Sabtu, 05 Juli 2014

KEDAULATAN ADAT SUKU BESAR YERISIAM DIAMBANG INVESTASI DI WAMI DAN SIMA NABIRE-PAPUA

Kedaulatan Adat Suku Besar Yerisiam diambang Investasi

Dalam suku besar Yerisiam terdapat empat suku yaitu: Suku Waoha, Suku Akaba, Suku Koroba dan Suku Sarakwari. Suku Waoha membawahi marga (Hanebora, Money, Inggeruhi, Refasi). Suku Akaba membawahi marga (Yarawobi, Waropen, henawi, Yoweni). Suku Sarakwari membawahi marga (Akubar, Nanaur, Kowoi). Suku Koroba membawahi (Rumirawi, Maniburi Marariampi, Waremuna). Dalam tugas dan fungsi empat suku adalah menjaga dan mengawasi batas-batas hukum adat sesuai garis hirarki kekuasaan, guna kesejahtraan marga-marga. Empat suku ini pada kakekatnya tidak berkuasa atas penyerahan (pelepasan), apalagi penjualan hak kekayaan yang melekat pada kedaulatan komunal (kelompok), dengan mengatasnamakan suku tanpa sepengetahuan kepala suku besar Yerisiam.
Kewenangan dan tanggung jawab kuasa berada di suku besar Yerisiam setelah terjadi sebuah musyawarah untuk mufakat. Suku Yerisiam hingga abad 20 masih menganut sistem komunal dalam menentukan hak-hak bersama yang dikuasakan oleh garis paternal. Paham feodal hanya dijadikan sebagai sarana menghimpun, membimbing masyarakat adat suku Yerisiam tapi tidak memiliki otoritas veto. Hak veto hanya digunakan saat situasi suku mengalami kondisi genting atau darurat.
komnasham vs pemilik ulayat
Kedaulatan Adat Suku besar Yerisiam diambang Investasi, berawal ketika Klaim sepihak dari HPH PT. JATI DARMA TNDAH PLYWOOD INDUSTRIES atas tanah Adat Suku Yerisiam dan Wate dikabupaten Nabire Provinsi Papua. Perusahaan yang awalnya melakukan penebangan pohon demi usaha kayu log ini, atas kalaim tersebut, mengganggu aktifitas masyarakat hukum adat untuk melakukan berbagai kegiatan di sekitar hutan mereka. Klaim Jati Dharma atas hutan diawali sejak masyarakat Hukum Adat Yerisiam dan Wate melalui Koperasi Masyarakat Bumiowi, pada tahun 2009 menyerahkan areal sebesar 17.000 (Tujuh Belas Ribu Hektar).
Adapun batas-batas sebagai berikut:
Sebelah barat berbatasan dengan sungai bambu
Sebelah timur berabatasan dengan sungai ajare
Sebelh utara berbatasan dengan laut sarera
Sebelah selatan berbatasan dengan sungai bebi
PT. Jati Darma kemudian mengalihkan fungsi lahan dari kayu indsutri kepada areal perkebunan kelapa sawit. Status Hak Guna Pakai kepada PT. Nabire Baru untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit, merambah 8 hektar lahan di areal lain yang masih masuk hak ulayat. Jika dilihat status tanah ini adalah tanah APL (Areal Penggunaan Lain) yang adalah kewenanngan bupati. Namun, PT. Jati Darma Indah Plywood Industries terus mengklaim areal ini karena HPH berada diatas areal APL sehingga berbagai perijinan belum bisa diterbitkan karena harus ada sebuah surat tertulis yang menyatakan tidak keberatan atas penggunaan areal tersebut termaksud analisis dampak lingkungan (AMDAL).
Pokok masalahnya pada kerancuan Surat Pelepasan. Dalam penyerahan tanah 17. 000 hektar yang dilakukan atas nama suku Woha tidak melalui sebuah musyawarah bersama dan yang terjadi adalah inisiatif pribadi. Lebih parah lagi surat pelepasan yang kemudian dijadikan sebagai dasar dimasukannya perkebunan kelapa sawit tidak sesuai dengan isi dari surat pelepasan. Berdasarkan transaksi serah trima pihak pertama selaku pewaris hak ulayat tanah adat telah menyerahkan areal seluas 17. 000 Ha beserta potensi alam yang ada diatas areal tersebut, kepada pihak kedua dan pihak kedua berhak penuh untuk mengambil serta mengelola hasil, berupa kayu merbau yang berada diatas tanah adat milik pihak pertama.
Dari point tersebuat diatas, nyata bahwa penyerahan tanah ulayat adat hanya untuk pengelolaan kayu merbau dan tidak diperuntukan untuk perkebunan sawit. Penggunaan surat pelepasan, kemudian dipergunakan oleh pihak kedua dengan menjual atau menggadaikan tanah tersebut kepada pihak perkebunan sawit yang hingga kini belum jelas statusnya.
Hal lain adalah proses pelepasan tidak melalui mekanisme yaitu musyawara untuk mufakat sesuai ketentuan adat. Dan pekerjaan sudah berjalan kurang lebih 3 tahun lebih. Masyarakat adat suku Yerisiam belum melakukan kontrak kerja perjanjian (MOU) dengan pihak PT. Nabire Baru dengan alasan ijin AMDAL belum diterbitkan namun pekerjaan dilapangan tetap berjalan.
komnasham vs pemilik ulayat2
Demi menuntut hak ulayat dari klaim perusahaan, suku setempat melakukan berbagai upaya. Akhirnya, Bupati Nabire menyurati Direktur Utama PT. Jati Darma Indah Plywood Industries di Jakarta, perihal persetujuan Areal Penggunaan Lain (APL), namun belum ada respon dari pihak pimpinan PT. Jati Darma Indah Plywood Industries. Hal ini mendorong masyarakat adat Suku Yerisiam dan Wate pada tanggal 28 Juli s/d tanggal 3 Agustus 2011 melakukan aksi demo damai ke kantor DPRD Nabire, guna meminta DPRD menfasilitasi pertemuan dengan menghadirkan Direktur PT. Jati Darma Indah.
Pada tanggal 1 Agustus 2011, DPRD Nabire melakukan mediasi antara pemangku ulayat dengan pihak perusahaan, namun direktur utama PT. Jati Darma Indah Plywood Industries tidak hadir sehingga pertemuan tersebut dibatalkan. Hal lain adalah kondisi initerkesan mengarah pada konflik horizontal antara sesama warga. Ada beberapa orang yang dipakai oleh PT. Jati Darma Indah Plywood Industries untuk melakukan komplin atas tuntutan masyarakat yang kemudian berbuntut pada tindakan anarkis pada tanggal 4 Agustus, bertempat di ruang Bamus DPRD Nabire.
Dampak Yang Timbul
Aspek lingkungan, penebangan pohon berdampak pada lenyapnya hutan sebagai zona 02 bagi mahluk hidup, bahkan kerusakan alam menjadi tragedi saat ini. Aspek Kesejahtraan, sampai saat ini belum ada kontrak kerja (MOU) yang pada dasarnya mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak sehingga tidak ada gambaran kesejahtraan bagi masyarakat adat suku besar Yerisiam. Kemudian, aspek konflik budaya.
Aspek keamanan, pendekatan militer masih menjadi praktek baku investasi dimana-mana. PT. Nabire Baru kerap menggunakan aparat brimob Polda Papua yang menjadi pengamanan PAM di perusahan tersebut. Kasus-kasus kekerasan yang sudah terjadi dari sejak penempatan anggota PAM Brimob, antara lain;
1. Pemukulan terhadap karyawan yang sedang menuntut/memprotes gaji yang tidak sesuai hasil kerja. Kasus ini terjadi penyiksaan hingga korban mengeluarkan kotoran anus.
2. Pemukulan Titus Money saat menuntut gajinya yang ditahan. Korban adalah karyawan yang juga adalah pemilik ulayat.
3. Sering melakukan pemalakan kayu dijalan-jalan secara liar dan menuntut bayaran.
4. Berpeluang terhadap penciptaan konflik yang lebih besar seperti konflik horizontal/ vertical, kasus wasior.
5. Kasus terbaru adalah pemukulan terhadap wakil bupati.
6. PANGDAM Ke Nabire Urusi Perkebunan Sawit. PANGDAM (Panglima Daerah Papua) Mayjen TNI Christian Zebua tiba di Nabire (Rabu 11 september/2013). Kedatangan pangdam tersebut, mendapat pengawalan extra ketat oleh aparat TNI/POLRI Nabire. Kedatangan tersebut di berikan peringatan, pelarangan kepada media Nabire untuk tidak meliput dan juga menerbitkan berita tentang kedatangan pangdam tersebut. Kedatangan pangdam langsung di jemput oleh Bupati Nabire, Ketua DPRD, Dandim, Kapolres, Direktur PT.Nabire Baru dan PT.Sariwana Unggul Mandiri (pemeilik perkebunan sawit), dengan pengawalan ketat dan perjalanan langsung di lanjutkan menuju lahan perkebunan sawit di daerah Wami Distrik Yaur Nabire Barat.
7. Stigmatisasi terhadap suku setempat yang dicap sebagai separatis (OPM), sebuah cara lihai yang dilakukan pemodal dengan pihak keamanan demi memukul mundul upaya masyarakat adat mempertahankan kedaulatan adat diatas tanah leluhur mereka. Seperti yang terjadi pada Minggu 2 Maret 2014.
yerisiam1
Salah seorang masayarakat kampung sima distrik Yaur Kabupaten Nabire bernama Otis Waropen, yang sedang berkebun di daerah Wami kali Bambu di tuding oleh polsek setempat sebagai anggota (kurir) TPN-OPM. Satu peleton Brimob Pam Perkebunan sawit ditambah anggota Polres Nabire bersenjata lengkap di kerahkan ke lokasi untuk menahan masyarakat tersebut. Otis Waropen di jadikan tersangka dan di tahan di Polres Nabire.
Hal tersebut membuat Kepala Suku Besar Yerisiam, (SP.Hanebora) sebagai pengayom masyarakat adat setempat angkat bicara. Senin, 3 Maret 2014, SP.Hanebora sangat menyangkan kejadian tersebut. Masyarakat saya mayoritas adalah masyarakat yang hidupnya berkebun, jadi pantas masyarakat saya kalau tinggal berhari-hari bahkan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun di hutan. Masa orang tinggal di tengah laut baru ke darat berkebun di hutan, orang berkebun ya…harus hidupnya di laut, begitupun nelayan hidupnya di laut. Saya sangat menyayangkan kejadian tersebut karena masyarakat saya adalah masyarakat yang tidak tahu menahu tentang persoalan politik dan lain-lain, baru pihak kepolisian harus menuding dan membuat isu-isu yang berbuntut pada kehidupan keseharian masayarakat saya yang akan terganggu. Karena keseharian mereka selalu di hutan untuk berburu, berkebun dan lain-lain. Tegas SP.Hanebora.
Demi menyuarakan hak-hak dasar pribumi, suku besar Yerisiam tak gentar dalam menghadapai halusinasi dan ancaman dari pihak terkait. Secara rutin, melalui kepala suku setempat, seruan masalah disini ke publik. Baik melalui surat pernyataan, mengirim surat kepada berbagai pihak, menyampaikan protes via siaran pers bahkan ikut mengawal proses tersebut dengan satu tujuan “kembalikan hak adat pada tempatnya dan hargailah kedaulatan adat setempat yang duluan ada daripada Negara”.
komnasham vs pemilik ulayat1
Berikut Kronologis Sikap dari Suku Besar Yerisiam
Kayu, rotan dan mahluk hidup yang ada di atas areal tersebut digusur dan mati tanpa pertanggungjawaban kepada kami sebagai pemangku pemilik hak ulayat disini. Aktivitas perkebunan tersebut sarat dengan persoalan bahkan mengancam habitat hutan.
Mahakamah konstitusi telah melegalkan kepemilikan hutan kepada pemilik hak adat. Salah satunya, Suku Besar Yerisiam, di bumi Papua. Menengarai berbagai persoalan yang timbul akibat kedikdayaan perusahaan. Perusahaan kelapa sawit hingga perkayuan industri. Menohok sekali keberadaan masyarakat setempat.
Melihat kronisnya masalah ini, semakin parah bahkan melecehkan bagi hak ulayat, Kepala Suku Besar Yerisiam pun buka suara. Simon Petrus Hanebora telah berkali kali, bersama warga disini, berupaya semaksimal mungkin agar dapat di dengar oleh pemerintah.
Menurut Tuan Simon Petrus Hanebora (SPH), masalah exploitasi, pembalakan liar dan proses pembiaran oleh negara terhadap dua perusahan kelapa sawit PT.Nabire Baru bersama PT. Sariwana Unggul Mandiri di atas lahan Adat Masyarakat Pribumi Suku Besar Yerisiam, sudah sangat memprihatingkan. Kayu, rotan dan mahluk hidup yang ada di atas areal tersebut digusur dan mati tampa ada pertanggung jawaban. Padahal, tutur bapak ketua adat setempat melalui pers realease yang di edarkan (1/9/2013), bahwa aktivitas perkebunan tersebut sarat dengan persoalan.
Mengingat praktik liar tersebut ada dugaan skandal dibalik ini, sehingga perlu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diminta turun tangan. Meminta KPK untuk menyelidiki Bupati Nabire,DPRD Nabire, Kehutanan Nabire, Perkebunan Nabire, PT.Nabire Baru dan PT.Sariwana Unggul Mandiri. Karena ada indikasi suap-menyuap dan kongkalingkon, selama ini terkesan lembaga-lembaga ini trus menjadi bemper/pengayom terhedap aktivitas perkebunan kelapa sawit yang secara hukum sarat dengan persoalan, tegas Kepala Suku Besar.
komnasham vs PT
Lanjutnya, sengketa tersebut menimbulkan pro dan kontra pemilik ulayat dengan perusahaan sawit akibat klaim HPH yang belum usai, dan persoalan ijin Amdal dari BAPEDALDA Privinsi Papua. Namun kegiatan aktivitas perushan terus dilakukan. Penebangan sudah masuk hinggal areal-arel keramat, dusun-dusun sagu dan pinggiran pantai. Ribuan pohon kayu putih dan rotan yang memiliki nilai komersial diterlantakan dan di kuburkan begitu saja. Sedangkan kayu merbau/kayu besi terus menjadi buruan dan incaran kedua perusahan tersebut.
Lebih parah lagi, perusahaan tersebut tak saja langgar aturan masyarakat adat, tetapi juga Amdal sebagai payung/pagar untuk menetukan kelayakan aktivitas sebuah areal kerja investasi tidak di terbitkan. Desakan masyarakat adat tak pernah di gubris, seakan ada kepentingan pribadi di balik aktifitas tersebut, tegasnya.
Pembiaran negara pada masalah ini, kepala adat setempat mengatakan bahwa Masyarakat Pribumi Suku Besar Yerisiam tidak tahu kemana lagi harus mengadu tentang persoalan dan hak kami sebagai masyarakat pribumi. Ia meminta agar para pihak perlu ada tindak lanjut dalam bentuk investigasi lapangan dan advokasi dapat di laksanakan. Mengingat areal Masyarakat Pribumi Suku Yerisiam sudah sangat memprihatingkan.
Pada akhir realease tersebut, SP.Hanebora mengatakan perlu penanganan serius oleh pihak-pihak terkait dalam mencari jalan keluar bagi Masyarakat Pribumi Suku Besar Yerisiam. Sudah cukup masyarakat di Pravi Manokwari-Papua Barat yang menjadi korban oleh dalil investasi sawit ini jangan lagi terjadi kepada kami Masyarakat Pribumi Suku Besar Yerisiam, sekian.
***
Nabire 21 September 2013, Masyarakat Pribumi Suku Besar Yerisiam “Prease Lease” Pendekatan Militer Dibalik Perkebunan Sawit PT. Nabire Baru Dan PT. Sariwana Unggul Mandiri. Menyikapi kamtibmas di Papua pada umunya dan Nabire pada khususnya, adalah menjadi tanggung jawab bersama semua komponen, tidak saja aparat TNI/POLRI, namun tokoh adat, kepala suku dan masyarakat umum. Kerinduan akan sebuah kedamaian adalah menjadi harapan kita bersama sehingga kerja sama dalam menjaga keamanan sangat diharapkan antara institusi TNI/POLRI dan pihak masyarakat luas maupun komponen masyarakat.
Hal ini sangat jauh dari harapan ketika praktek pendekatan militer yang dilakukan oleh salah satu investasi penanaman modal asing (PMA) perkebunan sawit PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Unggul Mandiri yang menggunakan pendekatan militer dalam menjaga keamanan atau bertugas di perusahan tersebut. Dalam prakteknya dengan kehadiran anggota pam Brimob (Polri), sangat jauh dari tupoksi polri yang diatur dalam uu kepolisian yaitu sebagai pengayom dan pelindung rakyat.
Namun yang terjadi adalah tindakan-tindakan kekerasan baik secara langsung maupun tidak langsung yang sering dilakukan terhadap masyrakat pemilik ulayat, pimpinan suku Yerisiam maupun karyawan yang sering mengeluh terhadap gaji mereka. Ada indikasi upaya pendekatan militer dikedua perusahan tersebut, adalah untuk melindungi sebuah kesalahan hukum atas dilanggarnya UU 32 Tahun 2009 tentang lingkungan hidup yang mana dalam pasal tertentu mengatur tentang ijin AMDAL (analisa dampak lingkungan) yang seharusnya dimiliki sebelum pekerjaan perusahan tersebut beroprasi. Namun yang terjadi adalah pekerjaan yang dilakukan sudah berjalan tiga tahun tanpa memiliki ijin amdal, Pada tanggal 11 bulan September 2013 Panglima XVII cendrawasi melakukan penanaman perdana sawit sementara puluhan pohon sudah ditanam dua tahun berjalan.
Sebuah upaya pembohongan publik yang sedang dilakukan oleh kedua perusahan tersebut, dalam upaya melegitimasi kegiatan perkebunan yang illegal selama ini, dengan mendatangkan para pejabat negara yang secara tidak langsung turut melegitimasi kesalahan terhadap uu 32 tahun 2009. Perlu juga diketahui bahwa kehadiran perusahan sawit di tanah ulayat adat pribumi suku Yerisiam menuai pro kontra antara masyarakat adat Yerisiam, yang jika hal ini dibiarkan akan memicu konflik baik horizontal maupun dengan perusahan tersebut, yang berbutunt aparat keamanan akan berada dipihak perusahan seperti kasus-kasus sawit pada umumnya di Indonesia.
Kemerdekaan Indonesia adalah untuk bebas dari segala bentuk penjajahan namun karakter imperialis sangat jelas diterapkan diatas tanah leluhur masyarakat pribumi suku Yerisiam oleh perkebunan sawit PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Unggul Mandiri tanpa menghormati hak-hak dasar masyarakat pribumi sebagai pemilik Tanah ulayat adat.
Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah sangat jelas menyebutkan tujuan dari pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yaitu untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Alinea IV Pembukaan UUD 1945, melegitimasi semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tanah, air dan semua sumber daya alam di Indonesia, yang terkandung didalamnya sebesar-besarnya digunakan untuk menciptakan kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Lebih khusus di Papua sebuah perangkat UU negara Indonesia tentang otonomi khusus hadir, guna merubah pengalaman masa lalu atas kegagalan pemerintah dalam membangun sumber daya Papua, sehingga otsus hadir dengan pioritas program salah satu adalah kesejahtraan dan kemakmuran masyarakat pribumi Papua. Namun praktek kedua perusahan ini mencoreng cita-cita paradigma baru guna mereformasi praktek-praktek orde baru dalam pengelolaan sumber daya alam masyarakat pribumi suku Yerisiam.
Berhubung dengan hal-hal yang dijelaskan diatas maka sebagai kepala suku Yerisiam yang bertanggung jawab terhadap masyarakat adat pribumi suku Yerisiam dengan ini meminta:
  1. Demi keamanan dan kenyamanan maka PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Unggul Mandiri segera mengembalikan pam brimob yang ada di perkebunan sawit.
  2. Sangat diharapkan pihak kepolisian dan dinas kehutanan turun ke dua lahan perkebunan kelapa sawit yaitu PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Unggul Mandiri untuk memastikan berapa jumlah batang kayu dan berapa jumlah meter kubik dari empat jenis kayu yaitu kayu merbau, kayu indah, kayu meranti dan rimbah campuran untuk dibayarkan atau didenda oleh PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Unggul Mandiri jika tidak dapat mempertanggung jawabkan data otentik dari puluhan juta meter kubik yang dikuburkan begitu saja.
  3. PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Unggul Mandiri stop melakukan upaya pembohongan public dengan menghadirkan pejabat provinsi untuk melegitimasi pekerjaan yang illegal.
  4. Demi kelancaran dan kelangsungan pekerjaan perkebunan sawit diatas tanah leluhur masyarakat pribumi suku Yerisiam maka penting adanya sebuah pertemuan antara perusahan dan pemilik ulayat adat yang hingga kini belum dibicarakan secara baik tentang hak dan kewjiban antar pemilik ulayat adat dan PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Unggul Mandiri.
  5. Pemerintah dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, maka kami Meminta pemerintah daerah dalam hal ini eksekutif dan legislatif maupun unsur muspida lainya untuk tidak melakukan proses pembiaran terhadap jutaan pohon kayu yang ditebang begitu saja yang secara jelas melanggar Undang – Undang Negara Repoblik Indonesia No 32 THN 2009 Tentang Lingkungan Hidup, maupun hokum-hukum lain yang mengatur tentang hak-hak masyarakat adat.
Harapan suku Yerisiam terhadap pemerintah sebagai wakil rakyat jangan berpihak kepada kaum pemodal dengan menari-nari diatas jeritan rakyat.
***
yerisiam1.jpg1
Perkebunan Kelapa Sawit di Nabire Harus di Tutup, Karena Berjalan Dengan Ijin Gubernur Karetaker. Keputusan Gubernur Papua “Lukas Enembe”, untuk menertibkan dan mencabut ijin-ijin beroperasi perusahan HPH, Pertambangan dan Perkebunan yang di berikan oleh Pejabat Gubenur/Carateker Gubernur Papua sebelumnya. Dikutip dari beberapa media cetak dan media online belum lama ini (baca: Gubernur Papua Cabut Ijin Pertambangan dan HPH).
Menurut Gubernur Papua Lukas Enembe, Ijin yang di keluarkan oleh pejabat gubernur/karateker kepada perusahan-perusahan HPH,Pertambangan dan Perkebunan yang sekarang banyak digunakan untuk beroperasi di Papua harus di cabut. Karena Gubernur Carateker tidak mempunyai kewenagan untuk memberikan ijin.
Hal tersebut di tanggapi positif oleh, Kepala Suku Besar Masyarakat Pribumi Yerisiam Kabupaten Nabire-Papua; “ SP.Hanebora”, menurutnya; Keputusan Gubernur adalah, klimaks dari pergumulan dari masyarkat pribumi Yerisiam selama ini. Karena perkebunan kelapa sawit yang di kerjakan oleh PT.Nabire Baru dan Sariwana Unggul Mandiri di Nabire, di tanah ulayat adat mereka, dengan menggunakan Ijin dari Gubernur Karateker (Costant Carma). Yang secara aturan tidak mempunyai kekuatan hukum.
“Saya sudah sampaikan di tulisan-tulisan saya sebelumnya, kalau perkebunan kelapa sawit PT.Nabire Baru dan PT.Sariwana unggul mandiri berjalan dengan banyak persoalan, mulai dari di langgarnya UU 32 tentang lingkungan hidup, hingga menggunakan Ijin Gubernur Karateker Tahun 2012, untuk beroperasi selama ini, Katanya.
Tambah SP.Hanebora, Ijin yang di pakai selama ini oleh PT.Nabire Baru dan PT.Sariwana Unggul Mandiri, ijin Gubernur Karateker Costant Carma, ketika Bapedalda tidak menerbitkan Amdal, lalu mereka menghadap Gubernur Carateker dan gubernur menerbitkan ijin operasional kepada kedua perusahan tersebut. Yang hingga kini masih digunakan.
Jadi secara hukum, ketika Pernyataan Gubernur Papua Lukas Enembe, untuk mencabut ijin-ijin operasioanal perusahan-perushan di Papua yang di terbitkan oleh gubernur karateker, maka secarah hukum Ijin operasional PT.Nabire Baru dan PT.Sariwana Unggul Mandiri, telah gugur lewat pernyataan pimpinan tertinggi di Papua yang di pilih langsung oleh rakyat yaitu Bapak Lukas Enembe Gubernur Provinsi Papua. Jadi kedua perusahan tersebut harus di tutup. Tegas SP.Hanebora.
SP.Hanebora, juga meminta, untuk unsur pemerintah provinsi untuk bisa turun langsung ke lapangan untuk, menertibkan dan menghentikan aktivitas perushan-perushan HPH, Pertambagan dan Perkebunan, yang hingga kini masih beroperasi menggunakan ijin Gubernur Karateker. Contohnya seperti; Perkebunan Sawit PT.Nabire Baru dan PT.Sariwana Unggul mandiri yang ada di Nabire, yang terkesan mengabaikan undang-undang di Negara ini.
Dia juga meminta, ada tim investigasi, dari POLRI dan KPK untuk mengecek Pejabat Gubernur, yang pernah menjabat, karena ada indikasi suap menyuap dalam menerbitkan ijin dan, penyalahgunaan jabatan.
***
yerisiam.jpg1.jpg1.jpg1.jpg1
Penahanan Para Pengusaha Kayu Oleh POLDA Papua. Aksi sweping yang dilakukan oleh Tim Polda Papua, kepada seluruh pengusaha kayu di Nabire, yang sempat juga mendapat protes oleh Tim Polisi Hutan Nabire. Aksi swiping Tim Polda Papua tersebut, berlanjut hingga terjadi penahanan kepada beberapa pengusaha kayu di Nabire. Dengan alasan tak memiliki ijin opersional dan ijin yang digunakan tidak sah.
Hal ini membuat gerah Kordinator Pengusaha Kayu Distrik Yaur Kabupaten Nabire. Sweping tersebut adalah pembohongan dan ada unsur kepentingan. Menurutnya, selama ini kami pengusaha kayu kerja berdasarkan aturan dan ijin dari pihak kehutanan (kasus berikut ini). Dua orang teman kami yang bekerja di distrik Yaur, ditangkap dengan alasan mereka karena ijin yang mereka gunakan tidak ” Sah”,…. Terus kalau ijin itu tidak sah, trus ijin atau aturan mana yang harus kami pengusaha kayu ikuti ???, aturan Kehutanan atau Aturan Polisi ???…Kalau aturan atau ijin kehutanan tidak berlaku di republik ini…maka Polda Papua menghadap Presiden minta hapus Dinas Kehutanan beserta Menteri Kehutanannya biar, kami berurusan kayu dengan pihak polisi saja, karena…hal ini seperti suatu penindasan kepada kami, kami selalu di jerat dengan aturan-aturan yang sumbernya tak jelas “. Katanya…
Iwan meminta kepada Pihak polisi untuk segera mengeluarkan pengusaha yang di tangkap dengan alasan ijin mereka tidak sah. Dan Tim Polda Papua segera membuat pertemuan dengan kami pengusaha kayu, supaya kami bisa tahu apa yang sebenarnya letak kesalahan dari kami, karena selama ini kami bekerja menggunakan ijin yang dikeluarkan kehutanan. Kami tidak pencuri, kalau memang ijin yang kehutanan berikan tidak sah, mari sebenarnya ijin mana yang sah dan mana yang harus kami ikuti?
Kami juga pengusaha kecil yang hasil pekerjaan yang kami lakukan, tidak sebanding dengan pekerjaan kami lakukan di lapangan, pekerjaan yang penuh dengan resiko keselamatan dan sadar tidak sadar, kami pengusaha kayu lokal ini juga turut membangun proses pembangunan di negara ini lebih khusus tanah Papua. Jadi jangan Polda Papua terlalu persulit kami dengan aturan yang tidak jelas, Tegasnya.
***
yerisiam
POLHUT Nabire Menolak Kehadiran TIM POLDA Papua Dalam Mengurusi Kayu. Tim yang di utus oleh POLDA Papua tiba di Nabire pada (Sabtu/17/05/2014), untuk mengurusi persoalan kayu di Nabire, mendapat protes keras dari Tim POLHUT Kabupaten Nabire. Menurut salah satu anggota Polhut Dinas Kehutanan Kabupaten Nabire, “Arnoldus Berotabui”, mengatakan bahwa, tim yang di bentuk oleh Polda Papua, sangat menyalahi aturan, karena terlalu mengintervensi tugas pokok dari kehutanan.
Mereka datang seperti pencuri, dan tidak menghargai kami Polhut. Datang dan langsung sweping-sweping kayu di jalan. Padahal itu urusan kami, dalam memeriksa ijin pengusaha-pengusaha di Nabire. Tambah Bero, bahwa mereka (Polhut) akan meminta pertanggungjawaban Kapolda Papua tentang tim yang diutus tersebut.
Karena menurut Bero, Polhut itu dibentuk oleh Dinas Kehutanan untuk berada di lapangan untuk mengontrol hutan dan termasuk pengusaha-pengusaha lokal yang melakukan aktivitas penggergajian kayu, yang kayu-kayu tersebut di bawa dalam skala kecil, guna pembangunan infrastruktur di Pemda Nabire, dan mereka bekerja juga karena ada ijin dari Dinas Kehutanan Nabire. Jadi, mereka tidak asal kerja. Jadi sanggat tidak benar Polda turun dan sweping kayu di Nabire, mereka punya urusan apa, tegas Bero.
Sekedar untuk diketahui, Tim Polda Papua yang kala itu tiba di Nabire pada hari Sabtu hingga Minggu, untuk melakukan sweping terhadap pengusaha-pengusaha kayu yang bekarja di Nabire, tentang ijin operasional. Tidak tahu jelas tujuan utama mereka, apa mereka mau memeriksa ijin atau ada udang di balik batu, untuk kepantingan disisipkan?
***
Jumat 13 Desember 2013, Suku Besar Yerisiam Beri Ultimatum kepada Perusahaan Sawit di Nabire. Persoalan investasi kelapa sawit yang membelit di atas tanah ulayat adat masayarakat suku Yerisiam, kampung sima distrik yaur kabupaten Nabire yang hingga kini belum juga usai. Mulai dari belum di kompensasikannya ribuan kayu yang di kebas tebang (Leand Claring) hingga MoU yang belum dibuat untuk mengatur hak kedua belah pihak (perusahan/pemilik ulayat).
Hal-hal tersebut membuat masyarakat pemilik ulayat Suku Yerisiam mengambil sikap tegas, dengan membuat pertemuan adat, yang di pimpin oleh Kepala Suku Besar Yerisiam Kabapaten Nabire (SP.Hanebora) sabtu 12 Desember 2013. Hal-hal dan sikap yang di ambil di pertemuan tersebut antara lain; Pihak perusahan harus membayarkan ribuan kayu yang di kebas tebang sebelum tanggal 15 Desember 2013, dan segera membuat MoU.
Menurut kepala suku Yerisiam, pihaknya memberikan batas waktu kepada pihak perusahan perkebunan, kalau sampai tanggal 15 desember 2013 mereka tidak juga menanggapi, apa yang di putuskan oleh kami pemilik ulayat, maka kami, Masyarakat adat suku besar Yerisiam akan menghentikan aktivitas perusahan tersebut dan menyita seluruh asset perusahan.
Kepala suku Yerisiam juga mengatakan bahwa, dia sangat menyesal dengan sikap pemerintah daerah hingga provinsi yang terkesan membiarkan persoalan ini berlarut-larut, dan memungkinkan akan terciptanya konfilik yang berbuntut pada jatuhnya korban. Kepala suku juga berpesan kepada siapapun untuk memantau sikap yang akan dilakukan oleh masyarakat suku Yerisiam di tanggal 15 keatas, untuk memberhentikan kegiatan perusahan kelapa sawit tersebut. Karena menurut informasi beredar bahwa, pihak perusahan akan mengerahkan aparat Bimob untuk megamankan perusahan tersebut aksi pemalangan tersebut.
Sekedar informasi, hingga kini, pihak perushan belum jiga membuka diri dan menanggapi permintaan pemilik ulayat adat suku besar Yerisiam. Ini adalah penciptaan konflik yang sengaja di buat oleh pihak perusahan untuk mempropaganda orang Papua khususnya Nabire.
***
yerisiam.jpg1.jpg1.jpg1.jpg1.JPG1
Pernyataan Sikap soal Penangguhan AMDAL. Nabire-Persoalan tentang di langgarnya hak-hak pribumi Suku Besar Yerisiam Kabupaten Nabire Papua, oleh dua perusuahan sawit (PT.Nabire Baru dan PT.Sariwana Unggul Mandiri), yang hingga kini belum juga membayarkan ganti rugi kayu dan rotan yang dikebas tebang. Membuat kepala suku mengeluarkan pernyataan sikap kepada BAPEDALDA untuk menanguhkan penerbitan ijin AMDAL kepada perkebunan sawit tersebut. Berikut pernyataan.
KEPALA SUKU BESAR YERISIAM
KABUPATEN NABIRE
Alamat  :Jln. Yossudarso No. 070 – Phone: 085354379006, 081240040955
Nomor         : Istimewa
Kepada Yth   : Kepala Bapedalda Provinsi Papua
                (Cq. Komisi Pembahasan Amdal PT. Nabire Baru)
Lampiran     : Arsip Surat Pengaduan
Perihal       : Pernyataan Sikap
Dengan Hormat
Mengingat: Tanah ualayat adat serta kekayaan masyarakat pribumi suku Yerisiam yang ada di dalam tanah dan diatas tanah serta diudara (karbon) merupakan kekayaan komunal yang tidak dapat diterimah untuk dijadikan hak perorangan dengan dalil mengatas namakan. Dalam suku Yerisiam terdapat empat suku yaitu: suku waoha, suku akaba, suku, koroba, suku sarakwari.
Suku Waoha membawahi marga (Hanebora, Money, Inggeruhi, Refasi), Suku Akaba membawahi marga (Yarawobi, Waropen, henawi, yoweni), suku sarakwari membawahi marga (Akubar, Nanaur, Kowoi) suku Koroba membawahi (Rumirawi, Maniburi Marariampi, Waremuna,) tapi juga keempat suku tersebut diatas menjadi pionir bagi sub marga yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat suku Yerisiam.
Dalam tugas dan fungsi empat suku adalah menjaga dan mengawasi batas-batas hukum adat sesuai garis hirarki kekuasaan paternal guna kesejahtraan marga-marga. Empat suku ini pada kakekatnya tidak berkuasa atas peyerahan, pelepasan apalagi penjualan hak kekayaan yang melekat hak-hak komunal dengan mengatas namakan suku tanpa sepengetahuan kepala suku besar Yerisiam. Kewenangan dan tanggung jawab kuasa berada di suku besar Yerisiam setelah terjadi sebuah musyawarah untuk mufakat.
Dalam penyerahan tanah 17. 000 hektar yang dilakukan atas nama suku woha tidak melalui sebuah musyawara bersama, hal yang terjadi adalah orang-perorang. Lebih parah lagi surat pelepasan yang kemudian dijadikan sebagai dasar dimasukannya perkebunan kelapa sawit tidak sesuai dengan isi dari surat pelepasan.
Berdasarkan transaksi serah trimah pihak pertama selaku pewaris hak ulayat tanah adat telah menyerahkan areal seluas 17. 000 Ha beserta potensi alam yang ada diatas areal tersebut kepada pihak kedua dan pihak kedua berhak penuh untuk mengambil serta mengelola hasil, berupa kayu merbau yang berada diatas tanah adat milik pihak pertama.
Dari point tersebuat diatas nyata bahwa penyerahan tanah ulayat adat hanya untuk pengelolaan kayu merbau dan tidak diperuntukan untuk perkebunan sawit. Penggunaan surat pelepasan (terlampir) kemudian dipergunakan oleh pihak kedua dengan menjual atau menggadekan tanah tersebut kepada pihak perkebunan sawit. Hal ini dapat dibuktikan bahwa tadinya pihak kedua adalah IMAM BASROWI yang dikenal oleh masyarakat adat suku Yerisiam sebagai pimpinan perusahan sawit PT. Nabire Baru, kini menjadi nama orang lain dan hal ini merupakan sebuah penipuan yang tidak saja dilakukan kepada Yunus money dan masyarakat adat pribumi, tapi juga kepada pihak pemerintah dan sangat melecehkan harga diri masyarakat pribumi suku Yerisiam.
Kemajuan tentang suatu perlindungan akan hak–hak masyarakat pribumi, ketika Working Group on Indegenous Population dari UN of HCR (United Nations of Height Commissioner for Human Right), atau Komisi Tinggi PBB untuk HAM, pada tanggal 28 Juli tahun 2000 menerima resolusi, untuk membentuk Permanent Forum on Indigenous Issues yang berstatus sebagai organ sekunder yaitu Economic and Social Councile (ECOSOC) dan memiliki 16 anggota yang terdiri dari wakil pemerintah dan wakil pribumi.
Instrumen yang komprehensif tentang perlindungan hak-hak masyarakat asli, dimuat dalam Draft Deklarasi yang berhasil disusun tahun 1994 oleh Sub Commission on the Promotion and Protection of Human Rights, sub komisi ini berada dibawah UN of HCR yang berkedudukan di Geneva, Swiss.
Draft tersebut berhasil dideklarasikan oleh PBB pada tanggal 23 September 2007 di markas besar PBB, dengan Resolusi Majelis Umum PBB No. A/Res/61/295 pada sidang ke-61 PBB. Tanggal 9 Agustus 1994 diperingati sebagai hari bangsa pribumi oleh lebih dari 370 juta masyarakat pribumi yang hidup di 70 negara diseluruh dunia.
Peringatan tersebut menjadi bagian dari upaya badan dunia untuk mempromosikan perlindungan hak-hak asasi manusia, terhadap mayarakat pribumi. Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat asli (UN Declaration on the Rights of Indegenous Peoples), disetujui oleh Dewan HAM PBB di Jenewa pada Juni 2006. Deklarasi tersebut menyerukan negara-negara untuk menghentikan pengusiran paksa masyarakat asli, perampasan lahan-lahan milik mereka, maupun pemaksaan mereka untuk berintegrasi dengan kebudayaan lain.
Dibagian lain Convenan On Civil and political Rights (Convenan Iternasional Hak – Hak Sipil Dan Politik), ditetapkan oleh resolusi majelis umum PBB Nomor: 2200 A (xxii) tertanggal 16 desember 1966, yang kemudian diratifikasi pemerintah indonesia kedalam UU No 39 Tahun 2009 tentang HAM.
yerisiam.jpg1.jpg1.jpg1.jpg1.JPG1.JPG1.JPG1
Terkesan pihak PT.Nabire Baru mengabaikan hak–hak asasi masyarakat pribumi suku Yerisiam. Pihak PT.Nabire baru, dan instansi teknis, dalam prakteknya tidak mengacu pada Undang–Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Memperhatikan:
Tuntukan kepala suku Yerisiam atas nama masyarakat pribumi suku Yerisiam yang terus menerus menyuarakan tuntutanya kepada pihak perusahan melalui pemerintah dan instasi terkait untuk memediasi pertemuan guna membicarakan kayu yang telah di kebas tebang diatas areal 17. 000 Hektar, dan pembahasan sebuah MOU oleh PT.Nabire Baru dan masyarakat adat pribumi suku Yerisiam, namun hingga kini belum mendapat respon. Sehingga dengan tegas menyatakan: PEMBAHASAN AMADAL DITANGGUHKAN dan merujuk pada;
1. Kayu yang dikebas tebang diatas areal 17. 000 hektar yang memiliki nilai komersial hendaknya dibayarkan oleh pihak perusahan dan diadakan pembahasan MoU dan barulah pembahasan amdal dilakukan
2. Untuk itu meminta BLH Provinsi Papua serta kabupaten bersama-sama Dinas kehutanan provinsi dan kabupaten serta tim amdal utnuk mengadakan infestigasi agar memastikan bahwa kegiatan yang telah dilakukan selama kurang lebih tiga (3) tahun diatas 17. 000 hektar diatas tanah adat milik masyarakat pribumi suku yerisam sudah sesuai dengan segalah peraturan dan perundang-udangan yang berlaku di Negara kesatuan repoblik Indonesia secara khusus uu lingkungan hidup dan kehutanan.
3. Khusus mengenai kayu adalah; infestigasi dilakukan terhadap jenis kayu: mix, meranti grup, kayu indah, kayu mewah dengan masing-masing diameter dan kubikasi yang selanjutnya akan dibayarkan berdasarkan jenis dan kubikasi.
4. Jika Dinas kehutanan kabupaten Nabire telah memilik data seperti tersebut diatas maka kami mohon agar data tersebut dibuktikan dengan menunjukkan bukti sirvey lapangan.
5. Jika data tesebut tidak dapat dibuktikan maka pembayaran dilakukan dalam bentuk denda.
6. Pembayaran ganti rugi lahan yang harus sesuai dengan undang-undang agraria mengingat ganti rugi lahan yang telah dilakukan sebelumnya belum pernah ada mufakat dari sebuah musyawarah.
7. Menunggu proses pembayaran kayu dan pembahasan MoU, dihentikan segalah bentuk aktifitas mulai dari penebangan penanaman, kokerang (aktifitas) yang berjalan sekarag sambil menempuh proses solusi, mengingat keputusan Gubernur Papua definitif terhadap tidak berlakunya segalah keputusan pejabat gubernur karteker terhadap ijin-ijin yang dikeluarkan.
8. Untuk diketahui bahwa dilarang untuk tidak melakukan penebangan melewati bekas (eks) jalan Jati Dharma Indah kearah selatan mulai dari sungai bambu sebelah timur hingga sungai wami sebelah barat.
9. Menolak tegas kepala-kepala suku gadungan yang mengatas namakan suku Yerisiam untuk mencari legitimasi hokum tingkat pemerintah kabupaten maupun provinsi, yang sebenarnya tidak mempunyai garis silsilah terhadap hak-hak adat masyarakat pribumi suku Yerisiam.
10. Masalah ini juga telah kami adukan ke Komnas Ham Papua guna mencari solusi terhadap proses hokum jika perusahan dan pemerintah tidak memperhatikan tuntutan masyarakat adat terhadap proteksi bagi masyarakat adat pemilik ulayat adat. Dan telah terdaftar dengan no urut kasus 48 di komnasham Papua. Dan akan diadukan juga ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Republik Indonesia di Jakarta.
dari berbagai sumber khususnya masyarakat adat setempat

Tidak ada komentar: