Dalam
suku besar Yerisiam terdapat empat suku yaitu: Suku Waoha, Suku Akaba,
Suku Koroba dan Suku Sarakwari. Suku Waoha membawahi marga (Hanebora,
Money, Inggeruhi, Refasi). Suku Akaba membawahi marga (Yarawobi,
Waropen, henawi, Yoweni). Suku Sarakwari membawahi marga (Akubar,
Nanaur, Kowoi). Suku Koroba membawahi (Rumirawi, Maniburi Marariampi,
Waremuna). Dalam tugas dan fungsi empat suku adalah menjaga dan
mengawasi batas-batas hukum adat sesuai garis hirarki kekuasaan, guna
kesejahtraan marga-marga. Empat suku ini pada kakekatnya tidak berkuasa
atas penyerahan (pelepasan), apalagi penjualan hak kekayaan yang melekat
pada kedaulatan komunal (kelompok), dengan mengatasnamakan suku tanpa
sepengetahuan kepala suku besar Yerisiam.
Kewenangan dan tanggung jawab kuasa
berada di suku besar Yerisiam setelah terjadi sebuah musyawarah untuk
mufakat. Suku Yerisiam hingga abad 20 masih menganut sistem komunal
dalam menentukan hak-hak bersama yang dikuasakan oleh garis paternal.
Paham feodal hanya dijadikan sebagai sarana menghimpun, membimbing
masyarakat adat suku Yerisiam tapi tidak memiliki otoritas veto. Hak
veto hanya digunakan saat situasi suku mengalami kondisi genting atau
darurat.
Kedaulatan Adat Suku besar Yerisiam
diambang Investasi, berawal ketika Klaim sepihak dari HPH PT. JATI DARMA
TNDAH PLYWOOD INDUSTRIES atas tanah Adat Suku Yerisiam dan Wate
dikabupaten Nabire Provinsi Papua. Perusahaan yang awalnya melakukan
penebangan pohon demi usaha kayu log ini, atas kalaim tersebut,
mengganggu aktifitas masyarakat hukum adat untuk melakukan berbagai
kegiatan di sekitar hutan mereka. Klaim Jati Dharma atas hutan diawali
sejak masyarakat Hukum Adat Yerisiam dan Wate melalui Koperasi
Masyarakat Bumiowi, pada tahun 2009 menyerahkan areal sebesar 17.000
(Tujuh Belas Ribu Hektar).
Adapun batas-batas sebagai berikut:
Sebelah barat berbatasan dengan sungai bambu
Sebelah timur berabatasan dengan sungai ajare
Sebelh utara berbatasan dengan laut sarera
Sebelah selatan berbatasan dengan sungai bebi
PT. Jati Darma kemudian mengalihkan
fungsi lahan dari kayu indsutri kepada areal perkebunan kelapa sawit.
Status Hak Guna Pakai kepada PT. Nabire Baru untuk kepentingan
perkebunan kelapa sawit, merambah 8 hektar lahan di areal lain yang
masih masuk hak ulayat. Jika dilihat status tanah ini adalah tanah APL
(Areal Penggunaan Lain) yang adalah kewenanngan bupati. Namun, PT. Jati
Darma Indah Plywood Industries terus mengklaim areal ini karena HPH
berada diatas areal APL sehingga berbagai perijinan belum bisa
diterbitkan karena harus ada sebuah surat tertulis yang menyatakan tidak
keberatan atas penggunaan areal tersebut termaksud analisis dampak
lingkungan (AMDAL).
Pokok masalahnya pada kerancuan Surat
Pelepasan. Dalam penyerahan tanah 17. 000 hektar yang dilakukan atas
nama suku Woha tidak melalui sebuah musyawarah bersama dan yang terjadi
adalah inisiatif pribadi. Lebih parah lagi surat pelepasan yang kemudian
dijadikan sebagai dasar dimasukannya perkebunan kelapa sawit tidak
sesuai dengan isi dari surat pelepasan. Berdasarkan transaksi serah
trima pihak pertama selaku pewaris hak ulayat tanah adat telah
menyerahkan areal seluas 17. 000 Ha beserta potensi alam yang ada diatas
areal tersebut, kepada pihak kedua dan pihak kedua berhak penuh untuk
mengambil serta mengelola hasil, berupa kayu merbau yang berada diatas
tanah adat milik pihak pertama.
Dari point tersebuat diatas, nyata bahwa
penyerahan tanah ulayat adat hanya untuk pengelolaan kayu merbau dan
tidak diperuntukan untuk perkebunan sawit. Penggunaan surat pelepasan,
kemudian dipergunakan oleh pihak kedua dengan menjual atau menggadaikan
tanah tersebut kepada pihak perkebunan sawit yang hingga kini belum
jelas statusnya.
Hal lain adalah proses pelepasan tidak
melalui mekanisme yaitu musyawara untuk mufakat sesuai ketentuan adat.
Dan pekerjaan sudah berjalan kurang lebih 3 tahun lebih. Masyarakat adat
suku Yerisiam belum melakukan kontrak kerja perjanjian (MOU) dengan
pihak PT. Nabire Baru dengan alasan ijin AMDAL belum diterbitkan namun
pekerjaan dilapangan tetap berjalan.
Demi menuntut hak ulayat dari klaim
perusahaan, suku setempat melakukan berbagai upaya. Akhirnya, Bupati
Nabire menyurati Direktur Utama PT. Jati Darma Indah Plywood Industries
di Jakarta, perihal persetujuan Areal Penggunaan Lain (APL), namun belum
ada respon dari pihak pimpinan PT. Jati Darma Indah Plywood Industries.
Hal ini mendorong masyarakat adat Suku Yerisiam dan Wate pada tanggal
28 Juli s/d tanggal 3 Agustus 2011 melakukan aksi demo damai ke kantor
DPRD Nabire, guna meminta DPRD menfasilitasi pertemuan dengan
menghadirkan Direktur PT. Jati Darma Indah.
Pada tanggal 1 Agustus 2011, DPRD Nabire
melakukan mediasi antara pemangku ulayat dengan pihak perusahaan, namun
direktur utama PT. Jati Darma Indah Plywood Industries tidak hadir
sehingga pertemuan tersebut dibatalkan. Hal lain adalah kondisi
initerkesan mengarah pada konflik horizontal antara sesama warga. Ada
beberapa orang yang dipakai oleh PT. Jati Darma Indah Plywood Industries
untuk melakukan komplin atas tuntutan masyarakat yang kemudian
berbuntut pada tindakan anarkis pada tanggal 4 Agustus, bertempat di
ruang Bamus DPRD Nabire.
Dampak Yang Timbul
Aspek lingkungan, penebangan pohon
berdampak pada lenyapnya hutan sebagai zona 02 bagi mahluk hidup, bahkan
kerusakan alam menjadi tragedi saat ini. Aspek Kesejahtraan, sampai
saat ini belum ada kontrak kerja (MOU) yang pada dasarnya mengatur hak
dan kewajiban kedua belah pihak sehingga tidak ada gambaran kesejahtraan
bagi masyarakat adat suku besar Yerisiam. Kemudian, aspek konflik
budaya.
Aspek keamanan, pendekatan militer masih
menjadi praktek baku investasi dimana-mana. PT. Nabire Baru kerap
menggunakan aparat brimob Polda Papua yang menjadi pengamanan PAM di
perusahan tersebut. Kasus-kasus kekerasan yang sudah terjadi dari sejak
penempatan anggota PAM Brimob, antara lain;
1. Pemukulan terhadap karyawan yang
sedang menuntut/memprotes gaji yang tidak sesuai hasil kerja. Kasus ini
terjadi penyiksaan hingga korban mengeluarkan kotoran anus.
2. Pemukulan Titus Money saat menuntut gajinya yang ditahan. Korban adalah karyawan yang juga adalah pemilik ulayat.
3. Sering melakukan pemalakan kayu dijalan-jalan secara liar dan menuntut bayaran.
4. Berpeluang terhadap penciptaan konflik yang lebih besar seperti konflik horizontal/ vertical, kasus wasior.
5. Kasus terbaru adalah pemukulan terhadap wakil bupati.
6. PANGDAM Ke Nabire Urusi Perkebunan
Sawit. PANGDAM (Panglima Daerah Papua) Mayjen TNI Christian Zebua tiba
di Nabire (Rabu 11 september/2013). Kedatangan pangdam tersebut,
mendapat pengawalan extra ketat oleh aparat TNI/POLRI Nabire. Kedatangan
tersebut di berikan peringatan, pelarangan kepada media Nabire untuk
tidak meliput dan juga menerbitkan berita tentang kedatangan pangdam
tersebut. Kedatangan pangdam langsung di jemput oleh Bupati Nabire,
Ketua DPRD, Dandim, Kapolres, Direktur PT.Nabire Baru dan PT.Sariwana
Unggul Mandiri (pemeilik perkebunan sawit), dengan pengawalan ketat dan
perjalanan langsung di lanjutkan menuju lahan perkebunan sawit di daerah
Wami Distrik Yaur Nabire Barat.
7. Stigmatisasi terhadap suku setempat
yang dicap sebagai separatis (OPM), sebuah cara lihai yang dilakukan
pemodal dengan pihak keamanan demi memukul mundul upaya masyarakat adat
mempertahankan kedaulatan adat diatas tanah leluhur mereka. Seperti yang
terjadi pada Minggu 2 Maret 2014.
Salah seorang masayarakat kampung sima
distrik Yaur Kabupaten Nabire bernama Otis Waropen, yang sedang berkebun
di daerah Wami kali Bambu di tuding oleh polsek setempat sebagai
anggota (kurir) TPN-OPM. Satu peleton Brimob Pam Perkebunan sawit
ditambah anggota Polres Nabire bersenjata lengkap di kerahkan ke lokasi
untuk menahan masyarakat tersebut. Otis Waropen di jadikan tersangka dan
di tahan di Polres Nabire.
Hal tersebut membuat Kepala Suku Besar
Yerisiam, (SP.Hanebora) sebagai pengayom masyarakat adat setempat angkat
bicara. Senin, 3 Maret 2014, SP.Hanebora sangat menyangkan kejadian
tersebut. Masyarakat saya mayoritas adalah masyarakat yang hidupnya
berkebun, jadi pantas masyarakat saya kalau tinggal berhari-hari bahkan
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun di hutan. Masa orang tinggal di
tengah laut baru ke darat berkebun di hutan, orang berkebun ya…harus
hidupnya di laut, begitupun nelayan hidupnya di laut. Saya sangat
menyayangkan kejadian tersebut karena masyarakat saya adalah masyarakat
yang tidak tahu menahu tentang persoalan politik dan lain-lain, baru
pihak kepolisian harus menuding dan membuat isu-isu yang berbuntut pada
kehidupan keseharian masayarakat saya yang akan terganggu. Karena
keseharian mereka selalu di hutan untuk berburu, berkebun dan lain-lain.
Tegas SP.Hanebora.
Demi menyuarakan hak-hak dasar pribumi,
suku besar Yerisiam tak gentar dalam menghadapai halusinasi dan ancaman
dari pihak terkait. Secara rutin, melalui kepala suku setempat, seruan
masalah disini ke publik. Baik melalui surat pernyataan, mengirim surat
kepada berbagai pihak, menyampaikan protes via siaran pers bahkan ikut
mengawal proses tersebut dengan satu tujuan “kembalikan hak adat pada
tempatnya dan hargailah kedaulatan adat setempat yang duluan ada
daripada Negara”.
Berikut Kronologis Sikap dari Suku Besar Yerisiam
Kayu, rotan dan mahluk hidup yang ada di
atas areal tersebut digusur dan mati tanpa pertanggungjawaban kepada
kami sebagai pemangku pemilik hak ulayat disini. Aktivitas perkebunan
tersebut sarat dengan persoalan bahkan mengancam habitat hutan.
Mahakamah konstitusi telah melegalkan
kepemilikan hutan kepada pemilik hak adat. Salah satunya, Suku Besar
Yerisiam, di bumi Papua. Menengarai berbagai persoalan yang timbul
akibat kedikdayaan perusahaan. Perusahaan kelapa sawit hingga perkayuan
industri. Menohok sekali keberadaan masyarakat setempat.
Melihat kronisnya masalah ini, semakin
parah bahkan melecehkan bagi hak ulayat, Kepala Suku Besar Yerisiam pun
buka suara. Simon Petrus Hanebora telah berkali kali, bersama warga
disini, berupaya semaksimal mungkin agar dapat di dengar oleh
pemerintah.
Menurut Tuan Simon Petrus Hanebora
(SPH), masalah exploitasi, pembalakan liar dan proses pembiaran oleh
negara terhadap dua perusahan kelapa sawit PT.Nabire Baru bersama PT.
Sariwana Unggul Mandiri di atas lahan Adat Masyarakat Pribumi Suku Besar
Yerisiam, sudah sangat memprihatingkan. Kayu, rotan dan mahluk hidup
yang ada di atas areal tersebut digusur dan mati tampa ada pertanggung
jawaban. Padahal, tutur bapak ketua adat setempat melalui pers realease
yang di edarkan (1/9/2013), bahwa aktivitas perkebunan tersebut sarat
dengan persoalan.
Mengingat praktik liar tersebut ada
dugaan skandal dibalik ini, sehingga perlu Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), diminta turun tangan. Meminta KPK untuk menyelidiki Bupati
Nabire,DPRD Nabire, Kehutanan Nabire, Perkebunan Nabire, PT.Nabire Baru
dan PT.Sariwana Unggul Mandiri. Karena ada indikasi suap-menyuap dan
kongkalingkon, selama ini terkesan lembaga-lembaga ini trus menjadi
bemper/pengayom terhedap aktivitas perkebunan kelapa sawit yang secara
hukum sarat dengan persoalan, tegas Kepala Suku Besar.
Lanjutnya, sengketa tersebut menimbulkan
pro dan kontra pemilik ulayat dengan perusahaan sawit akibat klaim HPH
yang belum usai, dan persoalan ijin Amdal dari BAPEDALDA Privinsi Papua.
Namun kegiatan aktivitas perushan terus dilakukan. Penebangan sudah
masuk hinggal areal-arel keramat, dusun-dusun sagu dan pinggiran pantai.
Ribuan pohon kayu putih dan rotan yang memiliki nilai komersial
diterlantakan dan di kuburkan begitu saja. Sedangkan kayu merbau/kayu
besi terus menjadi buruan dan incaran kedua perusahan tersebut.
Lebih parah lagi, perusahaan tersebut
tak saja langgar aturan masyarakat adat, tetapi juga Amdal sebagai
payung/pagar untuk menetukan kelayakan aktivitas sebuah areal kerja
investasi tidak di terbitkan. Desakan masyarakat adat tak pernah di
gubris, seakan ada kepentingan pribadi di balik aktifitas tersebut,
tegasnya.
Pembiaran negara pada masalah ini,
kepala adat setempat mengatakan bahwa Masyarakat Pribumi Suku Besar
Yerisiam tidak tahu kemana lagi harus mengadu tentang persoalan dan hak
kami sebagai masyarakat pribumi. Ia meminta agar para pihak perlu ada
tindak lanjut dalam bentuk investigasi lapangan dan advokasi dapat di
laksanakan. Mengingat areal Masyarakat Pribumi Suku Yerisiam sudah
sangat memprihatingkan.
Pada akhir realease tersebut,
SP.Hanebora mengatakan perlu penanganan serius oleh pihak-pihak terkait
dalam mencari jalan keluar bagi Masyarakat Pribumi Suku Besar Yerisiam.
Sudah cukup masyarakat di Pravi Manokwari-Papua Barat yang menjadi
korban oleh dalil investasi sawit ini jangan lagi terjadi kepada kami
Masyarakat Pribumi Suku Besar Yerisiam, sekian.
***
Nabire 21 September 2013, Masyarakat
Pribumi Suku Besar Yerisiam “Prease Lease” Pendekatan Militer Dibalik
Perkebunan Sawit PT. Nabire Baru Dan PT. Sariwana Unggul Mandiri.
Menyikapi kamtibmas di Papua pada umunya dan Nabire pada khususnya,
adalah menjadi tanggung jawab bersama semua komponen, tidak saja aparat
TNI/POLRI, namun tokoh adat, kepala suku dan masyarakat umum. Kerinduan
akan sebuah kedamaian adalah menjadi harapan kita bersama sehingga kerja
sama dalam menjaga keamanan sangat diharapkan antara institusi
TNI/POLRI dan pihak masyarakat luas maupun komponen masyarakat.
Hal ini sangat jauh dari harapan ketika
praktek pendekatan militer yang dilakukan oleh salah satu investasi
penanaman modal asing (PMA) perkebunan sawit PT. Nabire Baru dan PT.
Sariwana Unggul Mandiri yang menggunakan pendekatan militer dalam
menjaga keamanan atau bertugas di perusahan tersebut. Dalam prakteknya
dengan kehadiran anggota pam Brimob (Polri), sangat jauh dari tupoksi
polri yang diatur dalam uu kepolisian yaitu sebagai pengayom dan
pelindung rakyat.
Namun yang terjadi adalah
tindakan-tindakan kekerasan baik secara langsung maupun tidak langsung
yang sering dilakukan terhadap masyrakat pemilik ulayat, pimpinan suku
Yerisiam maupun karyawan yang sering mengeluh terhadap gaji mereka. Ada
indikasi upaya pendekatan militer dikedua perusahan tersebut, adalah
untuk melindungi sebuah kesalahan hukum atas dilanggarnya UU 32 Tahun
2009 tentang lingkungan hidup yang mana dalam pasal tertentu mengatur
tentang ijin AMDAL (analisa dampak lingkungan) yang seharusnya dimiliki
sebelum pekerjaan perusahan tersebut beroprasi. Namun yang terjadi
adalah pekerjaan yang dilakukan sudah berjalan tiga tahun tanpa memiliki
ijin amdal, Pada tanggal 11 bulan September 2013 Panglima XVII
cendrawasi melakukan penanaman perdana sawit sementara puluhan pohon
sudah ditanam dua tahun berjalan.
Sebuah upaya pembohongan publik yang
sedang dilakukan oleh kedua perusahan tersebut, dalam upaya melegitimasi
kegiatan perkebunan yang illegal selama ini, dengan mendatangkan para
pejabat negara yang secara tidak langsung turut melegitimasi kesalahan
terhadap uu 32 tahun 2009. Perlu juga diketahui bahwa kehadiran
perusahan sawit di tanah ulayat adat pribumi suku Yerisiam menuai pro
kontra antara masyarakat adat Yerisiam, yang jika hal ini dibiarkan akan
memicu konflik baik horizontal maupun dengan perusahan tersebut, yang
berbutunt aparat keamanan akan berada dipihak perusahan seperti
kasus-kasus sawit pada umumnya di Indonesia.
Kemerdekaan Indonesia adalah untuk bebas
dari segala bentuk penjajahan namun karakter imperialis sangat jelas
diterapkan diatas tanah leluhur masyarakat pribumi suku Yerisiam oleh
perkebunan sawit PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Unggul Mandiri tanpa
menghormati hak-hak dasar masyarakat pribumi sebagai pemilik Tanah
ulayat adat.
Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah sangat jelas menyebutkan
tujuan dari pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yaitu
untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Alinea IV Pembukaan UUD 1945,
melegitimasi semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
tanah, air dan semua sumber daya alam di Indonesia, yang terkandung
didalamnya sebesar-besarnya digunakan untuk menciptakan kemakmuran bagi
rakyat Indonesia. Lebih khusus di Papua sebuah perangkat UU negara
Indonesia tentang otonomi khusus hadir, guna merubah pengalaman masa
lalu atas kegagalan pemerintah dalam membangun sumber daya Papua,
sehingga otsus hadir dengan pioritas program salah satu adalah
kesejahtraan dan kemakmuran masyarakat pribumi Papua. Namun praktek
kedua perusahan ini mencoreng cita-cita paradigma baru guna mereformasi
praktek-praktek orde baru dalam pengelolaan sumber daya alam masyarakat
pribumi suku Yerisiam.
Berhubung dengan hal-hal yang dijelaskan
diatas maka sebagai kepala suku Yerisiam yang bertanggung jawab
terhadap masyarakat adat pribumi suku Yerisiam dengan ini meminta:
- Demi keamanan dan kenyamanan maka PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana
Unggul Mandiri segera mengembalikan pam brimob yang ada di perkebunan
sawit.
- Sangat diharapkan pihak kepolisian dan dinas kehutanan turun ke dua
lahan perkebunan kelapa sawit yaitu PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana
Unggul Mandiri untuk memastikan berapa jumlah batang kayu dan berapa
jumlah meter kubik dari empat jenis kayu yaitu kayu merbau, kayu indah,
kayu meranti dan rimbah campuran untuk dibayarkan atau didenda oleh PT.
Nabire Baru dan PT. Sariwana Unggul Mandiri jika tidak dapat
mempertanggung jawabkan data otentik dari puluhan juta meter kubik yang
dikuburkan begitu saja.
- PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Unggul Mandiri stop melakukan upaya
pembohongan public dengan menghadirkan pejabat provinsi untuk
melegitimasi pekerjaan yang illegal.
- Demi kelancaran dan kelangsungan pekerjaan perkebunan sawit diatas
tanah leluhur masyarakat pribumi suku Yerisiam maka penting adanya
sebuah pertemuan antara perusahan dan pemilik ulayat adat yang hingga
kini belum dibicarakan secara baik tentang hak dan kewjiban antar
pemilik ulayat adat dan PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Unggul Mandiri.
- Pemerintah dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, maka kami
Meminta pemerintah daerah dalam hal ini eksekutif dan legislatif maupun
unsur muspida lainya untuk tidak melakukan proses pembiaran terhadap
jutaan pohon kayu yang ditebang begitu saja yang secara jelas melanggar
Undang – Undang Negara Repoblik Indonesia No 32 THN 2009 Tentang
Lingkungan Hidup, maupun hokum-hukum lain yang mengatur tentang hak-hak
masyarakat adat.
Harapan suku Yerisiam terhadap
pemerintah sebagai wakil rakyat jangan berpihak kepada kaum pemodal
dengan menari-nari diatas jeritan rakyat.
***
Perkebunan Kelapa Sawit di Nabire Harus
di Tutup, Karena Berjalan Dengan Ijin Gubernur Karetaker. Keputusan
Gubernur Papua “Lukas Enembe”, untuk menertibkan dan mencabut ijin-ijin
beroperasi perusahan HPH, Pertambangan dan Perkebunan yang di berikan
oleh Pejabat Gubenur/Carateker Gubernur Papua sebelumnya. Dikutip dari
beberapa media cetak dan media online belum lama ini (baca:
Gubernur Papua Cabut Ijin Pertambangan dan HPH).
Menurut Gubernur Papua Lukas Enembe,
Ijin yang di keluarkan oleh pejabat gubernur/karateker kepada
perusahan-perusahan HPH,Pertambangan dan Perkebunan yang sekarang banyak
digunakan untuk beroperasi di Papua harus di cabut. Karena Gubernur
Carateker tidak mempunyai kewenagan untuk memberikan ijin.
Hal tersebut di tanggapi positif oleh,
Kepala Suku Besar Masyarakat Pribumi Yerisiam Kabupaten Nabire-Papua; “
SP.Hanebora”, menurutnya; Keputusan Gubernur adalah, klimaks dari
pergumulan dari masyarkat pribumi Yerisiam selama ini. Karena perkebunan
kelapa sawit yang di kerjakan oleh PT.Nabire Baru dan Sariwana Unggul
Mandiri di Nabire, di tanah ulayat adat mereka, dengan menggunakan Ijin
dari Gubernur Karateker (Costant Carma). Yang secara aturan tidak
mempunyai kekuatan hukum.
“Saya sudah sampaikan di tulisan-tulisan
saya sebelumnya, kalau perkebunan kelapa sawit PT.Nabire Baru dan
PT.Sariwana unggul mandiri berjalan dengan banyak persoalan, mulai dari
di langgarnya UU 32 tentang lingkungan hidup, hingga menggunakan Ijin
Gubernur Karateker Tahun 2012, untuk beroperasi selama ini, Katanya.
Tambah SP.Hanebora, Ijin yang di pakai
selama ini oleh PT.Nabire Baru dan PT.Sariwana Unggul Mandiri, ijin
Gubernur Karateker Costant Carma, ketika Bapedalda tidak menerbitkan
Amdal, lalu mereka menghadap Gubernur Carateker dan gubernur menerbitkan
ijin operasional kepada kedua perusahan tersebut. Yang hingga kini
masih digunakan.
Jadi secara hukum, ketika Pernyataan
Gubernur Papua Lukas Enembe, untuk mencabut ijin-ijin operasioanal
perusahan-perushan di Papua yang di terbitkan oleh gubernur karateker,
maka secarah hukum Ijin operasional PT.Nabire Baru dan PT.Sariwana
Unggul Mandiri, telah gugur lewat pernyataan pimpinan tertinggi di Papua
yang di pilih langsung oleh rakyat yaitu Bapak Lukas Enembe Gubernur
Provinsi Papua. Jadi kedua perusahan tersebut harus di tutup. Tegas
SP.Hanebora.
SP.Hanebora, juga meminta, untuk unsur
pemerintah provinsi untuk bisa turun langsung ke lapangan untuk,
menertibkan dan menghentikan aktivitas perushan-perushan HPH,
Pertambagan dan Perkebunan, yang hingga kini masih beroperasi
menggunakan ijin Gubernur Karateker. Contohnya seperti; Perkebunan Sawit
PT.Nabire Baru dan PT.Sariwana Unggul mandiri yang ada di Nabire, yang
terkesan mengabaikan undang-undang di Negara ini.
Dia juga meminta, ada tim investigasi,
dari POLRI dan KPK untuk mengecek Pejabat Gubernur, yang pernah
menjabat, karena ada indikasi suap menyuap dalam menerbitkan ijin dan,
penyalahgunaan jabatan.
***
Penahanan Para Pengusaha Kayu Oleh POLDA
Papua. Aksi sweping yang dilakukan oleh Tim Polda Papua, kepada seluruh
pengusaha kayu di Nabire, yang sempat juga mendapat protes oleh Tim
Polisi Hutan Nabire. Aksi swiping Tim Polda Papua tersebut, berlanjut
hingga terjadi penahanan kepada beberapa pengusaha kayu di Nabire.
Dengan alasan tak memiliki ijin opersional dan ijin yang digunakan tidak
sah.
Hal ini membuat gerah Kordinator
Pengusaha Kayu Distrik Yaur Kabupaten Nabire. Sweping tersebut adalah
pembohongan dan ada unsur kepentingan. Menurutnya, selama ini kami
pengusaha kayu kerja berdasarkan aturan dan ijin dari pihak kehutanan
(kasus berikut ini). Dua orang teman kami yang bekerja di distrik Yaur,
ditangkap dengan alasan mereka karena ijin yang mereka gunakan tidak ”
Sah”,…. Terus kalau ijin itu tidak sah, trus ijin atau aturan mana yang
harus kami pengusaha kayu ikuti ???, aturan Kehutanan atau Aturan Polisi
???…Kalau aturan atau ijin kehutanan tidak berlaku di republik ini…maka
Polda Papua menghadap Presiden minta hapus Dinas Kehutanan beserta
Menteri Kehutanannya biar, kami berurusan kayu dengan pihak polisi saja,
karena…hal ini seperti suatu penindasan kepada kami, kami selalu di
jerat dengan aturan-aturan yang sumbernya tak jelas “. Katanya…
Iwan meminta kepada Pihak polisi untuk
segera mengeluarkan pengusaha yang di tangkap dengan alasan ijin mereka
tidak sah. Dan Tim Polda Papua segera membuat pertemuan dengan kami
pengusaha kayu, supaya kami bisa tahu apa yang sebenarnya letak
kesalahan dari kami, karena selama ini kami bekerja menggunakan ijin
yang dikeluarkan kehutanan. Kami tidak pencuri, kalau memang ijin yang
kehutanan berikan tidak sah, mari sebenarnya ijin mana yang sah dan mana
yang harus kami ikuti?
Kami juga pengusaha kecil yang hasil
pekerjaan yang kami lakukan, tidak sebanding dengan pekerjaan kami
lakukan di lapangan, pekerjaan yang penuh dengan resiko keselamatan dan
sadar tidak sadar, kami pengusaha kayu lokal ini juga turut membangun
proses pembangunan di negara ini lebih khusus tanah Papua. Jadi jangan
Polda Papua terlalu persulit kami dengan aturan yang tidak jelas,
Tegasnya.
***
POLHUT Nabire Menolak Kehadiran TIM
POLDA Papua Dalam Mengurusi Kayu. Tim yang di utus oleh POLDA Papua tiba
di Nabire pada (Sabtu/17/05/2014), untuk mengurusi persoalan kayu di
Nabire, mendapat protes keras dari Tim POLHUT Kabupaten Nabire. Menurut
salah satu anggota Polhut Dinas Kehutanan Kabupaten Nabire, “Arnoldus
Berotabui”, mengatakan bahwa, tim yang di bentuk oleh Polda Papua,
sangat menyalahi aturan, karena terlalu mengintervensi tugas pokok dari
kehutanan.
Mereka datang seperti pencuri, dan tidak
menghargai kami Polhut. Datang dan langsung sweping-sweping kayu di
jalan. Padahal itu urusan kami, dalam memeriksa ijin pengusaha-pengusaha
di Nabire. Tambah Bero, bahwa mereka (Polhut) akan meminta
pertanggungjawaban Kapolda Papua tentang tim yang diutus tersebut.
Karena menurut Bero, Polhut itu dibentuk
oleh Dinas Kehutanan untuk berada di lapangan untuk mengontrol hutan
dan termasuk pengusaha-pengusaha lokal yang melakukan aktivitas
penggergajian kayu, yang kayu-kayu tersebut di bawa dalam skala kecil,
guna pembangunan infrastruktur di Pemda Nabire, dan mereka bekerja juga
karena ada ijin dari Dinas Kehutanan Nabire. Jadi, mereka tidak asal
kerja. Jadi sanggat tidak benar Polda turun dan sweping kayu di Nabire,
mereka punya urusan apa, tegas Bero.
Sekedar untuk diketahui, Tim Polda Papua
yang kala itu tiba di Nabire pada hari Sabtu hingga Minggu, untuk
melakukan sweping terhadap pengusaha-pengusaha kayu yang bekarja di
Nabire, tentang ijin operasional. Tidak tahu jelas tujuan utama mereka,
apa mereka mau memeriksa ijin atau ada udang di balik batu, untuk
kepantingan disisipkan?
***
Jumat 13 Desember 2013, Suku Besar
Yerisiam Beri Ultimatum kepada Perusahaan Sawit di Nabire. Persoalan
investasi kelapa sawit yang membelit di atas tanah ulayat adat
masayarakat suku Yerisiam, kampung sima distrik yaur kabupaten Nabire
yang hingga kini belum juga usai. Mulai dari belum di kompensasikannya
ribuan kayu yang di kebas tebang (Leand Claring) hingga MoU yang belum
dibuat untuk mengatur hak kedua belah pihak (perusahan/pemilik ulayat).
Hal-hal tersebut membuat masyarakat
pemilik ulayat Suku Yerisiam mengambil sikap tegas, dengan membuat
pertemuan adat, yang di pimpin oleh Kepala Suku Besar Yerisiam Kabapaten
Nabire (SP.Hanebora) sabtu 12 Desember 2013. Hal-hal dan sikap yang di
ambil di pertemuan tersebut antara lain; Pihak perusahan harus
membayarkan ribuan kayu yang di kebas tebang sebelum tanggal 15 Desember
2013, dan segera membuat MoU.
Menurut kepala suku Yerisiam, pihaknya
memberikan batas waktu kepada pihak perusahan perkebunan, kalau sampai
tanggal 15 desember 2013 mereka tidak juga menanggapi, apa yang di
putuskan oleh kami pemilik ulayat, maka kami, Masyarakat adat suku besar
Yerisiam akan menghentikan aktivitas perusahan tersebut dan menyita
seluruh asset perusahan.
Kepala suku Yerisiam juga mengatakan
bahwa, dia sangat menyesal dengan sikap pemerintah daerah hingga
provinsi yang terkesan membiarkan persoalan ini berlarut-larut, dan
memungkinkan akan terciptanya konfilik yang berbuntut pada jatuhnya
korban. Kepala suku juga berpesan kepada siapapun untuk memantau sikap
yang akan dilakukan oleh masyarakat suku Yerisiam di tanggal 15 keatas,
untuk memberhentikan kegiatan perusahan kelapa sawit tersebut. Karena
menurut informasi beredar bahwa, pihak perusahan akan mengerahkan aparat
Bimob untuk megamankan perusahan tersebut aksi pemalangan tersebut.
Sekedar informasi, hingga kini, pihak
perushan belum jiga membuka diri dan menanggapi permintaan pemilik
ulayat adat suku besar Yerisiam. Ini adalah penciptaan konflik yang
sengaja di buat oleh pihak perusahan untuk mempropaganda orang Papua
khususnya Nabire.
***
Pernyataan Sikap soal Penangguhan AMDAL.
Nabire-Persoalan tentang di langgarnya hak-hak pribumi Suku Besar
Yerisiam Kabupaten Nabire Papua, oleh dua perusuahan sawit (PT.Nabire
Baru dan PT.Sariwana Unggul Mandiri), yang hingga kini belum juga
membayarkan ganti rugi kayu dan rotan yang dikebas tebang. Membuat
kepala suku mengeluarkan pernyataan sikap kepada BAPEDALDA untuk
menanguhkan penerbitan ijin AMDAL kepada perkebunan sawit tersebut.
Berikut pernyataan.
KEPALA SUKU BESAR YERISIAM
KABUPATEN NABIRE
Alamat :Jln. Yossudarso No. 070 – Phone: 085354379006, 081240040955
Nomor : Istimewa
Kepada Yth : Kepala Bapedalda Provinsi Papua
(Cq. Komisi Pembahasan Amdal PT. Nabire Baru)
Lampiran : Arsip Surat Pengaduan
Perihal : Pernyataan Sikap
Dengan Hormat
Mengingat: Tanah ualayat adat serta
kekayaan masyarakat pribumi suku Yerisiam yang ada di dalam tanah dan
diatas tanah serta diudara (karbon) merupakan kekayaan komunal yang
tidak dapat diterimah untuk dijadikan hak perorangan dengan dalil
mengatas namakan. Dalam suku Yerisiam terdapat empat suku yaitu: suku
waoha, suku akaba, suku, koroba, suku sarakwari.
Suku Waoha membawahi marga (Hanebora,
Money, Inggeruhi, Refasi), Suku Akaba membawahi marga (Yarawobi,
Waropen, henawi, yoweni), suku sarakwari membawahi marga (Akubar,
Nanaur, Kowoi) suku Koroba membawahi (Rumirawi, Maniburi Marariampi,
Waremuna,) tapi juga keempat suku tersebut diatas menjadi pionir bagi
sub marga yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat suku
Yerisiam.
Dalam tugas dan fungsi empat suku adalah
menjaga dan mengawasi batas-batas hukum adat sesuai garis hirarki
kekuasaan paternal guna kesejahtraan marga-marga. Empat suku ini pada
kakekatnya tidak berkuasa atas peyerahan, pelepasan apalagi penjualan
hak kekayaan yang melekat hak-hak komunal dengan mengatas namakan suku
tanpa sepengetahuan kepala suku besar Yerisiam. Kewenangan dan tanggung
jawab kuasa berada di suku besar Yerisiam setelah terjadi sebuah
musyawarah untuk mufakat.
Dalam penyerahan tanah 17. 000 hektar
yang dilakukan atas nama suku woha tidak melalui sebuah musyawara
bersama, hal yang terjadi adalah orang-perorang. Lebih parah lagi surat
pelepasan yang kemudian dijadikan sebagai dasar dimasukannya perkebunan
kelapa sawit tidak sesuai dengan isi dari surat pelepasan.
Berdasarkan transaksi serah trimah pihak
pertama selaku pewaris hak ulayat tanah adat telah menyerahkan areal
seluas 17. 000 Ha beserta potensi alam yang ada diatas areal tersebut
kepada pihak kedua dan pihak kedua berhak penuh untuk mengambil serta
mengelola hasil, berupa kayu merbau yang berada diatas tanah adat milik
pihak pertama.
Dari point tersebuat diatas nyata bahwa
penyerahan tanah ulayat adat hanya untuk pengelolaan kayu merbau dan
tidak diperuntukan untuk perkebunan sawit. Penggunaan surat pelepasan
(terlampir) kemudian dipergunakan oleh pihak kedua dengan menjual atau
menggadekan tanah tersebut kepada pihak perkebunan sawit. Hal ini dapat
dibuktikan bahwa tadinya pihak kedua adalah IMAM BASROWI yang dikenal
oleh masyarakat adat suku Yerisiam sebagai pimpinan perusahan sawit PT.
Nabire Baru, kini menjadi nama orang lain dan hal ini merupakan sebuah
penipuan yang tidak saja dilakukan kepada Yunus money dan masyarakat
adat pribumi, tapi juga kepada pihak pemerintah dan sangat melecehkan
harga diri masyarakat pribumi suku Yerisiam.
Kemajuan tentang suatu perlindungan akan
hak–hak masyarakat pribumi, ketika Working Group on Indegenous
Population dari UN of HCR (United Nations of Height Commissioner for
Human Right), atau Komisi Tinggi PBB untuk HAM, pada tanggal 28 Juli
tahun 2000 menerima resolusi, untuk membentuk Permanent Forum on
Indigenous Issues yang berstatus sebagai organ sekunder yaitu Economic
and Social Councile (ECOSOC) dan memiliki 16 anggota yang terdiri dari
wakil pemerintah dan wakil pribumi.
Instrumen yang komprehensif tentang
perlindungan hak-hak masyarakat asli, dimuat dalam Draft Deklarasi yang
berhasil disusun tahun 1994 oleh Sub Commission on the Promotion and
Protection of Human Rights, sub komisi ini berada dibawah UN of HCR yang
berkedudukan di Geneva, Swiss.
Draft tersebut berhasil dideklarasikan
oleh PBB pada tanggal 23 September 2007 di markas besar PBB, dengan
Resolusi Majelis Umum PBB No. A/Res/61/295 pada sidang ke-61 PBB.
Tanggal 9 Agustus 1994 diperingati sebagai hari bangsa pribumi oleh
lebih dari 370 juta masyarakat pribumi yang hidup di 70 negara diseluruh
dunia.
Peringatan tersebut menjadi bagian dari
upaya badan dunia untuk mempromosikan perlindungan hak-hak asasi
manusia, terhadap mayarakat pribumi. Deklarasi PBB tentang hak-hak
masyarakat asli (UN Declaration on the Rights of Indegenous Peoples),
disetujui oleh Dewan HAM PBB di Jenewa pada Juni 2006. Deklarasi
tersebut menyerukan negara-negara untuk menghentikan pengusiran paksa
masyarakat asli, perampasan lahan-lahan milik mereka, maupun pemaksaan
mereka untuk berintegrasi dengan kebudayaan lain.
Dibagian lain Convenan On Civil and
political Rights (Convenan Iternasional Hak – Hak Sipil Dan Politik),
ditetapkan oleh resolusi majelis umum PBB Nomor: 2200 A (xxii)
tertanggal 16 desember 1966, yang kemudian diratifikasi pemerintah
indonesia kedalam UU No 39 Tahun 2009 tentang HAM.
Terkesan pihak PT.Nabire Baru
mengabaikan hak–hak asasi masyarakat pribumi suku Yerisiam. Pihak
PT.Nabire baru, dan instansi teknis, dalam prakteknya tidak mengacu pada
Undang–Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
Memperhatikan:
Tuntukan kepala suku Yerisiam atas nama
masyarakat pribumi suku Yerisiam yang terus menerus menyuarakan
tuntutanya kepada pihak perusahan melalui pemerintah dan instasi terkait
untuk memediasi pertemuan guna membicarakan kayu yang telah di kebas
tebang diatas areal 17. 000 Hektar, dan pembahasan sebuah MOU oleh
PT.Nabire Baru dan masyarakat adat pribumi suku Yerisiam, namun hingga
kini belum mendapat respon. Sehingga dengan tegas menyatakan: PEMBAHASAN
AMADAL DITANGGUHKAN dan merujuk pada;
1. Kayu yang dikebas tebang diatas areal
17. 000 hektar yang memiliki nilai komersial hendaknya dibayarkan oleh
pihak perusahan dan diadakan pembahasan MoU dan barulah pembahasan amdal
dilakukan
2. Untuk itu meminta BLH Provinsi Papua
serta kabupaten bersama-sama Dinas kehutanan provinsi dan kabupaten
serta tim amdal utnuk mengadakan infestigasi agar memastikan bahwa
kegiatan yang telah dilakukan selama kurang lebih tiga (3) tahun diatas
17. 000 hektar diatas tanah adat milik masyarakat pribumi suku yerisam
sudah sesuai dengan segalah peraturan dan perundang-udangan yang berlaku
di Negara kesatuan repoblik Indonesia secara khusus uu lingkungan hidup
dan kehutanan.
3. Khusus mengenai kayu adalah;
infestigasi dilakukan terhadap jenis kayu: mix, meranti grup, kayu
indah, kayu mewah dengan masing-masing diameter dan kubikasi yang
selanjutnya akan dibayarkan berdasarkan jenis dan kubikasi.
4. Jika Dinas kehutanan kabupaten Nabire
telah memilik data seperti tersebut diatas maka kami mohon agar data
tersebut dibuktikan dengan menunjukkan bukti sirvey lapangan.
5. Jika data tesebut tidak dapat dibuktikan maka pembayaran dilakukan dalam bentuk denda.
6. Pembayaran ganti rugi lahan yang
harus sesuai dengan undang-undang agraria mengingat ganti rugi lahan
yang telah dilakukan sebelumnya belum pernah ada mufakat dari sebuah
musyawarah.
7. Menunggu proses pembayaran kayu dan
pembahasan MoU, dihentikan segalah bentuk aktifitas mulai dari
penebangan penanaman, kokerang (aktifitas) yang berjalan sekarag sambil
menempuh proses solusi, mengingat keputusan Gubernur Papua definitif
terhadap tidak berlakunya segalah keputusan pejabat gubernur karteker
terhadap ijin-ijin yang dikeluarkan.
8. Untuk diketahui bahwa dilarang untuk
tidak melakukan penebangan melewati bekas (eks) jalan Jati Dharma Indah
kearah selatan mulai dari sungai bambu sebelah timur hingga sungai wami
sebelah barat.
9. Menolak tegas kepala-kepala suku
gadungan yang mengatas namakan suku Yerisiam untuk mencari legitimasi
hokum tingkat pemerintah kabupaten maupun provinsi, yang sebenarnya
tidak mempunyai garis silsilah terhadap hak-hak adat masyarakat pribumi
suku Yerisiam.
10. Masalah ini juga telah kami adukan
ke Komnas Ham Papua guna mencari solusi terhadap proses hokum jika
perusahan dan pemerintah tidak memperhatikan tuntutan masyarakat adat
terhadap proteksi bagi masyarakat adat pemilik ulayat adat. Dan telah
terdaftar dengan no urut kasus 48 di komnasham Papua. Dan akan diadukan
juga ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Republik Indonesia di
Jakarta.
dari berbagai sumber khususnya masyarakat adat setempat