Senin, 02 November 2015

Coordination, dialogue needed in Papua, says LIPI

Coordination, dialogue
needed in Papua, says LIPI 

The Indonesian Institute of Sciences (LIPI) expects continued conflict in Papua unless the government takes immediate steps to better coordinate its security forces in the region and hold intensive dialogue with native communities.

The recommendation was made based on an ongoing study conducted by LIPI starting August this year.

In the study, LIPI involved representatives from local administrations and civil society groups from 26 districts in Papua.

“President [Joko] Jokowi [Widodo] is more committed than previous leaders to reducing conflicts in Papua and embracing local communities. Unfortunately, he is unable to order bureaucrats in the area to implement his policies,” LIPI analyst Adriana Elisabeth said during a discussion in Jakarta.

The study advises Jokowi to instruct security authorities, both the military and the police, to pay closer attention to developments in Papua.

LIPI also advises the government to hold dialogues with local administrations and civil society groups to achieve long-term peace.

“That is the best way to win back public trust in the central government; meet people and listen to what they need, what they want,” Adriana said. “Papuans don’t like the government’s way of just coming and giving orders. Papuans wants the government to involve them in policymaking,” Adriana said.

Among the most concerning of LIPI’s findings is the potential for heightened conflict following the establishment of a new military command in Manokwari, the provincial capital of West Papua.

The government plans to complete the establishment of the new command, which will be called Kodam XVIII/Kasuari and oversee two military regional commands, by the end of this year.

According to LIPI researcher Cahyo Pamungkas, the move may lead to a more repressive security approach by the military, which would further restrict the freedom of the people and fan separatist sentiment, particularly in isolated and border areas.

Cahyo added that the Dec. 9 local elections would likely bring more tension, particularly in Yahukimo, Pegunungan Bintang and Asmat regencies.

Yahukimo, he said, was a remote area accessible only by plane. “It will be hard for the regency to send the voting results quickly, and that could lead to manipulation of the votes,” he said.

Cahyo said that the concern in both Pegunungan Bintang and Asmat, which share borders with Papua New Guinea, was the likelihood of candidates bringing people from the other side of the border to cast votes.

“This may lead to conflict among political parties and tribes in the regencies,” Cahyo said.

Adriana meanwhile said that there was renewed concern among members of the Pacific region community about the situation in Papua.

The government, she said, had long considered the conflict in Papua as an internal affair and rejected any talk of possible foreign intervention.

However, new developments in the region include the formation of the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) in December 2014 by three organizations under the Free Papua Movement (OPM).

The ULMWP coordinates activities and represents the resistance movement in collaboration with external parties. The movement in February officially joined the Melanesian Spearhead Group (MSG), a sub-regional grouping in the Pacific comprising Papua New Guinea, the Solomon Islands, Vanuatu, Fiji and New Caledonia.

“If the government wants to prevent Papua from becoming an international issue, it will have to find solutions,” Adriana said. (foy)
- See more at: http://www.thejakartapost.com/news/2015/10/31/coordination-dialogue-needed-papua-says-lipi.html#sthash.kbMVMaJo.dpuf

SAGKI IV rangkul keluarga-keluarga Katolik

31/10/2015

SAGKI IV rangkul keluarga-keluarga Katolik thumbnail
Ketua Presidium KWI Mgr Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo (kiri), Ketua Komisi Keluarga KWI Mgr Fransiscus Kopong Kung (tengah) dan Sekretaris Eksekutif Komisi Keluarga KWI Pastor Hibertus Hartana MSF (kanan) saat menyampaikan pernyataan pada konferensi pers yang diadakan di Kantor KWI di Jakarta, Jumat (30/10). (Foto: Katharina R. Lestari)

Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) IV yang akan berlangsung pada 2-6 November di Cimacan, Bogor, Jawa Barat, menekankan pentingnya keluarga-keluarga Katolik sebagai sel dasar Gereja dan masyarakat.
“Sebagai sel dasar Gereja dan masyarakat, tentu saja kualitas keluarga yang baik itu akan sungguh-sungguh menentukan juga kualitas Gereja dan masyarakat. Maka ada istilah yang namanya keluarga retak (maka) masyarakat rusak,” kata Pastor Hibertus Hartana MSF, sekretaris eksekutif Komisi Keluarga Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), pada konferensi pers yang diadakan di Kantor KWI di Jakarta, Jumat (30/10).
Selain itu, lanjutnya, keluarga-keluarga Katolik mendapat perhatian khusus dalam SAGKI IV karena tiga peristiwa besar yang terjadi dalam dua tahun terakhir ini juga menekankan pentingnya keluarga-keluarga Katolik. Ketiga peristiwa besar tersebut adalah Sinode Luar Biasa Para Uskup yang digelar di Vatikan pada Oktober 2014, Pertemuan Dunia tentang Keluarga yang diadakan di Philadelphia, Amerika Serikat, pada September 2015 dan Sinode Biasa Para Uskup yang dilangsungkan di Vatikan pada Oktober 2015.
“Jadi fokus pastoral dari Gereja universal itu sungguh-sungguh luar biasa memberikan perhatian pada keluarga. Maka ini kemudian bisa kita maknai juga, bisa kita maklumi juga mengapa Gereja Katolik Indonesia pada sidang sinode tahun 2014 memutuskan tema SAGKI itu tentang keluarga,” katanya.
Berbicara kepada ucanews.com seusai konferensi pers, Pastor Hartana mengatakan bahwa SAGKI IV akan mengumpulkan keluarga-keluarga Katolik.
Untuk SAGKI IV yang bertema “Keluarga Katolik: Sukacita Injil; Panggilan dan Perutusan Keluarga dalam Gereja dan Masyarakat Indonesia yang Majemuk,” masing-masing dari 37 keuskupan mengirimkan satu delegasi beranggotakan 10 orang.
“Jadi metodenya adalah pertama-tama kita ingin mengundang keluarga-keluarga untuk berbicara. Maka kesempatan banyak itu kita berikan kepada keluarga-keluarga. Mereka tahu apa yang menjadi persoalan pergulatan hidup mereka,” jelasnya.
Kemudian, katanya, “kita merefleksikan bersama berbagai persoalan yang berkembang ini, bagaimana kita sebagai sebuah keluarga besar Katolik – Gereja Katolik – membuat sebuah kebijakan, arah bersama, gerak pastorak bersama untuk membangun, membuat keluarga-keluarga Katolik itu lebih baik.”
Menurut Ketua Komisi Keluarga KWI Mgr Fransiscus Kopong Kung, SAGKI IV merupakan kesempatan yang istimewa bagi para pemimpin Gereja untuk mendengarkan umat Katolik di Indonesia.
“Dengan tema keluarga, ini kesempatan Gereja, kesempatan para pemimpin Gereja untuk mau mendengarkan keluarga, mendengarkan cerita-cerita dari keluarga, mendengarkan sharing-sharing keluarga, juga mendengarkan harapan-harapan dan tentu saja mendengarkan perjuangan hidup, kesulitan-kesulitan, tantangan-tantangan yang dihadapi oleh keluarga,” kata uskup Larantuka tersebut saat konferensi pers.
Ia juga menyarankan agar Gereja Katolik hendaknya bersyukur kepada Tuhan karena mereka melihat keluarga sebagai sebuah anugerah istimewa dari Tuhan bagi Gereja dan masyarakat. “Ini yang patut disyukuri,” lanjutnya.
Prelatus itu juga berharap agar lembaga-lembaga pemerintah memberi perhatian serius kepada keluarga-keluarga karena keluarga-keluarga mempunyai peran penting dalam masyarakat.
Sementara itu, Ketua Presidium KWI Mgr Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo menekankan bahwa keluarga merupakan tempat di mana masing-masing anggotanya bisa berkembang menjadi pribadi yang semakin matang, dewasa dan berwatak mulia.
“Saya kira tidak ada yang tidak setuju kalau saya mengatakan itu. Itu semua bagus, sangat ideal,” katanya saat konferensi pers.
Namun ia mengingatkan bahwa realitas hidup berkeluarga yang juga berkaitan dengan hidup perkawinan seringkali jauh dari ideal.
“Nah, Gereja mau masuk ke situ. Artinya Gereja menawarkan pendampingan-pendampingan bagi keluarga-keluarga, khususnya keluarga-keluarga Katolik tentu, (untuk) berbicara mengenai best practices: bagaimana keluarga-keluarga itu saling mendukung, saling meneguhkan dan menjadi keluarga yang sungguh-sungguh ideal,” lanjut uskup agung Jakarta tersebut.
Pesan Sinode Biasa Para Uskup
Berbicara kepada ucanews.com seusai konferensi pers, Mgr Suharyo mengatakan bahwa hasil Sinode Biasa Para Uskup juga akan disampaikan dalam SAGKI IV.
“Intinya begini, Paus itu berkali-kali mengatakan (bahwa) setiap orang, setiap pribadi, siapa pun dia – orang-orang yang bercerai kah, homoseksual kah – adalah pribadi-pribadi yang harus dihormati. Jangan dipinggirkan. Kecenderungan dari lembaga-lembaga agama adalah meminggirkan orang-orang yang mereka sebut jahat,” katanya.
“Itu seperti orang cerai. Itu kan tidak ideal. Paus mengatakan jangan. Mereka harus didampingi, sejelak apa pun mereka, sejauh apa pun mereka itu yang katakanlah berbeda dengan ajaran Gereja. Mereka mesti didekati, didampingi, kalau perlu dicarikan jalan kalau bisa,” lanjutnya.
Terkait perceraian, Mgr Suharyo menegaskan bahwa perceraian tidak akan pernah diijinkan oleh Gereja Katolik. “Yang dilakukan oleh Gereja itu bukan menceraikan tetapi menganulasi perkawinan,” katanya.
Demikian halnya dengan homoseksual. “Apa ada toh perkawinan sejenis itu?” tanyanya. “Tidak ada. Yang ada hidup bersama sejenis.”
Katharina R. Lestari, Jakarta