Minggu, 25 Mei 2014

GEREJA SUDAH TIDAK BISA DIHARAPKAN LAGI

Tokoh Perempuan Papua: Gereja Sudah Tidak Bisa Diharapkan Lagi

Mama Yosepha Alomang, tokoh perempuan Papua (Foto: Ist)
Mama Yosepha Alomang, tokoh perempuan Papua
PAPUAN, Jayapura —- Tokoh perempuan Papua asal suku Amugme, mama Yosepha Alomang mengatakan, Orang Asli Papua (OAP) sudah tidak bisa berharap banyak terhadap gereja, sebab saat ini gereja identik dengan mencari uang, bukan untuk menyelamatkan umatnya.
“Kalau kita bisa lihat, mereka (gereja) mulai tipu-tipu rakyat dengan memperjuangkan aspirasi masyarakat, sekarang tidak ada injil yang mereka (gereja) pegang,” katanya, kepada suarapapua.com, Sabtu (17/5/2014) di Padang Bulan, Abepura, Papua.
Menurut Direktris Yayasan Hak Asasi Manusia Anti Kekerasan (YAMAHAK) Timika ini, saat ini Indonesia memakai gereja di Papua untuk kepenting negara.
“Sehingga sekarang kita bisa lihat gereja-gereja suku dan gereja-gereja keluarga mulai tumbuh dimana-mana seperti jamur, dan tidak terawat dan diatur dengan baik oleh sinodenya.”
“Gereja suku dan gereja keluarga harus dihilangkan, supaya semua orang Papua menjadi satu seperti dulu lagi, jangan pecah-pecahkan orang Papua dengan membangun gereja suku dan gereja keluarga,” ungkapnya.
Dikatakan, yang terlihat saat ini adalah umat Tuhan kurang mendapat pendampingan dari pemimpin-pemimpin gereja, baik para pendeta maupun oleh para pastor.
“Hamba Tuhan ini harus datang mendampingi umatnya, kalau iman dari umatnya itu masih lemah, harus nasehat supaya iman umat bisa kuat,” tegasnya lagi.
Ditambahkan, perang yang terjadi di Tanah Papua belakangan ini, karena orang Papua tidak memahami isi dan ajaran Firman Tuhan dengan sungguh-sungguh, dan melaksanakannya.
“Saya harap supaya pendeta dan pastor bisa melayani umat dengan sebaik-baiknya, agar perdamaiaan di Papua bisa terwujud,” kata perempuan peraih penghargaan internasional di bidang lingkungan hidup ini.


MIKHA GOBAY (Suara Papua)

DELAPAN NEGARA TERBURUK DUNIA BAGI AGAMA



Delapan negara terburuk di dunia bagi agama
22/05/2014
Delapan negara terburuk di dunia bagi agama thumbnail 
Sejak tahun 1999, Departemen Luar Negeri AS telah melaporkan negara-negara terburuk di dunia terkait hak beragama, termasuk laporan terakhir bahwa penganiayaan terhadap umat beriman meningkat di seluruh dunia.
Di antara tren yang paling mengkhawatirkan, menurut laporan itu, adalah “pemerintahan otoriter yang membatasi warga negara mereka untuk mempraktekkan agama mereka.”
Departemen Luar Negeri menyebutkan “negara-negara yang menjadi perhatian khusus terkait penganiayaan tersebut.
Sudan, misalnya, seorang wanita Kristen dijatuhi hukuman mati pekan lalu karena ia meninggalkan agama Islam, yang dianuti dia.
Selain Sudan, menurut Departemen Luar Negeri, “negara-negara yang menjadi perhatian khusus, yang bisa disebut sebagai “Tempat terburuk di Dunia bagi Agama.”
Myanmar: Pemerintah Myanmar mengontrol setiap agama kecuali Buddha Theravada, kata laporan itu.
Beberapa pejabat pemerintah bahkan memaksa non-Buddhis untuk masuk agama Buddha, dan Muslim di negara bagian Rakhine, khususnya Muslim Rohingya,  mengalami diskriminasi dan kekerasan  mematikan.
Cina: “Pemerintah melecehkan, menahan, menangkap, atau menjatuhi hukuman penjara terhadap sejumlah penganut agama mengenai kegiatan terkait dengan keyakinan dan praktek agama mereka.”
Tindakan itu termasuk memenjarakan Muslim Uyghur, salah satunya dijatuhi hukuman 10 tahun penjara karena “menjual sarana keagamaan secara ilegal,” dan pastor Katolik ditangkap karena tidak bergabung dengan  Asosiasi Patriotik Katolik yang dibentuk pemerintah.
Jika dibandingkan dengan penganiayaan terhadap penganut Buddha di Tibet, menurut laporan itu, mereka lebih menderita akibat “tindakan keras secara intens di biara-biara dan pertapaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa, penahanan sewenang-wenang, dan penyiksaan.”
Eritrea: Hanya empat kelompok agama secara resmi diizinkan untuk secara terbuka mempraktekkan iman mereka di salah satu negara Afrika ini; sisanya akan menghadapi hukuman penjara atau hukuman yang lebih buruk lagi.
Jika Anda bukan seorang Kristen Ortodoks Eritrea, seorang Muslim Sunni, seorang Katolik  atau Evangelis, kehidupan Anda akan menjadi sulit di sini. Penahanan bagi para pembangkang agama adalah normal.
Iran: Negara mayoritas Muslim ini hak beragama telah menurun dalam beberapa tahun terakhir.
“Ada peningkatan laporan bahwa pemerintah menekan agama dan etnis minoritas, propaganda anti-Islam, atau ancaman keamanan untuk kegiatan keagamaan lain,” kata laporan itu.
Secara khusus, pemerintah telah memenjarakan sejumlah penganut Baha’i dan penganut Saeed Abedini, seorang pastor keturunan Iran-Amerika yang telah dilecehkan secara fisik dan psikologis.
Korea Utara: Kelompok HAM memberikan banyak laporan bahwa anggota Gereja bawah tanah ditangkap, dipukuli, disiksa atau dibunuh karena keyakinan agama mereka.
Pemerintahan otoriter itu telah memenjarakan sekitar 200.000 tahanan politik. Banyak dari mereka karena alasan agama. Negara ini melarang setiap kegiatan keagamaan yang tidak diakui  secara resmi.
Kenneth Bae, seorang keturunan Korea-Amerika seperti dilaporkan dituduh menyebarkan agama Kristen di Korea Utara, dan ia telah dijatuhi hukuman kerja paksa hingga 15 tahun tahun 2013.
Arab Saudi: Negara kerajaan kaya minyak itu secara terang-terangan tidak menghargai hak beragama bagi agama lain selain Islam.
Islam Sunni adalah agama resmi, dan konstitusi negara itu didasarkan pada Quran dan ajaran Nabi Muhammad. Praktek umum dari agama lain dilarang, dan pemerintah Arab memenggal seorang pria tahun 2012 karena terlibat dalam ilmu “sihir.”
Sudan: Negara ini menghukum penghujat dan konversi dari Islam, termasuk hukuman mati terhadap seorang wanita Kristen pekan lalu. Negara ini juga menangkap dan mendeportasi orang Kristen Barat yang diduga menyebarkan iman mereka .
“Polisi moral” negara itu mematuhi hukum Islam, memukuli dan merajam perempuan yang dituduh melanggar “moral.”
Uzbekistan: Secara teknis, hukum negara ini menghormati hak beragama. Tapi dalam prakteknya, negara Asia Tengah ini mempertahankan kontrol ketat terhadap penduduknya yang mayoritas beragama Islam, demikian laporan itu.
“Pemerintah terus memenjarakan individu dengan tuduhan ekstremisme; menyerang pertemuan keagamaan dan komunitas agama yang tidak terdaftar dan terdaftar, menyita dan menghancurkan literatur keagamaan, termasuk kitab suci, dan mencegah anak-anak untuk mempraktekkan iman mereka,” kata  laporan itu.
Orang dipenjara atas tuduhan “ekstrimisme agama” telah dipukuli, disiksa dan bahkan dibunuh.
Sumber: UCA News

Senin, 19 Mei 2014

Pacific Churches Call On Leaders To Support West Papua Conference of Churches attends UN decolonization meeting in Fiji


Pacific Churches Call On Leaders To Support West Papua
Conference of Churches attends UN decolonization meeting in Fiji
WELLINGTON, New Zealand (Radio New Zealand International, May 19, 2014) – The Pacific Conference of Churches is calling on leaders attending a United Nations meeting on decolonisation this week in Fiji to advocate for West Papua to be added to the UN list of non self-governing territories.
A spokesman for the conference, Netani Rika, says when the church leaders met last year in Solomon Islands they reiterated their stand that the people of the Pacific should be free to choose self-determination.
The Pacific Regional Seminar for the Eradication of Colonialism is being hosted by the committee in charge of implementing the UN's declaration on the granting of independence to colonial territories in Nadi.
But Netani Rika says West Papua isn't even on that list.
"What we're calling for at the moment is for Pacific Island countries and their representatives on the C24 to take initiatives which will see that the voices of the West Papuan people can be heard and that West Papua can be placed on this list also," says Rika.
Radio New Zealand International
Copyright © 2014 RNZI. All Rights Reserved

INDONESIA: Peaceful Protesters Arrested and Tortune by Police Indonesia in Papua

INDONESIA: Peaceful protesters arrested & tortured by police in Papua

April 23, 2014
ASIAN HUMAN RIGHTS COMMISSION - URGENT APPEALS PROGRAMME
Urgent Appeal Case: AHRC-UAC-057-2014


23 April 2014
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
INDONESIA: Peaceful protesters arrested & tortured by police in Papua
ISSUES: Arbitrary arrest & detention; freedom of assembly; freedom of expression; inhuman & degrading treatment; police violence; torture
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Dear friends,
The Asian Human Rights Commission (AHRC) has received information regarding the arbitrary arrest and the torture of two Papuans participating in a peaceful protest. The protesters are reported to have been electrocuted and beaten while being transported to the Jayapura police station in a police truck. They have been forced to sign a falsified police investigation report and have been denied medical treatment and access to lawyers.
CASE NARRATIVE:
According to information gathered by London-based human rights organisation TAPOL, Alfares Kapisa and Yali Wenda were participating in a peaceful demonstration at Cendrawasih University on 2 April 2014. The protest was part of the Global Day of Action, demanding the release of 76 Papuan political prisoners.
Protesters began gathering at 8 a.m. in Cendrawasih University, Waena. Soon thereafter, three trucks of the Jayapura Crowd Control police, three trucks of the police Mobile Brigades, a water cannon, and a barracuda tank were deployed.
Photo: Yali Wenda (left) and Alfares Kapisa (right) were arrested and tortured by Jayapura police officers for participating in a protest calling for the release of Papuan political prisoners. Courtesy of Tabloid Jubi)
At around 10.20 a.m., the protesters were about to march to join other protesters at Abepura. The police, however, blocked them from doing so and asked the protesters to disperse. The protesters refused the order and sent Alfares Kapisa, who is the field coordinator of the demonstration, as well as Yali Wenda, who delivered a speech during the protest, to negotiate with the police. The police, however, arrested them for no reason, beat them, and threw them into the police truck. Yali Wenda informed TAPOL that he and Alfares were held in the truck for about one and a half hours, where they were beaten in various parts of their bodies, kicked, trampled on, and electrocuted using electric stun batons. The police also reportedly stamped on Yali’s wounded foot. Alfares told local newspaper Tabloid Jubi there were about 10 police officers who beat them.
At Jayapura district police station, Yali and Alfares were put in a cell. They were ordered to take off their clothes which were by then covered with blood. They were given other clothes while those covered with blood were being washed. A doctor entered their cell to clean their wounds and to stitch up Yali Wenda’s ear. The stitching was performed without anaesthetic.
Following the torture, Alfares told TAPOL that he thought his ribs might be broken and that it was very painful for him to sit down.
At 7.30 p.m, the same day, lawyer Olga Hamadi of the Commission for the Disappeared and Victims of Violence (KontraS) and Pastor Dora Balubun visited Jayapura district police station and requested to meet with Alfares Kapisa and Yali Wenda. They were not given permission to see any of the arrested and tortured protesters. Another Papuan human rights lawyer, Gustaf Kawer, contacted the Chief of Jayapura District Police, Alfred Papare, requesting permission to meet the protesters but his request was also denied. At 9 a.m. the following day, 3 April 2014, lawyer Ivon Tetjuari demanded a meeting with the protesters. She was also refused permission.
On the same morning, between 8 to 11 a.m., Alfares and Yali were interrogated and asked to sign a falsified police investigation report. The report states that neither Alfares nor Yali was beaten and that both of them had attacked the police. Against their will, they were made to sign a statement, which implied that they would not hold demonstrations in the future.
They were released that afternoon and taken to Dian Harapan hospital for medical treatment. However, the hospital refused to provide them with a medical report unless they provided a letter from the police. Having been held captive and tortured, Alfares and Yali were reluctant to obtain such a letter from the Jayapura district police. The following day, lawyer Olga Hamadi of KontraS also made a request to the hospital for a medical report to no avail.
ADDITIONAL INFORMATION:
Freedom of expression is disproportionately restricted in West Papua. International journalists are forbidden by the Indonesian government to enter the region and demonstrations are often violently dispersed. A peaceful protest commemorating the International Day of Democracy last year, for instance, ended with the arrest of 71 protesters. Previously, in a peaceful protest on 1 May 2013 in Sorong, the Indonesian security forces shot two Papuan protesters to death and injured three others. The Indonesian government admitted the restriction on freedom of expression in West Papua during the UN Human Rights Committee’s session on Indonesia last year. However, the government insisted that they would continue to stop peaceful expressions of political views that aim to separate Papua from Indonesia by means of criminal charges.
Torture is commonly practiced by state officials in West Papua. The AHRC has earlier reported, for example, the torture of Nahor Stefanus Yalak in September 2013. He was beaten and kicked in various parts of his body by police and military officials.
Torture is yet to be criminalised in Indonesia, despite the country’s ratification of the UN Convention against Torture in May 1998. Perpetrators are not usually brought before criminal court. On the rare occasion when a perpetrator is tried, punishments imposed are typically lenient. In a recent torture case in West Sumatra, the judges granted probation to two prison guards who beat and electrocuted an inmate.
SUGGESTED ACTION:
Please write to the listed authorities below, asking them to ensure that the allegation of torture against Alfares Kapisa and Yali Wenda is investigated. The police officers responsible for the torture should be tried in a criminal court and punished with adequate sentence which reflect the abuses they have perpetrated.
The AHRC is writing separately to the UN Special Rapporteur on torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment, the UN Special Rapporteur on the right to freedom of opinion and expression, the UN Special Rapporteur on the rights to peaceful assembly and association, as well as the UN Working Group on Arbitrary Detention.
To support this appeal, please click here:  
SAMPLE LETTER:
Dear ___________,
INDONESIA: Peaceful protesters arrested & tortured by police in Papua
Name of victims: Alfares Kapisa, Yali Wenda
Names of alleged perpetrators: Unidentified officers attached to the Crowd Control Unit of Jayapura District Police
Date of incident: 2 April 2014
Place of incident: Jayapura, West Papua
I am writing to voice my concern regarding the arbitrary arrest and the torture of Alfares Kapisa and Yali Wenda, two university students participating in a peaceful protest at Cendrawasih University in Jayapura, West Papua.
According to credible information I have received, on the morning of 2 April 2014, students of Cendrawasih University gathered to hold a protest demanding the release of 76 Papuan political prisoners. They were about to march to Abepura to join other protesters, when their path was blocked by the police. Three trucks of Jayapura Crowd Control police, three trucks of the police Mobile Brigades, a water cannon, and a barracuda tank were deployed. The protesters refused the police order to disperse themselves. Instead, they sent Alfares Kapisa – the field coordinator of the protest – as well as Yali Wenda, who delivered a speech during the protest, to negotiate with the police. Instead of negotiating with the representatives, the police arrested and beat them.
Yali Wenda informed London-based human rights organisation TAPOL that he and Alfares were held in the truck for about one and a half hours, where they were beaten in various parts of their bodies, kicked, trampled on, and electrocuted using electric stun batons. The police also stamped on Yali’s wounded foot. Local newspaper Tabloid Jubi reported that, according to Alfares, there were about 10 police officers torturing him and Yali.
Both Alfares and Yali were later taken to Jayapura district police station where they were put in a cell and ordered to change their blood stained clothes. A doctor came to the cell to clean the wounds and to stitch Yali’s torn ear without using anaesthetic. Later in the evening, a lawyer of the Commission for the Disappeared and the Victims of Violence Papua (KontraS Papua), Olga Hamadi, as well as Pastor Dora Balubun, visited the police station and requested to see the students. Their request, however, was refused. Two other lawyers contacted the police, demanding to meet with Alfares and Yali but their efforts were equally unfruitful.
In the morning of 3 April 2014, Alfares and Yali were interrogated and forced to sign a falsified police investigation report. The report indicates that they had not been tortured and that they have attacked the police during the demonstration. Alfares and Yali were also made to sign a statement mentioning that they will not hold more demonstrations in the future. They were released in the afternoon of the same day and were taken to Dian Harapan hospital for medical treatment. The hospital, however, refused to provide Alfares and Yali with their medical reports. It required the tortured protesters to firstly obtain an official letter from the Jayapura district police, i.e. from those responsible for their detention and torture.
I note with concern that freedom of expression is unreasonably restricted in West Papua and that torture is commonly practised by state officials in the area. This case unfortunately reflects the severity of violations both to the rights to freedom from torture and to freedom of expression, which are guaranteed under the 1945 Constitution and the international human rights instruments ratified by Indonesia. Such instruments, including the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), oblige Indonesia to provide effective remedies to the victims of human rights violations, as stipulated in Article 2 (3) of the Covenant.
I am therefore calling on you to ensure that the allegations of torture of Alfares Kapisa and Yali Wenda are impartially and effectively investigated. The police officers responsible for the abuse should be tried in a criminal court and punished adequately. Other civil investigations should complement, and not substitute, such criminal proceedings. Medical treatment of both Alfares and Yali should also be covered at the expense of the state.
I look forward to receiving your swift and positive response in this matter.
Yours sincerely,

-----------------------------------------------
PLEASE SEND YOUR LETTERS TO:
1. Mr. Susilo Bambang Yudhoyono
President of the Republic of Indonesia
Jl. Veteran No. 16
Jakarta Pusat
INDONESIA
Tel: +62 21 3458 595
Fax: +62 21 3484 4759
E-mail: webmaster@setneg.go.id
2. Ms. Harkristuti Harkrisnowo
General Director of Human Rights
Ministry of Law and Human Rights
Jl. HR Rasuna Said Kav. 6–7
Kuningan, Jakarta 12940
INDONESIA
Tel: +62 21 525 3006, 525 3889
Fax: +62 21 525 3095
3. Gen. Sutarman
Chief of the Indonesian National Police
Jl. Trunojoyo No. 3
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110
INDONESIA
Tel: +62 21 384 8537, 726 0306
Fax: +62 21 7220 669
E-mail: info@polri.go.id
4. Mr. Tito Karnavian
Chief of Papua Regional Police
Jl. Samratulangi No. 8 Jayapura
INDONESIA
Tel: +62 967 531014
Fax: +62 967 533763
5. Mr. Djoko Suyanto
Chairperson of National Police Commission
Jl. Tirtayasa VII No. 20
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
INDONESIA
Tel: +62 21 739 2315
Fax: +62 21 739 2352
E-mail: secretariat@kompolnas.go.id, skm@kompolnas.go.id
6. Mr. Hafid Abbas
Chairperson of the National Human Rights Commission
Jl. Latuharhary No. 4-B
Jakarta 10310
INDONESIA
Tel: +62 21 392 5227-30
Fax: +62 21 392 5227
E-mail: info@komnas.go.id

Thank you.
Urgent Appeals Programme
Asian Human Rights Commission (ua@ahrc.asia)

ALASAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA MENOLAK PARTAINYA PRABOWO

Ini Alasan Gereja-gereja di Indonesia Menolak Partainya Prabowo

Helena Tan
Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pdt. Andreas Yewangoe (Jaringnews/Ralian Manurung)
Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pdt. Andreas Yewangoe (Jaringnews/Ralian Manurung)
"Kami menilai bukan domain negara menilai kemurnian ajaran agama. Itu domain masyarakat karena negara tidak berteologia, " kata Ketua Umum PGI, A.A. Yewangoe.
JAKARTA, Jaringnews.com - Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), A.A. Yewangoe, mengatakan gereja-gereja di Indonesia tidak pernah menolak atau mendukung capres tertentu, termasuk Prabowo Subianto, sebagaimana yang banyak diberitakan. Namun, ia dengan tegas membenarkan bahwa PGI menolak manifesto perjuangan Partai Gerindra, partai yang mengusung Prabowo sebagai capres.

"PGI tidak pernah menolak atau mendukung capres. Tetapi yang kami tolak adalah manifesto Partai Gerindra yang menyatakan negara  menjamin kemurnian ajaran agama. Kami menilai bukan domain negara menilai kemurnian ajaran agama. Itu domain masyarakat karena negara tidak berteologia, " kata Yewangoe, ketika berbicara pada seminar bertema Partisipasi Umat Kristen dalam Pemberantasan Korupsi, yang diselenggarakan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Nehemia, Pondok Indah, Jakarta, hari ini (17/5). Turut tampil sebagai pembicara pada kesempatan itu Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad, Gubernur Kalimantan Tengah yang juga politisi PDI Perjuangan, Teras Narang dan Ketua Sinode GKJ, Pendeta Andreas Untung.

Dalam Manifesto-nya, partai besutan Prabowo Subianto itu mencantumkan satu paragraf yang telah memunculkan kontroversi ramai. Bunyinya sebagai berikut:
Setiap orang berhak atas kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama/kepercayaan. Namun, pemerintah/negara wajib mengatur kebebasan di dalam menjalankan agama atau kepercayaan. Negara juga dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama.

Menurut Yewangoe, yang memimpin organisasi beranggotakan 94 gereja yang tersebar dari Aceh hingga Papua itu sejak tahun 2004, Pemerintah selama ini justru terlalu jauh masuk ke dalam kehidupan beragama. Ia mengambil contoh ucapan Menteri Agama, Suryadharma Ali, yang mengatakan bahwa ia akan membuat penganut Syiah dan Ahmadiyah bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Menurut Yewangoe, Menteri Agama keliru dalam hal itu karena negara tidak mempunyai wewenang dan kompetensi untuk membuat seseorang bertobat. "Dan hal itu sudah saya katakan kepadanya ketika kami bertemu di Sidang Raya PGI," kata dia.

Yewangoe juga mengingatkan bahwa persoalan berbangsa di Tanah Air dewasa ini bukan soal Islam berhadapan dengan Non-Islam atau Islam dengan Kristen. Munculnya kasus-kasus intoleransi beragama, seperti tidak diizinkannya umat GKI Yasmin beribadah, diusirnya penganut Syiah dan Ahmadiyah, kata Yewangoe, bukan karena adanya ketegangan penganut agama yang berbeda. Penyebabnya adalah karena bangsa ini sedang 'sakit.'

"Bangsa ini sedang sakit. Sebab, dulu tidak ada permusuhan Islam dan NonIslam. Kita pernah bisa hidup rukun. Kenapa sekarang tidak bisa? Karena bangsa ini sedang sakit. Dan semestinya itulah yang harus ditangani oleh negara, dicari penyebabnya kenapa bangsa ini sakit," tutur Yewangoe.

(Hal / Ben)

Jumat, 16 Mei 2014

PEMERINTAH KABUPATEN MERAUKE MELALUI APARAT KEAMANAN SALAH MENUDUH SEORANG AKTIVIS GEREJA KATOLIK MERAUKE


KASUS PENANGKAPAN DAN TUDUHAN

KRONOLOGIS
Saya di cekal keberangkatan saya ke Jayapura oleh pihak kepolisian polres merauke yang di pimpin oleh 2 tim, yaitu pihak reskrim dan pihak intel Polres Merauke di bandar udara mopah merauke. Berdasarkan laporan polisi yang bernomor: LP/56/II/2014/PAPUA/RES Merauke tertanggal05 Februari 2014. Atas nama Romanus Mbaraka (bupati merauke saat ini) dan kepala suku kei (john rumlus). Dengan surat perintah penyidikan bernomor: LP/-SIDIK/56/II/2014/RESKRIM tertanggal 05 februari 2014.
Dengan isi surat perintah: penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan seluruh dokumen elektronika yang memiliki muatan penghinaan/pencemaran nama baik.
Saya di curigai/dituduh sebagai pemilik/pengelola web blog nameknamuk.wordpress.com dan web blog oapsnetwork.wordpress.com. Saya merasa ini sdh sebuah bentuk KONSPIRASI yang semena-mena oleh penguasa daerah di Tanah Anim-Ha, kabupaten Merauke. Serta menjadi sebuah bentuk pembunuhan kharakter serta sebuah pembatasan hak asasi manusia (HAM) sekaligus pemuda dibatasi kreatifitasnya dan saya secara pribadi mengalami diskriminasi. Sebab sampai dengan saat ini dalam hal laporan polisi yang dilaporkan oleh Romanus Mbaraka dan kepala suku kei (john rumlus), belum ada satu orang pun yang di jadikan tersangka oleh Polres Merauke.
Saya sudah meminta bahkan memihon kepada kasat Reskrim agar saya di ijinkan tuk berangkat, dan esok setelah saya balik dari Jayapura baru saya akan datang ke kantor Polres Merauke untuk memberikan keterangan. Namun Kasat Reskrim Polres Merauke mengatakan kepada saya bahwa mereka memiliki waktu 1x24 jam untuk memeriksa dan menahan saya, sungguh sebuah bentuk diskriminasi yang sangat luar biasa bagi saya. Sebab sampai saat ini Polres Merauke belum menetapkan siapa tersangkanya dalam TIMDAK PIDANA PELANGGARAN UNDANG-UMDANG IT. Notebook, handphone, serta flesdick saya pun disita oleh mereka saat saya hendak berangkat dan berada di bandar udara mopah merauke.
Beberapa bulan yang lalu sekitar bulan januari-februari 2014, saya pernah di telepone oleh Matheus Liem Gebze salah satu wakil ketua II DPRD kab merauke periode 2009-2014 . Agar saya mau mengakui bahwa sayalah pemilik dari aikun web blog nameknamuk dan oapsnetwork tersebut. Saya merasa semua hal yang saya alami ini adalah sebuah perlakuan yang semena-mena oleh aparat Kepolisian yang berdasarkan perintah dari Penguasa Kabupaten Merauke yaitu Bupati Merauke, Romanus Mbaraka. Terkait web blog nameknamuknetwork.wordpress.com dan oapsnetwork.wordpress.com. Saya pernah di paksa serta di ancam untuk jujur, oleh Matheis Liem Gebze agar saya jangan ditangkap oleh tim Pelacak dari Mabes Polri yang di datangkan oleh Bupati Merauke. Tetapi saya mengatakan kepada Matheus Liem Gebze bahwa saya hanya takut sama Tuhan Allah jadi tidak perlu menakuti dan mengancam saya, sebab web blog nameknamuk dan web blog oapsnetwork itu adalah jaringan dunia maya dan saya bukan pemilik web blok tersebut, dan saya tidak pernah menjadi pengelola dan pembuat berita di aikun web blog tersebut. Jadu tidak bisa memaksa saya untuk mengakui sesuatu yang tidak pernah saya lakukan.
Setelah saya berbicara seperti itu, Matheus Liem Gebze,SH mulai mengalihkan komentar/pembicaraan agar saya bisa menjadi fasilitator untuk memfasilitasi Romanus Mbaraka (BUPATI MERAUKE), Leonardus Mahuze (KETUA DPRD KAB MERAUKE, dan Matheus Liem Gebze (WAKIL KETUA II DPRD KAB MERAUKE), agar mereka dapat di fasilitasi oleh saya guna bertemu dengan mantan Bupati Merauke Drs. Johanes Gluba Gebze di Jayapura. Setelah itu saya mengatakan kepada Matheus Liem Gebze bahwa "maaf saya tidak memiliki kapasitas untuk mempertemukan Romanus Mbaraka, Leonardus Mahuze dan Matheus Liem Gebze untuk bertemu dengan bapak Drs. Johanes Gluba Gebze di Jayapura. Sampai dengan saat web blog tersebut di polisikan oleh Romanus Mbaraka (Bupati Merauke) dan Ketua Suku Kei (John Rumlus), saya masih di teror oleh Matheus Liem Gebze karena saya menolak untuk menjadi fasilitator untuk mereka agar bisa bertemu dengan bapak Drs. Johanes Gluba Gebze, mantan Bupati Merauke di Jayapura.
Matheus Liem Gebze selalu meneror saya dengan mengatakan bahwa Tim Pelacak dari Mabes Polri sudah di datangkan ke Merauke atas permintaan Bupati Merauke Romanus Mbaraka. Untuk melacak siapa pemilik dari web blog nameknamuk dan oapsnetwork.wordpress.com tersebut. Apa bila telah di ketahui maka akan langsung di tangkap oleh tim pelacak dari Mabes Polri, jadi adik lebih baik ko mengaku saja sudah, kasihan kan kalau dorang lacak baru ko dapat tangkap. Pembicaraan ini selalu di lakukan oleh Matheus Liem Gebze melalui telepone seluler. Matheus Liem Gebze mengatakan bahwa dia beliau tahu saya yang selalu menaikan berita internet, sebab Matheus Liem Gebze sangat tahu dan kenal dengan tulisan saya. Saya sampaikan kepada Matheus Liem Gebze bahwa "saya tidak pernah menaikan berita di internet dan saya bukan pemilik dari aikun web blog nameknamuk dan oapsnetwork yang di tuduhkan kepada saya.

Saya juga pernah mengatakan kepada Matheus Liem Gebze bahwa apabila saya tidak terbukti sebagai pemilik dan pembuat berita serta menjadi pengelola dari aikun web blog yang dituduhkan kepada saya tersebut kira-kira apa yang kakak mo kasih sama saya sebab sudah menuduh saya sebagai pemilik, pengelola dan pengguna aikun web blog tersebut dan ini sudah masuk dalam kategori perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik.
Akhirnya sampai dengan tanggal 24 april 2014, menjadi puncak dimana saya harus di cekal/di batalkan keberangkatan saya ke Jayapura dan saya harus di cekal di Bandar Udara Mopah Merauke, sewaktu hendak menhadiri : 1. Sidang putusan dari terdakwa Drs. Johanes Gluba Gebze, dalam kasus dugaan korupsi soevenir kulit buaya. 2. Menghadiri undangan seminar dari jaringan damai papua (JDP), yang di selengharakan di aula STFT Fajar Timur padang bulan Jayapura. Akhirnya dengan sangat menyesal dan kecewa terhadap perlakuan pihak kepolisian yang semena-mena terhadap saya, sebab tiket saya langsung di ambil dan di batalkan keberangkatan saya, padahal saya sudah cek in lebih dulu dan akhirnya saya di cekal keberangkatan saya ke Jayapura. Dan sampai dengan hari ini tiket saya pun tidak diganti dan saya menhalami kerugian baik sevara financial, phigis, serta sikologis saya sedikit terganggu, terkait persoalan dan perlakuan yang saya alami tersebut.
Perlu di ketahui bahwa hingga saat ini belum ada satu orang pun yang di tetapkan sebagai tersangka, dan pihak Kepolisian harus merampas tiket lalu mencekal, menangkap, menahan, dan menyita seluruh barang-barang elektronik yang saya miliki (notebook, flasdisck serta handphone ), seluruh perlakuan tersebut di lakukan oleh Polres Merauke dari tim Kasat Reskrim dan Kasat intel di Bandar Udara Mopah Merauke tepatnya di halaman parkiran motor dan ketika saya hendak menuju ke pintu ruang keberangkatan ketika hendak berangkat ke Jayapura.
Selama ini saya tidak pernah di berikan surat panggilan terkait dengan laporan Pelanggaran undang-undang IT yang di laporkan olehRomanus Mbaraka dan Ketua Suku Kei (John Rumlis), namun tiba-tiba $aya langsung dihadang oleh pihak Kepolisian dari Kasat Reskrim dan Kasat intel dan membatalkan keberangkatan saya di Bandar Udara Mopah Merauke dan di hadspan umum.
Yang saya sesalkan mengapa kegiatan penangkapan, penahanan, penggeledahan, serta penyitaan barang-barang elektronik yang saya miliki. Serta menga harus di tanggal 24 april 2014? Yang mana bertepatan dengan acara sidang putusan kasus dugaan korupsi soevenir kulit buaya dengan terdakwa bapak Drs. Johanes Gluba Gebze, yang di gelar di pengadilan Tipikor kelas 1A Jayapura, dan mengapa harus menunggu momentum keberangkatan saya ke Jayapura baru saya di tahan di bandar udara mopah merauke. Sebab selama ini setiap saat saya selalu berada di kabupaten merauke, dan Kasat Reskrim Iptu Agus Supriadi Siswanto selalu mengatakan bahwa mereka memiliki waktu 1x24 jam untuk memeriksa dan menahan saya. Yang menjadi pertanyaan saya adalah mengapa tidak di hari-hari sebelumnya,? Mengapa harus di hari kamis tanggal 24 april 2014.
Perlakuan ini seolah-olah saya adalah sebagai TERSANGKA, BURONAN, DPO, DAN TERORIS . Perlu saya tegaskan bahwa saya bukan BURONAN, BUKAN TERORIS, BUKAN DPO, BAHKAN SAYA BUKAN JUGA TERSANGKA. mereka melakukan semua hal itu semena-mena, sebab hingga saat ini saya tidakbpernah di kirimi surat oleh kepolisian terkait kasus pelanggaran undang-undang IT dengan perkara penghinaan/pencemaran nama baik melalui media elektronik jejaring sosial. Maka pertanyaannya adalah berdasarkan PERINTAH dan TEKANAN DARI SIAPA hingga saya harus di perlakukan semena-mena seperti itu.
Setelah mereka melakukan pencekalan, penangkapan, penahanan, dan penyitaan seluruh alat elektronika yang saya miliki, saya langsung di giring ke polres merauke untuk di lakulan penyidikan terhadap saya. Anehnya setelah saya berada di ruangan penyidik Reskrim saya harus menunggu sekitar kurang lebih tiga jam sebelum di perilsa, saat saya hendak di periksa Kasat Reskrim menyampaikan kepada saya bahwa "saya akan di periksa sebagai saksi" dan hal ini semakin membuat saya geram dan tidak mengerti dengan pola penanganan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian, padahal sekilas saya melihat surat sprinkapnya itu tertulis dengan jelas bahwa " penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan barang-barang elektronik" berarti saya kan sudah menjadi tersangka..??? Tapi hingga saat ini saya bukan tersangka dan saat saya di periksa status saya adalah saksi yangana hingga kini belum ada satu orang pun yang di tetapkan menjadi tersangka. Bagi saya hal ini sudah menjadi perbuatan pelanggaran HAM. Bagaimana saya harus di perilsa sebagai saksi sedangkan "tersangka pelanggaran umdang-undang IT dalam kasus penghinaan dan pencemaran nama baik yang di laporkan oleh Bupati Merauke Romanus Mbaraka saja belum di tetapkan" tetapi saya tetap di periksa sebagai saksi oleh pihak penyidik dari Reskrim Polres Merauke.




KETERANGAN LEBIH LANJUT
Saya di periksa sebagai saksi dan di periksa dengan kurang lebih 29 pertanyaan yang di ajukan terhadap saya terkait kasus "INFORMASI ELEKTRONIK/DOKUMEN ELEKTRONIK YANG MEMILIKI MUATAN PENGHINAAN/PENCEMARAN NAMA BAIK TERHADAP ROMANUS MBARAKA (BUPATI MERAUKE SAAT INI) DAN JOHN RUMLUS (KETUA SUKU KEI MERAUKE).
Pertanyaan yang di ajukan kepada sayadi antaranya adalah sebagai berikut: 1. Apa saudara mengetahui dalam hal apa saudari di periksa,? 2. Apakah saudari kenal dengan website nameknamuk? 3. Apakah saudari kenal dengan pengungah berita penghinaan tersebut? 4. Apakah saudari kenal dengan Romanus Mbaraka? 5. Apakah saudari kenal dengan kepala suku kei John Rumlus? 6. Apakah saudari memiliki aikun facebook? 7. Apa nama aikun facebooke saudari? 8. Apakah saudari pernah memiliki alamat email? 9. Apa nama paswordnya? 10. Apakah saudari tahu tentang situs nameknamu/oapsnetwork? 11. Apakah situs nameknamuk masih ada atau tidak? Dan sekarang yang ada namnya apa? 12. Pernah buka danasuk di aikun OAPSnetwork/nameknamek? 13. Biasa saudari membuka facebook mengunakan apa? Internet/ email/ hp? 14. Serta sejak kapan aikun facebook saudari berteman dengan web nameknamuk/OAPSnetwork? 15. Berita yang biasa dimuat apa saja di situs tersebut? 16. Niasa saudari mengunjungi web tersebut dalam rangka apa? 17. Berita apa saja yang ada di situs web tersebut dan apakah pernah membaca berita penghinaan terhadap Romanus Mbaraka, Bupati Merauke saat ini di web nameknamuk/OAPSnetwork? 18. Masih ingat judul tentang berita penghinaan di situs OAPSnetwork? 19. Apakah saudari kenal dengan pengunggah berita di web nameknamuk/OAPSnetwork, hapman/operatornya siapa/pemilik situs tersebut siapa? 20. Dari mana saudari mendapat alamat aikun OAPSnetwork? 21. Aikun OAPSnetwork biasa memuat berita tentang apa saja? 22. Bisa jelaskan terkait penyebaran teror oleh Matheus Liem Gebze? 23. Siapa penulis berita teror di web OAPSnetwork? 24. Apakah sebelumnya saudari pernah di wawancarai oleh orang lain sehingga berita tersebut bisa di muat di situs web tersebut? 25. Apakah saudari tahu siapa pemilik aikun OAPSnetwork? 26. Apakah setelah membuka dan mengunjungi web tersebut saudari pernah mengcopy, mencetak dan menyimpan berita yang di muat di web OAPSnetwork? 27. Apakah situs OAPSnetwork dapat di kunjungi oleh semua orang? 28. Masih ada keterangan lain yang ingin di sampaikan? 29. Apakah pertanyaan dan jawaban di dalam BAP ini sudah benar dan apakah saudari merasa di paksa saat di periksa oleh penyidik. (Bapak Joko Prayitno dan bapak Lukman Hakim,S.Hi?
Ini adalah sedikit cerita singkat terkaitvBAP yang di buat terhadap saya oleh polres merauke.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah kekuasaan telah sangat hebat hingga tindakan perlakuan yang semena-mena wajib di lakukan terhadap saya? Jika hal tersebut di anggap legal maka para memerhati kemanusiaan, aktivis, dan para pembela masyarakat kecil harus berhati-hati. Sebab akan di perlakukan semena-mena oleh PENGUASA dengan menggunakan KEKUATAN APARAT PENEGAK HUKUM. Saya sebagai salah satu aktivis perempuan dari organisasi PEMUDA KATOLIK KOMISARIAT CABANG MERAUKE, merasa sangat prihatin dengan hal tersebut, sebab saya merasa ini adalah sebuah bentuk perlakuan yang semena-mena, dan ada sebuah Konpirasi di kabupaten Mrrauke. Maka siapapunyang berani mengkritisi Pemerintahan saat uni maka akan berurusan dengan Polisi alias di tangkap.
Demikian keterangan ini saya sampaikan,

Hormat dan salam,