Memiluhkan Hati untuk mendengarkan Hukuman Mati yang dibuat oleh Negara Indonesia ini
23/03/2015
Jalan berdebu menuju desa Caudillo memotong melalui kebun jagung kering yang bergoyang akibat tiupan angin dan di tengah panasnya sinar mentari. Celia Veloso, 55, berjalan santai, melindungi diri dari panas terik dengan handuk katun kecil menutupi kepalanya.
Dia berjalan menuju desa berikut untuk membantu mempersiapkan sebuah perayaan lokal.
“Kami akan mempersiapkan makan malam,” katanya, sambil tersenyum. Jika dia beruntung, dia mungkin mendapatkan sekitar 2 dolar AS atas bantuannya.
Kegiatan akhir pekan itu, dengan membantu persiapan makanan, merupakan pekerjaan sampingan harian yang biasa dilakukan Veloso. Ia sebenarnya adalah seorang pemulung yang setiap hari mengumpulkan botol bekas, kantong plastik dan sampah lainnya dari seluruh desanya. Veloso dan suaminya menjual barang bekas tersebut ke toko-toko.
Pekerjaan ini tidak menghasilkan banyak uang. Ada cucu yang harus diberikan makan, dan anak yang hilang yang tidak bisa membantu pendapatan keluarga, dan kini harus menghadapi hukuman mati di negara lain.
Lima tahun lalu, putri Veloso, Mary Jane Fiesta Veloso, 30, ditangkap dan dijatuhi hukuman mati di Indonesia.
Ketika Indonesia kembali menerapkan eksekusi mati terhadap pengedar narkoba, ia juga dijatuhi hukuman serupa awal tahun ini. Media internasional berfokus pada dua warga Australia – Myuran Sukumaran dan Andrew Chan – dua Bali Nine, penyelundupan narkoba, yang telah dijatuhi hukuman mati sejak 2006.
Tapi, warga negara lain juga telah terperangkap dalam sistem peradilan Indonesia. Kasus Mary Jane, telah perlahan-lahan menarik perhatian masyarakat Filipina dalam beberapa pekan terakhir. Selama lima tahun terakhir, sedikit informasi tentang kasus Mary Jane; Orangtuanya tidak dipublikasikan.
Tapi, itu semua berubah tahun ini, ketika Presiden Indonesia Joko Widodo pada Januari menolak grasi dari 16 terpidana mati. Setelah bertahun-tahun ketidakpastian, Mary Jane tampaknya akan segera dieksekusi.
Sebuah foto Mary Jane Veloso, yang diambil 17 tahun lalu saat ia menikah.
Hukuman Mati
Bagi pihak berwenang Indonesia, narkoba bukanlah kasus sederhana. Mary Jane ditemukan di bandara Indonesia dengan 2,6 kilogram heroin yang disembunyikan di kopernya. Dia dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati pada Oktober 2010.
Tapi keluarga Mary Jane menyatakan bahwa ibu dari dua anak itu tidak bersalah. Dari beberapa percakapan telepon dengan dia selama bertahun-tahun dan kunjungan Celia, ibunya dan adiknya, Maritess, ke penjara belum lama ini, telah mengumpulkan kisah berbeda. Mereka percaya dia menjadi korban dari sindikat kejahatan internasional yang menggunakan perempuan tak berdosa dalan lalu lintas narkoba di seluruh Asia.
Mary Jane berusia 25 tahun ketika ia meninggalkan rumahnya di desa Caudillo, dekat kota Cabanatuan, Luzon Tengah, Filipina. Tujuannya adalah membantu keluarganya yang miskin. Kenalannya, Kristina, telah berjanji sebuah pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di Kuala Lumpur, Malaysia.
Tapi, ketika kedua perempuan itu tiba di Malaysia, Kristina mengatakan kepada Mary Jane bahwa pekerjaan sudah terisi. Ada lebih banyak pekerjaan yang tersedia, namun, di Yogyakarta, Indonesia. Apakah Anda tertarik?
Mary Jane setuju. Sebelum berangkat, Kristina mengajak Mary Jane untuk membeli baju baru. Dia memberi Mary Jane sebuah koper baru sebagai hadiah. Ketika Mary Jane bertanya, mengapa koper ini sangat berat, Kristina mengatakan, karena koper itu baru.
Mary Jane, yang hanya menyelesaikan tahun pertama di universitas, membuka koper dan tidak menemukan apa-apa di dalamnya. Dia meletakkan pakaian dan barang-barang miliknya, lalu menumpang pesawat bersama Kristina menuju Yogyakarta.
Namun, ketika mereka tiba di bandara Yogyakarta, koper itu memicu alarm pada scanner X-ray. Pihak berwenang Indonesia meminta izin Mary Jane untuk membuka koper.
Mereka menemukan heroin yang dibungkus dengan aluminium foil. Mereka kemudian menuduh Mary Jane membawa narkotika dengan nilai 500.000 dolar AS.
Saat Mary Jane berdiri, dan melihat ke sekeliling, dia tidak menemukan Kristina.
Bapanya Mary Jane, Cesar Veloso, mengatakan ia berupaya membunuh diri setelah mendengar putrinya dihukum mati.
Bertumbuh dalam kemiskinan
Pada 10 Mei 2010, Mary Jane menelepon ke rumah untuk menyampaikan ulang tahun kepada ayahnya, Cesar. Dia menyanyikan lagu ulang tahun untuk ayahnya.
Dua minggu sejak ia ditangkap, dia tidak pernah memberitahu keluarganya.
Beberapa hari kemudian, Mary Jane mengirim pesan teks samar. Dia mengatakan selamat tinggal keluarga.
Adiknya, Maritess, menjawab: “Mary Jane, apakah kamu ada masalah?”
Ia akhirnya mencerita kepada keluarganya apa yang menimpa dirinya. Cesar sangat shock. Dia mencoba bunuh diri tiga kali dalam beberapa hari berikut, katanya dalam wawancara bulan ini.
“Saya ingin mati,” katanya. “Putri saya pergi dan tidak kembali.”
Lima tahun telah berlalu, putrinya masih hidup, tapi masa depan hukuman matinya jauh dari kepastian.
“Kami miskin dan kami tidak bisa membayar untuk membebaskan dia,” kata Cesar. “Kalau saja kami kaya, saya akan menjual segala sesuatu untuk membebaskan putriku.”
Keluarga Veloso secara turun-temurun adalah pemulung. Orangtua Cesar juga seorang pemulung. Celia, istrinya, adalah putri dari seorang petani yang tidak memiliki lahan pertanian.
Ketika anak-anak mereka masih kecil, mereka berdua bekerja di perkebunan tebu.
“Kami bermimpi mengirim anak-anak saya ke sekolah,” kata Cesar. “Saya berjuang dan bekerja keras, tapi aku benar-benar tak bernasib baik.” Penghasilannya sering tidak cukup untuk memberi makan keluarga.
Anak-anak dibesarkan tanpa makanan bergizi, hanya bubur yang diberikan, katanya. “Kami menaruh banyak air pada segenggam beras dan mencampurnya dengan jagung,” kata Cesar. “Anak-anak memahami situasi kami. Saya selalu memberitahu mereka untuk minum banyak air agar mereka tidak kelaparan.”
Tapi, anak-anak melakukan yang terbaik untuk mengubah nasib keluarga.
Ketika mereka tumbuh dewasa, satu anak perempuan pergi ke Jepang untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Setelah beberapa tahun, dia pulang diceraikan suaminya dan ia sendiri tinggal bersama anak-anaknya. Putrinya yang lain pergi ke Timur Tengah tapi pulang sakit. Anak-anak lain tinggal di rumah, menikah dan mengikuti apa yang telah menjadi tradisi keluarga: bekerja sebagai petani dengan upah rendah. Kesejahteraan keluarga tidak membaik. “Situasi ini sama seperti ketika saya masih muda,” kata Cesar.
Tapi Mary Jane, satu-satunya anak Veloso yang mencapai sekolah tinggi meskipun cuma setahun. Ia ingin mengubah hidup.
Dia pertama kali bekerja di luar negeri, Uni Emirat Arab. Setelah 10 bulan, ia kembali ke rumah karena, katanya, majikannya telah mencoba memperkosanya. Ketika dia berangkat ke Malaysia, dia harus bertengkar dengan keluarganya untuk keluar dari kemiskinan.
Cesar masih ingat hari-hari Mary Jane tinggal bersamanya di desa Caudillo.
“Dia menangis dan memeluk saya,” kenangnya. “Ayah, kita miskin,” pinta Mary Jane.
Mary Jane mengatakan kepada saudaranya untuk selalu beriman kepada Tuhan dalam sebuah surat yang ia kirim bulan lalu.
Berharap sebuah masa depan yang lebih baik
Ribuan warga Filipina meninggalkan negara mereka setiap hari mencari masa depan yang lebih cerah di luar negeri.
Migrante, sebuah federasi internasional pekerja migran Filipina, mengatakan setidaknya 6.000 orang Filipina meninggalkan negara itu setiap hari untuk mencari pekerjaan, mengutip penelitian dari Yayasan Ibon berbasis di Quezon City. Jumlah tersebut meningkat 50 persen dari tahun 2010, ketika Mary Jane meninggalkan rumahnya.
Migrante mencatat bahwa para pekerja perempuan menghadapi kesulitan dan eksploitasi dalam beberapa tahun terakhir. Dalam dua bulan pertama tahun ini saja, Migrante mengatakan pihaknya telah menangani setidaknya 50 kasus kekerasan terhadap perempuan Filipina di luar negeri, termasuk serangan fisik, pelecehan seksual, dan percobaan perkosaan.
Garry Martinez, Ketua Migrante, mengatakan situasi ekonomi yang memburuk di Filipina menimbulkan lebih banyak perempuan ke luar negeri dan membuat mereka rentan terhadap perdagangan dan pelecehan di tempat kerja.
Tetapi mereka telah menjadi bagian penting dari ekonomi Filipina hingga hari ini.
Pada 2013, para pekerja Filipina mengirim uang ke rumah senilai 25 miliar dolar AS, menurut Bank Dunia.
Mary Jane bukan satu-satunya warga Filipina yang menghadapi eksekusi di luar negeri. Pada 10 Maret, Wakil Presiden Filipina Jejomar Binay, yang juga penasihat presiden merasa khawatir dengan pekerja Filipina di luar negeri. Pihaknya menyatakan bahwa ada 80 pekerja Filipina menghadapi hukuman mati di berbagai negara. Dia mengatakan bahwa dari 80 pekerja migran yang menghadapi eksekusi, 27 berada di Arab Saudi.
Kelompok-kelompok termasuk Migrante melaporkan dalam lima tahun terakhir telah melelahkan bagi pekerja Filipina di luar negeri akibat kondisi kerja yang buruk.
“Apa yang para pekerja kami dan keluarga mereka butuhkan selama masa krisis ini adalah tindakan dan program pemerintah menyiapkan lapangan kerja di dalam negeri,” kata Martinez dalam sebuah pernyataan.
Cesar Veloso dan Maritess Veloso membacakan surat Mary Jane untuk keluarga.
Bermimpi kembali ke rumah
Rumah bagi Mary Jane selalu berarti kemiskinan. Di desa Caudillo yang miskin ini dimana ia mengumpulkan botol bekas dan menjual “es” kepada tetangga untuk membantu memberi makan kedua anaknya, yang kini tinggal dengan mantan suaminya.
Pada Februari, pemerintah Indonesia mengizinkan keluarga Mary Jane – Celia, Maritess dan dua anaknya Mary Jane – mengunjungi dia di penjara.
“Saya tidak takut,” kata Mary Jane kepada Maritess. “… Jika keputusan Tuhan bagi saya untuk dieksekusi, maka mungkin Tuhan ingin aku sudah berada di sisinya.”
Selama pertemuan Februari, Mary Jane mengatakan kepada ibunya “dengan rasa sedih”.
“Bu, tolong aku,” kata Mary Jane. “Aku masih ingin bersamamu. Bu, saya tidak ingin mati.”
Di bawah naungan gubuk kecil mereka di pinggir jalan desa berdebu itu, Celia menangis saat ia mengenang pesan putrinya.
Selama lima tahun, keluarga menunggu bantuan tapi tidak ada: tidak ada tanggapan dari pemerintah, tidak ada aksi protes, tidak ada doa, tidak ada liputan media.
Sekarang, ia menunggu terus nasib putrinya. Departemen Luar Negeri Filipina pada Januari meluncurkan PK untuk kasus Mary Jane. Para pejabat Indonesia baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka telah menunda eksekusi, termasuk Mary Jane.
Celia masih dalam kebingungan siapa yang harus dipercaya.
“Ada janji, tapi Mary Jane masih di penjara. Tahun-tahun telah berlalu dan tidak ada yang dilakukan. Tidak ada yang membantu kami,” kata Celia.
“Sampaikan kepada saya jika mereka akan membunuh anak saya.”
Joe Torres, Cabanatuan City, Filipina.
(Sumber: ucanews.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar