Senin, 20 Januari 2014

MENYIKAPI SIKAP APATIS PEMIMPIN PEMERINTAH INDONESIA DAN GEREJA DI TANAH PAPUA



MENYIKAPI SIKAP APATIS PEMIMPIN
PEMERINTAH INDONESIA DAN GEREJA DI TANAH PAPUA
(Sebuah Refleksi Atas Kepedihan dan Tangisan Umat Allah di Tanah Papua)

Oleh: Wakiya dan Tim Peduli Para Pemimpin Pemerintah dan Gereja di Tanah Papua

PENGANTAR
Saya orang asli Papua amat sedih melihat dan mendengar berbagai persoalan kekerasan dan konflik, ketiadaan ruang demokrasi dan kebebasan, penangkapan, pemukukan, pemenjarahaan, pemerkosaan gadis-gadis Papua dan budaya/tradisi, kerusakan lingkungan dan hutan milik orang Papua, dan penembakan pada orang asli Papua yang semakin kejam dari kalangan aparat keamananan dan pemerintah Indonesia di tanah Papua. Apalagi penderitaan batin yang dialaminya secara dahsyat tetapi kawan-kawan manusia yang sangat saleh justru menasehati: Hendaknya Gereja memusatkan diri pada tugas rohaninya, dan tidak memasuki gelanggang politik. Hendaknya orang Papua (OPM, Lembaga LSM, dan Aktivis Kemanusiaan di Papua) tidak bertindak sebagai pimpinan gerakan politik, tetapi bertindak sebagai pemimpin jiwa-jiwa dan pemimpin untuk keselamatan manusia “Jiwa-jiwa dan Raga-raga manusia yang ada di tanah Papua”.

SEBUAH REFLEKSI MENGAWALI SERUAN
Di sini sebenarnya saya tidak pernah berniat untuk menghiasi teori politik dengan ayat-ayat Kitab Suci. Tetapi setiap kita dipanggil menjadi nabi di Negara ini karena mendengar cinta kasih Allah. Saya tidak bermaksud menjadikan agama sebagai alat mencapai keberhasilan dalam bidang politik. Pula tidak bermaksud untuk mendirikan Partai berbau agama tertentu dibidang politik. Melainkan saya hendak menemukan Allah yang hendak mendengarkan seruan umat-Nya, Allah yang menghendaki manusia untuk dapat hidup layak sebagai anak-anak-Nya. Allah yang kita imani bukanlah Allah yang mati. Ia adalah Allah yang hidup, turut menanggung sengsara orang-orang yang tersiksa dan yang mengalami sakratulmaut, yang mempunyai rasa perasaan yang sama dengan kita, yang aktif bertindak dan senantiasa memimpin sejarah. Jadi pesan yang kusampaikan adalah pesan dari Injil, yang berisi bahwa Allah dekat dengan manusia dan dosa dihakimi-Nya. Saya sungguh memahami apa yang menjadi konsekwensi dari usaha mewujudkan Kerajaan Allah. Saya menyadari bahwa ada dosa-dosa di bidang sosial dan politik.
Akar keberdosaan masyarakat adalah hati setiap individu. Saya yakin bahwa dosa-dosa pribadi sudah dilebur menjadi satu sistem dosa sosial yang semakin memburuk dan harus dilawan karena terus menerus melahirkan perbuatan kekerasan baru.
Aku adalah orang asli Papua yang memang berada di negeriku bukan berada di Flores, Manggarai, Jawa, Sulawesi, atau di Maluku. Aku selalu bersama masyarakat asli Papua yang sedang menderita di negerinya. Aku ingin hidup bersama para korban kekerasan dan konflik bahkan ingin hidup bersama komunitas alamku dan komunitas orang-orang mati di negeriku sendiri. Pada akhirnya aku adalah pemimpin masyarakat atau gembala umat yang bersama-sama hendak mempelajari suatu kebenaran yang mulia dan sukar. Iman Kristiani menuntut agar kita melayani dunia bukan sebatas rohani. Gereja yang diimpikan oleh Orang Asli Papua adalah bukanlah Gereja yang bertakhta di atas langit, lepas dari konflik dan kekusutan dunia. Melainkan Gereja yang adalah Uskup, Pastor, dan semua pihak mestinya berdiri di tengah-tengah pertempuran dan perubahan ragi sebagai ragi masyarakat. Saya merasakan tuntutan sejarah penderitaan umatnya, seolah-olah Allah menyapa orang Papua dengan suara insani.
Janganlah kalian takut berpolitik, demikianlah kata burung cenderawasih untuk menghibur masyarakat Papua yang menderita di negerinya sendiri. Masyarakat Papua adalah umat beriman diharapkan tetap ingat akan Bunda Yesus yang dalam kidung Magnificat sungguh menyadari dimensi politik dari iman. “Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah” (bdk Luk 1:52). Para raja akan diturunkan-Nya dari Takhta apabila raktay tidak lagi hidup dengan aman. Meskipun demikian, umat Kristen tidak dipanggil untuk ikut-ikutan masuk dalam suatu partai atau ideology. Mereka harus menghayati imannya selaku orang yang kreatif dan berani. Hanya Kristuslah yang mempunyai kebenaran lengkap. Setiap orang Kristen harus menghormati pendapat dan tujuan politik orang lain sebab semua orang adalah anak-anak Allah dan mungkin dia lebih pandai. Pada umumnya orang Papua tidak suka bahwa kelompok Kristen identik menjadikan suatu lembaga kantor tenaga kerja atau suatu partai politik tertentu untuk menguasai kelompok minoritas di negeri Papua.


PIMPINAN GEREJA DI TANAH PAPUA: Cuek dengan Penderitaan Umatnya
Keinginan terdalam bagi orang asli Papua berkaitan dengan sasaran strategi dan perjuangan politik akan hendak terbebasnya dari penindasan pemerintah Indonesia di Papua adalah suatu keharusan yang mesti diperjuangkan pucuk pimpinan Gereja sebagai gembalanya tetapi mungkin ada berbagai pendapat yang berbeda-beda namun apa yang dikehendaki Orang Asli Papua ini adalah suatu pilihan tegas:  Pimpinan Gereja di tanah Papua (Lima Uskup di Tanah Papua, Para Pastor, Suster, dan Para hamba Tuhan lain: Pendeta di tanah Papua) Mau melayani masyarakat orang asli Papua atau ikut berdosa atas kematian rakyat orang asli Papua. Jadi kuncinya adalah Mau menyelamatkan umat Allah di tanah Papua atau ikut berdosa atas berbagai korban kematian di negeri Papua. Pada saat doa pagi, siang, dan malam, mengungkapkan kita membelah kaum lemah dan miskin tetapi kenyataannya di tanah Papua tidak terlaksana ketika umatmu ditangkap, dipenjarakan, diperkosa oleh aparat keamanan Indonesia, ketika terjadinya kerusakan lingkungan dan hutan di Papua malah menjilat dari perusahan baik berskala Nasional maupun Internasional, ketika umatnya kena limbah tailling PT Freeport Indonesia dan masyarakat mengungsi sehingga tidur digubug-gubug di sekitar kota dan perusahan sawit membabat ribuan hektar di jalan trans Deiyai dan Paniai di Timika, ketika hutannya dirubah menjadi sawit di Keerom, Sawit Tajalereh Sentani, Sawit Nabire, Manokwari, Sorong dan MIFEE di Merauke dan masalah kepincangan pendidikan dan masalah kesehatan semakin meningkat pun selalu Para lima Uskup Papua dan Para Pendeta hamba Tuhan terdiam dan mencari kenyamanan diri.

PASTOR-PASTOR FLORES DAN MANGGARAI: Pastor Gadungan di STFT-Fajar Timur
Apalagi para pastor gadungan asal “Flores dan Manggarai” yang berkarya di STFT-Fajar Timur Abepura Papua “bermata duitan”, “menjadikan STFT sebagai tempat kantor tenaga kerja untuk Flores dan Manggarai”, dan “menjadikan lembaga Yayasan tempat untuk mengkaderkan tenaga pengajar orang-orang asal Flores dan Menggarai” padahal lembaga STFT ada di tanah Papua bahkan penelitian Mahasiswa STFT tingkat III memperlihatkan terbanyak Mahasiswa adalah Flores dan Manggarai di STFT [1]. Begitupun dalam seminar pada 3 Oktober 2013 di Aula STFT-Fajar Timur, Abepura memperlihatkan bahwa “kampus STFT mendominasi orang Flores dan Manggarai” bahkan dosen-dosen pun mendominasi Non Papua. Jadi kesimpulan sementara adalah “STFT FAJAR TIMUR MACAM ADA DI FLORES DAN MANGGARAIKAH”? Kalau memang demikian, STFT kini ada di manakah? STFT untuk apa? Mengapa ada STFT di tanah Papua? Kemudian STFT hendak ke mana? Justru karena Non Papua lebih banyak di lembaga ini dan pola perkuliahannya katanya meminahbobohkan para calon pemimpin di negeri Papua sehingga cuek dan malas tahu dengan berbagai persoalan kekerasan dan konflik di negeri Papua. Di sini semua pihak tidak mendengar Yesus dari Nazareth yang miskin bertanya: “Kenalkah engkau akan aku dalam diri saudara-saudaraku? Dapatkah engkau beribadat dengan tenang dan meriah, tatkala aku di salibkan? Engkau adalah pemimpin, gembala, pengikut Kristus dan engkau harus wartakan apa yang menjadi pesan-Ku. Engkau akan disalibkan seperti Aku juga…….”.
Ketika banyak kemerosotan akan kemanusiaan di negeri Papua diserukan untuk pentingnya sebuah teologi pembebasannya. Umat mengharapkan banyak dosen-dosen STFT yang pernah kuliah di Eropa untuk membuat terobosan berkaitan dengan teologi pembebasan di Tanah Papua tetapi kembalinya dari Eropa “menjadi manusia lintah dan menguras, memeras derma dan intensi derma kami di tanah Papua”. Ketika terjadi penganiayaan, pemukulan, penangkapan, ruang kebebasan dan demokrasi kami dibatasi, bahkan nyawa umat manusia di Papua dibantai satu per satu di negerinya sendiri, para pastor mengambil sikap diam dan menggurung diri. Semuanya terjadi di tanah air kami dengan menciptakan sistem pemiskinan rakyat dan memang terjadi kemiskinan di dua Propinsi Indonesia Timur yakni Propinsi Papua dan Papua Barat menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Papua pada 2010. Jadi pemiskinan rakyat di tanah Papua menjadi pemiskinan Tubuh Kristus yang gaib dalam sejarah modern. “Orang asli Papua bersama Yesus disalibkan dan dikejar-kejar sebagai Hamba Allah. Penderitaan Orang Asli Papua itu melengkapi apa yang masih kurang dalam sengsara Kristus”.
Gereja Papua diminabobohkan oleh “Pastor-Pastor Flores dan Manggarai”. Mereka inilah meniadakan eksistensi gereja di Papua. Ada banyak keluhan dan penderitaan umat di tanah Papua tetapi cuek dan malas tahu dengan penderitaan umat di tanah Papua. Padahal tugas dan fungsi utama Gereja adalah memihak kepada kaum lemah dan miskin. Gereja harus menjelma dalam dunia yang berwajah hina, dan menjadi tanda bagi “Kristus yang menderita”. Orang asli Papua memang menderita dan tidak ada pemimpin yang menyuarakan sebagai suara kenabian bagi kaum miskin dan lemah. Kaum miskin dan lemah bagiku adalah bukanlah golongan masyarakat yang asing. Mereka berwajah, bernama, berkeluarga, dan menderita luka. Situasi mereka inilah yang membuat kotbahnya lebih konkret. Kami orang Papua tidak suka hanya berkeluh kesah tentang kejahatan secara umum oleh kelompok para Pastor bahkan segala penderitaan kami disembunyikan dalam kegiatan rohani yang sifatnya sakramental dan bersenang-senang di Biara-biara baik biara Fransiskan (OFM: gagal di tanah Papua) maupun Agustian atau biara lainnya yang berkarya di tanah Papua, dan menyesalkan tidak adilnya struktur-struktur masyarakat yang sengaja diciptakan oleh penguasa Indonesia di Papua. Makin lama makin jelas analisanya. Yang mendasari kesengsaraan ini adalah oligarki (kelompok pemeras rakyat kecil) atau kelompok Pastor-Pastor biarawan/ti: “satu kelompok kecil yang tidak peduli akan rakyat orang asli Papua yang lapar dan tangis. Mereka mau mengisi darah keringat orang asli Papua ke dompetnya sendiri dengan cara menindas rakyat bersama pemerintah Indonesia melalui aparat keamanan pun ikut serta dalam penindasan orang asli Papua”.

PEMERINTAH INDONESIA DI PAPUA: Menumpas dan Memeras Rakyat Orang Asli Papua
Kami orang asli Papua mencela pendewaan uang dan penyalahgunaan wewenang oleh para hakim, yang mendiamkan para penguasa melanggar undang-undang, dan yang tidak menghakimi para pembela keamanan yang melakukan pembunuhan. Kami menghimbau agar kaum minoritas kecil, yakni para tuan tanah yang tergabung dalam suatu sistem mafia, untuk bertobat dan menyetujui diadakannya perubahan yang perlu. “Lebih baik kalian melepaskan cincin jarimu darpada seluruh tanganmu dipotong oleh orang lain”.
Orang Asli Papua menyatakan bahwa kaum kapitalis bertanggungjawab atas jeritan dan tangisan atas kerusakan hutan dan lingkungan milik orang Papua. Pohon dan berbagai ekosistem bahkan komunitas-komunitas hidup serta alam mereka ikut dihancurkan. Para kapitalis sedang menghancurkan tatanan hidup alam melalui kehadiran berbagai perusahan nasional maupun asing di pulau cenderawasih ini. Untuk meniadakan berbagai perusahan yang dihadirkan oleh pemerintah Indonesia, masyarakat setempat tidak mampu mengatasinya karena di beck up oleh aparat keamanan di berbagai perusahan tersebut. Pemerintah oligarki takut kehilangan wewenang mutlaknya atas penanaman modal dan ekspor hasil pertambangan dan segala kekayaan alam dan monopoli atas tanah adat oleh pihak keamanan Indonesia di Papua. Pemerintah oligarki berusaha mempertahankan kekuasaannya tidak dengan mencari dukungan dari rakyat dan dengan argumentasi rasional, melainkan dengan uang dan senjata untuk menumpas, memeras, dan menindas rakyat orang asli Papua. Dengan demikian pemerintah Indonesia justru menghalangi perjuangan demi terwujudnya kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di tanah Papua.
Orang Asli Papua mencela organisasi-organisasi kerakyatan (barisan merah-putih (BMP), lembaga masyarakat adat (LMA), LMR RI, dan milisi-milisi lain yang bersikap fanatik, balas dendam, dan melawan perikemanusiaan. Orang asli Papua mengagumi keterlibatan dan pembelaan atas kebenaran yang dipertahankan oleh Organisasi Papua Merdeka, organisasi kemasyarakat yang memperjuangkan nasib rakyat, nasib jeritan dan tangisan, dan dengan simpatik dan mereka bukan sebagai golongan kiri, melainkan sebagai people power, kekuatan rakyat di tanah Papua. Banyak teriakan, banyak pekik yang meluap, tetapi paham komunisme tidak memikirkan perencanaan pembangunan keadilan dan kedamaian di negeri Papua. Indonesia kini sedang menghayati paham komunisme dengan menekankan utilitarisme di Papua. Justru karena nilai utilitarisme, banyak rakyat orang asli Papua dikorbankan untuk memperoleh berbagai sumber kekayaan alam yang ada di negeri cenderawasih ini. Negara menekankan dengan kekuatan senjata terhadap kaum lemah dan kecil di tanah Papua sehingga rakyat Papua tidak berdaya dan tidak mampu mengatasi kekuatan senjata dan ujung-ujungnya kehidupannya pun berada pada posisi ancaman. Dalam suasana itu, sikap masyarakat Papua mengalami luka batin dan kambuh trauma masa lalu yang pernah dialami sejak berlakunya daerah operasi militer di seluruh tanah Papua pada tahun 1971-1995. Lebih ingin membangun daripada pidato dengan penuh emosi. Saya mengajak untuk belajar berdialog dan kembali membangun komunitas tetap dipertahankan sesuai budaya masing-masing di setiap tujuh wilayah adat di tanah Papua dan tidak dihasut untuk menggunakan kekerasan. Saya berpikir Kerajaan Allah tidak dapat dipaksakan dengan kekerasan dan konflik, penangkapan dan pemenjarahan, pengurasan sumber daya alam, pengeboman, penculikan, dan pembunuhan. Saya berpendapat bahwa dengan taktik kaum revolusioner ini hak-hak asasi manusia sungguh tidak dapat diperjuangkan karena diperhadapkan dengan moncong senjata aparat keamanan Indonesia di Papua.



AJAKAN UNTUK ORANG ASLI PAPUA
Taktik yang dipakai oleh pemerintah Indonesia melalui aparat keamanan sama dengan taktik yang dipakai kaum kapitalis, yakni golongan minoritas (kaum kapitalis) akan menguasai dan menindas rakyat. Sebaliknya seluruh rakyat harus berusaha berkembang dan melaksanakan kebebasannya sendiri. Rakyat orang asli Papua sendirilah harus menciptakan masyarakatmu sendiri. Rakyat diharapkan harus berpikir sendiri, dan tidak ikut-ikutan dengan cara-cara yang egois dari beberapa pemimpin kaum penguasa yang mau mengambil alih kekuasaan.
Saya orang asli Papua sadar akan kebenaran yang indah dan keras. Iman Kristiani tidak memisahkan kita dari dunia, tetapi menghendaki kita hidup di dalam dunia. Gereja merupakan bagian dari masyarakat dan tidak dapat memisahkan diri dari masyarakat. Gereja mengikuti Yesus yang hidup, yang bekerja, yang berjuang dan mati di tengah masyarakat. Dunia yang harus dilayani oleh Gereja adalah dunia kaum miskin, para korban kekerasan dan konflik, membela akan kemanusiaan, dan melawan penindasan dan ketidakadilan di Papua. Dunia kaum miskin dan kaum lemah  inilah yang menjadi medan perwujudan iman Kristiani dalam masyarakat dan tingka laku Gereja. Kita umat Kristiani dipanggil untuk meneruskan kisah Yesus di dunia masa kini. Sejak Kristus bangkit bercahayalah dalam sejarah dunia sebuah obor kekal. Sejak Kristus bangkit umat manusia menemukan dasar hidup yang belum pernah ada sebelumnya. Kristus hidup, dan barangsiapa melanjutkan karya-Nya ia akan hidup selama-selamanya.

PENUTUP
Situasi Papua memperlihatkan bahwa orang asli Papua sedang minoritas dan selalu saja terjadi konflik dan kekerasan di mana-mana tanpa mencari jalan keluar demi perdamaian di tanah Papua. Dalam konteks seperti ini, para pemimpin Gereja dan berbagai pihak mengambil sikap cuek dan malas tahu dengan penderitaan orang asli Papua. Sebenarnya tugas misi perutusan Gereja di tanah Papua memperlihatkan terang dan Injil di tengah konflik dan kekerasan dalam pengabdiannya. Namun sikap para pemimpin Pemerintah Indonesia di Papua lebih menekankan represif militer dibanding pendekatan kemanusiaan. Tugas para pemimpin Gereja yang sebenarnya merangkul domba-domba yang sedang hilang tetapi malah mencari kenyamanan diri dan sengaja membiarkan realitas di tanah Papua. Di samping itu, kami juga mendapatkan hal-hal baru yang mengejutkan, yang menimbulkan pertanyaan, terutama tentang arah dan masa depan STFT sekarang bagi gereja dan masyarakat Papua. Sehubungan dengan arah dasar STFT sekarang ini sepertinya menghilangkan nilai-nilai penting yang dirumsukan dalam visi awal yaitu, mendidik petugas gereja atau pelayan umat setempat bukan mendroping dari tenaga Flores dan Manggarai di lembaga STFT dan Yayasan termasuk menjadikan tempat kantor tenaga kerja dan pada akhirnya bermata duitan diberbagai tempat dalam Gereja bahkan kedatangan orang-orang Non Papua pun melebihi 1,5% di tanah Papua dan itu melanggar hukum Internasional tentang transmigrasi.
Demikian pokok-pokok pikiran yang kami hasilkan demi kejayaan Gereja dan orang asli di tanah Papua, agar “semua bangsa menjadi murid-Ku”. Kami mengucapkan terima kasih yang berlimpah. Tuhan menyertai setiap kita dalam perutusan ini.

Jakarta, 19 Januari 2014

Penulis: Wakiya dan Tim Peduli Para Pemimpin Pemerintah dan Gereja di Tanah Papua


[1] Baca Pernyataan Sikap ALUMNI STFT-Fajar Timur, Abepura pada 3 Oktober 2013 dan hasil penelitian Mahasiswa tingkat III di STFT kini mereka di tingkat IV STFT 2013.