Kamis, 14 Mei 2015

BERITA GEMBIRA YANG MEMATIKAN BAHWA SEMUA SMA/K LULUS 100% DI KABUPATEN TIMIKA PAPUA

BERCANDA RIA BERSAMA ANAK-ANAK SMA/K DI KOTA TIMIKA


Di depan Gedung Eme Neme Yauware penuh dengan keramaian. Ketika saya mendekatinya ternyata orang yang berada di sana adalah anak-anak SMA/K yang baru lulus dari Ujian Nasional Indonesia. Nampak sekali keramaian. Mereka saling hias mengiasa diri di baju SMA/K. Sekitar ratusan anak siswa/i penuh desakan.
Ketika saya tanya anak siswa namanya Leo. Anak itu dari SMK. Kami dari SMK ini lulus 100%. Makanya itu, anak itu dan teman-temannya sangat gembira dengan hasil yang diperolehnya dan lulus dari SMK ini. Dia memberikan pujian kepada guru-guru yang membina dan mengasuh itu.
Di tempat yang terpisah, saya tanya anak-anak dari SMA Tunas Bangsa. Mereka yang serantak mengatakan kami sudah lulus ujian. Maka itu kami bangga sekali. Kami dari 103 siswa/i yang mengikuti ujian nasional ternyata kami semua lulus 100%. Baik mereka yang dari SMA/K sama merasa gembira dan senang. Jadi seluruh SMA/K lulus 100%. Kamu mantap dan guru-guru juga semakin OK.

Bagaimana dengan kuliah lanjutan di perguruan tinggi? Dengan kemauan dan motivasi yang tinggi, kami tetap berjuang dan akan kuliah di tempat kampus-kampus yang ternama di Papua maupun di luar Papua. Setelah usai wawancara itu, mereka lanjutkan dengan pawai bersama di seluruh kota Timika. Sukses selalu anak-anak putra/i Papua. wa...wa..wa...

Sabtu, 09 Mei 2015

KEDATANGAN JOKOWI DA UPAYA DIALOG DI TANAH PAPUA



JAYAPURA, Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Moeldoko menganggap bahwa dialog Jakarta-Papua yang dituntut oleh sekelompok warga Papua tak perlu ditanggapi. Menurut Moeldoko, kunjungan Presiden Joko Widodo sudah memperlihatkan sebagai bentuk dialog yang pernah presiden janjikan kepada warga Papua.

“Apa lagi yang mau didialogkan? Presiden datang ke sini untuk berdialog dengan warga Papua. Seperti kunjungan di Wamena, Kabupaten Jayawijaya akhir tahun lalu, Presiden bahkan berdialog dengan masyarakat adat,” ucap Moeldoko, usai memberikan arahan di depan personil TNI-Polri di Aula Kodam XVII Cenderawasih, Jumat (8/5/2015).

Menurutnya, kunjungan Presiden Jokowi didampingi jajarannya datang berdialog dengan warga Papua untuk memahami permasalahan yang ada dan memberikan solusinya.
“Jangan mengekploitasi hal yang tidak perlu. Yang jelas Pemerintah Pusat datang ke Papua untuk memberikan solusi terbaik bagi warga Papua,” ujar Moeldoko.

Dihubungi terpisah, Ketua Jaringan Damai Papua, Dr Neles Tebay berpandangan berbeda mengenai dialog Jakarta-Papua. Menurut rohaniawan Katolik tersebut, dialog harusnya melibatkan semua pihak-pihak yang terkait dengan masalah Papua, sementara tak semua pihak tersebut bisa hadir menemui Presiden Jokowi.

“Ada pihak lain yang harus dilibatkan dalam dialog, yakni warga Papua pada umumnya, warga Papua yang bergerilya di hutan dan warga Papua yang berada di luar negeri yang juga memperjuangkan kemerdekaan Papua. Kedua kelompok terakhir yang tidak punya akses untuk berdialog sementara mereka yang menjadi salah satu masalah Indonesia-Papua,” kata Neles melalui telepon selulernya, Jumat (8/5/2015).

Terkait kunjungan Jokowi ke Papua yang kedua kali dilakukannya sejak menjadi presiden, Neles menyampaikan apresiasi dan harapan yang besar untuk mendorong terciptakan Papua sebagai tanah damai. Neles berharap, hendaknya Presiden memerintahkan kepada para pejabat di Papua dari tingkat kabupaten dan provinsi agar mau berdialog dengan warganya.

“Jikalau Presiden mau berdialog dengan warga, maka pada tingkat provinsi dan kabupaten pun harus mau berdialog dengan warganya. Jika ini tidak dilaksanakan percuma pendekatan yang dilakukan Presiden karena tak diimplementasikan di tingkat bawah,” jelas Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Fajar Timur (STFT) Jayapura.

Kamis, 07 Mei 2015

MEMBAGI HIDUP PERSAUDARAAN DEMI KEMULIAAN ALLAH DAN UNTUK SESAMA KITA

Membagi Hidup Persaudaraan
demi Kemuliaan Allah dan untuk Sesama Kita

Pada perjamuan terakhir dengan para rasul, Engkau membasuh kaki mereka. Engkau memberikan teladan agar saling membagi dan hidup dalam persaudaraan. Bahkan sebagai murid Kristus, harus saling melayani satu sama lain. Dan pada saat yang sama, Engkau meramalkan sengsara-Mu namun sempat menghibur mereka. Memberikan teladan supaya orang hidup dalam persaudaraan dan saling melayani sebagai saudara dan saudari murid Kristus. Karena itu, sebagai murid-Nya kita mesti membagi hidup persaudaraan demi kemuliaan Allah dan untuk sesama manusia.

Bercanda Ria bersama Para Suster Ursulin di Keuskupan Timika
Suatu saat saya berjumpa dengan seorang Suster Ursulin, Sr. Engeline Tena, OSU. Saya diajak ke biara. Di sana ada dua suster yang lain, Sr. Elisabeth Jus, OSU yang biasa di sapa Sr. Elis, dan Sr. Maria Goretty Lopa, OSU, yang biasa di sapa Sr. Etty.
Dalam obrolan dan bercanda ria kami siang itu, saya bertanya tentang karya suster Ursulin di Papua khususnya di Keuskupan Timika. Ursulin (OSU) berada di Timika sejak September 2005. Mereka membantu keuskupan Timika. Fokus perhatiannya adalah Asrama Putri Salus Populi, mengajar di sekolah, team pastoral paroki Katedral, dan kantor Keuskupan Timika. Sebagai komunitas Ursulin mereka terlibat pendampingan anak-anak asrama ini, pendekatan dengan masyarakat asli memberi waktu untuk mereka khususnya orangtua dari anak-anak asrama.
Berkaitan dengan asrama, Suster Maria Goretty, OSU sebagai pembina dan pendamping asrama itu. Suster mengatakan bahwa penghuni asrama sebanyak 39 anak. Mereka harus dibina dan diajari agar mereka mandiri kelak. Kegiatan harian mereka adalah doa, belajar, kursus komputer, dan kerja. Kegiatan-kegiatan itu mereka menjalaninya dengan semangat dan tenang, kata seorang penghuninya, ketika ditanya. Anak asrama putri ini bisa tampil menyanyikan mazmur di Katedral Timika. Mereka juga terlibat sebagai lektor, dan membawakan lagu di paroki-paroki sekitar kota Timika. Misalnya mereka membawakan lagu perayaan hari minggu prapaskah di paroki Mapurujaya pada 22 Maret 2015. Perayaannya sangat ramai dan umatnya merasa senang dengan lagu-lagu dari putri-putri sion ini. Setelah itu dilanjutkan dengan rekreasi bersama di pantai Poumako. Kemudian dilanjutkan dengan membawakan lagu bersama umat di Kwamki Lama dalam perayaan Minggu Palma pada 29 Maret 2015.
Ketika ditanya bagaimana proses berjalannya pembinaan di asrama? Proses pembinaan dan pembelajaran asrama cukup berjalan baik. Tetapi kesulitannya hanya saja anak-anak malas belajar dan kurang adanya motivasi belajar. Karena itu, dibutuhkan banyak pihak untuk memberikan dukungan dan motivasi untuk anak-anak agar mereka termotivasi dan semakin lebih belajar demi pembangunan sumber daya manusia di tanah Papua. Asrama ini milik dan diperhatikan oleh Keuskupan Timika.
Dalam hidup bersama, mereka selalu membagi hidup sebagai tanda persaudaraan. Mereka saling mendengarkan satu sama lain. Mereka saling menyapa dan bekerjasama sebagai satu komunitas asrama. Karena mereka dibina dan diajarkan oleh para Suster Ursulin. Para penghuni selalu hidup bersama dengan para suster. Dikatakannya bahwa mereka merasa bersyukur menjadi putri sion Solus Populi. Karena kami belajar banyak hal dari asrama ini. Akhirmya diharapkan ada yang terpanggil menjadi biarawati demi kemuliaan Allah dan mencintai sesama di sekitar kita, minimal semangat dari para suster yang terpatri di hati manusia.

Pengabdian demi Allah dan Untuk Sesama Manusia
Bersyukur karena Tuhan senantiasa menyertai dalam perjalanan berkarya di tanah Papua. Tuhan Yesus sangat baik dan memberikan semangat dan penghiburan dalam perjalanan hidup membiara di Biara Ursulin. Sebagai satu komunitas biara, semangat apa yang selalu berkobar dalam pelayanannya? Jawabnya “Pelayanan untuk “Man for God” and “Man for others”.
Selanjutnya semangat pelayanan kita adalah bukan untuk mencari kekayaan. Bukan pula mencari popularitas. Bukan juga supaya orang lain memberi jempol. Tetapi semangat pelayanan adalah pelayanan untuk Tuhan dan pelayanan untuk orang lain. Kami tidak punya apa-apa dalam hidupnya dan dalam pelayanannya. Karena itu, hidup kami dan panggilannya untuk Tuhan Allah.
Kita ditinggalkan dari segalanya dari keluarga, marga, suku, dan budayanya hanya untuk Allah dan sesama yang kita layani. Tanpa keterikatan apa pun dalam hidupnya sehingga rasa gembira dan bahagianya dan berkata “kami dipanggil untuk melayani bagi Allah dan sesama manusia tanpa terkecuali”. Itulah semangat yang dapat mengobarkan cinta Tuhan di tengah umat di Keuskupan Timika Papua. Gaiya/Santon Tekege!


Rabu, 06 Mei 2015

MEMANDANG PERSOALAN MIRAS DAN HIV/AIDS DENGAN PERSPEKTIF KE DEPAN

MEMANDANG PERSOALAN
MIRAS DAN HIV/AIDS DENGAN PERSPEKTIF KE DEPAN

Oleh Santon Tekege *****

Pengantar
Dalam kenyataan, diperlihatkan berbagai persoalan melalui media cetak maupun media elektronik di tanah Papua. Dari sekian banyak persoalan itu, masalah MIRAS (Minuman Keras) dan HIV dan AIDS merupakan persoalan serius oleh semua pihak di negeri ini. Maraknya penyebaran miras dan HIV/AIDS menjadi kecemasan dan ketakutan sebagian warga di Papua.Warga Papua yang mendiami di Pulau ini sedang dan akan mengeluh bahkan tangisan terdengar di mana-mana.
Miras dan Virus HIV/AIDS menjadi isu yang sedang dibicarakan publik di Papua. Mengapa semua orang bicarakannya? Karena miras dan virus ini menjadi ancaman bagi warga di tanah Papua. Miras dan virus dibicarakan bersamaan karena orang menilai satu paket tanpa memisahkan satu sama lain. Artinya bahwa orang miras setelahnya potensi untuk berhubungan seks di sembarang tempat. Penyebaran virus melalui hubungan seks selalu dipublikasikan di publik oleh pemerintah (Propinsi dan Kota/Kabupaten) dan semua pihak tanpa disadari untuk mengatasi dan mencari solusi untuk meniadakan tempat-tempat hiburan Pekerja Seks Komersial (PSK) di lokalisasi dan tempat-tempat hiburan gelap lain dari pulau ini. Warga Papua pun tidak sadar untuk menghadapi ancaman hidup kini dan masa depannya. Dalam surat Gembala Prapaskah 2015 oleh Mgr. Yang Mulia Uskup Keuskupan Timika mengajak umat agar “Membangun iman melalui pola hidup sehat dan bertanggungjawab”.[1] Uskup mengajak agar kita menjaga dan melindungi dari lonceng kematian yang terjadi di mana-mana dan tidak menjaga hidup sehat sehingga banyak mati karena sikap perilaku manusia sendiri seperti peperangan, penghancuran hutan, Miras, HIV dan AIDS, sex dan pornografi, makanan yang berlebihan, keteraturan hidup, sikap hidup ketergantungan, pemborosan, pemerasan, dan denda mendenda. Tindak lanjut dari surat gembala ini, saya memfokuskan pada persoalan MIRAS dan HIV dan AIDS di tanah Papua.

Miras dan HIV/AIDS sebagai Tantangan dalam Wilayah Pelayanan Keuskupan Timika
Kerusakan psikis menjadikan pengguna tidak mampu bernalar secara baik dan bertingkah laku secara wajar. Kerusakan spiritual menjadikan pengguna tidak mempunyai pegangan hidup, tidak otonom dalam menentukan pilihan moral, dan mudah dipermainkan oleh keinginan-keinginan untuk mengkonsumsi miras.
 Miras merusak relasi antar anggota keluarga, kerukunan dan kebahagiaannya serta merusak ekonomi keluarga. Bila keluarga rusak, rusak pula masyarakat. Dalam masyarakat yang rusak itu tindak kejahatan meningkat, kekerasan dan kerusakan moral serta gangguan keamanan merajalela. Biaya penanggulangan dan rehabilitasi korban yang diperlukan sangat besar sehingga menggerogoti anggaran negara “itu kalau ada biaya pemerintahan di Papua”.
Orang yang dikuasai miras selalu saja melakukan tindakan kekerasan dan fisik terhadap sesama yang lain. Dan itu dilihat sebagai pelanggaran serius terhadap harkat dan martabat manusia. Miras merusak pribadi manusia yang diciptakan Allah menurut citra-Nya, “menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej. 1:27). Kita menyadari, bahwa manusia itu mempunyai hak dan kewajiban untuk memelihara, mengembangkan, mencintai, dan membela kehidupan yang adalah anugerah Allah.
Selain persoalan miras, realita persoalan HIV dan AIDS di Papua[2] dengan penularannya cepat melalui perilaku hubungan seks bebas dan suka berganti-ganti pasangan seks. Menurut data KPA Propinsi Papua sejak tahun 2006 penderita HIV dan AIDS sekitar 2.703 orang. Penyebaran virus ini tidak diam tetapi terus menambah penderita HIV dan AIDS menjadi 3.252 orang pada tahun 2007. Kemudian sejak tahun 2008 penyebaran virus sangat meningkat lagi dengan jumlah penderita sebanyak 4.305 orang dan tahun 2009 jumlah penderita 5.012 orang. Sementara BPS Propinsi 2010 melalui dinas Kesehatan dan KPA Propinsi Papua mengatakan bahwa jumlah penderita HIV/AIDS meningkat menjadi 10.522 orang. Perilaku hubungan seks dilakukan oleh usia produktif  yakni (15-59) tahun. Jika demikian masa depan Papua akan menjadi sebuah impian belaka dan drama panjang di Papua. Berita baru kasus HIV dan AIDS pada bulan 16 Agustus 2013 adalah berjumlah 15.000 orang. Penyebaran HIV/AIDS di Papua kian memprihatinkan. Dari data Dinas Kesehatan Provinsi Papua per 30 Juni 2014, jumlah penderita HIV/AIDS di seluruh Papua mencapai 17.639 orang. Ironisnya lagi, para penderita itu umumnya adalah usia produktif antara usia 15 hingga 59 tahun[3] (baca catatan kaki di bawah ini karena penulis telah perlihatkan khusus penyakit penderita HIV dan AIDS di wilayah Meepago).
Berdasarkan data tersebut di atas, maka penulis mengibaratkan HIV dan AIDS sebagai bom bagi semua warga Papua dan secara khusus bom untuk orang asli Papua. Jika demikian, kemudian hari pulau Papua akan menjadi sebuah drama panjang. Drama panjang itu, akan menjadi sebuah sejarah bahwa pulau Papua telah dihuni oleh orang kulit hitam dan berkeriting rambut namun kini menjadi sebuah impian dan cerita panjang oleh suku bangsa lain di dunia. Kita tidak dapat dipungkiri hal ini karena penyebaran virus HIV dan AIDS sebagai penyakit mematikan seseorang manusia atau keluarga bahkan suku bisa menjadi punah di tanahnya sendiri. Jadi apa kata dan sikap warga Papua saat ini? Apakah kita sebagai warga negara Indoensia cuek saja tanpa berpikir untuk mengatasi? Ataukah semua pihak sengaja membiarkan penyebaran virus HIV dan AIDS tanpa mencari solusi terbaik demi keselamatan warga di Papua? Ataukah saya mengatakan penyebaran HIV dan AIDS di Papua merupakan sebuah pembiaraan oleh pemerintah dan semua pihak bahkan karena ketidaksadaran oleh warga sendiri?
Realita penyebaran HIV dan AIDS tersebut oleh sebagian orang asli Papua melihat sebagai sebuah ancaman mematikan yang pada akhirnya membawa pada kepunahan suku atau ras orang setempat di Papua. Padangan ini muncul dalam berbagai seminar, diskusi, demontrasi dan cerita-cerita dikalangan masyarakat ketika adanya informasi bahwa orang yang menghidap HIV dan AIDS terbanyak di Papua adalah orang asli Papua. Dalam situasi demikian, orang asli Papua seringkali bertanya-tanya dalam dirinya dan akhirnya sampai pada suatu anggapan bahwa virus ini sengaja dibawa orang luar Papua untuk memusnahkan orang asli Papua. Pertanyaannya, apakah tudingan seperti itu benar? Ataukah penyakit ini memang diperuntukkan bagi orang asli Papua, lantas orang non Papua adalah kebal dengan virus HIV dan AIDS di Papua?
Kita jangan saling menuding atau melemparkan kesalahanmu pada orang lain dengan banyaknya penyebaran penyakit HIV dan AIDS di Papua. Kita juga jangan saling menyalahkan antara orang asli Papua dan non Papua. Bahkan jangan saling mencurigai di antara warga Papua. Kita mengakui bahwa virus ini menjadi ancaman dan mematikan bagi manusia yang hidup di pulau ini. Warga Papua hendaknya kembali pada dirinya untuk merefleksikan lebih jauh tentang penyebab penyebaran virus HIV dan AIDS ini. Sebuah ajakan bahwa warga Papua penting untuk melihat kembali akan hukum, norma dan larangan-larangan yang ada dalam budaya masing-masing di Papua. Dan agama masing-masing misalnya, jangan berzinah, jangan berbuat cabul. Jika tidak melihat dan merenungkan kembali akan budayanya dan penyebaran virus ini, maka akan merosotnya nilai-nilai religius yang dihayati dalam kehidupan setiap kita.
Pemerintah (Propinsi dan Kota/Kabupaten) dan semua pihak bahkan masyarakat tahu dan mempublikasikan di publik bahwa penyebaran penyakit HIV dan AIDS adalah melalui hubungan seks di luar nikah dan berganti-ganti pasangan seks di tempat-tempat hiburan tidak sehat. Misalnya tempat lokalisasi, tempat karaoke, dan tempat-tempat pijat tradisional. Lalu mengapa Pemerintah (Propinsi Papua/Papua Barat dan Kota/Kabupaten) dan semua pihak bahkan masyarakat memelihara tempat-tempat hiburan: Pekerja Seks Komersial (PSK) di Lokalisasi, tempat karaoke, tempat pijat tradisional dan si kaliabo papan atas alias bunga sedap malam atau ayam abu-abu (3A) selain bar, bir, bor dan akhirnya tewas di bawa dalam mobil bus menjadi (4b), Jika pemerintah dan semua pihak tidak siasati penyebaran virus “bukan dengan penyuluhan atau pengadaan alat-alat pencegahan”, maka habislah terang sebagai tanda awal kegelapan dalam hidupnya sebagai manusia warga Papua.
Pemerintah tahu korban banyak karena miras dan penyebaran penyakit HIV dan AIDS melalui hubungan seks dan ganti-ganti pasangan melalui tempat-tempat hiburan tidak sehat dan tidak kontekstual dengan norma, adat dan hukum alamiah di Papua. Namun pemerintah malah membiarkan bahkan memelihara tempat-tempat hiburan tidak sehat dengan alasan bahwa jumlah pemasukan dana sangat besar untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) di negeri ini. Pemerintah mensosialisasikan dan mengadakan penyuluhan di mana-mana untuk pencegahan dan penyadaran penyebaran HIV dan AIDS di pulau Papua. Pemerintah juga mengadakan alat-alat kondom setiap tahun untuk mencegah yang bukan merupakan solusi.
Pemerintah tanpa menyadari, mereka memperbanyak tempat-tempat hiburan tidak sehat (Lokalisasi, tempat pijat tradisional, tempat karaoke dan bar (3A dan 4B) bahkan mungkin perdagangan perempuan di hotel-hotel) di pulau Papua. Pemerintah tanpa menyadarinya mereka mengambil sikap pembiaraan terhadap warga Papua, selalu mengadakan berbagai kegiatan termasuk penyuluhan, pengadaan alat kontrasepsi pria dan wanita bahkan di jalan-jalan mengatakan bahwa “Kota beriman”, “Tanah yang diberkati”. Namun di dalamnya penuh dengan segala kemunafikan. Faktanya korban karena miras dan virus HIV dan AIDS terus meningkat setiap tahun di pulau Papua. Itulah letak sikap pembiaraan pemerintah terhadap warganya karena mementingkan milyaran rupiah dibanding keselamatan warga Papua khususnya orang asli Papua dari ancaman dan penyakit yang mematikan ini. Jadi pemerintah sengaja memeliharan tempat-tempat hiburan tidak sehat dan tempat-tempat lokalisasi yang merupakan tempat penyaluran hubungan seks demi kepentingan pemerintah dan penguasa di negeri ini.
Sikap kita sebagai warga Papua hendaknya saling mendukung untuk mengatasi miras dan penyebaran penyakit HIV dan AIDS di Papua. Miras dan Penyebaran virus HIV dan AIDS menjadi tanggung jawab semua warga Papua. Kita jangan diam dengan realita miras dan penyebaran virus HIV dan AIDS terhadap warga Papua. Saya secara pribadi mengajak kepada Pemerintah (Propinsi dan Kota/Kabupaten) untuk membubarkan dan menutup segala bentuk hiburan tidak sehat yang mendatangkan virus HIV dan AIDS di seluruh tanah Papua. Kita jangan mengutamakan milyaran rupiah, tetapi mengutamakan keselamatan manusia dari merusak tubuh karena miras dan penyebaran HIV dan AIDS di bumi ini. Dengan sikap demikian, pasti akan mengetahui dari mana datangnya virus ini, kemudian tidak saling mencurigai antara warga Papua dan meniadakan dari konflik sosial ke depan. Namun hendaknya kita saling mendukung untuk keselamatan manusia dibanding milyaran rupiah untuk kepentingan diri dan pemerintah kedua Propinsi paling timur di Indonesia ini.[4]

Moral Sosial Digugah oleh Injil dan Iman
Warta Injil selalu baru sewaktu kita mendengarkannya. Dikarenakan selalu menggugah hati para pengikut Kristus untuk menghidupkan rasa tanggunggjawab mereka di tengah dunia. Kerajaan Allah tidak jauh dan Allah mengetuk pintu hati kita. “Berbaliklah dan percaya pada kabar gembira”. Kalau kabar gembira sudah sampai pada hati kita, kita tidak punya alasan lagi untuk terus mengeluh mengenai kejahatan miras dan virus HIV dan AIDS. Mari kita balikkan arah dan kita tatap masa depan. Memang miras dan HIV/AIDS mengakibatkan banyak penderitaan, tetapi bisa ditolong. Kapan kita mulai tolong para penderita ini?
Saya percaya bahwa dengan iman, kita hendak berkiblat pada Allah Sang Pemilik Kehidupan. Dalam iman, kita menanggapi kehendak Allah supaya terjadi sesuatu yang baru. Apalagi yang dikehendaki Allah selain kehidupan-Nya menular dan menyebar? Biarlah kemuliaan Tuhan tetap untuk selama-lamanya, biarlah Tuhan bersukacita karena perbuatan-perbuatan-Nya (bdk Mzm 104:31). Dengan keyakinan dan beriman kepada Allah, kita menyambungkan diri dalam anak Allah, yakni Yesus dari Nazaret, hadir ditengah kita, “semua orang memuji Dia” (Luk 4:15). Kata mereka, “bukankah Ia ini anak tukang kayu? Bukankah Ibu-Nya bernama Maria dan saudara-saudara-Nya Yakobus, Yusuf, Simon, dan Yudas ? dan bukankah saudara-saudara-Nya perempuan semuanya ada bersama kita? (Bdk Mat 13:55-56). Ya, memang Allah beserta kita itu telah menjadi saudara dalam persaudaraan antar kita. Dengan iman yang kuat, kita menyambut perutusan Kristus yang bersabda: ”Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Bdk Yoh 10:10). Semboyang orang beriman kepada Allah yang hidup ialah “Jadilah pembela kehidupan. Secara bersama-sama meyakini dengan iman yang teguh, kita berusaha mewujudkan kesejahteraan bersama. Kita ingin mewujudkan iman kita dalam perhatian pada sesama kita yang menderita karena konsumsi miras dan penderita HIV/AIDS. Kita memperhatikan sesama kita yang menderita dan menolongnya adalah perwujudan iman kita akan Allah “Aku menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku” (Yak 2:18). Untuk membela kehidupan itu, apakah memerlukan Gereja.
Opsi Gereja: Mengutamakan Para Korban Miras dan HIV/AIDS
Allah mengutus Yesus ke dunia untuk misi penyelamatan bagi semua umat manusia. Perutusan itu digenapi dengan jalan salib. Demikian pun umat manusia mengalami salib yang sama seperti Anak Allah Yesus dalam peziarahan hidup setiap kita.
Warta tentang Yesus tersiar di mana-mana. Ia memberitakan Injil Kerajaan Allah. Dalam pewartaan itu, Yesus menyembuhkan berbagai penyakit dan kelemahan manusia. Ketika orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia; ketika dibawa kepada-Nya semua orang yang buruk keadaannya; ketika Yesus melihat orang banyak dan murid-murid-Nya ada di antara orang banyak itu (bdk Mat 4:23, 5:2).
Atas dasar refleksi ini, kita dipanggil untuk melanjutkan warta keselamatan itu pada semua orang dan semua bangsa. Dengan harapan bahwa umat manusia mengimani Yesus yang sedang berkarya dalam kaum lemah, menderita sakit dan lapar, yang ditindas, dan dimarginalkan oleh peradaban zaman modernisasi ini. Begitu banyak orang muda yang masuk dalam dunia miras dan terkena virus HIV/AIDS di Papua.
Orang yang miras dan kena virus HIV/AIDS adalah korban penderitaan. Karena mereka mengalami penderitaan sakit, mental lemah dan lumpuh, dan tunggu waktunya untuk menghadap kepada Allah. Di sini tugas kita adalah mengutamakan para korban miras dan HIV/AIDS, kita mengangkat martabat para korban ini, kita menguatkan iman mereka akan Allah bahwa Ia mencintai dan menyapa mereka dan mempersiapkan jalan solusinya. Dengan kotbah di bukit, para pengikut Yesus dipesan supaya mengumat (bdk Mat 7:21). Dengan maklumat di kampung halaman-Nya sendiri, Yesus mewajibkan mereka yang berdoa bersama Dia, supaya mereka menjadi agen pembebasan yang justru menolong orang lain dan asing (bdk Luk4:21-24). Berangkat dari pendasaran kotbah Yesus ini, kita diajak agar mengutamakan para korban Miras dan HIV/AIDS. Kita menjadikan mereka sebagai anak-anak Allah. Menjadikan mereka sebagai manusia yang dihormati dan dihargai oleh semua pihak dengan jalan berkomunikasikan dengan para korban. Di sini diperlukan Gereja terlibat dalam kehidupan nyata di tengah umat. Gereja adalah kita, kita mesti berkatekese dengan para pemuda dan pemabuk serta bagi mereka yang terkena virus yang mematikan manusia di kota-kota besar maupun di kampung-kampung dalam wilayah pelayanan Keuskupan Timika.




Penutup
            Para pemabuk dan orang-orang yang terkena virus adalah manusia. Mereka mesti dikuatkan iman akan Allah. Mereka mesti disapa dan dihormati. Memberikan kepercayaan pada mereka bahwa mereka adalah ciptaan Allah. Kita sebagai umat Allah, hendaklah kita mengumat dengan para korban ini. Mengutamakan mereka adalah opsi Gereja. Karena itu, kita mesti duduk terdepan untuk mengangkat mereka. Memberikan keteguhan iman akan Allah.
            Karena semakin hari semakin meningkat para pemabuk dan terkena virus mematikan itu sehingga saya mengharapkan kepada keluarga agar menyediakan waktu untuk saling berdialog hati sebagai keluarga. Diharapkan juga kepada Gereja-gereja di kampung-kampung maupun di kota-kota untuk melibatkan semua orang muda dalam kegiatan menggereja dan sosial kemasyarakatan agar mereka pun menatap masa depan hidupnya. Para pimpinan setempat entah gereja maupun pemerintah di kampung-kampung maupun di kota-kota jangan berdiam diri dan mencueking situasi para korban MIRAS dan HIV dan AIDS di seluruh Tanah Papua.
Tetapi dukunglah kepada keluarga-keluarga dari korban miras maupun virus mematikan ini agar keluarga mengimani akan Allah dan bangkit dari penderitaannya. Sekolah-sekolah katolik, Kristen Protestan, dan sekolah-sekolah dari agama lain untuk melatih kesetiakawanan, terbuka kepada agama apa pun, dan penuh perhatian pada orang muda. Selain itu, pusat-pusat Gereja Katolik, Kristen Protestan, dan agama-agama lain hendaklah mengusahakan adanya ruang dialog antara orang muda dan khususnya para korban miras dan HIV/AIDS serta mengusahakan layanan teman dialog yang paham bagi para korban penderitaan yang dialaminya. Diharapkan kepada pemerintah Propinsi Papua dan Papua Barat, kota/kabupaten di seluruh tanah Papua agar hentikan bahkan tiadakan tempat-tempat hiburan tak sehat[5] dari negeri tanah Papua ini. Akhirnya kita bersama-sama mengangkat martabat sebagai manusia ciptaan Allah di dunia ini, bukan menyingkirkan atau bukan menambah berbagai tempat hiburan tak sehat agar semakin bertambah korban kemanusiaan tetapi meniadakan semua hal yang mengorbankan manusia dari negeri ini. Demikianlah!!!

Penulis: Petugas Pastoral Keuskupan Timika Papua



[1] Pada kesempatan masa prapaskah tahun ini, Gereja mengajak kita untuk merenungkan tema “Membangun Iman melalui Pola Hidup Sehat dan Bertanggungjawab”. Iman bukan hanya soal percaya pada Tuhan tetapi bagaimana kepercayaan itu mempengaruhi kehidupan yang sehat dan bertanggungjawab.Iman mendasari segala tindakan kita untuk mencari kehidupan yang sehat. Untuk itu kita harus menjalani hidup ini dengan penuh tanggungjawab. Tantangan yang kita hadapi sekarang ini adalah krisis moral yang telah menghancurkan peradaban publik di segala bidang. Manusia tidak menghargai budaya kehidupan. Perilaku manusia mengarah pada kehidupan yang tidak menyehatkan. “Lonceng kematian “ terjadi di mana-mana karena ulah manusia yang tidak bertanggungjawab . Banyak orang sakit atau mati karena peri laku tidak sehat dari manusia sendiri  seperti peperangan, penghancuran hutan, Miras, HIV dan AIDS, sex dan pornogarafi, makanan yang berkelebihan, keteraturan hidup , sikap ketergantungan, pemborosan, pemerasan dan denda mendenda. Secara sadar dan tidak sadar, Kita hidup dalam budaya kematian yang mengancam peradaban zaman ini. Krisis iman dan moral  sebagai akar persoalan yang menyebabkan hidup menjadi tidak sehat dan tidak dapat dipertanggungjawabkan sebagai orang beriman. Maka itu dalam masa prapaskah ini saya mengajak kita untuk merenungkan tiga hal yaitu iman, hidup sehat dan tanggungjawab.
[2] Maraknya Penyakit HIV dan AIDS di Tanah Papua. Kumpulan berbagai informasi di media cetak lokal di Timika dan Jayapura-Papua sejak 2006-2015.
[3] Penyebaran HIV/AIDS di Papua kian memprihatinkan. Dari data Dinas Kesehatan Provinsi Papua per 30 Juni 2014, jumlah penderita HIV/AIDS di seluruh Papua mencapai 17.639 orang. Ironisnya lagi, para penderita itu umumnya adalah usia produktif antara usia 25 hingga 49 tahun. Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi Papua dr. Silvanus A. Sumule, SpOG mengatakan bahwa kasus HIV/AIDS pertama kali ditemukan di Papua pada tahun 1996 dan dalam jangka waktu 18 tahun, angka ini telah meningkat dengan sangat tajam menjadi 6.579 penderita HIV dan 11.060 orang penderita AIDS, atau hingga 30 Juni 2014 totalnya mencapai 17.639 orang. “Dari jumlah itu, 1.229 orang di antaranya telah meninggal dunia karena penyakit ini. Khusus untuk wilayah adat Meepago yang meliputi kabupaten Nabire, Paniai, Dogiai, Deiyai, Mimika dan Intan Jaya, jumlah kasus HIV/AIDS mencapai 6.984, dan 446 di antaranya telah meninggal”. Menurutnya, angka ini diperkirakan masih jauh lebih kecil dari keadaan yang sebenarnya, karena ada sejumlah kabupaten yang belum menyampaikan datanya dengan baik. “Sesuai perkiraan paling konservatif dari Dinas Kesehatan Papua, ada sekitar 25.000 orang yang telah terkena HIV/AIDS di Papua. Ini berarti masih ada 7.361 yang harus ditemukan,” ungkapnya kepada Cenderawasih Pos, edisi Selasa (18 November 2014). 

[4] Catatan Penolakan: Pemerintah sengaja membiarkan berkembangnya virus HIV dan AIDS tanpa mencari solusi alternative oleh Pemerintah Indonesia di Papua. Akibatnya banyak orang (orang Papua dan Non Papua) terjangkit virus ini. Maka banyak orang menjadi korban kematian di Tanah Papua. “Pemerintah Indonesia sengaja membiarkan virus ini agar orang asli musnah di negeri Papua. Pembiaran Pemerintah Indonesia itu, dapat dinilai bahwa bentuk penolakan pada manusia yang mendiami di pulau Papua. Apalagi jika kita bandingkan antara Orang Asli Papua jumlah penduduknya adalah 30% sementara penduduk Non Papua adalah 70%  (BPS Propinsi Papua sementara sejak 2011). Saya menilai bahwa pembiaran berkembangnya penyakit HIV dan AIDS itu, akan menjadi anak panah yang jitu pada pemusnahan suku orang asli Papua. Bentuk pembiarannya adalah oleh Negara Indonesia pada warga penduduk di bumi Papua”.
[5] Hiburan-hiburan tak sehat adalah hiburan yang mendatangkan miras dan virus HIV dan AIDS, antara lain tempat pernjualan MIRAS, tempat  Lokalisasi, bar, tempat karaoke, tempat pijat dan tempat-tempat lain yang mendatangkan miras dan virus mematikan ini.

PAPUA: PEREMPUAN PAPUA DALAM BAYANG-BAYANG KEGELAPAN DI TANAH PAPUA

PEREMPUAN PAPUA DALAM BAYANG-BAYANG KEGELAPAN DI TANAH PAPUA

Oleh Santon Tekege***


Pengantar
Perempuan Papua hidup dalam bayang-bayang kegelapan di tanah Papua. Dikatakan demikian karena mereka hidup dalam suasana tidak damai dan mengalami persoalan setiap hari. Mereka keluhkan kelakuan para kaum lelaki yang mengorbankannya[1]. Padahal perempuan papua merupakan sumber pemersatu dan damai bahkan sumber ekonomi bagi keluarga-keluarga di tanah Papua.
Dalam tulisan ini, saya hendak mengajak para pembaca untuk mengetahui siapa perempuan papua, perempuan dalam budaya papua, dan pengalaman kekerasan perempuan papua dalam hidup nyata di tanah Papua dan sikap gereja dalam untuk mendahulukan para korban teristimewa mereka yang lemah (tidak berdaya), kaum miskin dan tertindas atas dasar cinta kasih Allah untuk memulihkan martabat manusia. Terutama kaum perempuan yang menjadi korban utama di Indonesia khususnya terlihat sikap kaum lelaki yang sering membuat kekerasan dan konflik terhadap kaum perempuan di tanah Papua.

Siapa Perempuan Papua itu?
Perempuan Papua adalah perempuan surga. Artinya mereka bisa tahu segalanya. Mereka mampu mengadakan dunia bahagia dan damai seperti di Surga dalam dunia di tanah Papua. Karena itu, perempuan Papua sebagai perempuan surga. Hatinya sungguh luar biasa dan selalu membawa sikap perdamaian dan kebahagiaan tersendiri ketika keluarga atau kelompok suku berada dalam kebuntuan jalan solusi atas persoalan-persoalan yang dialami di tanah Papua.
Namun kenyataan memperlihatkan bahwa perempuan Papua banyak mengalami kekerasan dan konflik di keluarga-keluarga di tanah Papua. Bahkan tanah Papua yang suci dan damai ini, dijadikan tempat sumber kekerasan dan konflik. Karena itu, perempuan menjadi korban kekerasan dan konflik. Apalagi konflik dan kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi karena dipengaruhi oleh minuman keras dan persoalan lainnya di tanah Papua. Perempuan papua sudah dijadikan sebagai tempat untuk melampiaskan emosi sehingga terjadi kekerasan dan konflik tanpa mengatasi oleh piihak mana pun di tanah Papua. Karena itu dibutuhkan kebijakan pemerintah dan pastoral yang berpihak pada kaum perempuan papua.

Perempuan Dalam Budaya Papua
Dalam urusan rumah tangga: perempuan Papua mengandung, melahirkan, memelihara anak dan mengurus kebutuhan keluarga. Perempuan Papua membuat alat-alat untuk menangkap ikan, menganyam noken, dan tikar. Perempuan Papua mencari ikan, memelihara babi, dan menjaring udang. Perempuan Papua juga berkebun, menggali ubi, menokok sagu baik sendiri maupun saudara-saudaranya dekatnya. Membantu suaminya mencari kayu bakar atau menebang pohon untuk membuat perahu, kayu untuk pembuatan rumah dan lainnya.
Perempuan papua sebagai sumber segalanya khususnya sumber ekonomi keluarga-keluarga di tanah Papua. Siapa yang mengatakan bahwa perempuan papua bukan sumber ekonomi alias sumber dompet ekonomi di tanah Papua? Saya pikir pasti para pembaca mengakuinya bahwa memang benar perempuan papua sebagai seumber dompet ekonomi keluarga di tanah Papua. Seorang laki-laki Papua jika hendak mau berhasil dalam pengembangan ekonomi dan berantas kemiskinan, maka pertama amankan dan damaikan hati dan segala pergumulan perempuan Papua alias Mama-Mama Papua.
Dalam Urusan Pesta-Pesta: Perempuan Papua sebagai pendamai dan pendorong semangat kemajuan kelaurganya dalam segala hal. Perempuan Papua sebagai motivator untuk kaum lelaki untuk menyelenggarakan pesta dan menjamin makanan untuk berpesta. Perempuan Papua serba bisa dan mampu melakukan segala sesuatu untuk mengembirakan pesta. Karena dengan perempuan Papua pesta akan berjalan baik. Mereka hadir sebagai sumber penyemangat dan pendamai satu suku ke suku lain atau kelompok satu ke kelompok lain dalam acara pesta maupun dalam konflik antara mereka. Kehadiran perempuan Papua akan  mengembirakan para kaum laki-laki tetapi dia juga sebagai pendamai dalam pesta maupun dalam suatu konflik antar kelompok atau suku di Tanah Papua.
Perempuan Papua dalam urusan politik berperan penting dan sangat diperlukan untuk memperkaya kaum laki-laki dan meningkatkan posisi kaum laki-laki Papua. Kaitan dengan itu, ada dua pandangan yang sering muncul di tanah Papua: Pertama, kalau memberikan banyak perempuan kepada kampung lain dengan maksud untuk menanamkan kekuatan besar dalam kampung asalnya dan memperbanyak kerabat dari kampung-kampung lain. Kedua, perempuan papua dijadikan sarana mempersatukan orang lain dari kampung yang berbeda. Bahkan ketika konflik dan suasana tidak mungkin bagi kampungnya atau masyarakat Papua, perempuan papua menjadi simbol perdamaian di antara kedua belah pihak yang bertikai dan konflik selama ini.
Karena itu, perempuan papua bukan hanya sebatas sarana persatuan atau perdamaian di antara keluarga atau masyarakatnya tetapi perempuan papua lebih dominan sebagai pelaku pembawa persatuan dan perdamaian bahkan dia hadir sebagai seorang Mama Papua yang tulus dan berhati mulia bagi keluarganya dan masyarakatnya di tanah Papua. Namun kenyataan diperlihatkan bahwa perempuan papua menjadi korban kekerasan dan konflik di tanah Papua.

Kekerasan Terhadap Perempuan
Tingginya tingkat kekerasan terhadap perempuan di Papua Barat ternyata masih tinggi. Salah satu penyebabnya adalah kebiasaan masyarakat setempat mengonsumsi minuman keras. Berbagai pihak telah melakukan kunjungan dan hasil penelitian memperlihatkan bahwa Tanah Papua merupakan daerah tingginya perendahan martabat perempuan Papua. Ketika diwawancarai kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak propinsi Papua dan Papua Barat bahwa angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di tanah Papua masih tinggi. Hal tersebut dikarenakan masih adanya kebiasaan dari masyarakat sekitar akan budaya minum-minuman keras. Hal itulah yang kemudian memicu terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Tetapi menurut saya bahwa adanya budaya dinomorduakan perempuan Papua dengan alasan perempuan berasal dari tulang rusuk[2]. Pandangan ini berawal dari konsep teologi biblis, di mana perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Maka itu,  perempuan harus menyembah bahkan dinomorduakan dari laki-laki. Padahal perempuan dan laki-laki satu martabat yang sama. Namun dalam budaya Papua, diperlihatkan di mana kaum laki-laki mengutamakan laki-laki untuk melanjutkan harta warisan dan keturunannya. Dalam pandangan itu, perempuan mengalami diskriminasi oleh kaum lelaki di tanah Papua.
Memang mengakui akan kesulitan mengubah kebiasaan meminum-minuman keras di daerah tersebut. Namun saya yakin dengan pendekatan dari hati ke hati maupun dari badan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, persoalan itu dapat diatasi, atau paling tidak diminimalisir. Meski angka kekerasan terhadap perempuan tanah Papua cukup tinggi. Namun khusus untuk keterlibatan perempuan dibidang politik, dapat mengembirakan. Hal tersebut dapat dilihat dengan bertambahnya jumlah politisi perempuan yang menduduki beberapa orang DPR Papua dan Papua Barat menjadi sembilan orang. Tentu penambahan kursi perempuan di legislatif itu juga harus dibarengi dengan keputusan-keputusan politik yang mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan. Walaupun demikian kenyataan memperlihatkan bahwa pengaruhnya tidak begitu besar karena adanya stigma perempuan tidak tahu apa-apa.
Dengan kata lain, peluang yang besar bagi keterwakilan politisi perempuan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang dengan 30 persen keterwakilan perempuan dalam sebuah partai, juga harus dibarengi dengan keputusan politik yang bisa mengangkat isu-isu yang menyangkut nasib perempuan. Untuk memperkuat kekerasan terhadap perempuan dan anak juga sempat dibicarakan para ASEAN[3]. Dalam pertemuan itu menegaskan pentingnya pendekatan holistik dan multidisiplin dalam rangka memajukan hak asasi perempuan dan anak dalam dunia.

Keprihatinan Gereja Terhadap Perempuan
“Kegembiraan dan harapan, kedukaan dan kegelisahan masyarakat zaman sekarang, khususnya mereka yang miskin dan menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, kedukaan dan kegelisahan para murid Kristus. Memang tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi yang tidak menggema di hati mereka”. ”Bapa, Engkau mengurniakan kepada semua bangsa satu asal mula bersama. Kehendak-Mulah menghimpun mereka sebagai satu keluarga dalam Dikau. Penuhilah hati semua orang dengan api cinta kasih-Mu, dan dengan keinginan untuk memperjuangkan keadilan bagi semua saudara-saudari mereka. Semoga dengan berbagi hal-hal baik yang Kau anugerahkan kepada kami, kami menjamin keadilan dan kesetaraan bagi setiap manusia, berakhirnya segala perpecahan, dan masyarakat manusia yang dibangun berdasarkan cinta kasih dan damai” [4]. “Populorum Progressio”: “Bila ada  orang memiliki kekayaan dunia ini, dan melihat saudaranya menderita kekurangan serta menutup hatinya bagi dia, bagaimana cinta kasih Allah mau tinggal padanya? (1Yoh 3:17).
Amanat Injil dan Misi Gereja, Kewajiban Gereja untuk Menegakkan Keadilan. Dari Kristus Gereja menerima perutusan mewartakan amanat Injil. Yang mencantumkan panggilan kepada manusia untuk meninggalkan dosa  dan mengenakan cinta kasih akan Bapa, persaudaraan semesta, dan mengapa Gereja berhak, bahkan wajib, mewartakan keadilan pada tingkat sosial, Nasional maupun Internasional, dan mengecam peristiwa-peristiwa ketidakadilan. Gereja mempunyai tanggung jawab yang khas, memberi kesaksian dihadapan dunia; bahwa dunia membutuhkan cinta kasih dan keadilan. Kesaksian ini harus dilaksanakan dalam lembaga-lembaga Gereja dan kehidupan umat Kristiani[5].
Pelanggaran terhadap martabat perempuan yang menganggap bukan sebagai pribadi, melainkan sebagai benda, sebagai obyek perdagangan, melayani kepentingan egois dan kenikmatan  semata. Korban pertama atas mentalitas itu adalah kaum perempuan.  Mentalitas ini menghasilkan penghinaan, perbudakan, penindasan terhadap kaum yang lemah, pornografi, pelacuran, khususnya dalam bentuk terorganisasi, serta sekian banyak bentuk-bentuk  diskriminasi di bidang budaya, politik, pendidikan, pekerjaan, dan penggajian. Para Bapa Sinode dengan tegas mengecam bentuk-bentuk diskriminasi-diskriminasi itu. Meminta, agar semua pihak menempuh langkah-langkah pastoral yang tegas dan mengena pada sasaran, untuk secara definitif mengatasi situasi itu, sehingga gambar Allah  memancar dari semua manusia tanpa kecuali, dihormati sepenuhnya.
St. Yohanes Paulus II, memperlihatkan bagaimana keprihatinan Gereja terhadap perempuan. Tidak jarang kaum perempuan justru dipinggirkan dari kehidupan masyarakat dan bahkan direduksikan kedalam perbudakan. Kerapkali mereka tidak mendapatkan kesempatan yang sama (dengan laki-laki) untuk memperoleh pendidikan, politik, dan sosial ekonomi, dan bahkan direndahkan dan sumbangan intelektual mereka tidak dihargai (Art 3)[6]. Dalam rapat sidang Para Waligereja Indonesia juga sempat mempublikasikan sikap para waligereja untuk kaum perempuan bahkan atas semua persoalan di Indonesia. “Partisipasi Kita Dalam Memelihara Martabat Manusia dan Alam Semesta”. Secara tegas menyatakan keprihatinan atas berbagai persoalan yang terjadi pada masa itu[7]. Dimana-mana kita masih menyaksikan dengan rasa prihatin penginjak-injakan hak asasi manusia, ketidakpastian hukum, korupsi, suap, nepotisme, ketidakadilan terhadap perempuan, yang ditekan, didiskriminasikan, dilecehkan, dipaksa dalam dunia pekerjaan dan keluarga, dan ketidakadilan gender secara menyeluruh.
Di tengah keprihatinan atas berbagai persoalan bangsa, ada secercah harapan untuk mencari jalan bagi gerakan perbaikan kesejahteraan rakyat, khususnya rakyat kecil, miskin, lemah dan tidak berdaya: Semakin bertambahnya jaringan aksi, aliansi, kelompok solidaritas dan relawan, organisasi/ LSM lintas etnis, golongan dan agama, yang bergerak di bidang pemberian bantuan hukum dan pemberdayaan kaum perempuan dan masyarakat kecil umumnya, merupakan modal bagi gerakan yang lebih luas dalam masyarakat. Keberadaan dan kegiatan-kegiatan kemanusiaan itu sangat didukung dan terus didorong. Kepedulian terhadap kaum kecil dan hak-hak asasi telah mengundang keterlibatan langsung banyak orang yang berkehendak baik, termasuk kaum awam, para religius dan orang-orang tertahbis. Perjuangan hak-hak asasi manusia sebagaimana selayaknya kita prioritaskan adalah sesuai dengan rencana dan kehendak Allah yang mau menyelamatkan semua orang. Cara Allah bertindak dengan mendahulukan yang paling menderita yakni kaum miskin dan tertindas. Maka dari itu dari sisi manapun, didekati pilihan untuk mendahulukan dan bersama dengan kaum miskin terus menerus merupakan acuan perjuangan hak-hak asasi manusia.

PENUTUP
Perempuan Papua hidup dalam bayang-bayang kegelapan karena mereka menjadi korban dari segala aspek di Indonesia khususnya di Tanah Papua. Para perempuan adalah surga bagi dunia Papua. makanya itu, jadikanlah perempuan Papua sebagai sumber damai dan persatuan bahkan sumber dompet ekonomi setiap keuarga di tanah Papua.
 Atas dasar refleksi ini, diharapkan supaya  orang  hidup dalam damai dan persatuan sebagai suami dan istri tanpa adanya kekerasan dan konflik. Sebagai hidup berkeluarga mestinya saling menghargai satu sama lain sebagai laki-laki dan perempuan. Dan memperjuangkan keutamaan-keutamaan Kristiani dalam dunia khususnya dalam keluarga-keluarga. Dengan maksud supaya orang semakin mengenal Kristus sebagai Anak Allah yang menyelamatkan manusia dari bayang-bayang kegelapan. Semoga!...wa...wa..wa...wa..

Penulis: Petugas Pastoral Keuskupan Timia-Papua



[1] Berbagai kasus diperlihatkan oleh komnas Perlindungan Perempuan dan anak di Indonesia. Dalam kasus-kasus, kekerasan dan konflik semakin banyak terlihat di pulau Papua berkaitan dengan pola kebiasan dan budaya Papua untuk menomorduakan kaum perempuan daripada laki-laki. Selain kekerasan dan konflik meningkat tinggi juga karena para kaum lelaki kebiasaan mengkonsumsi minuman keras alias MIRAS dalam keluarga-keluarga di tanah Papua.
[2] Kejadian 1. Dalam Kitab Kejadian bab 1dunia dan seluruh isinya dilukiskan sebagai hasil karya ciptaan Allah, ditulis sebagai berikut:Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. … Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik (Kejadian 1:26-27.31a). Dari kutipan di atas, dapat diwahyukan bahwa 1). Laki-laki dan perempuan diciptakan sebagai hasil keputusan yang khusus dari Allah. 2). Laki-laki dan perempuan merupakan makhluk yang berasal dari Allah yang satu dan sama. 3). Laki-laki dan perempuan, entah bersama-sama atau secara terpisah, memiliki “keserupaan” dengan Allah. Sebagai “gambar” Allah, baik laki-laki maupun perempuan, mereka dimungkinkan untuk (1) berelasi dengan Allah sebagai orang-tua (parent), dengan-Nya mereka memiliki “keserupaan,” (2) bertindak menurut teladan-Nya, (3) melanjutkan karya penciptaaan-Nya, entah melalui eksistensi manusia yang lain atau dengan memelihara dunia ciptaan-Nya. 4). Laki-laki dan perempuan memiliki martabat yang sama dalam segala aspeknya. Martabat mereka didasarkan pada “keserupaan” mereka dengan Allah, yang mendorong mereka untuk dapat melampaui apa yang dapat mereka capai dan “mendekati” apa yang telah direncana-kan oleh Allah bagi hidup mereka.
Kejadian 2 Versi lain dari kisah penciptaan terdapat dalam Kitab Kejadian bab 2 (yang ditulis abad 9-8 SM). Di sini dikisahkan bahwa laki-laki diciptakan oleh Allah lebih dulu (Kejadian 2:7). Laki-laki itu diciptakan dari debu tanah (‘adamah), oleh karenanya ia disebut Adam (berasal dari tanah). Sedangkan perempuan diciptakan kemudian. Menurut penulis Kitab Kejadian, motivasi dari Allah untuk menciptakan perempuan adalah karena “Tidak baik, kalau manusia [laki-laki] itu sendirian” sehingga Allah merasa perlu untuk “menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia” (ayat 18), sebab dari antara semua ternak, burung-burung di udara dan segala binatang di hutan, manusia [laki-laki] “tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia” (ayat 20). Perempuan itu diciptakan oleh Allah dari tulang rusuk laki-laki (ayat 21-22). Ketika laki-laki melihat perempuan itu, ia berkata: “Inilah tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” (ayat 23). Lebih lanjut dikisahkan: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (ayat 24). Dari dua kisah di atas, disimpulkan bahwa selain menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan dengan martabat yang sama, Allah juga membuat mereka berelasi dalam kesetaraan, kesalingan (mutuality and reciprocity), dan dalam suasana yang harmonis (bdk. Kejadian 2:8-25). Bagi penulis Kitab Kejadian, kendati perempuan diciptakan menyusul penciptaan laki-laki bahkan diambil dari tulang rusuknya namun sama sekali tidak ada maksud untuk menempatkan perempuan sebagai makhluk ciptaan kelas dua dan lebih rendah derajatnya daripada laki-laki.
Sikap dan Tindakan Yesus“Impian Allah” tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan seperti diungkapkan dalam Kitab Suci Ibrani tersebut di atas, dalam perjalanan waktu ternyata mengalami kehancuran karena pelbagai macam penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan terhadap kaum perempuan. Yesus Kristus, dalam seluruh hidup dan karya pelayanan-Nya, mengusahakan agar impian Allah tersebut dapat diwujudkan kembali. Hal ini dengan sangat jelas nampak antara lain dalam peristiwa-peristiwa berikut: Pertama, di kala tradisi Yudaisme hanya memperbolehkan orang laki-laki dewasa menjadi murid seorang Rabbi untuk mempelajari Kitab Taurat, Yesus juga memberi hak yang sama kepada para perempuan untuk menjadi murid-murid-Nya, seperti Marta (bdk. Injil Lukas 10:38-42). Kedua, berbeda dengan kebiasaan orang-orang sejaman-Nya yang menempatkan kaum perempuan semata-mata dalam wilayah domestik, Yesus justru memanggil mereka untuk menjadi murid-murid-Nya, berjalan berkeliling bersama dengan Dia dan para murid laki-laki lainnya dari desa ke desa dan dari kota ke kota untuk mewartakan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat; dan para perempuanlah yang membiayai semuanya itu (bdk. Injil Lukas 8:1-3). Ketiga, penyembuhan terhadap seorang perempuan yang telah dirasuki oleh setan sehingga ia sakit sampai bungkuk punggungnya selama delapan belas tahun (Injil Lukas 13:10-17). Yesus menyembuhkan perempuan itu di rumah ibadat pada hari Sabat. Tindakan Yesus ini mengundang kemarahan kepala rumah ibadat. Ketika orang tersebut memarahi orang banyak dan Yesus (yang telah melanggar hukum Sabat; yakni, pada hari Sabat orang tidak boleh melakukan sesuatu kecuali beribadat kepada Allah), Yesus menjawab: “Hai orang-orang munafik, bukankah setiap orang di antaramu melepaskan lembunya atau keledainya pada hari Sabat dari kandangnya dan membawanya ke tempat minuman? Bukanlah perempuan ini, yang sudah delepan belas tahun diikat oleh Iblis, harus dilepaskan dari ikatannya itu, karena ia adalah keturunan Abraham?” (ayat 15-16). Sebutan “keturunan Abraham” biasanya hanya dipakai untuk orang laki-laki dalam bentuk plural. Dengan menyebut perempuan tersebut sebagai keturunan Abraham, Yesus ingin menunjukkan bahwa seperti dikehendaki oleh Allah sendiri (semua) perempuan juga merupakan bagian dari keturunan Abraham; dan Ia juga mengakuinya sebagai seorang pribadi yang memiliki martabat yang setara dengan laki-laki. Sekaligus ingin ditunjukkan bahwa dengan “menegakkan punggungnya yang bongkok” itu, Yesus membebaskan dia dari pelbagai macam belenggu yang menghalangi dia untuk berelasi dalam kesetaraan. Keempat, berkaitan dengan perceraian. Terhadap hukum yang mengatakan bahwa seorang laki-laki berhak menceraikan istrinya dengan alasan apa saja, Yesus mengatakan dua hal: (1) pada dasarnya perceraian itu dalam situasi yang wajar tidak diperbolehkan dan hukum [tentang perceraian] itu ditulis karena hati mereka (laki-laki) degil; (2) yang terkena oleh hukum tentang perzinahan bukan hanya perempuan tetapi juga laki-laki (bdk. Injil Matius 19:1-9; Injil Markus10:1-12). Kelima, ketika masyarakat menganggap bahwa kaum perempuan tidak dapat berpikir jernih, dan karenanya suara mereka tidak perlu didengarkan, Yesus justru belajar dari seorang perempuan “kafir” sehingga Ia mamahami bahwa tugas pengutusan-Nya untuk mewartakan karya keselamatan Allah ternyata diperuntukkan bagi semua bangsa (bdk. Wanita Tirus yang anaknya kerasukan setan, Mrk 7:24-30). Keenam, setelah kebangkitan-Nya, Yesus juga mempercayakan kepada beberapa orang murid-Nya yang perempuan untuk mewartakan kepada para murid-Nya yang laki-laki peristiwa agung dan sangat penting dalam sejarah keselamatan umat manusia: kebangkitan-Nya dari kematian (bdk. Mt 28:7-10; Mk 16:7-8; Lk 23:9-10; Yoh 20:17-18).
[3] Para pemimpin ASEAN sepakat menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak di kawasan ASEAN. Deklarasi tersebut diambil saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-12 ASEAN atau 23rd ASEAN Summit di di Muzakarah Hall, International Convention Center (ICC, Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam pada 9 Oktober 2014. Deklarasi itu menegaskan, kekerasan terhadap perempuan dan anak, terjadi terlepas dari tahapan dari siklus kehidupan, baik itu di rumah, di sekolah, di tempat kerja, di area publik atau area pribadi (termasuk dunia maya) sebagai hasil dari bias gender, diskriminasi dan kebiasaan berbahaya lainnya yang harus dihilangkan. Para kepala negara itu juga mengungkapkan soal kebutuhan untuk memperkuat “pendekatan secara holistik dan multidisiplin” dalam rangka memajukan hak asasi perempuan dan anak bersandingan dengan pendekatan yang responsif gender dan responsif umur, sekaligus sensitif pada anak. Deklarasi ini mengandung pengungkapan bentuk kekerasan mulai investigasi (investigating), penuntutan (prosecuting), penghukuman (punishing) dan -jika dinilai wajar- merehabilitasi (rehabilitating) pelakunya.
[4] SOLLICITUDO REI SOCIALIS”(KEPRIHATINAN SOSIAL),YOHANES PAULUS II, PAUS) (92)
[5] Familiaris Consortio, 22 Nopember 1981, art 24.
[6] Pernyataan Paus Yohanes Paulus II dalam Surat kepada Para Perempuan (29 Juni 1995)
[7] Pesan Sidang Para Waligereja Indonesia 2001 “Partisipasi Kita Dalam Memelihara Martabat Manusia  dan Alam Semesta”. Secara tegas menyatakan keprihatinan atas berbagai persoalan yang terjadi pada masa itu.