Eksploitasi sumber daya alam di Papua selama 22 tahun dengan pendekatan dari atas ke bawah
Returning from hunting, Merauke
Oleh Carolyn Marr, Down to Earth
Proyek
lumbung pangan dan energi terpadu Merauke atau Merauke Integrated Food
and Energy Estate (MIFEE) yang diluncurkan pada bulan Agustus tahun lalu
saat ini merupakan rencana pengembangan sumber daya alam yang paling
ambisius untuk Papua.
Rencana itu meliputi perubahan peruntukan sejumlah besar lahan, termasuk hutan, untuk dijadikan perkebunan yang
akan ditanami berbagai tanaman untuk pangan, energi dan tanaman
produktif lainnya. Pekerja akan didatangkan ke Merauke untuk memenuhi
kebutuhan tenaga kerja. Kekhawatiran mendalam telah disampaikan oleh
organisasi masyarakat setempat serta ornop regional, nasional dan
internasional mengenai potensi kerusakan yang akan ditimbulkan oleh mega
proyek ini terhadap masyarakat adat, tanah adat, sumber daya alam dan
budaya mereka; dan juga dampak politik yang lebih luas, dampak terhadap
HAM, sosiologi dan budaya serta lingkungan Papua secara keseluruhan.
MIFEE
mengikuti pola baku dari mega proyek ambisius di Indonesia yang pada
dasarnya ditujukan untuk pasar ekspor. Proyek-proyek itu memberikan
insentif bagi investor sektor swasta, tetapi sama sekali tak
mempedulikan potensi pembangunan dan kebutuhan masyarakat setempat.
Tinjauan atas proyek dukungan pemerintah yang menargetkan Papua seperti yang
telah dicermati oleh DTE selama lebih dari dua puluh tahun terakhir ini
menunjukkan bahwa pembangunan semacam itu cenderung memiliki beberapa
persamaan karakter. Ciri-ciri tersebut antara lain: pengambilan
keputusan dengan pendekatan dari atas ke bawah, pernyataan resmi bahwa
proyek itu untuk kepentingan masyarakat, penyerobotan lahan milik
masyarakat adat, dan didatangkannya tenaga kerja non-Papua.
Fakta bahwa
MIFEE memiliki banyak persamaan karakter ini menunjukkan bahwa tak
banyak perubahan dalam pola pikir para pengambil keputusan sejak jaman
Suharto. Alhasil, dampak negatif serupa yang timbul dari proyek-proyek
sebelumnya kemungkinan besar akan terjadi lagi.
Sementara
beberapa rencana investasi yang lebih buruk di Papua belum berjalan,
atau paling tidak tak berjalan sebagaimana diumumkan sebelumnya,
penebangan hutan, pembangunan perkebunan, dan eksploitasi pertambangan,
minyak dan gas terus berlanjut dengan kecepatan yang berbeda-beda dan
tingkat dampak yang berbeda-beda pula.
Dampak menyeluruh adalah
kerusakan sumber daya alam yang terus berlangsung. Garis merah dari
eksploitasi sumber daya alam ini adalah terpinggirkannya masyarakat adat
Papua, proyek dengan pendekatan dari atas ke bawah yang ditentukan dari
luar, dan seringkali disertai ancaman atau penggunaan kekerasan untuk
memaksakan pelaksanaannya.
Dampak kumulatif
dari skema pembangunan ini merupakan persoalan tersendiri yang tak kalah
pentingnya. MIFEE tampaknya akan kembali menjadi pukulan yang bakal
mengandaskan harapan bahwa kekayaan alam Papua akan dikelola secara
berkelanjutan oleh masyarakat setempat dan bermanfaat bagi mereka
sendiri. Setiap pukulan semakin menjauhkan harapan karena keseimbangan
populasi bergeser dengan meningkatnya penduduk migran yang bukan
merupakan masyarakat adat dan semakin banyak sumber daya alam Papua
dikuasai oleh sektor swasta.Pemberian status otonomi khusus untuk Papua
pada tahun 2001 memberikan lebih banyak ruang bagi politisi Papua
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai sumber daya Papua
dan lebih banyak kesempatan untuk memperoleh manfaat dari pendapatan.
Kenyataannya, rakyat biasa masih tetap tak berdaya untuk mencegah
penyerobotan tanah dan sumber daya yang merupakan sumber penghidupan
mereka.
Dari Scott sampai BP
Ketika DTE didirikan pada tahun 1988, kampanye untuk menghentikan pembangunan besar-besaran oleh Scott Paper tengah berlangsung dengan gencar.[i] Lahan seluas sekitar 790.000 hektare di distrik Merauke ditargetkan untuk dijadikan perkebunan eucalyptus
untuk memasok kilang kayu serpih dan bubur kayu di Bade (sekarang di
distrik Mappi) di Sungai Digul. Tanah milik sekitar 15.000 masyarakat
adat yang hidup sebagai pemburu dan peramu masuk dalam wilayah konsesi
Scott. Perusahaan Amerika Serikat itu berjanji untuk mempekerjakan
sebanyak mungkin warga setempat, tetapi juga menegaskan bahwa masyarakat
non-Papua juga akan didatangkan dengan bantuan Departemen Transmigrasi
pemerintah Indonesia.[ii]
Kampanye
internasional menyuarakan kekhawatiran atas perlindungan penghidupan
dan hak untuk mendapatkan informasi awal tanpa tekanan (FPIC), meskipun
ketika itu istilah tersebut belum dikenal. Scott menampik tekanan ORNOP
dengan menyatakan bahwa perusahaan itu akan mundur jika masyarakat
setempat mengatakan mereka tak menginginkan proyek itu terus berjalan di
sana. Akhirnya, di bawah ancaman kampanye konsumen terhadap produk
terkenal perusahaan itu (tisue, kertas toilet), perusahaan mengundurkan
diri dari proyek itu. Hal ini menyebabkan mitra patungannya yang berasal
dari Indonesia (Astra) dan beberapa menteri marah, lalu menyerang balik
kelompok ORNOP.
Sejak peristiwa dengan Scott Paper
tersebut, Papua terus dikepung oleh proyek eksploitasi sumber daya alam –
sebagian sudah berjalan, sebagian belum, ada yang dalam skala
besar-besaran, ada juga yang tak begitu besar; ada yang dengan ijin
resmi, ada yang ilegal. Proyek-proyek ini antara lain mega proyek
Memberamo seluas 8 juta hektare untuk pembangunan bendungan pembangkit
listrik tenaga air, infrastruktur, industri berat dan agro-industri
(yang belum dimulai) hingga operasi penyelundupan kulit buaya yang
melibatkan pejabat pemerintah dan militer (yang sudah terjadi). Juga ada
rencana BPH untuk membuka pertambangan nikel raksasa di Pulau Gag
(dibatalkan) hingga proyek Tangguh yang luar biasa besarnya milik BP
berupa ekstraksi gas dan pabrik LNG di Teluk Bintuni (tengah berjalan).
Satu proyek yang
terus ada dalam sejarah Papua mutakhir adalah tambang tembaga dan emas
Freeport-Rio Tinto di pegunungan tengah Papua. Seperti yang tercatat
dalam kronologi di bawah ini, proyek raksasa tersebut telah membawa
banyak manfaat bagi investor tetapi menimbulkan banyak pelanggaran HAM
dan lingkungan hidup terhadap penduduk setempat. Hingga awal abad 21
ini, proyek tambang raksasa tersebut menjadi acuan atau contoh buruk
untuk tidak melakukan proyek pembangunan sumber daya alam di Papua.
Barangkali hal yang paling mengganggu adalah pengurasan sumber daya Papua yang berdampak sangat merusak kekayaan hutan Papua yang kaya, penuh keanekaragaman hayati dan unik. Ketika hutan rusak, mata pencaharian masyarakat yang tergantung pada sumber daya itu menjadi berkurang atau bahkan hilang sama sekali.
Hutan merupakan
target utama investor, mula-mula melalui konsesi HPH dan pembukaan hutan
untuk lokasi transmigrasi, dan belakangan melalui konsesi HTI. Melalui
peraturan daerah, lalu otonomi khusus, desentralisasi kekuasaan memicu
perseteruan untuk memegang kendali antara pemerintah Papua dan
pemerintah pusat. Mafia kayu yang baru adalah para pedagang kayu dan
petugas keamanan serta pejabat setempat, seiring dengan beralihnya demam
kayu dari Kalimantan ke Papua. Dalam dekade terakhir ini proyek kelapa
sawit dan bubur kayu serta berbagai kegiatan lain semakin menghancurkan
hutan Papua, di samping atau bersamaan dengan penebangan hutan.
Sekarang
ini, tanaman untuk pangan dan penghasil energi yang ditargetkan melalui
MIFEE merupakan ancaman tambahan bagi hutan dan penghuni hutan. HTI,
proyek pengembangan kelapa sawit dan MIFEE semuanya merongrong
kredibilitas komitmen yang dibuat presiden Indonesia Susilo Bambang
Yudhoyono untuk mengurangi emisi gas rumah kaca Indonesia sebesar 26%
per tahun 2020.[iii]
Eksploitasi sumber daya di Papua dengan pendekatan dari atas ke bawah 1989-2010 Berikut adalah sebagian kasus yang dilaporkan dalam terbitan berkala DTE selama lebih dari 22 tahun terakhir. Angka dalam kurung mengacu pada edisi terbitan berkala terkait. Daftar ini tidak lengkap, tetapi memberikan indikasi besarnya kerusakan sumber daya Papua dalam beberapa dekade terakhir. 1989: Marubeni dari Jepang dijadwalkan untuk mulai mengimpor kayu serpih dari daerah hutan bakau di Teluk Bintuni sebagai bagian dari proyek bersama PT Bintuni Utama Murni yang mencakup kegiatan pabrik kayu serpih di Pulau Amutu Besar. Tak ada AMDAL, dan konsesi itu tumpang tindih dengan area hutan konservasi (1). Di Jepang protes terhadap proyek itu dilancarkan oleh JATAN dan FoE Jepang (6). Scott Paper melanjutkan rencana pembukaan perkebunan dan proyek bubur kayu di Merauke setelah mendapat persetujuan pemerintah pada bulan Oktober 1988 (1). Surat protes dilayangkan oleh sejumlah ORNOP (2) dan aksi protes juga dilancarkan di Jakarta (3). Perusahaan akhirnya menarik diri dari proyek tersebut (6). Perusahaan Finlandia Rauma-Repola Oy tengah menjajaki kerja sama patungan dengan PT Furuma Utama Timber Co, untuk mengembangkan proyek kertas dan bubur kayu di Papua (6). Konglomerat Indonesia PT Garuda Mas melakukan studi kelayakan untuk pabrik pemrosesan sagu di distrik Sorong (1). PT Sagindo Sari Lestari telah membangun pabrik sagu di Bintuni-Manokwari (4) Enam puluh enam dari 77 pemegang HPH dilaporkan telah menghentikan kegiatan penebangan mereka (1). Perusahaan Australia McLean Ltd berencana untuk melakukan penebangan di atas lahan HPH seluas 60.000 hektare di daerah Mamberamo melalui kerja sama dengan PT Sansaporinda, yang disebut Mamberamo Forest Products (5). Gucci dan Christian Dior dikabarkan berminat atas investasi kulit buaya. Sekitar 2.500 lembar kulit buaya telah diekspor ke Perancis sejak1987 oleh PT Skyline Jayapura (2). Perburuan buaya dan penyelundupan kulit buaya dilaporkan terjadi di daerah Sungai Mamberamo, dengan melibatkan kekerasan dan korupsi dalam perdagangan itu (3). BUMN PT Aneka Tambang berencana untuk membuka tambang nikel di Pulau Gag dengan dukungan finansial dari Queensland Nickel Joint Venture, Australia (3). Ekspansi besar-besaran terjadi di tambang Freeport dengan peningkatan produksi emas sebanyak tiga kali lipat dari 5 ton menjadi 15 ton dalam 3 tahun ke depan dan produksi konsentrat tembaga dari 25.000 ton menjadi 40.000 ton per hari. Freeport merayakan ulang tahunnya yang ke 21 sambil meraup keuntungan terbesar yang pernah dicapai. Seorang pekerja medis melaporkan telah terjadi 143 kecelakaan kerja yang serius dan 4 kematian dalam 3 tahun terakhir (5). Perusahaan patungan penebangan hutan Korea Selatan-Indonesia, You Liem Sari (anak perusahaan You One Construction) dan PT Kebun Sari telah menghancurkan penghidupan 90 keluarga di Muris, dekat Jayapura (6). Enam perusahaan pertambangan emas asing, satu dari Inggris dan lima dari Australia, mengincar emas di Papua (6). 1990: Investigasi oleh kantor berita Jepang, Kyodo, menemukan bukti pembalakan liar di Teluk Bintuni oleh Bintuni Utama Murni Wood Industries yang didukung oleh Marubeni (7). Di Teluk Bintuni, pemilik tanah suku Iraturu menuntut royalti dari perusahaan, sementara kampanye terhadap keterlibatan Marubeni dalam perusakan hutan bakau terus berlanjut di Jepang (10). Perusahaan itu diperintahkan untuk menghentikan kegiatannya dan didenda oleh Menteri Kehutanan karena pembalakan liar (11). Perusahaan minyak Amerika Serikat Conoco akan melakukan pengeboran sumur minyak yang konon terbesar di Papua di daerah Kepala Burung sesuai dengan perjanjian bagi hasil dengan perusahaan minyak negara Pertamina (8). Pengapalan pertama ke Jepang tepung sagu yang diproduksi oleh Sagindo Sari Lestari melalui kegiatannya di Teluk Bintuni. Perusahaan itu mengumumkan rencana untuk mendatangkan 200 keluarga transmigran untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. (9). Gubernur Suebu mempertimbangkan rencana sebuah konsorsium Australia untuk membangun pabrik pembuangan limbah beracun di Nappan, Teluk Cenderawasih, untuk memproses limbah tingkat tinggi dari Australia, Indonesia dan Singapura (9). Proyek peluncuran roket pendorong satelit di Biak juga tengah direncanakan bersama dengan sebuah perusahaan Amerika Serikat (9). Freeport melakukan negosiasi untuk memperluas kawasan kontrak menjadi 20 kali lebih besar dari luas awalnya. (10). Ornop Indonesia SKEPHI melaporkan bahwa 77 pemegang HPH sudah mendapatkan 12,9 juta hektare dan mengatakan bahwa 70% dari hutan Papua seluas 41,8 juta hektare telah dialokasikan untuk berbagai jenis eksploitasi (penebangan hutan, pembangunan waduk, lokasi transmigrasi, perkebunan, pertambangan dan minyak) (10). PT Yapen Utama Timber siap menghancurkan hutan perawan Pulau Yapen dan penghidupan masyarakat di pulau itu (10). Pemerintah memberikan lampu hijau kepada 19 pabrik bubur kayu baru, empat di antaranya berada di Papua (11). Gubernur Suebu mengatakan bahwa survei satelit yang dilakukan oleh ahli AS menunjukkan bahwa Papua memiliki cadangan emas terbesar di dunia (11). 1991: Perusahaan negara Inhutani II diumumkan sebagai pengganti Scott Paper di Merauke (12). Pemerintah Kanada mendanai studi kelayakan bagi perusahaan kayu/proyek bubur kayu yang didanai Bank Pembangunan Asia di Sorong. Perusahaan yang mengajukan diri untuk menjalankannya adalah PT Kayu Lapis, salah satu kelompok perusahaan kehutanan besar di Indonesia yang sudah melakukan penebangan hutan di Teluk Bintuni melalui anak perusahaannya PT Henrison Iriana. Perusahaan ini dikabarkan memiliki dua HPH, masing-masing di kelurahan Wasior dan Babo (12). Proyek sagu PT Sagindo Sari Lestari berencana untuk mendatangkan 8.000 keluarga transmigran lagi untuk bekerja di proyek tersebut (12). Sepuluh ORNOP dari AS, Inggris, Jepang, dan Belanda menyuarakan keprihatinan mereka atas dampak pertambangan Freeport dan perluasan proyek yang tengah berlangsung terhadap masyarakat adat Papua dan lingkungannya (12). Freeport menanggapi dengan membantah telah melakukan kesalahan, tetapi bersedia mengatur pertemuan dengan ORNOP AS Environmental Defense Fund bersama dengan WALHI dan wakil WWF di Jakarta serta memasang iklan untuk mencari staf lingkungan hidup. (13). Perusahaan itu menandatangani perjanjian dengan pemerintah Indonesia untuk perpanjangan kontrak selama 30 tahun yang mencakup wilayah 2,5 juta hektare lahan dan CEO James Moffett mengklaim bahwa ia “menancapkan tombak pembangunan ekonomi ke jantung tanah Irian Jaya”. Tambang itu memiliki cadangan emas terbesar yang pernah dipublikasikan (14). Bakrie Group membeli 10% saham Freeport Indonesia (15). Serangkaian berita surat kabar melaporkan kisah perjanjian antara pemimpin adat dan perusahaan itu tahun 1974 dan perlunya melakukan renegosiasi perjanjian tersebut (15). Pemerintah mengumumkan rencana untuk membangun daerah wisata internasional di Pulau Biak dengan enam hotel yang akan dibangun di atas tanah seluas 325 hektare (13). Empat perusahaan lain (termasuk tiga perusahaan internasional) telah menyerahkan proposal untuk melakukan eksplorasi tembaga di Papua (13). Kantor gubernur Papua menyatakan bahwa Bintuni Utama Murni Wood Industries telah membuka hutan bakau seluas 300 hektare secara ilegal. Perusahaan itu, dengan dukungan perusahaan Jepang, Marubeni, belum membayar denda yang dikenakan tahun lalu (13). Dikabarkan ada proyek pembangunan waduk pembangkit listrik tenaga air di Sentani dengan dukungan keuangan dari Jerman (13). 1992: Moi, masyarakat adat di Sorong, menolak kehadiran perusahaan penebangan hutan PT Intimpura di tanah nenek moyang mereka, melakukan protes, bertemu dengan wakil perusahaan dan pemerintah dan menyerukan agar dikenakan denda. Perusahaan terus melakukan pembalakan meskipun belum memenuhi janjinya terhadap masyarakat. Masyarakat setempat tak mengetahui adanya rencana pembalakan sampai kegiatan itu dimulai. (16). Tiga perusahaan – PT Yapen Utama, Wapoga Timber dan Barito Pacific Timber melakukan penebangan hutan di Pulau Yapen, meskipun diprotes warga setempat (19). Perusahaan patungan Perancis –Australia PT Nabire mendapat ijin untuk melakukan eksplorasi emas di lahan seluas lebih dari 825.000 ha di Papua. Perusahaan itu adalah BRGM dari Perancis dan Consolidated Rutile dari Australia, juga perusahaan Indonesia, PT Darma Bakti Cirendeu. Perusahaan asing lainnya, Montague Gold, telah memiliki tiga proyek eksplorasi patungan di Papua (16). Sebuah konsorsium bank Jerman akan menyediakan dana 70% untuk membangun pabrik peleburan di Gresik, Jawa Timur, untuk melebur tembaga dari tambang Freeport (16). Dampak kegiatan Freeport yang membuang puluhan ribu ton limbah batu setiap hari ke sungai setempat merusak daerah dataran rendah, mengakibatkan banjir di hutan-hutan dan mempengaruhi penghidupan masyarakat setempat (18).
PT Astra,
perusahaan yang pernah menjadi mitra Scott Paper dalam proyek bubur
kayu di Merauke, mengundurkan diri dari kerja sama itu karena masalah
keuangan (18).
Perusahaan tambang batu bara milik negara PT Tambang Batubara Bukit Asam akan bekerja sama dengan 20 perusahaan daerah dalam usaha patungan baru di bidang batu bara, termasuk di Papua (17).
1993: Warga desa Moi di Sorong, melakukan penyerangan untuk ketiga kalinya terhadap base camp perusahaan kayu PT Intimpura (yang
dimiliki oleh militer) setelah protes mereka terus menerus diabaikan
(20/21). Ancaman dan intimidasi terus dilancarkan terhadap masyarakat
setempat yang melakukan protes terhadap pembalakan yang terus berlanjut
(22). Konflik serupa juga terjadi di distrik Manokwari antara warga Sou
di distrik Bintuni, dan perusahaan penebangan hutan PT Yotefa Sarana Timber (20/21).
Rencana pembangunan lembah Sungai Mamberano diumumkan oleh Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie (20/21).
Perusahaan AS Eastern Mining bekerja sama dengan dua perusahaan Indonesia untuk melakukan eksplorasi emas dan tembaga di Papua (21/21).
Freeport akan meningkatkan pemrosesan biji besi menjadi 115.000 ton per hari hingga 1996 (22).
1994: Departemen Kehutanan menekankan pentingnya relokasi pemrosesan kayu dari Sumatra dan Kalimantan ke Papua (24).
Perusahaan Kanada Inco terus
melakukan eksplorasi tembaga terbatas di Papua. Ketika ornop
menyuarakan keprihatinannya, perusahaan itu mengatakan puas dengan
catatan HAM Indonesia (24). Sementara itu perusahaan patungan antara Ingold dari Kanada dan Eastern Mining dari AS memperoleh ijin eksplorasi emas dan tembaga serta kontrak produksi (24).
1995: RTZ (sekarang Rio Tinto) membuat perjanjian dengan Freeport untuk
mendanai ekspansi di tambangnya, dan memperolah saham di Freeport dan
bagian keuntungan dari ekspansi itu sebagai imbalannya. Australian
Council for Overseas Aid melaporkan bahwa 37 orang tewas dalam beberapa
bulan terakhir ini di tangan militer dan aparat keamanan Freeport dan
Freeport dituduh terlibat dalam penyiksaan dan intimidasi 13 warga,
penembakan 3 warga desa, dan hilangnya 5 warga desa (25). Protes
terhadap keterlibatan RTZ di Freeport dilancarkan pada waktu Rapat Umum
Pemegang Saham perusahaan itu di London (25). WALHI menggugat Departemen
Pertambangan dan Energi ke pengadilan, menuduh departemen itu gagal
dalam melakukan konsultasi secara memadai sebelum menyetujui AMDAL
Freeport (26). Pernyataan oleh pimpinan Amungme menyerukan dihentikannya
pembunuhan dan penyiksaan, penggusuran dan perusakan lingkungan oleh
kegiatan pertambangan Freeport. Laporan oleh Keuskupan Katolik
menunjukkan adanya bukti pembunuhan, penyiksaan dan penghilangan di
daerah konsesi pertambangan (27). Sementara itu kapasitas pemrosesan
biji besi akan ditingkatkan menjadi antara 175.000-200.000 ton per hari
dan Presiden Suharto menyetujui investasi Freeport (27). Badan Investasi
Swasta Luar Negeri (Overseas Private Investment Corporation) pemerintah
AS membatalkan jaminan risiko politik untuk Freeport senilai US$ 100
juta. Surat OPIC kepada perusahaan itu mengungkapkan adanya kerusakan
lingkungan yang besar. Badan Jaminan Investasi Multilateral
(Multilateral Investment Guarantee Agency) dari Bank Dunia juga didesak
untuk melakukan pembatalan serupa atas jaminan yang diberikan tahun 1990
(28). Mahasiswa AS melancarkan protes terhadap Freeport. Suharto
membuka kota tambang Kuala Kencana dekat tambang Freeport, dan gugatan
WALHI terhadap Freeport kandas (28). Menteri Kehutanan Djamaluddin
menginginkan agar perusahaan kayu meningkatkan penebangan hutan di Papua
(29/30).
1996: Angka
resmi menunjkkan bahwa produksi kayu telah meningkat tiga kali lipat
tahun 1992-3 dibandingkan dengan dekade sebelumnya sebesar 1,3 juta m3
dari 68 HPH, tetapi ini tak cukup dan Departemen Kehutanan mendorong
lebih banyak produksi. Jakarta menawarkan ijin bagi pabrik penggergajian
dan pabrik bubur kayu baru untuk Papua. Tingkat royalti yang lebih
rendah diberlakukan sebagai insentif (29/30).
Enambelas proyek bubur kayu diumumkan, termasuk pabrik dengan kapasitas 300.000 ton per tahun yang akan dijalankan oleh Jayanti Group mulai 2003 (29/30).
Terjadi kerusuhan massa dan penyerangan terhadap properti Freeport di
Tembagapura dan Timika serta kota baru Kuala Kencana, setelah seorang
warga suku Dani, yang tertabrak oleh kendaraan yang dikemudikan oleh
karyawan Freeport, kemudian dikabarkan tewas dan dilempar ke jurang. CEO
Freeport datang menemui pemimpin Amungme yang mewakili korban dan
mengajukan tuntutan. Pemimpin adat Tom Beanal menggugat perusahaan itu
di AS dan meminta ganti rugi sebesar US$6 miliar (29/30). Freeport
menyorongkan penyelesaian berupa 1% dari keuntungan kotor untuk program
pengembangan masyarakat dan sebagai imbalannya perusahaan dapat terus
beroperasi dalam lahan konsesi seluas 2,6 juta hektare. Freeport
membatalkan jaminan risiko politik dari MIGA maupun OPIC (yang
sebelumnya telah diberikan kembali) (31).
Sedikitnya 82 keluarga (sebagian besar keluarga dari Jawa di lokasi transmigrasi) meninggalkan proyek PT Sago Sari Lestari karena upahnya terlalu kecil untuk dapat bertahan hidup (29/30).
Texmaco menggantikan Astra untuk proyek Scott Paper di Merauke dan akan memproduksi rayon, bukan bubur kayu (32). Perusahaan lain, Tanah Merah Hutan Lestari, tengah mengembangkan perkebunan kayu seluas 350.000 ha di wilayah itu. (32).
1997: Kekerasan terjadi, dipicu oleh suatu kasus perkosaan yang melibatkan karyawan-karyawan Papua Freeport,
mengakibatkan 6 tewas dan 52 luka (33). Timbul lagi kekerasan di
tambang Freeport-Rio Tinto yang menewaskan sedikitnya empat warga Papua
(35). Di daerah hilir, warga tergusur oleh lumpur dan limbah tailing
yang dibuang Freeport, yang telah menenggelamkan Koperapoka Lana dan
merusak 300.000 ha hutan. Sementara itu, ditemukan cadangan emas baru
(32). Pemerintah mendapati bahwa air sungai tak layak untuk dikonsumsi
(32). Gugatan oleh pemimpin Amungme Tom Beanal, dan Yosepha Alomang
ditolak di AS (32). Saham Bakrie di Freeport diambil alih oleh Nusamba,
yang berada di bawah kendali keluarga Suharto dan kroninya si raja kayu
Bob Hasan (33). Lebih banyak pasukan akan ditempatkan di Timika (32)
dan Freeport membangun barak bagi militer setempat (35).
BHP mengumumkan proyek tambang nikel di Pulau Gag, melalui kerja sama dengan perusahaan tambang negara, PT Aneka Tambang (35).
Suharto menginstruksikan pemerintah agar membangun satu juta hektare perkebunan di Papua (35)
Rencana pembangunan pembangkit listrik, industri berat dan produksi pangan di daerah aliran sungai Mamberamo diumumkan.
Ada rencana untuk menarik investor Jerman (32). Seperti halnya mega
proyek lahan gambut Kalimantan Tengah, Mamberamo ditampilkan sebagai
cara untuk mengembalikan swadaya beras (34). Seminar mengenai Mamberamo
diadakan di Jakarta untuk menarik investor (35).
Penemuan gas di Teluk Bintuni diumumkan oleh perusahaan AS Atlantic Richfield (ARCO – ladang gas itu kemudian menjadi proyek Tangguh, yang dikendalikan oleh BP) (32).
1998: Pemerintah
mengumumkan tak akan mengeluarkan ijin penebangan hutan lagi di
Indonesia pada tahun 1998, kecuali di Papua dan Timor Timur (36).
Disetujui kontrak pertambangan nikel di Pulau Gag untuk usaha patungan BHP dan Aneka Tambang (37).
Badan
perencanaan pembangunan nasional (BAPPENAS) membuat daftar proyek baru
untuk mengeksploitasi sumber daya Papua di tujuh zona. Rencana tersebut
mencakup transmigrasi besar-besaran yang dipadukan dengan penebangan
hutan, proyek kayu lapis, kelapa sawit, gula tebu dan serat tekstil di
Merauke dan eksploitasi gas di Teluk Bintuni (37).
Mantan
Gubernur Suebu (yang duduk di badan pengawas pembangunan untuk wilayah
Indonesia Timur) mengumumkan bahwa Jerman, Jepang dan Australia telah
menyepakati untuk menanamkan modal di mega proyek Mamberamo (37).
Rencana untuk mega proyek itu tidak terpengaruh oleh ’krismon’ dan
laporan menyebutkan bahwa pembebasan tanah mulai berjalan. (37).
Sekitar 2.100 orang akan dipindahkan dari kota tambang Freeport Timika
ke lokasi transmigrasi (37). Freeport terlibat dalam pembunuhan 11
orang dan tindak kekerasan lain yang dilakukan oleh militer Indonesia di
dekat tambangnya. Kekerasan itu didokumentasikan dalam laporan pemimpin
gereja di Mimika (38). Dinding air setinggi 20 kaki dimuntahkan Danau
Wanagon, di mana Freeport membuang limbah tambangnya, mengakibatkan
banjir di desa Waa dan sejumlah banjir dan tanah longsor, yang menelan
korban dua pekerja (39). Kegiatan perusahaan diselidiki oleh sebuah
komisi DPR yang mendapati bahwa perusahaan itu belum memberikan cukup
manfaat bagi masyarakat setempat. Terjadi mogok kerja di pertambangan
karena masalah gaji (39). Sementara itu, jatuhnya Suharto memicu
munculnya tuntutan akan penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan rakyat
Papua di seluruh wilayah itu (38).
Detail rencana ARCO dan mitranya untuk mengeksploitasi gas di proyek Tangguh diumumkan ke masyarakat luas (39).
1999: Penguasaan
tanah besar-besaran, termasuk ribuan hektare di Papua, oleh keluarga
Suharto mulai merebak, ,dengan sedikitnya 5 perusahaan terlibat dalam
sektor perkebunan, perikanan dan industri. (40). Sementara pembicaraan
tentang ‘otonomi’ dan ‘Dialog Nasional’ mengenai Papua berlanjut,
Departemen Kehutanan menyerukan agar pemerintah distrik Merauke
memastikan adanya pembukaan lahan dan penyelesaian pemberian kompensasi
sehingga perkebunan kelapa sawit, gula dll milik Texmaco dapat mulai beroperasi. (40)
Kanwil
Kehutanan mengatakan bahwa pihaknya telah menyerahkan permohonan ke
pemerintah pusat untuk pembangunan 20 proyek perkebunan kelapa sawit
baru skala menengah dan besar serta fasilitas pemrosesannya di distrik
Jayapura, Merauke, Nabire, Fakfak dan Manokwari (40). Sebuah pembangunan
perkebunan kelapa sawit di Sorong oleh Korindo Group (melalui anak perusahaan Bangun Karya Irian) tengah menunggu persetujuan. Dua anak perusahaan lain sudah mengembangkan perkebunan seluas 3.000 ha di Merauke (40).
Sebuah pembangunan perkebunan baru di wilayah Arso diumumkan, dengan pengembang PT PNII – perusahaan perkebunan negara - dengan
perkebunan seluas 102.000 ha dan membangun pabrik pengolahan minyak
sawit mentah (CPO) (42). Lahan seluas 1 juta hektare dialokasikan untuk
‘Zona Pembangunan Ekonomi Terpadu Biak’ untuk ditanami padi, sagu dan
kelapa sawit, dan akan dikembangkan oleh PT Dato, konsorsium perusahaan Malaysia dan Jerman (42). PT Varita Majutama (anak perusahaan Jayanti Group,
yang menjalankan proyek kayu lapis, sagu dan pengalengan ikan di Biak)
memperluas perkebunan yang sudah ada di Babo, Teluk Bintuni, dengan
mengerahkan tenaga kerja transmigran dan perusahaan itu merencanakan
untuk membangun kilang pengolahan dan pelabuhan. (42). Sinar Mas mengatakan
akan membangun pabrik pengolahan minyak kelapa sawit mentah dengan
fasilitas pelabuhan di distrik Jayapura dan sudah menanam kelapa sawit
di perkebunan seluas 13.000 hektare di sana.(42). Perusahaan lain (PT Tujuh Wali-Wali dan PT Prabu Alaska) tengah menunggu persetujuan untuk proyek mereka di distrik Jayapura dan Fakfak (42).
Lembaga Adat Suku Amungme (LEMASA) mengancam akan menutup tambang Freeport-Rio Tinto kalau
perusahaan itu tidak mengubah cara kerjanya. (40). Skandal korupsi yang
melibatkan Menteri Perekonomian Ginandjar Kartasasmita, Aburizal Bakrie dan
Freeport, memicu munculnya tuntutan untuk melakukan negosiasi ulang
atas kontrak perusahaan yang dibuat tahun 1991 itu. Sementara itu
Presiden Habibie menginstruksikan para menteri untuk membantu perusahaan
pertambangan itu agar meningkatkan produksinya menjadi 300.000 ton per
hari (40) dan perluasan wilayah tambang disetujui setelah Freeport
sepakat untuk meningkatkan pembayaran royalti atas tembaga dan emas yang
dikeruk (41).
Wakil Papua yang
hadir dalam pertemuan peresmian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
mengecam penyerobotan tanah dan sumber daya mereka oleh pemerintah
pusat di Jakarta yang kemudian membagi-bagikannya ke berbagai
perusahaaan. Mereka menuntut kemerdekaan dari Indonesia (Terbitan khusus
DTE Oktober 1999). Sebuah kampanye internasional diluncurkan untuk
mendesak pemerintah agar mengakui bahwa PEPERA (Penentuan Pendapat
Rakyat)1969 adalah penipuan (43).
Continental Energy, untuk anak perusahaannya Apex Ltd, menandatangani kontrak bagi hasil dengan Pertamina untuk melakukan eksplorasi atas blok seluas 9.500 km persegi di lepas pantai timur laut Papua (43).
Perwakilan Papua Barat meminta Kelompok Kerja PBB untuk Masyarakat Adat agar pihak-pihak yang terlibat dalam proyek Mamberamo melakukan
konsultasi dengan 7.300 warga yang terimbas. Perwakilan itu menyatakan
bahwa hingga saat ini ”hampir semua kebijakan dan keputusan untuk apa
yang disebut ‘pembangunan’ di Papua Barat dibuat tanpa sepengetahuan
mereka” (43).
2000: Dengan
latar belakang tuntutan terbuka untuk kemerdekaan atau paling tidak
dialog mengenai status politik Papua, warga Papua mengajukan tuntutan
baru untuk penutupan tambang Freeport-Rio Tinto dan
ditariknya pasukan militer dari Timika (44). Penahan waduk Wanagon
ambruk dua kali, menyebabkan tewasnya empat pekerja kontrakan dan banjir
yang parah di daerah hilir. Pengurangan sementara dalam pemrosesan biji
besi diberlakukan (47). WALHI menggugat Freeport karena pelanggaran
undang-undang pengelolaan lingkungan hidup (47). Kapal survei yang
dioperasikan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melaporkan
adanya banyak endapan dari tambang Freeport di Laut Arafura (47).
Freeport menyepakati kerangka kerja nota kesepahaman dengan organisasi
masyarakat LEMASA dan LEMASKO (47).
Informasi dari
Badan pengelolaan Lingkungan Hidup (Bapedal) di Jayapura menunjukkan
bahwa 57 perusahaan kayu telah menebang pohon di lahan seluas 11 juta
hektare. Bapedal menyebutkan nama enam perusahaan dengan HPH seluas
lebih dari 200.000 hektare yang menguasai lahan sejumlah total 6,8 juta
ha. Ketua Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) mengatakan bahwa
banyak perusahaan menghentikan operasi karena konflik dengan masyarakat.
(45).
Dewan Presidium Papua yang
baru dan pro-kemerdekaan mengeluarkan resolusi mengenai investasi asing.
Investasi asing disambut baik selama investor menghargai hak-hak
masyarakat adat Papua dan lingkungannya. (47).
Kesepakatan
‘road for logs’ (jalan untuk kayu) yang melibatkan empat perusahaan
Korea Selatan ditandatangani di Jakarta. Sesuai dengan kesepakatan ini
perusahaan-perusahaan tersebut akan membangun jalan sepanjang 11.280 km
yang menghubungkan Jayapura dengan Nabire dan Sorong dan sebagai
imbalannya mereka akan mendapatkan hak penebangan pohon selebar lima
kilometer di sebelah kiri dan kanan sepanjang jalan baru tersebut. (47).
Sementara itu masyarakat setempat dari Yapen Waropen menuntut kompensasi atas penebangan hutan dari perusahaan Korea lainnya, Kodeco (47).
2001: Undang-undang
Otonomi Khusus untuk Papua akhirnya dikeluarkan pada bulan Oktober, dua
tahun setelah diberlakukannya UU Otonomi Daerah agar daerah memperoleh
bagian yang lebih besar atas pendapatan yang diperoleh dari sumber daya
alam (51). Tenggat waktu 1 Mei bagi pengesahan RUU itu ditunda (49).
Demonstran menolak otonomi dan menyerukan kemerdekaan sementara pihak
keamanan menggilas demonstrasi politik, menangkap para pemimpin Papua
yang pro-kemerdekaan. Puluhan orang dilaporkan tewas setelah ditembak
dan/atau dihajar pihak keamanan. (49).
Perusahaan merger Inggris/AS, BP/Amoco (dahulu ARCO)
merencanakan untuk memulai produksi dari ladang gas raksasa Tangguh di
Teluk Bintuni tahun 2005. Menteri Lingkungan Hidup Sony Keraf mengatakan
bahwa proyek itu akan merupakan ujian bagi UU Lingkungan Hidup yang
baru, yang mensyaratkan partisipasi masyarakat dalam AMDAL. Kepala
Bapedalda Ali Kastella mengatakan bahwa proyek itu mengancam ribuan
hektare hutan bakau (48). Masyarakat adat Sebiar (Sebayar) mengancam
akan menghentikan kegiatan BP Tangguh jika perusahaan itu gagal membayar
ganti rugi yang telah dijanjikan atas pohon sagu yang hancur selama
survei yang dilakukan tahun 1996-1997 (49).
Pembunuhan
terhadap sejumlah pekerja penebang dan polisi memicu operasi brutal
oleh Brimob di Wasior. Perusahaan yang terlibat adalah PT Dharma Mukti Persada,. Kejadian tersebut mengundang debat mengenai potensi pelanggaran HAM di sekitar lokasi BP Tangguh (50).
Bulan Februari Indonesia melelang 21 blok eksplorasi, termasuk 6 blok di Laut Arafura(48).
Freeport-Rio Tinto ditengarai
oleh Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Indonesia sebagai satu dari dua
perusahaan yang paling mencemari di Indonesia timur, tetapi pemerintah
kembali memberikan perusahaan itu ijin untuk berproduksi lebih banyak
sebesar 230.000 ton per hari (49). WALHI memenangkan gugatan atas
Freeport dan perusahaan itu dinyatakan bersalah melanggar UU Lingkungan
Hidup No 23/1997. Pihak militer menegaskan bahwa mereka siap mengamankan
fasilitas Freeport dari ancaman keamanan di tengah-tengah seruan untuk
menarik pasukan militer keluar dari Papua. Freeport menemukan lebih
banyak tembaga dan emas dalam wilayah konsesinya. (51).
Mega proyek Mamberamo akan
berjalan terus, menurut pejabat tingkat provinsi, tetapi Bank Dunia
membantah sedang mempertimbangkan untuk mendanai waduk pembangkit
listrik tenaga air itu dan mengindikasikan bahwa proyek itu merupakan
gagasan yang buruk. (49). Rombongan pimpinan masyarakat adat dari
Mamberamo pergi ke Jakarta untuk menuntut penghentian proyek, tetapi
pemerintah tampaknya sudah berketetapan untuk terus melanjutkannya dan
“terus mendesak masyarakat setempat agar menerima rencana itu” (50).
Peraturan baru untuk menghentikan pertambangan di hutan lindung diperdebatkan oleh perusahaan-perusahaan tambang, termasuk BHP, yang merencanakan untuk mengembangkan tambang nikel di Pulau Gag di perairan Papua.
2002: BP melakukan analisis dampak HAM di Tangguh di tengah-tengah kekhawatiran mengenai pengaturan keamanan gaya Freeport di
Teluk Bintuni dan potensi pelanggaran HAM terhadap warga setempat.
Pendudukan base-camp BP di Manokwari selama sehari penuh oleh masyarakat
setempat memaksa dihentikannya kegiatan proyek Tangguh. Sejumlah ornop
di Manokwari menyerukan moratorium. BP membentuk komisi (TIAP) untuk
pengawasan yang lebih ketat atas pelaksanaan proyek itu, lalu komandan
militer Papua mengunjungi lokasi proyek dan menyatakan bahwa militer
memiliki kewajiban untuk melindungi lokasi proyek semacam itu. (53/54).
Pengunjung lokasi melaporkan kekhawatiran masyarakat setempat yang
mendalam atas masa depan mereka (55).
Data
pemerintah menunjukkan bahwa 3,3 juta hektare dari 11,5 juta hektare
hutan yag dimaksudkan untuk dijadikan hutan lindung di Papua tumpang
tindih dengan konsesi pertambangan. Hal yang sama juga terjadi pada 1,5
juta ha dari 7,5 juta hektare hutan konservasi Papua. Perusahaan yang
terlibat termasuk BHP dan Freeport.
Gubernur Solossa melobi untuk mencabut larangan atas proyek BHP
(53/54). BHP adalah satu dari enam perusahaan yang pertama kali mendapat
persetujuan untuk melanjutkan operasinya, setelah pemerintah bertekuk
lutut karena mendapat tekanan kuat untuk mengijinkan pertambangan di
hutan lindung (55).
Menteri
Kehutanan Prakosa meminta Gubernur Papua Solossa untuk mencabut
keputusan yang mengijinkan ekspor kayu merbau yang berharga yang
bertentangan dengan larangan pemerintah pusat (53/54). Pelanggaran HAM
terkait dengan bisnis pembalakan liar dilaporkan oleh kelompok HAM di
Papua, ELSHAM (55). International Crisis Group mengeluarkan laporan yang
menunjukkan hubungan antara militer, eksploitasi sumber daya alam
secara ilegal dan pembayaran uang keamanan oleh perusahaan-perusahaan
yang beroperasi di Papua. Pejabat militer atau “yayasan” yang dijalankan
oleh militer dilaporkan menjadi pemilik saham dalam perusahaan
penebangan hutan PT Hanurata dan Jayanti.
Kasus-kasus intimidasi yang melibatkan Jayanti di Teluk Bintuni
dilaporkan, juga penembakan oleh pasukan Kopassus yang menelan korban di
lokasi PT Wapoga Mutiara Timber,130
km barat Jayapura. ICG merekomendasikan moratorium penebangan komersial
untuk Papua dan penghapusan keterlibatan militer secara bertahap dalam
ekstraksi sumber daya alam. (55).
Papua
mengalami demam penebangan hutan yang berpusat di daerah Kepala Burung
dengan banyak pembeli asing yang berminat atas kayu merbau. Banyak kasus
penebangan liar dan penyelundupan kayu yang dilaporkan. Mafia kayu yang
terkait dengan kerusakan hutan yang meningkat pesat muncul di Sorong
berupa kolusi antara pejabat setempat, militer/polisi dan perusahaan
kayu. (55). Terdapat 53 ijin HPH skala besar di Papua, mencakup 11-13
juta hektare, ditambah ratusan ijin HPH skala kecil yang dikeluarkan
sejak 1998. Dibandingkan dengan daerah lain, laju kegiatan penebangan
lebih rendah dan jumlahnya berkurang sekitar 1,8 juta ha antara 1985 dan
1997. Produksi kayu antara 1995-2000 adalah 1,7 juta meter kubik per
tahun (37% dari target pemerintah). Tak ada pembangunan hutan produksi
kayu dan laju pembangunan perkebunan rendah dibandingkan dengan daerah
lain. (55).
Pekerja
HAM berada di bawah tekanan dalam melakukan investigasi terbunuhnya
tiga orang (satu warga Indonesia dan dua warga Amerika) di dekat
tambang Freeport-Rio Tinto yang
mengarah pada adanya keterlibatan militer. Perusahaan diketahui
membayar puluhan juta dolar untuk pasukan pengamanan. Kejadian yang
diprovokasi oleh militer di dekat pertambangan diyakini merupakan upaya
untuk membenarkan keberadaan militer yang terus bercokol di sana dan
pembayaran mereka. Sementara itu pemerintah Papua memiliki rencana untuk
mendapatkan 15% saham pertambangan itu dan juga meminta adanya
langkah-langkah secukupnya untuk mengatasi polusi pertambangan (55).
Medco,
Perusahaan energi Indonesia terbesar yang terdaftar (dalam bursa efek
Indonesia), membeli 90% saham dalam blok eksplorasi minyak dan gas di
Yapen (56).
2003: Pemegang saham perusahaan memaksa Freeport untuk
mengungkapkan berapa besar uang keamanan yang telah dibayarkan dan
terus dibayarkan ke polisi dan militer di Papua. Hal ini mengundang
debat mengenai praktik manipulasi penguasaan kendali keamanan dan
pelanggaran HAM terkait dengan kegiatan Freeport. (57) Tanah longsor di
lubang tambang raksasa Grasberg menewaskan delapan korban, yang segera
memicu aksi protes di Indonesia dan London terhadap pertambangan (59).
Yosepha Alomang, pembela HAM dari masyarakat adat Amungme menerbitkan
kisah pribadinya selama tinggal di dekat tambang Freeport dan
penderitaan yang dialaminya di tangan militer ketika ia memprotes dampak
pertambangan itu (63).
Timbul lebih banyak keraguan mengenai proyek gas Tangguh dengan
dipublikasikannya rangkuman atas penilaian dampak HAM proyek itu dan
laporan dari Majelis Penasehat Independen Tangguh (TIAP). Kekhawatiran
baru termasuk usulan pembagian Papua menjadi tiga provinsi (pemekaran)
dan implikasi meningkatnya kehadiran militer yang ditimbulkan (57).
Delegasi
DPRD dan pejabat Dinas Kehutanan menolak untuk mencabut ijin penebangan
hutan dalam pertemuan dengan pejabat Departemen Kehutanan di Jakarta.
Dalam masa demam logging di Papua tahun lalu, ijin HPH mencakup kawasan
seluas 11,8 juta hektare diberikan kepada 44 perusahaan. (57).
Timbul kekhawatiran mengenai dampak potensial rencana BHP untuk
menambang nikel di pulau Gag terhadap ekosistem kelautan Raja Ampat
yang tak jauh dari situ. Diplomat Australia melakukan lobi agar
penambangan dapat terus berlanjut di hutan lindung atas permintaan
perusahaan-perusahaan yang bersangkutan, termasuk BHP (58).
2004: Situasi
politik yang memburuk di Papua dan munculnya kembali militer sebagai
kekuatan yang dominan dalam politik Indonesia menimbulkan kekhawatiran
mengenai perlindungan HAM di Tangguh (60).
WALHI melaporkan bahwa ekspor kayu illegal dari Papua telah mencapai 600.000 meter kubik per bulan (61).
2005: Laporan
yang dibuat EIA-Telapak mengenai pembalakan liar di Papua mengungkapkan
bahwa Papua adalah pusat pembalakan liar utama di Indonesia. Setiap
bulan sejumlah 300.000 meter kubik kayu diselundupkan ke Cina. Ada
jaringan korupsi dan intimidasi yang melibatkan sindikat broker dan
penghubung yang kuat di Indonesia, Malaysia, Singapura dan Cina.
Masyarakat adat Papua hanya mendapat ‘uang receh’ sebagai pengganti
sumber daya hutan mereka yang sangat berharga yang harus mereka
serahkan. Distributor lantai kayu terkemuka di AS, Goodfellow Inc,
menjual produk yang berasal dari kayu ilegal Papua. Beberapa menteri
memerintahkan penggrebekan atas pembalakan liar di Papua, tetapi hal ini
menjadi rumit karena hukum Papua dan nasional yang saling bertentangan
mengenai siapa yang berhak atas penerbitan HPH (65)
Pernyataan masyarakat adat Soway, Wayuri dan Simuna yang menyerukan dihentikannya kegiatan proyek Tangguh di
Teluk Bintuni hingga masalah yang berlarut-larut mengenai tanah
diselesaikan. Tiga ratus ornop dan individu menandatangani surat
mendesak Chief executive BP Lord
Browne agar tidak meneruskan proyek itu sampai kekhawatiran tentang HAM
dan konteks politik secara lebih luas diatasi. Seorang mantan vice-president BP turut mengkritik proyek itu dan TIAP dituduh meremehkan kekhawatiran atas pelanggaran HAM (65).
Ada rencana untuk membangun pangkalan militer di Taman Nasional Wasur di Merauke (65)
Mahkamah
Konstitusi Indonesia memenangkan perusahaan-perusahaan pertambangan
yang ingin meneruskan kegiatan mereka di hutang lindung – termasuk BHP, di Pulau Gag, padahal ada laporan mengenai ancaman dan suap (66).
Global Witness mendesak agar dilakukan investigasi terhadap kegiatan Freeport sesuai
dengan hukum AS dan Indonesia terkait dengan pembayaran terhadap
petugas militer dan polisi. Ada keterlibatan seorang mantan komandan
militer di Papua. Pejabat yang sama pernah menduduki jabatan militer
senior di Timor Timur ketika tindakan sewenang-wenang oleh pasukan dan
militia yang didukung oleh angkatan darat Indonesia terjadi. (66)
2006: Detail atas pembayaran Freeport terhadap personel polisi dan militer diungkapkan lebih lanjut dalam laporan investigasi New York Times (68).
Dua laporan secara terinci melaporkan dampak lingkungan hidup Freeport
(WALHI) dan dampak sosialnya (Yahamak/ELSHAM), serta mencakup masalah
seputar pendulangan emas oleh masyarakat setempat di aliran pembuangan
tailing Freeport. Para demonstran di Jakarta mendesak agar tambang
ditutup (69). Dana pensiun pemerintah Norwegia mencabut investasinya di
Freeport dengan alasan etika (71).
Bank Pembangunan Asia menyetujui pinjaman untuk Tangguh, meskipun ada protes dari ornop. Pemimpin gereja Baptis Papua Pendeta Socratez Sofyan Yoman mengirim surat ke BP untuk
menyatakan keberatan atas hubungan perusahaan dengan pemerintah yang
melakukan tindakan sewenang-wenang di luar ‘area proyek’ Tangguh (68).
Secara
resmi, Papua merupakan provinsi kedua terkaya di Indonesia, tetapi
perhitungan Bank Dunia menunjukkan bahwa meskipun terdapat pertumbuhan
rata-rata 10% dalam dekade terakhir dan aliran pendapatan meningkat
sejak diberlakukannya otonomi khusus, 40% warga Papua masih hidup di
bawah garis kemiskinan – lebih dari dua kali lipat angka rata-rata
nasional (68).
Menteri Kehutanan Kaban Malam mengumumkan rencana China Light untuk
menanamkan modal sebesar US$1 miliar dalam proyek penebangan dan
pemrosesan kayu untuk memasok kayu keras merbau bagi fasilitas olahraga
di Olympic Games 2008 di Beijing (69).
Hutan-hutan
di Papua gundul dengan laju yang jauh lebih pesat daripada yang
sebelumnya diperkirakan, menurut analisis Forest Watch Indonesia. Hanya
45% hutan yang masih utuh (17,9 juta ha). Penyebab utamanya adalah
penebangan komersial besar-besaran. Greenpeace menyorot enam pabrik
pemrosesan kayu besar di Papua, termasuk Henrison Iriana (anak perusahaan Kayu Lapis Indonesia).
Peraturan daerah khusus (Perdasus) memberi masyarakat hak untuk
mengelola usaha penebangan skala kecil, tetapi komitmen Jakarta untuk
mendukung langkah desentralisasi patut dipertanyakan (69).
BHP mengatakan
perusahaan itu tak akan membuang tailingnya ke laut di tambang nikel
yang sedang direncanakan di Pulau Gag dan tak akan melanjutkan kegiatan
penambangan jika daerah itu dijadikan Situs Warisan Budaya Dunia.
(76-77).
2007: Ada pertanyaan mengenai emisi CO2 dari proyek Tangguh di samping kekhawatiran yang terus berlanjut mengenai situasi keamanan dan pelanggaran HAM (73).
Buruh mogok di tambang Freeport-Rio Tinto karena
praktik diskriminasi tenaga kerja. JATAM dan WALHI menerbitkan buku
baru mengenai Freeport. Disampaikan petisi yang mendesak pemerintah
untuk menangani masalah Freeport (73). Dua perempuan tewas tertembak dan
seorang luka dalam demonstrasi di lokasi pertambangan (76-77).
Rencana
besar untuk perkebunan kelapa sawit – antara 1 dan 3 juta hektare
tengah dipromosikan di Papua. Badan Koordinasi Penanaman Modal Indonesia
mengatakan bahwa terdapat lebih dari 2 juta hektare yang tersedia untuk
pengembangan perkebunan kelapa sawit. Saat ini tengah dikembangkan
sekitar 90.000 ha di provinsi Papua dan 30.000 di provinsi Papua Barat
(75). Gubernur Suebu mengatakan ia telah setuju untuk menyediakan sejuta
hektare tanah untuk investasi kelapa sawit sesuai permintaan Sinar Mas, Medco dan Felda (BUMN
Malaysia) dengan fokus untuk memasok pasar bahan bakar solar nabati
(biodiesel) (75). Sinar Mas memiliki rencana untuk proyek kelapa sawit
di distrik Mappi, Boven Digul dan Merauke, serta telah menandatangani
nota kesepahaman untuk 200.000 ha di masing-masing distrik (75). Sinar
Mas dilaporkan memiliki rencana ambisius untuk 2,8 juta hektare di
ketiga distrik itu, serta tiga distrik lain di bagian utara Papua
(Sarmi, Keerom dan Jayapura). Investor lain dalam demam kelapa sawit ini
adalah perusahaan Malaysia Genting Bhd (kelapa sawit untuk bahan bakar nabati), perusahaan Indonesia Muting Mekar Hijau (kelapa sawit dan gula); perusahaan Indonesia Rajawali Corp (distrik Keerom), Indomal (distrik Merauke). Trans Pacific, perusahaan patungan Indonesian-Singapura-Cina dilaporkan berminat untuk mengembangkan bahan bakar agro dari sagu (75).
Masalah
yang berlarut-larut mengenai hak atas tanah, akses terhadap sumber daya
alam dan pekerja migran, dilaporkan oleh International Crisis Group
terkait proyek-proyek perkebunan kelapa sawit milik perusahaan Korea Korindo di distrik Boven Digul. ICG memperkirakan bahwa proyek Sinar Mas di
bagian selatan Papua saja akan memerlukan didatangkannya tenaga kerja
non-Papua sejumlah 42.000– lebih dari jumlah keseluruhan populasi
distrik itu saat ini (75). Ada laporan mengenai penyiksaan dan
pembunuhan dua warga Papua di dekat perkebunan Korindo dan kematian seorang pekerja Korindo (75).
Gubernur
Suebu mengatakan ia ingin melindungi lebih dari setengah tanah yang
ditargetkan untuk pembangunan dan menggunakan hutan lindung untuk
menghasilkan kredit karbon (75).
2008: Gubernur Suebu menandatangani Nota Kesepahaman dengan Emerald Planet dan New Forests Asset Management untuk
menaksir potensi karbon di Mimika, Mamberamo dan Merauke. Suebu
mengatakan bahwa dari 31,5 juta hektare kawasan hutan di Papua, 50%
diperuntukkan bagi konservasi, 20% untuk produksi dan 30% untuk konversi
termasuk perkebunan dan pertanian (76-77). Proyek percontohan REDD
telah dikembangkan di Pegunungan Cyclops dekat Jayapura bersama dengan
Fauna and Flora International, tapi masih menunggu persetujuan dari
Jakarta (79).
BP dan Rio Tinto mengumumkan
keuntungan global dalam jumlah besar. Sementara itu di Papua, sembilan
belas pendulang emas tewas ketika tailing longsor di dekat pertambangan Freeport-Rio Tinto. Di Teluk Bintuni, TIAP melaporkan adanya penambahan 100 pasukan ke Bintuni dan 30 ke Babo, dekat proyek Tangguh.
Media cetak di Papua mengungkapkan keprihatinan akan pembatasan
penghidupan nelayan dan relokasi di Teluk Bintuni karena proyek Tangguh
(76-77).
Seiring
meroketnya harga pangan dunia, direncanakan mega proyek yang disingkat
MIRE (pendahulu MIFEE) untuk Merauke yang melibatkan investor dari Saudi
Arabia dan dialokasikan 1,6 juta hektare tanah. Lima perusahaan lokal
terlibat (PT Sumber Alam, PT Wolo Agro Lestari, PT Comexindo, PT Medco dan PT Bangun Cipta Sarana). Timbul pertanyaan mengenai apakah produksi itu sebagian besar akan diekspor atau digunakan untuk keperluan domestik. (78).
Medco sudah
mulai membangun pabrik kayu serpih di Merauke dan berencana untuk
membangun pabrik bubur kayu dan kertas tahun 2012. Dua perusahaan lain, Modern Group dan International Paper dikabarkan berminat atas proyek bubur kayu di Merauke (78).
Koalisi
20 kelompok masyarakat sipil Papua meluncurkan kampanye di Jakarta
untuk menyelamatkan warga dan hutan Papua, yang berada di bawah ancaman
penebangan, perkebunan kelapa sawit, dan tanaman untuk bahan bakar agro
lainnya, serta proyek jalan. Mereka ingin pemerintah berhenti
mengeluarkan ijin kehutanan sebelum ada peraturan daerah mengenai hak
masyarakat adat untuk mengelola sumber daya alam. (78). Data Departemen
Pertanian menunjukkan bahwa sekarang terdapat 14 perusahaan perkebunan
kelapa sawit di Papua dan 6 di antaranya sudah mulai mengembangkan
konsesinya; dua perkebunan kakao dan dua perkebunan sagu (78).
Laporan oleh gereja Protestan di Papua mengenai pengembangan proyek kelapa sawit oleh PT Rajawali Group di
distrik Keerom menimbulkan kekhawatiran mengenai metode yang digunakan
oleh perusahaan untuk mendapatkan akses ke tanah masyarakat dan dampak
sosialnya. Jaringan ornop Foker LSM Papua mengeluarkan film mengenai
kelapa sawit di Keerom (78).
BHP Billiton menarik
diri dari proyek nikel pulau Gag. Ornop setempat mendesak dihentikannya
proyek-proyek pertambangan nikel lainnya di daerah itu, yang lebih
kecil dan sebagian sudah berproduksi (79).
2009: Komitmen perubahan iklim BP untuk proyek Tangguh dicermati
lebih dekat seiring dengan akan beroperasinya proyek gas itu. Sekitar 3
juta ton karbon dioksida akan dilepaskan per tahun, menurut dokumen
AMDAL (80-81).
Freeport mengakui
bahwa perusahaan itu masih membayar militer Indonesia (80-81). Adanya
penembakan-penembakan yang mengakibatkan korban tewas di dekat
pertambangan memicu organisasi masyarakat sipil setempat untuk
menyerukan dialog damai guna menyelesaikan konflik di Papua. Warga
Amungme selaku pemilik tanah mengajukan gugatan baru terhadap Freeport
dan menuntut ganti rugi sebesar US$30 miliar untuk perusakan lingkungan
hidup dan pelanggaran HAM (82).
Sedikitnya 3 perusahaan eksplorasi pertambangan Australia mencari kandungan tembaga dan emas besar di Papua, yaitu Hillgrove Resources di distrik Sorong dan Manokwari, Arc Exploration Ltd (dahulu Austindo Resources Corporation) di Teluk Bintuni, melalui perusahaan bernama PT Alam Papua Nusantara, dan Nickelore Ltd, di daerah yang berbatasan dengan konsesi Freeport (82).
Pemerintah
provinsi Papua mengumumkan rencana untuk membangun waduk pembangkit
listrik tenaga air di Komauto untuk memasok listrik, mendukung proyek
semen di Timika serta pembangunan pariwisata di Paniai (83).
2010: Pemerintah
menargetkan lahan seluas 250.000 hektare untuk perkebunan tanaman
industri dan tanaman rakyat pada tahun 2010-2014 dari total jumlah 2,7
juta hektare dalam skala nasional. Hutan yang baru merupakan bagian dari
strategi pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. (84).
Penebangan liar dianggap sebagai penyebab banjir bandang di distrik Wasior yang menelan banyak korban. (87).
Perusahaan Cina, Far East, ingin menanamkan modal dalam pertambangan batu bara di 5 daerah di distrik Manokwari (87).
|
Konteks transmigrasi
Program transmigrasi pemerintah Indonesia yang sangat merusak untuk memindahkan jutaan warga desa dari Jawa, Bali dan Madura ke ‘pulau-pulau luar’ yang kurang padat penduduknya sedang gencar dilaksanakan ketika DTE didirikan tahun 1988. Papua, dengan status politik yang bermasalah, gerakan perlawanan bersenjata, operasi militer yang brutal dan sering dilakukan terhadap masyarakat setempat untuk membersihkan pembangkang politik dan daerah perbatasannya dengan Papua Nugini yang panjang dan relatif ‘terbuka’, merupakan target utama program transmigrasi. Di Papua, sama seperti di daerah perbatasan lainnya, program itu dimaksudkan untuk memperkuat kendali dan pertahanan teritorial serta mengakses dan mengembangkan kekayaan alam yang kaya dari daerah itu. Ada pula tujuan untuk ‘mengajarkan warga Papua bagaimana bertani’ selain usaha yang disengaja untuk mendorong penambahan penduduk guna ‘mempercepat pembangunan’.
Transmigrasi
tetap merupakan hal sensitif khususnya di Papua. Semakin banyak
pendatang menetap di Papua, baik melalui program resmi transmigrasi yang
disponsori pemerintah maupun sebagai pendatang yang datang sendiri.
Dampak keseluruhannya adalah meningkatnya populasi warga yang bukan
merupakan masyarakat adat Papua. Riset baru-baru ini mengindikasikan
bahwa warga yang bukan merupakan masyarakat adat Papua jumlahnya
melebihi masyarakat adat Papua pada tahun 2010 dan bahwa jumlah penduduk
yang bukan merupakan masyarakat adat Papua cenderung tumbuh lebih cepat
dibandingkan dengan masyarakat adat Papua.[iv]
Proyek
MIFEE akan lebih menegaskan keadaan ini. Perkiraan jumlah pekerja yang
diperlukan untuk perkebunan sumber pangan dan energi yang direncanakan
berkisar antara puluhan ribu hingga jutaan orang. Berapa pun jumlah
akhirnya, hal ini akan menambah tekanan atas sumber daya alam dan lebih
menekan masyarakat adat Papua ke posisi minoritas.
Dalam
konteks politik yang lebih luas, kekhawatiran terkait dengan populasi
ini berhubungan dengan pertanyaan mengenai status politik Papua dan
bagaimana identitas Papua didefinisikan. Jika, pada akhirnya, terlaksana
penentuan nasib sendiri yang sejati di Papua, seperti apakah hasilnya,
mengingat bahwa lebih dari setengah penduduknya adalah bukan merupakan
masyarakat adat Papua? Atau, jika terdapat upaya untuk membatasi hak
sehingga pendatang baru tak memperoleh hak untuk memberikan suara,
bagaimana hak itu akan ditentukan? Jika kriteria pemberian suara
dikaitkan dengan identitas Papua, bagaimana identitas itu akan
ditentukan? Siapa yang akan memiliki kewenangan untuk menjawab
pertanyaan tersebut?
Catatan satu dekade program transmigrasi dari arsip DTE:
1999: Setelah peluncuran buku George Monbiot, Poisoned Arrows,
Kedutaan Besar Indonesia membela program transmigrasi di Papua, dengan
mengatakan bahwa Indonesia tidak memaksa warga Papua untuk hidup secara
modern, tetapi berusaha mencegah agar mereka tidak hidup secara
berpindah-pindah (nomaden) (3). Kepala kantor wilayah transmigrasi
berpendapat bahwa program transmigrasi perlu digalakkan karena kepadatan
penduduk di Papua hanyalah 3,4 orang per km2. Rencana untuk
mendatangkan 23.000 keluarga dalam waktu lima tahun tak terpenuhi, hanya
4.555 keluarga yang didatangkan. Selama ini sejumlah 23.000 keluarga
telah didatangkan ke Papua dan yang paling banyak tinggal di Merauke
(4).
1990: Target lima tahun
yang baru untuk Papua adalah 29.905 keluarga. Rencana untuk memindahkan
4.000 keluarga diumumkan untuk tahun 1990/91 untuk Indonesia bagian
Timur. Tetapi dilaporkan adanya lokasi yang tak dihuni di beberapa
daerah di Papua dengan rumah-rumah yang perlu diperbaiki dan lahan yang
perlu dibuka sebelum keluarga transmigrasi dapat pindah ke sana (8).
1992:
Di Merauke, 163 keluarga meninggalkan lokasi transmigrasi karena
kurangnya persiapan dan kondisi kekeringan. Angka resmi transmigrasi ke
Merauke sejak tahun 1964 adalah sebesar 12.064 keluarga plus 1.712
keluarga lokal yang menetap di lokasi transmigrasi. Meskipun terdapat
masalah, Departemen Transmigrasi memperkirakan bahwa Merauke memiliki
potensi untuk mengakomodasi 100.000 keluarga dalam ‘kawasan segitiga
transmigrasi’ seluas 1,2 juta hektare. Terdapat rencana untuk membangun
waduk besar di Sungai Digul untuk menyediakan irigasi, yang akan selesai
dalam waktu 25 tahun (19).
1994:
Menteri Penerangan Harmoko berkata ia berharap bahwa melalui program
transmigrasi penduduk Papua akan dapat cepat meningkat untuk
mengeksploitasi potensi ekonominya yang besar. Suharto berencana untuk
membagi Papua menjadi tiga provinsi untuk mempercepat pembangunan
infrastruktur pendukung. Juga direncanakan akan dibangun lokasi
transmigrasi di sepanjang daerah perbatasan dengan Papua Nugini (23).
1996:
Papua adalah daerah transmigrasi paling luas untuk tahun 1996/7.
Kebijakan transmigrasi baru untuk Papua diumumkan: masyarakat adat Papua
tak lagi tinggal bersama pendatang dari luar Papua di lokasi
transmigrasi yang sengaja dibuka, tetapi desa asli mereka akan
‘direstrukturisasikan’. Tujuannya adalah untuk mempercepat pembangunan.
Lokasi baru “khusus” direncanakan di Timika dan Lereh. Lokasi
transmigrasi baru di Sorong diumumkan (28). Lokasi transmigrasi tengah
dibangun di dalam Taman Nasional Wasur, Merauke (35).
1997:
RUU Transmigrasi yang baru tidak mencakup aspek pertahanan dan keamanan
dari transmigrasi. Menteri Transmigrasi Siswono menekankan bahwa Papua
memiliki “terlalu sedikit penduduk” dan berkilah bahwa lebih banyak
pendatang diperlukan untuk mempercepat laju pembangunan (32). Sejak
tahun 1964 246.000 orang telah didatangkan ke Papua dan 110.000 lagi
akan didatangkan hingga tahun 1999. WALHI memperingatkan bahwa warga
Papua akan menjadi minoritas di tanah mereka sendiri dan mendesak agar
program transmigrasi dihentikan (32).
1998:
Terdapat tanda-tanda bahwa krisis keuangan (‘krismon’) mungkin akan
memaksa pemerintah untuk mengurangi program transmigrasi (37), tetapi
dokumen pemerintah mengindikasikan bahwa program itu akan dilanjutkan.
Angka transmigrasi dari tahun 1969/70 hingga 1993/4 untuk Papua dan
Maluku adalah 81.401 keluarga. Rencana pembangunan lima tahun saat ini
(94/95-98/99) mencakup didatangkannya 67.210 keluarga untuk wilayah yang
sama (39).
2000: Pemerintah
provinsi mendesak pemerintah pusat untuk menghentikan pengiriman
keluarga transmigran ke Papua dan mulai memberdayakan warga Papua (45).
Angka resmi menunjukkan bahwa jumlah penduduk sebesar kurang lebih 2
juta dan sekitar setengahnya merupakan masyarakat adat Papua (45).
|
MIFEE: buku yang sama dengan sampul berbeda?
Berdasarkan pengalaman sebelumnya dengan beberapa mega proyek, MIFEE
dikhawatirkan akan membawa lebih banyak kerugian daripada manfaat. Mega
proyek untuk mengubah lahan gambut di Kalimantan Tengah menjadi sawah
yang menimbulkan banyak kerusakan pada tahun 1990-an merupakan proyek
ambisius serupa dengan tujuan keamanan pangan yang berakhir dengan
kehancuran ekologi—termasuk pelepasan jutaan ton CO2—dan memiliki dampak
negatif bagi masyarakat Dayak setempat.[v]
Proyek
MIFEE melibatkan 10 BUMN dan 37 perusahaan swasta, termasuk perusahaan
asing. Paling sedikit dua perusahaan dilaporkan tengah menyelesaikan
AMDAL mereka. Luas areanya berkisar antara setengah juta hektare hingga
2,5 juta hektare atau lebih, tergantung dari sumber informasi. Sementara
proyek itu dipromosikan sebagai upaya untuk mendorong keamanan pangan
Indonesia, keterlibatan perusahaan asing mengindikasikan bahwa pasar
ekspor akan mendapat prioritas. Mega proyek itu telah menimbulkan banyak
kekhawatiran di antara masyarakat setempat, kelompok gereja, dan
organisasi masyarakat sipil. Sejumlah kelompok lokal, yang didukung
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menolak keras proyek
tersebut,.[vi]
Apa yang
berubah sejak jaman Scott Paper? Masyarakat setempat akan
terpinggirkan, pekerja transmigran akan didatangkan, hutan dibuka dan
sumber daya hutan digaruk; perusahaan dan investor besar mencari
keuntungan. Militer mungkin juga mendapatkan manfaat dari uang keamanan
sama seperti yang mereka dapatkan dari tambang Freeport-Rio Tinto,
kelapa sawit dan penebangan hutan.
MIFEE dapat
digunakan oleh militer sebagai pembenaran atas kebutuhan pasukan untuk
mengamankan proyek—situasi yang meningkatkan potensi pelanggaran HAM
terhadap warga setempat. Masih ada semua unsur untuk melanjutkan
eksploitasi sumber daya dan peminggiran masyarakat setempat seperti yang
sudah dilakukan selama berpuluh-puluh tahun.
Satu
perbedaan besar dari jaman Scott Paper adalah, mungkin, potensi yang
lebih besar bagi masyarakat sipil untuk memonitor dan memaparkan dampak
negatif. Sementara wartawan independen masih mengalami banyak
keterbatasan untuk mendapatkan akses ke Papua dan Papua Barat,
komunikasi antara Papua dan dunia luar meskipun tersendat-sendat tetapi
dimungkinkan berkat jaringan organisasi masyarakat sipil Papua dan
non-Papua yang bergerak dari dalam dan luar Papua. Ini berarti bahwa
informasi independen yang kritis dapat keluar masuk Papua dan
kekhawatiran masyarakat dapat disuarakan dengan lebih efektif daripada
di masa Scott Papper. Tapi masih harus dilihat apakah pengambil
keputusan akan menanggapi pesan mereka dengan serius dan mulai
memberikan dukungan berkelanjutan bagi masyarakat dengan pendekatan dari
bawah ke atas ketimbang membangun berbagai mega proyek dengan
pendekatan dari atas ke bawah.
Notes
i Untuk latar belakang lebih lanjut, lihat terbitan berkala DTE 1-6, 1989.
ii
Kampanye internasional menentang pendanaan Bank Dunia untuk proyek
transmigrasi yang banyak menimbulkan kerusakan juga terjadi tahun
1980-an. Rencana untuk memindahkan ratusan ribu warga miskin dari Jawa,
Bali dan Madura ke ‘pulau-pulau luar’ yang menjadi sasaran (Kalimantan,
Sumatra, Sulawesi, Timor, Papua) khususnya sensitif untuk Papua dan juga
Aceh dan Timor Timur, karena status politik yang bermasalah di daerah
tersebut.
iv David Adam Stott, ‘Indonesian Colonisation, Resource Plunder and West Papuan Grievances’, The Asia-Pacific Journal Vol 9, Edisi 12 No 1, Maret 21, 2011, http://www.japanfocus.org/-David_Adam-Stott/3499.
Angka tahun 2010 adalah 1.760.557 (49%) untuk masyarakat adat Papua dan
1.852.297 (51%) untuk warga yang bukan merupakan masyarakat adat Papua,
didasarkan atas penambahan jumlah penduduk dan laju pertumbuhan
penduduk untuk kedua kelompok itu dan penerapannya pada hasil sensus
2010. Tak seperti tahun 2000, sensus 2010 tidak
menyediakan informasi mengenai komposisi kelompok etnis dan agama di
provinsi Papua dan Papua Barat..
vi Lihat Siaran Pers Tapol & DTE, Agustus 2010.
1 komentar:
Salam kepada semua warga negara Indonesia, nama saya INDALH HARUM, TOLONG, saya ingin memberikan kesaksian hidup saya di sini di platform ini sehingga semua warga negara Indonesia berhati-hati dengan pemberi pinjaman di internet, Tuhan mendukung saya melalui ibu yang baik, LASSA JIM , Setelah beberapa waktu mencoba mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan, dan menolak, maka saya memutuskan untuk mendaftar melalui pinjaman online tetapi saya curang dan saya kehilangan lebih dari 50 juta rupiah dengan pemberi pinjaman yang berbeda karena saya mencari pinjaman (Rp800) setelah membayar biaya dan tidak mendapat pinjaman. Saya menjadi sangat putus asa dalam mendapatkan pinjaman, jadi Salam kepada semua warga negara Indonesia, nama saya INDALH HARUM, TOLONG, saya ingin memberikan kesaksian hidup saya di sini di platform ini sehingga semua warga negara Indonesia berhati-hati dengan pemberi pinjaman di internet, Tuhan mendukung saya melalui ibu yang baik, LASSA JIM, Setelah beberapa waktu mencoba mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan, dan menolak, jadi saya memutuskan untuk mendaftar melalui pinjaman online tetapi saya menipu dan kehilangan lebih dari 50 juta rupiah dengan Pemberi pinjaman karena saya mencari pinjaman (Rp800) setelah membayar biaya dan tidak mendapat pinjaman. Saya menjadi sangat putus asa dalam mendapatkan pinjaman, jadi saya berdiskusi dengan seorang teman saya, Harum kemudian memperkenalkan saya kepada Ny. LASSA JIM, seorang pemberi pinjaman di sebuah perusahaan bernama ACCESS LOAN FIRM sehingga teman saya meminta saya untuk melamar ibu LASSA, jadi saya mengumpulkan keberanian dan menghubungi Ms. LASSA.
Saya mengajukan pinjaman 2 miliar rupiah dengan tingkat bunga 2%, sehingga pinjaman disetujui tanpa tekanan dan semua pengaturan dilakukan dengan transfer kredit, karena tidak memerlukan jaminan dan keamanan untuk transfer pinjaman yang baru saja saya katakan kepada dapatkan perjanjian lisensi, aplikasi mereka untuk mentransfer kredit saya dan dalam waktu kurang dari 48 jam pinjaman itu disetorkan ke rekening bank saya.
Saya pikir itu hanya lelucon sampai saya menerima telepon dari bank saya bahwa akun saya dikreditkan dengan jumlah 2 miliar. Saya sangat senang bahwa Tuhan akhirnya menjawab doa saya dengan memesan pinjaman saya dengan pinjaman asli saya, yang memberi saya keinginan hati saya. mereka juga memiliki tim ahli yang akan memberi tahu Anda tentang jenis bisnis yang ingin Anda investasikan dan cara menginvestasikan uang Anda, sehingga Anda tidak akan pernah bangkrut lagi dalam hidup Anda. Semoga Tuhan memberkati Mrs. LASSA JIM untuk membuat hidup saya lebih mudah, jadi saya sarankan siapa pun yang tertarik mendapatkan pinjaman untuk menghubungi Mrs. LASSA melalui email: lassajimloancompany@gmail.com
Anda juga dapat menghubungi nomor JIM ibu LASSA whatsApp +1(301)969-1955.
Akhirnya, saya ingin berterima kasih kepada Anda semua karena telah meluangkan waktu untuk membaca kesaksian sejati hidup saya tentang kesuksesan saya dan saya berdoa agar Tuhan melakukan kehendak-Nya dalam hidup Anda. Sekali lagi nama saya adalah INDALH HARUM, Anda dapat menghubungi saya untuk informasi lebih lanjut melalui email saya: Indalhharum@gmail.com
Posting Komentar