Christoph Straesser, Utusan untuk Urusan Hak Asasi Manusia (HAM) Pemerintah Jerman mengatakan pemerintah Indonesia perlu membuat pengadilan HAM Papua. Hal ini dianggap perlu setelah Straesser berkunjung ke Papua sebagai rangkaian kunjungannya ke Indonesia pada 17-21 September 2015.
“ Saya menyarankan agar dibangun satu pengadilan HAM dan Komisi Rekonsiliasi atas apa yang terjadi di Papua belakangan ini,” kata Straesser dalam konferensi pers di Kantor Kedutaan Jerman di Jakarta, Senin, 21 September 2015.
Straesser mengatakan ada masalah yang dihadapi masyarakat Papua saat ini. Menurutnya, ada jarak yang besar dari masyarakat asli yang lahir di Papua dibandingkan dengan masyarakat pendatang untuk mendapatkan akses pendidikan dan pelayanan medis. “Saya juga sering mendengar bahwa di sana sering terjadi serangan dan saya prihatin,” kata Straesser.
Menurut Straesser, kesan ini muncul dalam diskusi terbuka dengan berbagai elemen masyarakat di Papua. “Saya terkesan atas terbukanya pembicaraan di sana dan oleh karena itu saya optimistis yakin bahwa mengenai HAM kita akan temukan satu posisi bersama Jerman dan Indonesia dengan toleransi dan saling menghormati."
Selain itu, Straesser mengatakan, masalah Papua sering menjadi bahan diskusi di Jerman. “Di Jerman seringkali dikunjungi kelompok yang intens berbicara tentang masalah Papua,” katanya.
Straesser menyoroti masalah Papua sebagai situasi yang serius dan kerap dibahas di Jerman. “Kalau Anda ke Jerman pasti Anda akan sungguh terkejut dengan banyak sekali organisasi yang ada di sana dan membicarakan masalah ini,” kata Straesser.
Meski begitu, menurut Straesser, ada perkembangan yang positif di Papua saat ini. Sebagai gambaran, ia sudah mengajukan izin berkunjung ke Papua sebanyak tiga kali, yakni tahun 2008, 2012, dan 2015. Dua kunjungan terdahulu, pemerintah tidak mengizinkan Straesser berkunjung ke Papua. Barulah tahun 2015, ia mendapat izin berkunjung ke pulau paling timur di Indonesia. "Ini kunjungan yang berarti saya dapat bisa berkunjung ke sana,” kata Straesser.
Dalam diskusi, Straesser juga menyoroti peristiwa tragedi 1965. Menurutnya, rekonsiliasi adalah langkah yang berat. “Masa lalu sekarang seolah dibiarkan masa lalu, tidak digulingkan ke masa depan,” Bagi Straesser, hal ini adalah kesalahan. “Ini berdasarkan pengalaman kami di Eropa, termasuk dengan yang terjadi di masa lalu." (sumber Tempo. Com)
“ Saya menyarankan agar dibangun satu pengadilan HAM dan Komisi Rekonsiliasi atas apa yang terjadi di Papua belakangan ini,” kata Straesser dalam konferensi pers di Kantor Kedutaan Jerman di Jakarta, Senin, 21 September 2015.
Straesser mengatakan ada masalah yang dihadapi masyarakat Papua saat ini. Menurutnya, ada jarak yang besar dari masyarakat asli yang lahir di Papua dibandingkan dengan masyarakat pendatang untuk mendapatkan akses pendidikan dan pelayanan medis. “Saya juga sering mendengar bahwa di sana sering terjadi serangan dan saya prihatin,” kata Straesser.
Menurut Straesser, kesan ini muncul dalam diskusi terbuka dengan berbagai elemen masyarakat di Papua. “Saya terkesan atas terbukanya pembicaraan di sana dan oleh karena itu saya optimistis yakin bahwa mengenai HAM kita akan temukan satu posisi bersama Jerman dan Indonesia dengan toleransi dan saling menghormati."
Selain itu, Straesser mengatakan, masalah Papua sering menjadi bahan diskusi di Jerman. “Di Jerman seringkali dikunjungi kelompok yang intens berbicara tentang masalah Papua,” katanya.
Straesser menyoroti masalah Papua sebagai situasi yang serius dan kerap dibahas di Jerman. “Kalau Anda ke Jerman pasti Anda akan sungguh terkejut dengan banyak sekali organisasi yang ada di sana dan membicarakan masalah ini,” kata Straesser.
Meski begitu, menurut Straesser, ada perkembangan yang positif di Papua saat ini. Sebagai gambaran, ia sudah mengajukan izin berkunjung ke Papua sebanyak tiga kali, yakni tahun 2008, 2012, dan 2015. Dua kunjungan terdahulu, pemerintah tidak mengizinkan Straesser berkunjung ke Papua. Barulah tahun 2015, ia mendapat izin berkunjung ke pulau paling timur di Indonesia. "Ini kunjungan yang berarti saya dapat bisa berkunjung ke sana,” kata Straesser.
Dalam diskusi, Straesser juga menyoroti peristiwa tragedi 1965. Menurutnya, rekonsiliasi adalah langkah yang berat. “Masa lalu sekarang seolah dibiarkan masa lalu, tidak digulingkan ke masa depan,” Bagi Straesser, hal ini adalah kesalahan. “Ini berdasarkan pengalaman kami di Eropa, termasuk dengan yang terjadi di masa lalu." (sumber Tempo. Com)