu di dunia dan PBB. Ada pun negara-negara tertentu,
seperti Amerika dan Uni Eropa, serta Australia menjadi negara-negara pendonor
untuk implementasi aneksasi lanjutan tahap ketiga dan keempat yakni Otsus Jilid
pertama dan Jilid kedua.
Dari penjelasan di atas, diuraikan
secara jelas dan singkat bahwa kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua mengalami
dari aneksasi ke aneksasi lanjutan oleh NKRI. Dalam upaya RI menganeksasi atau
mencaplok tanah air, dan membubarkan keutuhan dan integritas bangsa dan
kemerdekaan Negara Papua Barat telah melanggar beberapa ketentuan Hukum
Nasional dan Internasional serta tata cara / norma yang berlaku, antara lain:
Pertama,
RI telah melanggar butir 6 Declaration on the Granting of Indenpendence to
Colonial Countries and People, yang berbunyi: "Setiap upaya gangguan sebagian atau seluruh persatuan nasional
dan integritas suatu Negara tidak sesuai dengan tujuan dan Piagam Perserikatan
Bangsa-bangsa".
Kedua,
Telah melanggar Pembukaan Undang-undang Dasar RI pada alinea pertama yang
menyatakan: "Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan
oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak
sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan".
Ketiga,
Perjanjian New York tanggal 15 Agustus 1962 tentang "Act of free choice" dan implementasinya melalui
Penentuan Pendapat Rakyat pada tahun 1969 juga telah melanggar hukum
bangsa-bangsa tentang Aneksasi dan Declaration on the Granting of Indenpendence
to Colonial Countries and People dalam resolusi PBB nomor 1514 (XV), tanggal 14
Desember 1960.
Keempat,
ditinjau dari hukum bangsa-bangsa, maka klaim RI atas Papua Barat sebagai
bagian integral berdasarkan sejarah Kerajaan-kerajaan Kuno, seperti Kerajaan
Majapahit dan Kesultanan Tidore dengan hubungan kekeluargaan bangsa, hubungan
kenegaraan dan kebudayaan tidak dapat dibenarkan sama sekali. Bangsa Papua sama
sekali tidak merasakan hubungan seperti itu. Maka itu, RI telah melanggar Hukum
Bangsa-bangsa.
Kelima,
Negara Indonesia, PBB dan Amerika Serikat telah melanggar Deklarasi Umum Hak
Asasi Manusia oleh PBB dan kovenan-kovenan Internasional lainnya.
Untuk memulihkan kembali Kemerdekaan
Kedaulatan Negara Papua Barat yang telah dianeksasi ke dalam NKRI, maka pada
puncak Forum Demokrasi tertinggi bangsa Papua yakni Kongres Bangsa Papua ke
tiga, 19 Oktober 2011 di Lapangan Zakeus Padang Bulan - Jayapura yang dihadiri
sekitar 12.000 (dua belas ribuh) wakil rakyat Bangsa Papua telah menyatakan
"Deklarasi Pemulihan Kemerdekaan Kedaulatan Bangsa Papua di negeri Papua
Barat" yang dibacakan oleh Forkorus Yaboisembut, S.Pd dan melahirkan
Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB). Saat ini NFRPB sebagai negara baru
di muka bumi ini sedang berjuang untuk mendapatkan status pengakuan secara de
jure oleh negara-negara merdeka di dunia dan PBB, dan selanjutnya mengatur
peralihan kekuasaan adminitrasi pemerintahan dari NKRI ke NFRPB secara
bermartabat.
Pada Menjelang 50 Tahun Aneksasi Tanah
Air dan Bangsa serta Negara Papua, Front PEPERA PB menyatakan dengan tegas
bahwa:
1). Pendudukan
NKRI di Tanah Papua adalah illegal secara hukum dan moral.
2). Menolak dan
menggugat Aneksasi Tanah Air, dan Bangsa serta Negara Papua Barat ke dalam
NKRI.
3). Negara
Indonesia segera akui Kemerdekaan Kedaulatan Negara Papua Barat.
4). Stop membubarkan NFRPB dan stop memaksakan rakyat dan bangsa Papua menjadi warga negara dan bangsa Indonesia.
4). Stop membubarkan NFRPB dan stop memaksakan rakyat dan bangsa Papua menjadi warga negara dan bangsa Indonesia.
5). Negara Indonesia, Belanda, Amerika Serikat
dan PBB segera bertanggung jawab dengan jalan mengambil langkah-langkah
kongkrit untuk penyelesaian status Politik dan Hukum Bangsa Papua secara
bermartabat sesuai standar Internasional.
6). Negara-negara di dunia, khususnya Amerika
Serikat dan Belanda mendorong PBB dan atau pihak ketiga yang netral untuk
memediasi dialog /perundingan agar melahirkan solusi dua bangsa (Indonesia -
Papua) dan dua negara (NKRI - NFRPB) yang setara dan tanpa syarat sesuai
standar Internasional.
7). RI segera
hentikan segala bentuk teror maupun sandi-sandi operasi dalam bentuk apa pun
untuk membungkam perjuangan bangsa Papua dan stop membantai orang asli Papua,
baik secara langsung dan tidak langsung.
8). Solidaritas masyarakat Internasional
mendorong Negara masing-masing untuk mengakui Kemerdekaan Kedaulatan Negara
Papua secara de jure.
9).
Negara-Negara di kawasan Malanesia (MSG) dan Pasifik Islands Forum (PIF) segera
menerima Papua Barat menjadi Anggota Tetap MSG dan PIF dalam tahun ini.
10). Semua
Komponen Bangsa Papua di mana saja berada segera konsolidasi bersatu untuk
mengembalikan Hak Kemerdekaan Kedaulatan Bangsa dan Negara Papua yang telah
dianeksasi ke dalam NKRI melalui cara-cara kotor (cacat moral) dan tidak prosedural
(cacat hukum).
Demikian pernyataan sikap ini kami buat
dengan sesungguhnya, untuk diperhatikan dan ditindak-lanjuti oleh pihak-pihak
terkait, agar dapat menyelamatkan orang asli Papua dari marginalisasi,
diskriminalisasi, minoritas, dan pemusnahan etnis Papua secara bergerak perlahan-lahan
(slow moving genocide).
Penjara Abepura: Sabtu, 27 April 2013.
"Persatuan Tanpa Batas
Perjuangan Sampai Menang".
TTD
Selpius Bobii, (Ketua Umum Front
Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat, juga Tahanan Politik Papua Barat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar