(Refleksi
Atas Situasi Pastoral Umat di Tanah Papua)
Oleh Santon Tekege
Pengantar
Perjuangan
Gereja terutama para petugas Pastoral dalam menegakan kebenaran dan keadilan di
tanah Papua terinspirasi oleh sikap dan tindakan Yesus sendiri. Ketika Yesus
menerima kekerasan sepenuhnya, ketika Dia digantungkan di Kayu Salib, Dia
mengampuni mereka yang menganiaya dan membunuh-Nya. Pada saat itulah kepala
pasukan mengatakan: “Sungguh, orang ini adalah anak Allah” (Mrk, 15:39). Pada
saat kita mengabdi dan membela kebenaran, keadilan dan perdamaian terutama
membela kaum lemah dan miskin, kita menyatakan diri sebagai anak-anak Allah dan
serentak menegaskan bahwa Allah hanya akan ditemukan dalam keberpihakan akan nilai
kebenaran, keadilan dan perdamaian. Refleksi ini sekedar memberikan spirit bagi
para petugas pastoral di lima Keuskupan Papua, Gereja-gereja lain dan juga para
pengabdi kebenaran, keadilan dan perdamaian di tanah Papua.
A. Situasi Umum Pastoral Kita Dalam Pengabdian
Injil di Tanah Papua
Mencermati
situasi pastoral kita terutama dalam karya pewartaan dan pelayanan Gereja di
tanah Papua dewasa ini terasa amat genting. Mengapa demikian? Karena karya
pewartaan dan pelayanan Petugas Pastoral sangat terbuka dan telanjang di
hadapan dunia. Dewasa ini Petugas Pastoral yang berkarya di tanah Papua
dihadapkan dengan sejuta persoalan dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
Persoalan-persoalan yang terjadi sangat kompleks dan rumit. Berbagai media
cetak maupun elektronik selalu menampilkan wajah-wajah masyarakat Papua yang
sedih, suram, kelam dan wajah yang tengah menantikan uluran tangan dan belas
kasihan dari Sang gembala pembawa Kebenaran, Keadilan dan Perdamaian.
Gambaran-gambaran yang menakutkan ini terlihat dalam pemandangan tentang
konflik dan kekerasan sosial, praktek korupsi, kolusi, nepotisme, hedonisme,
perjudian, kemabukan, tahyul, diskriminasi suku,
budaya,
gender, fanatisme religius, materialistis yang menggila dan menggurita,
keserakahan ekonomi, mewabahnya kekerasan masyarakat bawah oleh aparat penegak
hukum, kambing hitam yang mengatasnamakan kelompok separatis (OPM) dan
merong-rong keutuhan NKRI, serta pelanggaran HAM yang tidak dapat dilitanikan
satu persatu. Stigma bagi orang Papua muncul di mana-mana tanpa
mempertimbangkan hak kebebasan berekspresi dan berpendapat zaman demokrasi di
Indonesia ini. Akhirnya warga Papua mengalami ketertutupan ruang bebas dan
demokrasi sebagai warganya di Indonesia.
Persoalan yang marak dipublikasikan
oleh pers akhir-akhir ini adalah konflik dan kekerasan terhadap masyarakat asli
Papua di Tingginambut Puncak Jaya, penyisiran pada warganya di Pugo dan Deyatei
(pintu masuk pesawat) di Paniai dan tidak menghargai hak-hak orang asli Papua
termasuk SK MRP No.14 tentang Ketua/Wakil Gubernur/Bupati adalah orang asli Papua
di tanah Papua hingga kini belum tuntas di negeri Papua. Adanya krisis
identitas budaya di Papua karena pemerintah Indonesia buta untuk proteksi bagi
orang asli Papua. Selain itu, terjadinya pemaksaan masyarakat lokal untuk
mengikuti zaman modern melalui perusahan-perusahan di luar negeri maupun dalam
negeri tanpa pemberdayaan masyarakat asli Papua. Para pembela kebenaran,
keadilan dan perdamaian sedang menyuarakan tentang pembasmian dan pengrusakan
segala kebun, ternak, pembakaran rumah-rumah masyarakat asli di Yambi dan
Guragi di Tingginambut Puncak Jaya-Papua. Kamudian malah mereka dikejar-kejar
dan bahkan diancam untuk dibunuh hidup-hidup karena tidak mendiamkan atas sebuah
realitas sosial daerah Papua. Tindakan ini dilakukan oleh kelompok “terorisme ”
yang diduga oknum TNI dan POLRI yang mengaku diri sebagai penjaga,
pengayom dan penegak kebenaran serta keadilan di tanah Papua.
1.
Kasus Teror sejak 2007-2009
Kasus-kasus
teror terlihat dalam berbagai media lokal di Papua. Kasus-kasus teror itu
terdapat dalam: (Tabloid Jubi, Senin, 25 Juni 2007, mengulas: Paskalis
Letsoin, SH. “Diancam dan Dibunuh Resiko Pekerja
Kemanusiaan”, ditegaskan kembali oleh, Poengky Indarti dalam
tulisannya berjudul “Ancaman Bagi Pekerja HAM Masih Terjadi Di Papua”.
Dialami juga oleh, Albert Rumbekwan, Cepos, Senin, 24
September 2007, dalam tulisan berjudul “ Teror Mulai Ke Pekarangan
Rumah”, dan P. Jhon Jonga, Pr, dalam artikel ”Laporan
Awal Situasi Keamanan DI Daerah Perbatasan PNG-RI Distrik Kabupaten Keerom
Papua”, Waris, 17 September 2007). Dalam pemilihan bupati
Nabire terjadi kerusuhan antara pihak gabungan militer dan warga di Nabire.
Akibatnya warga mengalami luka-luka tembakan oleh aparat gabungan keamanan.
Korban tersebut adalah Rius Douw (20), Philipus Douw (32),
Darius Douw (30), Boas Douw (22), Dengki Douw (19), dan Yoseph Tekege (20).
Aktivis mereka sebagai Mahasiswa dan Masyarakat Sipil . Pelanggaran yang
diderita adalah ditembak oleh pihak keamanan Polisi dan TNI sehingga para
korban mengalami luka-luka di seluruh badan, maka mereka dilarikan ke RSUD
Nabire- PAPUA –Indonesia sejak 27 Januari 2009. Kemudian sejak 1 Februari 2009
terjadi penganiayaan dan pemukulan babak belur terhadap Selpius Bobii (33),
Yusak Pakage (38), Nelson Rumbiak (23) dan Ricky Jitmau (30) oleh Petugas
pemerintah di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Abepura Papua. Mereka diteror, dicaci
maki dan bahkan
diancam
dibunuh sambil dikarantinakan dan tidak diberi makan dan minum selama 2 minggu
di (LP) Abepura. Catatannya pertama:
Saya tidak lampirkan dalam tulisan walaupun ada banyak korban penganiayaan dan
penangkapan bahkan di tembak mati dalam rangka sukseskan Pilpres Indonesia di
Papua sejak April 2009.
Photo: Close PT Freeport Indonesia in Timika
Papua.
Setelah itu Jenderal Kelly Kwalik dibunuh di Timika pada 16
Desember 2009 oleh TIM Gabungan TNI, POLRI, BRIMOB dan DENSUS 88. Beliau adalah
orang besar dan pejuang keadilan yang sejati di Tanah Papua. Beliau tokoh besar
yang perlu dipandang dan dilihat sebagai orang besar tetapi ditelan oleh
penjilat kelas gabungan militer Indonesia di Timika Papua. Catatan kedua: Saya tidak lampirkan data-data selama tahun
2010 karena saya sedang menjalani tugas lain yang perlu diselesaikan di
Pedalaman Papua tanpa jaringan komunikasi. Akhirnya menyebabkan ketidaktahuan
situasi perkembangan dan data korban teror, penganiayaan atau penembakan
terhadap warga Indonesia di Papua. Namun jelasnya bahwa setiap tahun selalu
saja terjadi teror, intimidasi, penganiayaan, pengrusakan hutan, pemerkosaan
bahkan pembunuhan oleh gabungan militer maupun orang tak kenal (OTK) di Tanah
Papua.
2.
Kasus Teror sejak 2011-2012
Seperti contoh: Pemboman
gedung DPRD Kabupaten Jayawijaya
pada 1 September 2012. Pelakunya yang dilakukan Orang Tak Kenal (OTK). Pelemparan
bom di pos polisi lalulintas Kabupaten
Jayawijaya sejak 18 September 2012.
Penemuan bom di Timika, Jumat,
19 Oktober 2012. Penemuan 3 buah bom di Manokwari
sejak 9 Oktober 2012. Peledakan tiga bom rakitan di Sorong sejak Minggu 28 Oktober 2012. Selanjutnya ada penemuan
amunisi kaliber 762 sebanyak 9 butir, peluru tajam 5 TJ 5,6 sebanyak 121 butir,
peluru hamba 5,6 sebanyak 20 butir dan penangkapan empat
pemuda berinsial DIH (26) warga Organda
Abepura, YP (28) warga Sempan Timika,
AK (24) seorang wanita, warga Organda
Abepura, YJW (27) warga Karubaga
Wamena sejak 30 Oktober 2012. Polda Papua dan Polresta menangkap seorang
warga sipil berinisial OG (27) di PTC
Jayapura yang diduga pemilik amunisi (berita Cenderawasih Pos Jayapura
sejak 31 Oktober 2012.
Barisan Merah
Putih (BMP)
menentang peluncuran Parlemen Rakyat Daerah (PRD) Numbay yang di luncurkan oleh
Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di Lapangan Theys Eluay, di Sentani,
Kabupaten Jayapura, Papua, Selasa (31
Januari 2012). Hal ini di kemukakan Sekretaris Jenderal BMP, Yonas Nussy kepada pers di Waena,
Abepura, Rabu 1 Februari 2012. “Pembentukan PRD Numbay ini sudah jelas
menentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Seharusnya parlemen itu
tidak dibentuk,”
Pesca intruksi Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) terkait membasmian gerilyawan di Papua Barat, situasi keamanan
di tanah Papua berubah. Perubahan situasi ini terkait perampingan
organisasi-organisasai milisi yang telah lama ada dan perekrutan anggota baru.
Juga, aktivitas TNI AD, TNI AU, TNI AL, Polri, serta Intelijen meningkat. Organisasi
milisi yang dibentuk di Papua Barat tidak hanya Barisan Merah Putih (BMP—ketua
Ramses Ohee) yang telah lama ada tetapi sekarang diperbanyak lagi dengan nama
organisasi yang berbeda. Pembentukan dilakukan di kabupaten-kabupaten baru di
seluruh tanah Papua setelah Presiden SBY selaku kepala perang mengintruksikan
hal itu. Hingga saat ini tahun 2012 ada 4 organisasi milisi di Papua Barat yang
namanya berbeda, termasuk BMP, yang memunyai tujuan yang sama, yaitu mendukung
integrasi Papua ke Indonesia.
Jumlah kabupaten di tanah Papua saat ini
adalah 39. Setiap kabupaten ada 4 organisasi milisi yang berbeda yang
difasilitasi oleh Negara untuk melawan orang Papua yang menuntut hak-hak
politik. Anggota yang direkrut dalam organisasi-organisasi itu diberi tawaran
mobil, rumah, motor, uang dan lainnya. Perekrutan dilakukan mulai dari kampung
hingga kota. Anggotanya mulai dari anak-anak sekolah, anak terminal, pegawai,
pejabat pemerintah dan bahkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di seluruh
Tanah Papua.
Warga Masyarakat Kampung Maribu, Distrik
Sentani Barat merasa terancam panik dan mengungsi ke hutan akibat Operasi
Pengembrekan yang dilakukan oleh Detasemen Khusus 88 (Densus 88) di rumah Bpk.
Terrianus Satto, pada Pkl. 10.30 pagi waktu Papua. Korban baru
ditemukan setelah melewati beberapa hari di kem pengungsian di hutan. Korban
merasa
dikorbankan oleh pihak Kepolisian karena menurutnya,
“Kami selalu ada komunikasi dengan pihak ke polisian POLSEK SENTANI BARAT di
Dosai, tapi kenapa tidak menyampaikan kepada kami atau melalui prosedur hukum,
berarti POLSEK Sentani Barat telah menyalahi aturan hukum. Pengungsian Keluarga
Terrianus Satto di Hutan karena Takut, Panik dan Trauma dengan Operasi Penggebrekan
“DENSUS 88” di Kampung Maribu Distrik Sentani Barat-Jayapura sejak 30 Oktober
2012.
Selanjutnya kasus kekerasan seksual terjadi di Merauke Papua.
Modus kasus tersebut terlihat di media Kompas edisi, 9 November 2011. Komisioner Komisi
Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang juga Ketua Gugus Kerja Papua
Sylvana Apituley mengungkapkan, modus di atas jamak
dilakukan aparat keamanan yang bertugas di daerah perbatasan Papua dan PNG.
Seorang perempuan yang menjadi korban kekerasan oleh tiga aparat
keamanan yang berbeda. Modusnya, dia (perempuan Papua di perbatasan PNG dan
Papua) dipacari dijanjikan akan dinikahi, kemudian sampai enam bulan ketika
masa tugas aparat keamanan itu selesai, lantas ditinggalkan begitu saja. Malah
sampai ada yang hamil. Nama-nama perempuan yang bisa dipacari itu lalu
ditinggalkan di pos keamanan. Sehingga ketika datang aparat yang baru bertugas,
dia bisa mencari nama-nama perempuan yang bisa dijadikan obyek kekerasan
seksual itu," kata Sylvana Apituley di Jakarta. Menurut Sylvana, temuan
Komnas Perempuan terhadap salah satu modus kekerasan seksual terhadap perempuan
Papua oleh aparat keamanan itu ditemukan di Merauke. Akan tetapi menurut
Sylvana, modus yang sama juga ditemukan di daerah perbatasan lainnya di Tanah
Papua.
3.
Kasus Teror dan Penembakan Warga
Indonesia sejak Januari-Februari 2013
Kasus-kasus penembakan dan terjadi
di beberapa kabupaten di Papua. Terjadi kasus tabrakan antara motor dan truk di
Wonorejo Nabire. Masyarakat tidak
menerima kejadian tersebut karena itu masyarakat meminta pelakunya bertanggung
jawab. Beberapa menit kemudian masyarakat dikagetkan dengan tembakan gas air
mata dan penembakan terhadap warga di sekitar kejadian tersebut. Dalam kasus
itu mengakibatkan 2 orang tewas di
tempat sedangkan 8 orang lainnya
ditangkap oleh Polisi dari Polresta Nabire. Mereka ditangkap dan ditembak
tanpa alasan yang jelas dari pihak kepolisian sejak 4 Januari 2013. Kemudian gabungan militer Indonesia (TNI,
Polisi dan BIN) terjadi penyisiran secara besar-besaran di Kampung Pugo Paniai tanpa alasan yang jelas. Sekitar 16 rumah
milik warga sekitarnya dibakar hangusan oleh gabungan militer di Paniai. Akibat
penyirisan tersebut warga setempat mengalami ketakutan dan cemas bahkan trauma
sehingga aktifitas rumah lumpuh sejak 7
Januari 2013.
Selanjutnya anggota TNI 753 Nabire Praka Hasan dan Abbas Hadis ditembak mati tempat oleh Orang Tak Kenal (OTK) di Mulia Puncak Jaya sejak 10 Januari 2013.
Saling membalas tidak tuntas dan giliran berikutnya adalah terjadi penangkapan 8
warga Serui oleh Gabungan Militer (TNI dan Polri) di bawah pimpinan (Polres
Koptu Gidion Karubaba) tanpa alasan yang cukup jelas. Warga-warga tersebut
adalah Isak Warkawani (21), Dani Ayum
(22), Yokan Ayum (22), Lamkiar Ayum (30), Penina Pangkurei (23), Oky Warkawani
(30), Wamniwa Wandawani (28), dan Simeon Ayum (31). Mereka bukan hanya
ditangkap saja tetapi dipukul hingga babak belur oleh aparat gabungan militer
Indonesia di Serui sejak 16 Januari 2013.
Setelah tiga hari kemudian penganiayaan dan pemukulan atas nama Hanok Rumansara (40) hingga tewas
ditempat di Kwamki Lama Timika sejak 19
Januari 2013. Selanjutnya gara-gara tulis berita
kasus Bupati Kaimana, wartawan Fajar Papua: Yakop Onweng, dan Wartawan Radar Sorong: Dominika Hunga Andung, diancam dan diteror oleh kubunya Bupati Kaimana sejak 20 Januari 2013.
Dalam pemilihan gubernur Papua terjadi penganiayaan dan pemukulan hingga tewas
oleh amukan masa pendukung Luk-Men adalah Yosias Mambrasa (43) anggota DPRD
Komisi A Kabupaten Tolikara sejak 29
Januari 2013.
Kasus
penyiksaan terhadap 7 orang warga Papua ditangkap oleh Kepolisian Sektor
Depapre untuk diinterogasi terkait keberadaan Terianus Satto dan Sebby Sambom.
Ketujuh warga ini diduga mengalami penyiksaan saat ditangkap. Ketujuh orang yang dapat penyiksaan adalah Daniel Gobay (30), Arsel Kobak (23), Eneko Pahabol (23), Yosafat Satto (41),
Salim Yaru (35), Matan Klembiap (30) dan Obed Bahabol (31), (Majalah local: Jubi
edisi sejak 15 Februari 2013). PEMERINTAH
INDONESIA TIDAK MAMPU MEMPERTEMUKAN KEDUA PIHAK YANG BERTIKAI SELAMA INI DI
TANAH PAPUA. Ada banyak korban di pihak aparat Indonesia maupun TPN/OPM di
Papua selama ini. Begitu pun warganya menjadi korban amukan dan kepentingan
kedua belah pihak yang musuh paling dahsyat sepanjang ini di Papua. Pemerintah
Indonesia tidak mencari solusi yang terbaik antara Indonesia dan Papua.
Solusinya adalah Penyelesaian konflik melalui DIALOG demi Perdamaian di Tanah
Papua. Korban penembakan di dua Distrik, yakni Tingginambut dan Sinak, Kabupaten Puncak Jaya, Papua sejak 21 Februari
2013. Sebelumnya berjumlah lima orang, kini totalnya menjadi delapan orang.
Berikut nama-nama anggota TNI dan warga yang tewas dalam penembakan misterius
di Puncak Jaya, Papua, antara lain: yang tewas di Distrik Sinak: 1. Sertu
Udin (tewas), 2. Sertu Frans (tewas),
3. Sertu Romadhon (tewas), 4.
Pratu Mustofa (tewas), 5. Sertu Edy (tewas), 6. Praka Jojon (tewas), 7.
Praka Wempi (tewas). Sedangkan yang
tewas di Distrik Tingginambut: 1.
Pratu Wahyu Prabowo (tewas) dan Lettu Inf Reza (luka-luka berat di lengan tangan) 2. Dua orang anggota TPN/OPM ditembak mati di
Tingginambut-Mulia Puncak Jaya. Akibatnya warga di Tingginambut dan Sinak
sedang cemas dan ketakutan bahkan dikejar oleh pihak gabungan TNI, POLRI dan
BRIMOB. Kami belum mampu mendata secara berapa warga yang korban pemukulan,
penganiayaan dan penyiksaan kedua tempat ini.
Catatan Penegasan: Persoalan-persoalan ini menjadi topik yang ramai
didiskusikan oleh kebanyakan orang tetapi menakutkan karena melibatkan gabungan
militer (TNI, Polri dan BIN serta milisi lain). Dari kenyataan ini muncul
pertanyaan, “kebenaran model manakah yang mau ditegakan oleh kelompok konflik
(oknum TNI dan POLRI)” yang menggunakan terror, konflik dan kekerasan bahkan
penembakan sebagai medium untuk memperjuangkan kebenaran? Apakah kekerasan,
konflik dan pembunuhan merupakan bagian dari tindakan menegakan kebenaran,
keadilan dan perdamaian? Mengapa harus terjadi?. Semua masalah-masalah itu
sesungguhnya bertentangan dengan kebenaran, keadilan dan perdamaian di tanah
Papua. Konflik dan kekerasan bahkan pembunuhan merupakan sebuah upaya
pembungkaman terhadap nilai-nilai Kerajaan Allah dan proses pembusukan hati
nurani seseorang bagi orang asli Papua di tanah Papua.
Kata teror atau terorisme adalah
kata yang sering kita dengar dan sering diumpamahkan dengan wabah atau virus
yang menyebar cepat dan mengancam peradaban manusia dimana-mana. FBI (Federal Bureau Of Investigation)
mendefinisikan teror sebagai suatu penggunaan kekuatan atau kekerasan yang tak
absah menyerang manusia atau barang atau menakut-nakuti atau memaksa
pemerintah, masyarakat sipil, atau kelompok tertentu demi pencapaian tujuan
sosial dan politik Negara. Pendefenisian ini hendak menegaskan sebuah kebenaran
yang sedang bergulir dalam wacana mengenai terorisme bahwa, teror dimengerti
sebagai senjata orang-orang yang tak kuat dan bentuknya bersifat terselubung.
Dalam konteks mengabdi kebenaran terutama situasi pastoral di tanah Papua, yang
menjadi sasaran teror adalah orang asli Papua yang tak bersalah dan para
penegak kebenaran, keadilan dan perdamaian. Cita-cita
para teroris adalah membasmikan dan memerangi para pembela kebenaran, keadilan
dan perdamaian.
Akumulasi
ketidakpuasan masyarakat sipil dan para pembela kebenaran dan keadilan atas
tindakan teror yang dilakukan oleh oknum TNI dan POLRI di Tingginambut Puncak
Jaya-Papua dengan sendirinya menghadirkan dalam ingatan kita akan sejarah
perjuangan sejumlah wilayah yang dihadapi oleh TNI dan POLRI dengan kekerasan
dan senjata, terutama ingatan masyarakat Papua tentang peran TNI dan oknum TNI,
peran POLRI dan oknum POLRI yang bercorak represif dalam mempertahankan
keutuhan wilayah NKRI. Masyarakat Papua sesungguhnya adalah korban isu politik
Papua yang tidak menentu. Dalam kenyataan, masyarakat Papua selalu ditindas,
diperkosa, dibunuh, diintimidasi dengan berbagai pertanyaan yang mengarah
kepada pemaksaan hati nurani untuk mengakui diri sebagai kelompok separatis
(OPM), kelompok yang menyembunyikan senjata dan kelompok pengibar bendera
Bintang Kejora. Akhir dari semua pengakuan ini adalah tindakan kekerasan dan
membunuh psikologis umat kesayangan Allah di tanah Papua.
Jika
kita jujur, akhir-akhir ini tidak jarang kita mendengar dugaan orang bahwa
begitu banyak konflik yang terjadi di tanah Papua dewasa ini di sutradarai oleh
TNI dan Polri. Persoalan TNI-Polri semakin rumit, ketika pertikaian antara TNI
- Polri yang terjadi secara terbuka melukai rasa keamanan masyarakat di Tanah
Papua. Berbagai ketidakpuasan ini tentunya menimbulkan luka yang mendalam di
hati masyarakat orang asli Papua. Selama berbagai persoalan dan berbagai
ketidakpuasan itu tidak diangkat dan dibicarakan secara publik, maka dia redam
saja dan akan menjadi semacam bom waktu ketidakpuasan. Harapan mayarakat Papua akan
perdamaian, keadilan dan kesejahteraan menjadi sirnah. Slogan “jadikan tanah
papua sebagai tanah damai”, sekedar topeng untuk menutupi borok kekerasan dan
ketidakadilan yang terjadi selama ini. Tetapi juga sebagai senjata ampuh untuk
melawan kekerasan, terorisme, konflik, pemerkosaan, pengrusakan hutan dan alam
dan bahkan pembunuhan yang terjadi selama ini. Pendekatan yang dilakukan untuk
masyarakat Papua dewasa ini mesti diikat oleh sebuah kesadaran lain daripada
oleh bayang-bayang sebuah pemerintahan sentralistik yang menggunakan berbagai
instrument represif. Pemerintah dan aparat militer mestinya berperan
melindungi, mempersatukan dan bukan merusak persatuan di antara masyarakat asli
Papua melalui kaki-tangan TNI dan POLRI, juga melalui kelompok organisasi
buatan TNI atau POLRI di tanah Papua seperti Kelompok Barisan Merah-Putih (BMP),
Lembaga Masyarakat Adat (LMA) bentukan Menkopolhukam Indonesia khusus di
wilayah Tanah Papua sejak 2011 dan milisi-milisi lain.
Semua persoalan yang dihadapi oleh
masyarakat dan juga para pembela kebenaran dan keadilan di tanah Papua
akhir-akhir ini adalah iklim saling mencurigai. Agaknya ini telah menjadi
budaya yang telah sangat memperkeruh kesatuan kita sebagai bangsa. Kecurigaan
itu selalu menjadi alasan terjadinya sebuah konflik. Misalnya kecurigaan antar
agama, antar etnis, kecurigaan terhadap masyarakat Papua yang merong-rong
keutuhan NKRI dan mereka dituduh sebagai separatis (OPM). Kecurigaan ini
didukung oleh ketertutupan sebuah rezim yang represif. Akibat dari ketertutupan
dan rezim yang represif adalah bahwa kita senantiasa mencari dalang, aktor
intelektual jika terjadi kerusuhan. Kita sudah sekian dikondisikan oleh iklim
ketidakpercayaan, maka kita tidak muda diyakinkan dan menjadi tidak puas dengan
apa yang tampak, tetapi suka mencari - cari sesuatu dibelang apa yang tampak
itu. Karena kita sudah dikondisikan dengan sistem seperti ini maka, jika ada
kerusuhan kerangka penjelasannya sudah dibuat jauh sebelumnya. Hal ini terbukti
ketika para penegak dan pembela kebenaran bersuara tentang HAM, keadilan serta
persoalan-persoalan lainya, mereka dianggap separatis atau oposan pemerintah,
karena itu harus dihancurkan dan dikuburkan hidup-hidup. Cara berpikir seperti
ini sesungguhnya adalah salah dan membahayahkan integrasi. Kecurigaan hanya
terkikis oleh transparansi dan transparansi lahir dari diri yang jujur, yang
bersih sehingga tidak perlu menutup-nutupi sesuatu. Di sini kebenaran menjadi
tolok ukur dalam berpikir dan bertindak
Fakta
berbicara, seringkali militerisme dalam suatu bangsa cenderung mengarah kepada
ekses-ekses yang dehumanisasi atau merendahkan martabat manusia. Salah satu
sebabnya mereka ingin status quonya diakui, baik dimata nasional maupun di mata
Internasional (A. Suryawarsita). Di
bawah ini akan dikemukakan pendekatan militer (militerisasi) telah melecehkan
HAM di Indonesia (Frans Magnis-Suseno)
Pertama, kebrutalan ABRI menangani unjuk rasa, perlakuan terhadap
tahanan, baik tersangka kriminal maupun tersangka politik, kekerasan sudah
berada di luar batas-batas kemanusiaan. Kebrutalan
yang mencuat ke permukaan terlihat dalam berbagai kasus yang terjadi di
Indonesia yang melibatkan ABRI. Kedua, tindakan kekerasan militer juga
terjadi ketika penetrasi yang begitu besar sehingga mengalahkan wewenang
lembaga hukum. Hal ini terlihat jelas ketika orang ditangkap tanpa adanya surat
penangkapan (asus praduga tak bersalah) yang legitim. Banyak orang ditangkap
tanpa bantuan atau perlindungan hukum, sementara hakim karena diintimidasi
menolak mendengar saksi yang meringankan, atau merekayasa sedemikian rupa sehingga
orang tersebut benar-benar menjadi terdakwa. Ketiga, Keterlibatan
militer nampak dalam penggusuran, pengambilan tanah rakyat untuk proyek-proyek
besar demi kepentingan orang-orang elite di negeri ini, dengan ganti rugi yang
tidak memadai. Hal ini berlanjut pada penutupan sumber penghasilan bagi orang
kecil dan pengrusakkan yang bersifat ekologis. keempat, Penetrasi ABRI
telah meracuni hak-hak dasar demokrasi tertentu seperti hak berkumpul, hak
membentuk serikat dan organisasi. Mahasiswa atau kelompok lain yang melakukan
demonstrasi damai di depan DPR tanpa tindakan kekerasan apapun malah ditangkap,
dianiaya dan bahkan ada yang dijatuhi hukuman penjara. Sikap-sikap seperti ini
cukup terasa dialami oleh para pengabdi dan pembela kebenaran serta keadilan yang
ada di tanah Papua akhir-akhir ini.
Di
tengah situasi pastoral seperti ini pada setiap kita diutus, ibarat Domba yang
berada di tengah Serigala. Berhadapan dengan kegentingan situasi pastoral
seperti ini, apakah pada setiap kita menjadi takut, lari, diam atau bersikap
apatis dengan situasi yang dialami oleh umat kita? Dimanakah suara profetis
kita? Dimanakah kita benamkan sebagai anak-anak Allah yang diutus ke dunia? Apa
yang harus dibuat dalam situasi caruk-marut bagi setiap kita?
Keberpihakan
setiap kita, terutama keterlibatannya dalam mengabdi pelayanan pastoral bukan
bermaksud untuk mengikis tuntas sejuta persoalan yang dialami oleh umat atau
warga di Tanah Papua, tetapi melalui gerakan kenabiannya, setiap kita dituntut
untuk bersuara membongkar praktik-praktik yang menindas dan menindis manusia
terutama mereka yang miskin dan menderita. Perjuangan ini telah ditunjukan oleh
Yesus tanpa ada rasa gentar dan takut.
B. Tanpa Kekerasan: Opsi Dasar Perjuangan Gereja
di Tanah Papua
Menjadi Petugas Gereja dalam
mengabdi kebenaran, keadilan dan perdamaian di tanah Papua mestinya bertindak
cerdas, cepat, tepat, kreatif untuk melahirkan solusi. Kepentingan dan
carut-marutnya situasi politik dan medang pastoral yang sangat-sangat rumit
dijangkau di Keuskupan dari Dekenat ke Dekenat lain, juga masalah kurangnya
tenaga Pastoral di semua wilayah Keuskupan di Tanah Papua, selain itu, harga
transportasi yang cukup mahal, keanekaragam suku, budaya dan pola dan cara
berpikir yang berbeda-beda yang mendominasi di tanah Papua khususnya wilayah
pelayaan Papua menuntut seorang pelayan atau para petugas pastoral yang handal
dan baik bahkan semua warga Papua (Pemerintahan,
Gereja-gereja, Petugas Pastoral, TNI, POLRI dan lembaga-lembaga kemanusiaan)
untuk bertobat, mempertajam citra rasa, membaharui pemahaman metode dan
menetapkan prioritas-prioritas pastoral yang kontekstual, pastoral yang
terlibat, menciptakan Papua Tanah Damai, menjauhi kekerasan dan konflik
terhadap orang asli Papua. Di samping itu perlu adanya pergeseran pastoral yang
bersifat konvensional, yang berpusat pada upacara-upacara menuju penciptaan
alternatif baru yang memberdayakan dan membebaskan umat. Di sini prinsip kontemplatif
perlahan-lahan beralih menuju aksi. Hal ini telah diajar dan diwariskan oleh
Yesus Kristus Sang pembawa kebenaran, keadilan dan perdamaian bahkan pembebasan
yang dilandasi dengan kasih. Bagi Yesus antara doa dan karya merupakan satu
kesatuan yang tidak bisa lepas dipisahkan. Dalam mengabdi kebenaran dan
keadilan bahkan PerdamaianYesus selalu memihak pada kaum lemah dan miskin, kaum
yang selalu ditindas dan direndahkan martabatnya oleh pihak penguasa dan
militer bahkan oleh pihak feodal dan para kapitalisme di Tanah Papua.
Photo: Pembibitan 4 Juta Pohon Kelapa Sawit di Wami dan
Yaro Nabire sejak Januari 2012.
Perjuangan yang dilakukan oleh Yesus
didasarkan pada misi Allah yakni menegakan Kerajaan Allah, sebuah Kerajaan yang
penuh dengan kebenaran, kedamaian, keadilan dan kesejahteraan: bukan kerajaan yang
penuh dengan kekerasan, teror, konflik, pembantaian etnis, intimidasi,
penindasan bahkan pembunuhan baik secara langsung maupun terselubung oleh pihak
militer dan kaki-tangan Negara Indonesia.
“ Jika kamu hendak menjadi saudara
satu sama lain, biarkan senjata jatuh dari tanganmu. Kamu tidak bisa mencintai
sesama dengan senjata di tanganmu. Jauh sebelum membunuh dan menghancurkan,
senjatamu yang ngeri dan yang dihasilkan oleh ilmu modern sudah memfermentasi
perasaan dan mimpi buruk dan rencana jahat. Senjata membutuhkan anggaran yang sangat
besar dan menghalangi proyek kemanusiaan dan solidaritas yang sangat berguna.
Kita hanya perlu ingat bahwa darah jutaan manusia, perempuan dan laki-laki,
bahwa penderitaan tanpa hitungan dan tak terdengar, pembantaian dan
penghancuran yang tak berguna dan yang mengerikan, adalah saksi mata pada masa
lampau yang menyatukan kamu dengan sebuah sumpah yang harus mengubah sejarah
dunia masa depan. Tidak lagi berperang, menindas kaum kecil dan tak boleh lagi.
Kebenaran, Keadilan dan Perdamaian yang harus membimbing nasib bangsa dan
seluruh umat manusia” di bumi ini terlebih di Papua.
Bagi para petugas Pastoral yang
mengabdi kebenaran, keadilan dan perdamaian di wilayah Pelayanan Keuskupan dan
di tanah Papua, perjuangan Yesus dalam menegakan Kerajaan Allah dimuka bumi
adalah inspirasi dalam menegakan Kerajaan Allah di tanah Papua. Pantang
kekerasan merupakan pilihan dasar Yesus. Demikian juga perjuangan semua umat
kesayangan Allah di Negara Indonesia dan Papua, juga para petugas pastoral.
Berpantang karena kekerasan menyangkut citra Allah. Allah manakah yang kita
yakini selama ini?
C. Dasar Pijakan Dalam Pengabdian di Tanah Papua
Ensiklik Rerum Novarum (1891)
dan ensiklik Quadragessimo Anno (1931) berbicara tentang keberpihakan
sosial Gereja terhadap kaum buruh sebagai pelayan pastoral-kerohanian. Dokumen
Konsili Vatikan kedua secara tegas memberikan pendasaran teologis untuk
keterlibatan Gereja yang lebih menyeluruh, tidak lagi terbatas pada kelas buruh
dan persoalannya tetapi lebih pada hubungan antara Gereja dan dunia. Dalam
refleksi ini Gereja memberikan pendasaran teologis terhadap komitmen politisnya
sebagai bagian utuh dari keterlibatan dan kehidupannya di dunia. Gereja mau
menjadi partner dalam dialog bersama umat manusia menuju terciptanya tatanan
masyarakat dunia yang lebih manusiawi. Dalam dokumen Mater et Magistra
menyebutkan secara eksplisit tugas Gereja untuk mengungkapkan dan melawan
ketidakadilan yang terkandung dalam sistem-sistem tertentu.
Pada tataran ini Gereja sudah harus
dan terus-menerus berusaha mendefenisikan diri dalam menghadapi berbagai
persoalan kemasyarakatan, termasuk di dalamnya masalah-masalah sosial yang
muncul di dalam maupun di luar umat beriman. Gereja pada dasarnya menolak
pengilahian kekuasaan politis yang melebihi kekuasaan Allah. Bagi Gereja, para
penguasa politis mesti mengejawantahkan kebijaksanaan dan nilai-nilai Kerajaan
Allah (Kebenaran, Keadilan dan Perdamaian) yang ada dalam diri Allah di tengah
dunia. Atas dasar pemikiran ini maka Gereja selalu terlibat dalam menyuarakan
kebenaran, keadilan dan perdamaian. Keterlibatan dan keberpihakan Gereja
terhadap kehidupan manusia ditegaskan kembali dalam dokumen Gadium Et Spes,
ar. 1, yang berbunyi “ kegembiraan
dan harapan, duka dan kecemasan manusia dewasa ini, terutama yang miskin dan
terlantar adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan murid-murid
Kristus pula ”.
Dokumen – dokumen Gereja ini menjadi
titik pijak keterlibatan para Petugas Pastoral dalam mengabdi kebenaran,
keadilan dan perdamaian di tengah kegentingan situasi hidup masyarakat Papua
dewasa ini. Keterlibatan Para Petugas Pastoral dalam berbagai bidang kehidupan
masyarakat merupakan penerapan “ teologi terlibat”, teologi yang merefleksikan
iman, yakni tanggapan manusia atas tawaran diri Allah demi keselamatan manusia
di bumi ini. Di dalam defenisi ini sudah terkandung keyakinan akan keterlibatan
diri Allah. Allah yang menawarkan diri demi keselamatan manusia adalah Allah
yang peduli akan manusia dan kehidupannya. Kalau demikian, tanggapan yang
diberikan manusia kepada Allah adalah tanggapan yang terlibat, sebab iman pada
dasarnya melibatkan diri dalam gerak keterlibatan Allah dalam dunia ini
khususnya di Tanah Papua. Dalam konteks ini kebenaran, keadilan dan perdamaian
yang diwartakan oleh Petugas Pastoral tidak hanya bersingungan dengan himpunan
pengetahuan dan obyek refleksi pergulatan ilmiah, tetapi terutama merupakan
bagian dari iman yang dihayati dan dipersaksikan sebagai suara kenabian di
tengah gejolak konflik dan kekerasan di tanah Papua..
Banyak orang memberikan definisi
tentang apa itu kebenaran, keadilan dan perdamaian?. Defenisi ketiga nilai
Kerajaan Allah yang sesuai dengan konteks kita adalah penyesuaian antara
realitas atau kenyataan yang kita amati dengan apa yang ada dalam pikiran kita,
juga apa yang dirasakan dan dialami oleh umat manusia teristimewa umat kesayangan
Allah di tanah Papua. Tetapi yang paling penting di sini, nilai-nilai Kerajaan
Allah tidak hanya terbatas pada pengetahuan, namun berkaitan juga dengan
penghayatan moral dan religius yang terungkap dalam sikap batin dan saleh untuk
tidak memanipulasinya dengan penjelasan dan penafsiran yang keliru. Nilai-nilai
Kerajaan Allah juga berlandaskan pada sikap rendah hati dan terbuka untuk terus
mencari, selalu bersedia untuk berdialog dengan sesama dalam menemukan
kebenaran serta bertindak sesuai dengan kebenaran. Mengabdi kebenaran tidak
lain adalah dengan menata hidup sesuai dengan apa yang ditemukan dan diyakini sebagai
kebenaran dengan harus menumbuhkan dalam dirinya a loving veneration of
truth ( sikap hormat yang dilandasi cinta akan kebenaran). Sikap ini akan
bertumbuh dalam diri para petugas Pastoral, jika petugas pastoral terlibat
secara langsung dalam mewartakan, menghidupi dan mempertahankan kebenaran. Menjadi
Petugas Pastoral di tanah Papua dewasa ini terasa amat berat. Menjadi Tenaga
Petugas Pastoral di tanah Papua bukan
sekedar untuk memperoleh status atau jabatan, memperoleh ketenaran nama,
keluarga, suku di tengah masyarakat, tetapi menjadi Petugas Pastoral adalah
suatu bentuk panggilan, pilihan dan perutusan dengan tugas khusus sebagai
Pelayan. Karena itu menjadi Petugas Pastoral di tanah Papua berarti menjadi
pribadi Pelayan yang mampu membawa kegembiraan dan harapan, mengubah duka dan
kecemasan umat yang miskin dan terlantar ke dalam kegembiraan dan harapan
seperti yang diwartakan oleh Yesus Sang pembawa jalan kebenaran dan kehidupan.
D. Sikap Keberpihakan Pastoral Bersama
Apakah kita cemas bahwa jalan yang
ditawarkan Allah, jalan yang telah ditempuh oleh Yesus, tidaklah benar? Apakah
kita memelihara rasa kurang percaya terhadap Allah, terhadap Yesus Kristus dan
Roh Kudus? Apakah kita sungguh-sungguh orang beriman?. Janganlah takut, Tuhan
telah mempercayakan kepada Gerejanya dan setiap kita bermisi untuk
menyelamatkan sesame kita dan seluruh umat Allah dan mewahyukan kuasa
penyembuhan, kuasa pertobatan, perdamaian dan pantang kekerasan sebagai bagian
utuh dari misi penyelamatan universal bagi manusia di bumi ini. Keutuhan
Gereja dan setiap kita terutama semua pelayan akan Injil bergantung pada
kesetiaannya pada Injil. Dalam situasi kekerasan yang kita hadapi dewasa ini,
kita membutuhkan kesaksian hidup dan pelaksanaan karya nyata yang sungguh
profetis. Injil adalah sebuah tantangan rohani yang mengundang kita untuk
mengambil sikap profetis dan yang menantang tata nilai dan cara dunia dalam
menawarkan sebuah alternatif yang menuntut pengorbanan.
Salah
satu bentuk keberpihakan oleh para petugas pastoral dan semua umat beriman
dalam kehidupan bersama adalah menyuarakan suara kebenaran, keadilan dan
perdamaian di wilayah pelayanan bersama-sama di Tanah Papua. Keterlibatan semua
pihak benar-benar sebagai motivator, fasilitator dan inspirator untuk menata kebekuan
masyarakat yang “terpenjara” oleh suatu sistem tertentu khususnya sisten negara
Indonesia. Kepedulian ini harus nyata dalam kesediaan untuk merasa senasib dan
sepenanggungan dengan mereka yang menjadi korban dari berbagai praktik
ketidakadilan dan penyelenggaraan kekuasaan yang sewenang-wenang. Suara
profetis di tengah arogansi kekuasaan merupakan sebuah tindakan sosial
karitatif Gereja. Pemaknaan yang sempurna akan nilai keberpihakan semua orang
adalah sebuah kepastian positif bahwa mereka yang kalah dalam hidup adalah
manusia yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia di bumi ini. Justru
karena itu, setiap kita mengusahakan model komunitas basis (kombas) yang
partisipatif aktif untuk mengsharingkan situasi sosial-politik dan ekonomi
dalam kelompok kecil setiap dedominasi Gereja dan semua pihak yang ada di Tanah
Papua.
Penutup
Akhirnya
kepada setiap kita yang bertugas di medan bakti, berjuanglah terus bersama
Yesus dalam mengabdi Injil (Kebenaran, Keadilan dan Perdamaian) di tanah Papua.
Biarkanlah Kebenaran, Keadilan dan Perdamaian menyelimuti hati seluruh umat
yang merindukannya akan Tritunggal yang Maha Kudus dan jadikanlah tanah Papua
sebagai Tanah Damai dan bukan zona kekerasan, penindasan, konflik, teror,
pembunuhan (penembakan terhadap
masyarakat sipil), pengrusakan lingkungan dan hutan Papua. Juga jangan ada
lagi perselingkuhan antara pihak militer dengan para kapitalis atau para feodal
di Tanah yang diberkati oleh Allah Tuhan di Pulau Cenderawasih Papua.
Demikianlah!!!!!
Abepura,
22 Februari 2013
Penulis:
Mahasiswa Pasca Sarjana pada STFT-Fajar Timur Abepura-Papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar