Senin, 21 Oktober 2013

BISAKAH PAUS FRANSISKUS ANGKAT KARDINAL PEREMPUAN?

Bisakah Paus Fransiskus angkat kardinal perempuan?


Bisakah Paus Fransiskus angkat kardinal perempuan? thumbnail22/10/2013

Paus Fransiskus mengatakan berulang kali bahwa ia ingin melihat peran yang lebih besar bagi kaum perempuan dalam Gereja Katolik, dan beberapa orang berpendapat bahwa ia bisa mengambil langkah besar dengan mengangkat perempuan menjadi kardinal.
Ide ini terus dibicarakan, yang dipicu oleh sebuah artikel bulan lalu di sebuah surat kabar Spanyol dimana Juan Arias, seorang mantan imam menulis dari Brasil, bahwa “ide itu bukan sebuah lelucon. Ini adalah sesuatu yang dipikirkan oleh Paus Fransiskus sebelumnya: pengangkatan kardinal wanita”.
Arias mengutip seorang imam Yesuit yang tidak menyebut namanya -  mengatakan: “Paus ini tidak akan ragu mengangkat seorang kardinal wanita.  Dan dia bisa menjadi Paus pertama yang memungkinkan perempuan untuk berpartisipasi dalam pemilihan Paus baru.”
Laporan tersebut dengan cepat disebarkan oleh media massa Katolik di Italia.
Di Amerika Serikat, Pastor James Keenan SJ dan teolog ternama di Boston College, mulai mem-posting di halaman Facebook-nya meminta pemilihan untuk kardinal wanita pertama.
Pastor Keenan mengatakan ia mem-posting hal itu dengan tujuan untuk memperkenalkan banyak wanita yang akan menjadi “kandidat.”
Ia mendaftarkan: Linda Hogan, seorang profesor Ekumenis di Trinity College Dublin, Suster Teresa Okure, seorang profesor teologi di Institut Katolik Nigeria, dan Maryanne Loughry, direktur Jesuit Refugee Service Australia.
Tapi, Pastor Keenan bukanlah orang pertama untuk melemparkan ide tersebut.
Tahun lalu, Timothy Kardinal Dolan dari New York, ketua presidium Konferensi Waligereja Amerika Serikat, ditanya  selama wawancara di sebuah televisi Katolik, apakah seorang wanita bisa diangkat menjadi kardinalI Ia menjawab, “Secara teoritis” mungkin, seraya menambahkan:
“Saya telah mendengar lebih dari satu orang, bahwa seseorang meminta Beato Yohanes Paulus II, ‘Anda harus mengangkat Ibu Teresa dari Calcutta sebagai kardinal. Paus itu mengatakan, “saya menanyakan kepada dia. Dia tidak mau menjadi kardinal.”
Kardinal terakhir yang bukan seorang imam adalah seorang ahli hukum Italia, Teodolfo Mertel, yang menulis hukum yang mengatur wilayah kepausan. Paus Pius IX mengangkat dia menjadi kardinal tahun 1858 dan ia meninggal tahun 1899.
Tahun 1917, Hukum Kanonik yang direvisi memutuskan bahwa hanya imam dan uskup bisa diangkat jadi kardinal, dan revisi selanjutnya tahun 1983 mengatakan bahwa siapa pun menjadi kardinal harus menjadi uskup.
Namun, paus secara perlahan meniadakan persyaratan itu dan mengangkat imam sebagai kardinal tanpa mengangkat mereka menjadi uskup. Tahun 1968, Paus Paulus VI dilaporkan memberikan topi merah kepada seorang filsuf Katolik Prancis Jacques Maritain, seorang awam.
Tapi, gagasan mengangkat seorang wanita menjadi kardinal terus dibicarakan. Mendiang Carlo Maria Kardinal Martini, juga seorang Yesuit progresif telah dipuji oleh Paus Fransiskus, mengusulkan ide itu beberapa tahun lalu, seperti beberapa pemimpin Gereja lain dan komentator.
Kendala utama sekarang tampaknya menjadi persyaratan bahwa seorang kardinal harus ditahbiskan. Cara  itu bisa diselesaikan dengan memungkinkan perempuan menjadi diakon – tingkat penahbisan di bawah imam.
Akankah Paus Fransiskus melakukannya? Dia mengatakan, antara lain, bahwa Gereja perlu mengembangkan “suatu teologi yang benar-benar mengembangkan perempuan” dan “perlu memberikan peluang bagi perempuan dalam Gereja.”

Kamis, 17 Oktober 2013

PEMBUBARAN PAKSA OLEH GABUNGAN POLISI DAN TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI) PADA MASSA KNPB PADA 16 OKTOBER 2013


FOTO DI EXPO WAENA

Jayapura 16 Oktober 2013: Sesuai dengan rencana sebelumnya, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) untuk melakukan aksi demo dami di seluruh tanah Papua pada hari Rabu tanggal 16 Oktober 2013 dalam rangka memperingati hari ulang tahun IPWP, yang Ke 5 15 Oktober 2013 sekaligus mendesak PBB segera Meninjau Kembali status Politik Papua Barat melalui Pepera serta menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pemerintah Vanuatu hari ini, di beberapa daerah termasuk Jayapura. Tetapi Polisi dari kapolres Kabupaten Jayapura membubarkan paksa massa aksi demo damai yang dilakukan oleh KNPB wilayah Sentani. Dan juga memblokade massa aksi beberapa titik kumpul seperti Perumnas 3 waena, taman Imbi Jayapura kota dan mata jalan Halte Yapis kota Jayapura.

Pada awalnya massa aksi dari KNPB wilayah Sentani semenjak pagi jam 05.00 WPB sedang kumpul di mata jalan pos 7 Sentani, massa aksi demo damai tiba di mata jalan pos 7 Sentani tiba jam 50.00 sedang melakukan orasi-orasi politik. Namun Kapolres Kabupaten Jayapura membubarkan paksa massa aksi wilayah Sentani pada pukul 06.30 WPB, dalam pembubaran paksa aksi demo tersebut di lakukan oleh aparat kepolisian dengan kekuatan perang lengkap, dengan para anggota TNI Juga turun bersama dengan polisi membubarkan paksa masa aksi KNPB di Sentani. Selain itu dalam pembubaran paksa masaa aksi tersebut polisi juga menyita sejumlah barang atau atribut KNPB wilayah Sentani diantaranya, 1 buah  camera dan sejumlah bendera KNPB.

Sementara itu massa aksi demo damai di wilayah Perumnas III Waena juga diblokade oleh kepolisian dari Kapolresta Jayapura dibawa Pimpinan Wakapolresta Jayapura AKBP KIKI Kurnia.

Kemudian massa aksi di wilayah Expo Waena sedang dikepung oleh kepolisian bersama dengan Anggota TNI, dan terus melakukan intimidasi dan memaksakan massa aksi bubar dari Expo, namun sampai detik ini masa aksi demo tetap bertahan di tempat. Sampai sore massa dibubarkan paksa oleh gabungan polisi dan TNI serta dibantu Brimob Polda Papua.
Sementara pantauan kami Aparat Gabungan TNI /POLRI menurunkan sejumlah anggota dengan Kekuatan alat perang lengkap, diantaranya Panser Milik Polda 5 Buah, Pancer Milik Brimob 2 buah, Mobil dalamas 4 Buah milik brimob, 3 buah dalmas milik kapolresta Jayapura, 2 buah dalmas milik TNI Angkatan darat, 1 buah Mobil Pom, dan 2 Buah mobil patroli polisi dan TNI.

Jumlah kekuatan dari Kapolresta Jayapura sekitar 200-an sedangkan 50-an personil brimob, Sekita 1 peleton TNI angkatan darat dengan peralatan perang lengkap, sejumlah Perwira dari Polda Papua dan Kapolresta Kota Jayapura dan sejumlah anggota lain yang berpakian perman, dari semua angkatan baik TNI dan Polri, Kopasus dan Intelejen Serta Densus 88 juga digerakkan untuk membubarkan memblokade aksi demo damai KNPB tersebut.

Pada hal satu minggu sebelum melaksanakan aksi demo damai, KNPB secara resmi memberitahukan surat Pemberitahuan kepada Polda Papua dan kapolresta Kota Jayapura serta Kapolres Kabupaten Jayapura di Sentani. Namun pada tanggal, 13 oktober 2013: Polda mengeluarkan surat penolakan kepada KNPB dengan alasan bahwa Demo KNPB berbau Politik dan berbau kemerdekaan Papua. Hal ini menunjukkan bahwa ruang demokrasi terus dibungkam oleh Pemerintah Indonesia di Tanah Papua pada umumnya. Namun lebih Khusus Polda Papua dan Pangdam TNI serta kaki tangan pemerintah Indonesia terus membungkam ruang demokrasi di atas tanah Papua.

Demikian Informasi sementara.
Kami mohon agar semua pihak yang mendukung Papua terus dipantau.






































Senin, 14 Oktober 2013

PERTEMUAN YANG MENGEJUTKAN PAUS DENGAN PARA SISWA ASAL JEPANG

Pertemuan yang mengejutkan Paus dengan para siswa Jepang


Pertemuan yang mengejutkan Paus dengan para siswa Jepang thumbnail 23/08/2013

UCA NEWS KATOLIK: Paus Fransiskus  terkejut dengan sekelompok siswa Jepang yang mengunjungi  dia di Roma pada Rabu (21/8).
Paus berbicara dan bercanda dengan kelompok siswa dan guru SMP Seibu Gauken Bunri Tokyo. Sekolah ini mengutus para siswa dan gurunya mengunjungi Italia setiap tahun.
Tidak seperti pendahulunya berlibur di vila kepausan, Paus Fransiskus menghabiskan musim panas di Roma untuk bekerja terkait reformasi Kuria.
Tapi, dia telah mencari waktu untuk pertemuan yang tidak direncanakan termasuk salah satu dengan para siswa Jepang tersebut.
Berbicara dalam bahasa Italia dan diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang, Paus Fransiskus mengatakan bahwa perdamaian harus didasarkan pada dialog yang dilakukan dengan lemah lembut.
“Semua perang, semua perselisihan, semua masalah yang belum terpecahkan disebabkan oleh kurangnya dialog,” katanya kepada lebih dari 200 siswa  yang berkumpul di St. Damasus Courtyard Vatikan.
Paus memuji perjalanan para siswa Jepang ke Italia sebagai sebuah cara untuk “berkenalan dengan orang lain dan budaya lain.”
“Jika kita mencari orang lain, budaya lain, cara pikir lain, agama lain, kita hendaknya keluar dari diri kita sendiri.”
Pengalaman ini, katanya, “membuat kita berkembang” sementara “jika kita terisolasi dalam diri kita sendiri … kita hanya memiliki apa yang kita miliki, kita tidak dapat mengembangkan budaya kita,” tambahnya.
Setelah sambutan Paus, salah satu siswa mengucapkan terima kasih kepada Paus dalam bahasa Italia. Paus Fransiskus  bercanda sambil berkomentar “Apakah Anda lahir di Naples? Anda berbicara bahasa Italia dengan baik!”
Foto: radiovaticana.va

WEST PAPUA REPORT ABOUT TERRITORIANS TURNED OUT IN SUPPORT OF THREE WEST PAPUA STUDENTS IN BALI

TERRITORIANS have turned out in support of three West Papuan students who entered Australia's consulate in Bali and pleaded with the Federal Government to take up their cause.
A small number of dedicated supporters gathered outside a barber shop near the Nightcliff Markets to voice their fears about human rights in the troubled Indonesian province that lies to Australia's north just above the Torres Strait.
West Papuans have been fleeing to Australia in recent weeks.
There have been reports of an unconfirmed number now being held in Darwin detention centres.
Billee McGinley, 38, of Ludmilla said West Papuans face the possibility of torture at home.
"It's a huge human rights issue,'' she said. "They have a right to seek asylum here.''


Luka
Three West Papuan activists, students Rofinus Yanggam, Yuvensius Goo and Markus Jerewon climbed the wall of the Australian consulate in the early hours of this morning.
They brought a letter addressed to the Australian people asking Prime Minister Tony Abbott to push the Indonesian government to release at least 55 political prisoners jailed in West Papua.
They also asked for foreign diplomats, journalists, observers and tourists to be allowed into West Papua without special permits.
"We want these leaders to persuade the Indonesian government to treat Papuan people better. Human right abuse [sic] are our routine,'' the letter said.
The letter did not ask for independence from Indonesia.
West Papuan academic Dr Clinton Fernandes said Australia's Consul-General in Bali, Brett Farmer, threatened to expel the three men telling them to leave or he'd call the Indonesian police, ABC news reported.
Darwin protester Vaughn Williams was outraged.
"If Brett Farmer doesn't provide protection for these brave people he should be sacked,'' he said.
Australia is now bound by the Lombok Treaty with Indonesia which prevents activities in Australia that constitute a threat to Indonesia's sovereignty, such as West Papuan separatism.
Legal experts say the terms of the Lombok treaty are loosely drafted and open to interpretation making it easy for misunderstandings between the nations.
Last week Prime Minister Tony Abbott assured Indonesian president Susilo Bambang Yudhoyono that he would not tolerate "grandstanding'' by West Papuan activists.
Mr Abbott is due in Bali tomorrow for the Asia Pacific Economic Cooperation leaders' summit.
Independent Senator Nick Xenophon called on Foreign Minister Julie Bishop to grant sanctuary for the activists.
West Papua became part of Indonesia in the 1960s. Large numbers of Indonesian Muslims have moved to the province which was formerly populated by Melanesians who mostly follow Christianity or traditional animist beliefs.
Thousands of refugees have since fled to neighbouring Papua New Guinea, claiming persecution and human rights abuses.
Amnesty International said peaceful political activism is highly restricted in the Indonesian territory.
Waving a West Papuan morning star flag is considered treason and results in lengthy jail terms.
Asylum seeker group DASSAN spokeswoman Fernanda Dahlstrom said she held grave fears for any West Papuans being held by Australia.
"If they are returned to PNG they are in danger of being deported to Indonesia because of the extradition treaty,'' she said.
West Papuans fleeing to Australia risk being sent to Papua New Guinea for processing and resettlement like other asylum seekers.
But Papua New Guinea signed an extradition treaty with Indonesia in June that puts the refugees at risk of being deported back to the country they fled from.
The treaty was signed just one month before former Prime Minister Kevin Rudd announced the deal to send asylum seekers to Papua New Guinea.
Immigration Minister Scott Morrison has refused to answer repeated questions on how many West Papuans are now in detention in Darwin or whether they risk being sent to Papua New Guinea.
A source who cannot be identified said there are at least four in detention in Darwin now.
Channel Nine News footage caught one melanesian man disembarking a Customs vessel in Darwin two weeks ago.
It is not known whether any of the West Papuans have seen a lawyer.
Ms Dahlstrom said DASSAN could send free lawyers in to the West Papuans if only they knew their names but the Immigration Department and the Minister both refuse to answer questions.
The issue of West Papua has always been delicate for Australia and Indonesia.
In 2006 Australia, under the leadership of Prime Minister John Howard, granted asylum to 42 Papuans.
The move caused a furious reaction from Indonesia which recalled its ambassador and accused Australia of giving tacit support to the Papuan separatist movement.

Minggu, 13 Oktober 2013

TRAGIC BLOODSHED IN WAGHETE, DEIYAI, PAPUA: SUSPECTED SERIOUS HUMAN RIGHTS VIOLATIONS

Tragic Bloodshed in Waghete, Papua - Suspected Serious Human Rights Violations

By: Selpius Bobii.   

Abepura Prison,  27 September 2013

Ever since West Papua was annexed into the Republic of Indonesia on 1 May 1963, it has been nothing other than a land smeared with blood and  at every moment the blood of Papuans has been shed by the continuous killings. On 23 September 2013 there was yet again bloodshed with a tragic incident in Waghete in the district of Tigi in the Deiyai kapupaten of the middle mountains area. The incident started from ‘sweeping’ (house to house searches) carried out by joint armed forces of BRIMOB
(an Indonesian National Police special operations unit), together with  a special unit of the Indonesian Military (TNI) unit 753, the Paniai District Police and local police from the Sub-District Units of Tigi and Koramil in the Paniai region. The following article looks in detail at the background to why this incident occurred and at the impact of the incident on the local community.

When asked why the joint armed forces were carrying out sweepings in the area in the first instance, the High Commissioner for Police in the District of Paniai responded that they were making the area safe for civilians from the practices of gambling, drunkenness and the carrying of sharp objects (
www.tempo.co/read/news/2013/09/23/058515978). However the facts clearly indicate that the sweepings were being carried out not to make the area safe for civilians against the said vices of drunkenness and gambling, but rather to:
1)     Confiscate any sharp instruments including all types of smaller knives, large machete like knives, axes and bows and arrows
2)     Confiscate shovels
3)     Confiscate mobile phone memory cards with photos of those active in the Papuan Freedom Movement
4)     Confiscate traditional woven dillybags (nukens) with patterns of the Morning Star flag, and to
5)     Target community members with dreg locks and long beards.

Of course the very items that the armed forces confiscated during the sweeping - small knives, larger machete type knives, axes and shovels – are those used by the community for maintaining their gardens which is their source of food.  As in the Deiyai kabupaten most civilians are farmers who farm the mountain slopes. The forces even confiscated any  traditional darts, which are something which by customary beliefs cannot be separated from the life of the Mee Tribe as they are symbolic and special to that tribe. That they would even consider confiscating the peoples carrying bags and mobile phone memory cards with Papuan photos is a shameful reflection of the police and military as those are symbols of Papua that are widely available and have been published in many books, media and other publically available forms.
The TNI and police are well aware the people need those tools in particular to survive and they well know those items are widely accessible, so the question begs why did they really intentionally undertake operations to confiscate these items?

The targeting of civilians with dreg locks and long beards based on the false perception of the police and military that anyone of that appearance is a member of the TPN /OPM  is also a shameful reflection of the thinking of the armed forces. As long beards and dreg locks are an age-old tradition of Papuans.  The Indonesian police and military should understand and respect something of the cultural and social ways of the people of Papua such that they don’t recklessly carry out arbitrary actions which can lead to the sacrifice of innocent civilians’ lives. Reckless and improper actions which  also destroy the image of the police and Indonesian army in the public eye. Throughout the many years of Indonesia’s presence in Papua police, TNI and National Intelligence (BIN) have always assumed that Papuans with dreg locks and long beards are all TPN OPM members. Whenever met with people with those physical characteristics the armed forces always act with improper and cruel actions intended to make life hard for those individuals. This is absolutely unreasonable! We could just as much say that every Papuan  who longs for liberation from the cruel oppression of Indonesia could be called OPM!  When is Indonesia going to wake up to the reality that that no action whatsoever of the Indonesian military and police against the people of Papua will ever be able to destroy the Mabruk (Papuan) ideology in their hearts; that their cruel actions will never be able to stifle the political aspirations embodied by the Papuan movement for freedom.  Reckless,  cruel and improper actions by the armed forces such as occurred at Waghete must stop!  The forces instead need to adopt persuasive approaches in facing up to civilians in all circumstances and not use repressive measures such as has been evidenced at Waghete.

The events that led to the killing and wounding of civilians that day in Waghete started with the above stated sweepings which were being conducted in a manner that was far too excessive and abusive.  A particular activist present at the time (who cannot be named for safety reasons ) told the armed forces at the time that the community didn’t accept their excessive sweeping actions, but to no effect. They testified that before the shootings on 21 September 2013 the joint armed forces had carried out sweepings and detained 15 Papuans who had dreg locks and long beards. Then on 23 September 2013 the forces returned to the same location where those persons had been arrested and carried out sweepings yet again with excessive abusive behaviour. It was the second aggressive sweeping according to the witness that was just too much and some in the community couldn’t keep silent. He testified that it was not the adults who voiced the community’s protest but rather high-school and upper secondary school students together with a number of other youth. The armed forces had also confiscated some of the young peoples’ phone memory cards then according to the witness the young people protested in particular after seeing two Papuan mothers on their way to  their gardens having their gardening shovels confiscated then an adult male’s koteka (penis sheath) being checked by forces. He stated “ The protest came from the school children and no adults were involved. Then the police responded to their protest with excessive violence. The Head of the Paniai District Police a number of times shouted out a command to those under his command to shoot the children.  I was there at the time and saw myself the Head of the District Police together with police officers under his command, chasing and shooting at the school children with their weapons. That day I also heard there were 4 civilians detained.”

The Police spokesperson claimed that the disturbance occurred due to provocation by a group of supporters of a particular failed candidate in the local government elections. However another activist at Waghete (who also cannot be named for security reasons) testified “ The tragedy at Waghete was entirely due to the actions of the joint Indonesian police and military forces and cannot be said to be connected in any way to a problem of the local elections.” This accusation by the police was just a strategy to try and  turn criticism back towards the local civilian population.

The facts are clear that it was the military and police that provoked the civilians into carrying out some type of protest in response to their excessively abusive treatment of the people  during the sweeping and their arbitrary arrest and detention of a number of community members. The forces then met the young people’s opposition with extremely excessive violence including shooting, killing, arbitrary arrest, and torture of civilians. If there had not been excessively abusive sweeping by the joint armed forces in the first instance then of course there would never have been opposition from the young people. Secondly if the response from the civilians had not been dealt with so repressively by the police and military then of course there would also not have been victims of  shooting, torture, intimidation and arbitrary arrest. In summary it was precisely the excessively abusive sweepings by the military and police that triggered the reaction from the civilians; and it was precisely the repressive reaction from the armed forces to the civilians’ opposition which caused the tragic killing and serious shooting injuries of civilians in Waghete.

In considering whether there is any element of truth in the police’s accusation that civilians attacked them with rocks, or pieces of timber or arrows, a human rights activist Yohanes Mote who was present at the time of the shooting stated to the magazine Selangkah “At the moment the incident occurred I was there. The community didn’t take up arrows. We were really disappointed that they were checking the penis sheaths of the men (traditional clothing of males). As there’s nothing inside penis sheaths but male genitals is there. We asked them why if they wanted to carry out sweeping because of gambling and drinking (alcohol), had they not stopped the drinking and gambling.  The gambling and drinking had been allowed to continue by the police so that through that we Papuans could be killed and shot like this.”,
(www.majalahselangkah.com/content/penembakan-pelajar-di-deiyai-aktivis-ham-minta-kapolri-copot-pelaku-dan-evaluasi-polisi-di-papua).

 Another activist who also can’t be named for security reasons testified “ The students didn’t attack the armed forces with arrows. I only saw two or three students throw rocks in the direction of the armed forces but the rocks didn’t even hit them. Rather the police and military brutally shot those children. The one that shot Alpius Mote was an aide of the Paniai Head of Police. Alpius died on the spot as the bullet went right through his right side and came out his back. He didn’t die whilst being taken to the Paniai hospital (as the police claimed). Whilst regarding Alex Mote (another victim), the bullet entered the right side of his chest. After Alpius was shot dead the police gathered up all the bullet cartridges. I couldn’t take a photo at that moment as it would have been impossible.”

From the explanations of these two activists who were present at the time of the sweepings and shooting, it is clearly evident that the accusation of the police that the community attacked them was merely words to try and justify their own repressive actions of wounding and killing unarmed civilians. It is most ironic that the Papuan Provincial Police spokesperson also tried to legally justify the police and TNI’s actions, stated that the shooting by their forces was in line with their procedures since the citizens were becoming increasingly anarchist. He tried to justify the shootings on the basis that if the forces hadn’t fired then the situation would have escalated (www.news.viva.co.id/news/read/446352-bentrok-aparat-dan-warga-di-papua--1-tewas).

Returning to the initial action of the forces being the sweeping, one must ask the question why were the police and TNI carrying sweepings out in such an excessively abusive manner in the first place. From the facts provided by witnesses as stated above, it would seem that the sweeping was intentionally carried out in such a way so as to give rise to some type of conflict in Waghete. The sweeping was not intended to make the community safe from vices of drinking and gambling as the police claimed, but rather to give rise to a conflict that would enable the armed forces to do away with those in the community with long dreg locks and beards who were considered by the forces to be OPM/TPN members. The sweepings also provided an opportunity for them to confiscate any items that were symbolic of the freedom struggle. It was an intentional act carried out to make people terrified and to torture, kill and injure innocent civilians at that location.

Witnesses testified that on 21 September around 15 people with dreg locks and long beards were violently arrested and detained at the Paniai District Police Command headquarters. Then on 23 September one student was shot dead and another shot in the chest. An English teacher from the local Deiyai upper secondary school Yance Pekey who voiced opposition to the treatment by the armed forces, was also inhumanely ‘dealt with’ at his office. It is understood he was also detained together with the other 3 civilians at the Paniai District Police Station. From data available to date it is understood that the total of civilians detained over these few days was 19. To the date of writing their names have not been made available by the police and neither has access been allowed  to visit any of them. (For the preliminary report to this incident  see: www.westpapuamedia.info/2013/09/27/preliminary-report-into-waghete-deaths-and-sweepings/).

From the above stated detail the Writer concludes that the tragic events from 21 – 23 September 2013 in Waghete involved a number of serious human rights violations. Violations which commenced with the excessively abusive sweeping and harassment by the military and police; followed by the arbitrary arrests, torture,, shooting dead and wounding of citizens and the general terrorising of the local community in Waghete. The actions of the police and military cannot be justified with any reason whatsoever! The tragic killing and wounding of unarmed civilians that occurred fall within the category of serious human rights violations and the culprits must face legal processes and be held responsible (1).

Footnotes

1)To that end the Writer puts forward the following recommendations to those parties involved:

i) That the TNI and Police in the land of Papua must cease carrying out excessive sweepings and terrorising/ intimidating the people, must cease all torture and other brutal treatment of civilians, all shootings, killings and arbitrary arrests.

ii) That the culprits of the acts at Waghete must be brought to justice in the human rights court or general court to hold them responsible for their actions.

iii) That the Head of the Indonesian Police is strongly urged to immediately remove from office the Head of Police in the Sub-District of Tigi, The Head of the District Police in Paniai and Head of the Papuan Provincial Police. As all three persons have acted irresponsibly and are not capable of ensuring the safety of citizens.

iv) That the Head of the Paniai District Police immediately and unconditionally release all citizens (believed to be 19 in number) who are being arbitrarily detained at the Paniai District Police Station.

v) That the Investigation Team appointed by the Papuan Legislative Council (DPRP) on 25 September 2013 to look into the tragedy in Waghete,  immediately be sent to the location of the events  to commence investigations.

vi) That the Indonesian Republic National Human Rights Commission (Komnas HAM RI) immediately form an adhoc team to follow up the early findings that will be reported by the independent DPRP Investigation Team.

vii) That all parties and in particular the local government, leaders of the church and  traditional customary leaders in that region, act immediately to restore security and order in Deiyai.

viii) To all those who are concerned and who work in the field of humanitarianism, your help is requested at this immediate time in advocacy, monitoring and publishing of information regarding this case and in organising assistance for those civilians who have been detained at the cells of the Paniai District Police Station.

ix) The excessively abusive sweepings, the terrorising and intimidation, the torture, shootings, killings and arbitrary arrests of indigenous Papuans by both the Indonesian military and police in the land of Papua will never bring an end to the problems in Papua. The Indonesian Government needs to instead enter into dialogue / unconditional negotiations with the nation of Papua facilitated by a neutral third party and held in a neutral location in order to find a dignified solution to the problems in Papua.

   

Selpius Bobii
General Chairperson - Front PEPERA
&  Papuan Freedom Political Detainee

Abepura Prison, Jayapura



DI HARI DEMOKRASI INTERNASIONAL, PAPUA DIBUNGKAM LAGI (oleh Selpius Bobii_Prisoner Abepura Papua, Indonesia


Di Hari Demokrasi Internasional, Papua Dibungkam Lagi!


Oleh: Selpius Bobii.    

Penjara Abepura, 20 September 2013


Tanggal 15 September adalah hari Demokrasi Internasional. Di seluruh dunia merayakan hari Demokrasi itu dengan berbagai macam cara dan bentuk. Di Tanah Papua pada tanggal 16 September 2013 menggelar demonstrasi untuk memperingati hari Demokrasi Internasional yang jatuh pada Minggu 15 September 2013. Demonstrasi itu dikoordinir oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Namun pihak kepolisian setempat membungkam aksi damai itu. Di hari itu terjadi pembubaran aksi damai dan penangkapan sewenang-wenang di beberapa daerah di Tanah Papua. Misalnya di Jayapura pembubaran Demonstrasi dan penangkapan dilakukan oleh aparat gabungan TNI dan Polri terhadap para demonstran. Para demonstran yang ditangkap, menurut data yang dipublikasikan oleh Komisi Hak Asasi Manusia Asia (Asian Human Rights Commission) adalah sebanyak 71 orang. (Silahkan Anda kunjungi di web ini: www.humanrights.asia/news/urgent-appeals/AHRC-UAC-123-2013#.UjtniM20rAk.facebook).

Menurut pemberitaan media On Line Tabloid Jubi (17/09/2013/) bahwa ada delapan kabupaten dan kota di tanah Papua menggelar aksi damai, walaupun dilarang oleh pihak kepolisian setempat. Aksi damai ini dilakukan untuk memberikan dukungan kepada Pemerintah Vanuatu agar membawa masalah Papua Barat pada sidang tahunan PBB tahun ini, juga meminta saudara saudara bangsa Papua, seperti Vanuatu, Kepulauan Solomon, PNG dan Kaledonia Baru (Kanaky) untuk menindak-lanjuti hasil keputusan forum MSG ke 19, pada tanggal 21 Juni 2013 di Noumea - Kanaky, khususnya pada point 20 dan 21 tentang kasus Papua Barat.

Demonstrasi yang dilakukan dengan damai itu berakhir dengan pembubaran paksa dan penangkapan para demonstran di beberapa daerah di Papua. Menurut pemberitaan media Tabloid Jubi bahwa sekitar 100 orang ditangkap oleh gabungan TNI dan polisi. Di Jayapura sekitar 53 orang demonstran, di Sorong sebanyak 27 orang dan di Nabire 14 orang demonstran ditangkap. Mereka ditahan oleh polisi untuk diperiksa.  (Sumber: www.tabloidjubi.com/2013/09/17/aksi-knpb-di-delapan-kota-hampir-seratus-orang-ditahan-dan-diperiksa/). 

Sedangkan menurut catatan KNPB pusat yang disampaikan oleh Juru Bicaranya, Wim Mendlema bahwa para demonstran yang ditangkap sebanyak 249 orang, dengan perincian sebagai berikut: di Jayapura Kota, polisi menangkap 12 orang, di Sentani 159 orang, di Perumnas III Waena 3 orang, di Nabire 14 orang dan di Sorong sebanyak 32 orang. 
  
Seorang polisi, yang juga selaku kepala suku besar pengunungan tengah Papua, Philipus Halitopo mengatakan bahwa para demonstran itu ditangkap hanya untuk diminta keterangan saja dan tidak untuk ditahan, (sumber: www.tabloidjubi.com/2013/09/16/halitopo-mereka-hanya-dimintai-keterangan/#). 

Menurut Ketua Umum KNPB, Victor Yeimo bahwa rakyat bangsa Papua dan Anggota KNPB yang ditangkap dan ditahan oleh gabungan TNI dan kepolisian setempat itu semua sudah dibebaskan. Mereka dibebaskan setelah diminta keterangan dan diinterogasi oleh pihak kepolisian setempat.  

Penangkapan sewenang-wenang itu ditanggapi serius oleh salah satu anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), Yakobus Dumapa. Ia katakan bahwa penangkapan aktifis Papua menyimpang jauh dari semangat UU Nomor 9 tahun 1998 tentang menyampaikan pendapat di muka umum. Ia juga mengatakan bahwa penangkapan, pembunuhan dan pemenjaraan terhadap orang Papua tidak akan pernah membungkam ideologi Papua merdeka, karena itu ia meminta Negara Indonesia menempuh jalur Dialog antara Jakarta dan Papua untuk mencari solusi, (sumber: www.majalahselangkah.com/content/dumupa-penangkapan-aktivis-papua-menyimpang-dari-uu-no-9-tahun-1998).  

Praktek penanganan demonstrasi oleh pihak kepolisian di tanah Papua, sangat berbeda jauh dengan penanganan demonstrasi di luar Papua. Misalnya, di Papua sebelum tiga hari menggelar demonstrasi, penyelenggara demonstrasi harus memasukkan surat pemberitahuan ke pihak kepolisian setempat. Ini berbeda dengan luar Papua, misalnya di Jawa penyelenggara demonstrasi bisa juga memasukkan surat pemberitahuan pada pagi hari sebelum demonstrasi digelar. Di Papua, pihak (organisasi) penyelenggara demonstrasi harus terdaftar di Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol). Jika tidak terdaftar di Kesbangpol, maka kepolisian setempat tidak bisa menerbitkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP). Ini berbeda dengan di luar Papua, walaupun organisasi penyelenggara demonstrasi tidak terdaftar di Kesbangpol, tetapi polisi setempat dapat memberikan ruang kepada masyarakat untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Masih banyak ketentuan lain yang sangat tidak rasional yang
diterapkan oleh kepolisian setempat di tanah Papua selama ini.  

Di tanah Papua, kepolisian setempat menuntut agar syarat-syarat pemberitahuan demonstrasi harus dipenuhi semuanya oleh penyelenggara demonstrasi. Demonstrasi dapat dibubarkan dengan paksa oleh polisi apabila penyelenggara demonstrasi tidak memenuhi atau menaati salah satu atau beberapa syarat demonstrasi yang ditentukan oleh pihak kepolisian setempat. Bahkan pula dapat berujung pada penangkapan para demonstran dan pemenjaraan dengan sewenang wenang. 

Alasan yang selalu dipakai oleh pihak kepolisian setempat untuk membubarkan demonstrasi di tanah Papua adalah tidak ada ijin dari pihak kepolisian setempat. Pada hal sesuai dengan ketentuan UU Nomor 9 tahun 1998 tentang menyampaikan pendapat di muka umum adalah polisi hanya mengeluarkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP). Bukan polisi mengeluarkan surat ijin demonstrasi. 

Pihak penyelenggara demonstrasi punya kewajiban untuk memberitahukan rencana demonstrasi kepada pihak kepolisian setempat melalui surat yang ditanda tangani oleh penanggung jawab demonstrasi. Dan sesuai ketentuan UU Nomor 9 tahun 1998, pihak kepolisian setempat memiliki kewajiban untuk mengeluarkan STTP dan penyelenggara demonstrasi memiliki tanggung jawab untuk menjaga syarat-syarat demonstrasi sesuai ketentuan yang berlaku. 

Ironisnya adalah bahwa pihak kepolisian setempat di Tanah Papua, khususnya di Jayapura, polisi selalu memaksa penyelenggara demonstrasi untuk mematuhi semua ketentuan demonstrasi, yang sebenarnya tidak tercantum dalam UU Nomor 9 tahun 1998. Nampak sekali bahwa pihak kepolisian setempat di Tanah Papua mengakal-akali beberapa ketentuan demonstrasi untuk dipatuhi dan dilengkapi oleh pihak penyelenggara dan para demonstran. Dan ini hanya bertujuan untuk membungkam ruang demokrasi di tanah Papua.  

Di luar Papua, misalnya di Jawa dengan mudah menggelar demonstrasi tanpa harus dibungkam dan dibubarkan oleh polisi sepanjang demonstrasi berjalan dengan aman. Selain itu, tanpa Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) dari polisi pun, demonstrasi digelar di bawah pengamanan pihak kepolisian setempat. Sementara di tanah Papua, polisi setempat menerbitkan STTP saja sangat susah. Apalagi membiarkan demonstrasi digelar tanpa ada STTP. 

Di luar tanah Papua, apa pun thema atau agenda demonstrasi dapat berjalan dengan aman tanpa ada larangan dari pihak kepolisian setempat. Sementara di tanah Papua, lebih khusus lagi di Jayapura demonstrasi dengan agenda aspirasi Papua Merdeka tidak diberikan ruang oleh pihak aparat Indonesia. Mengapa terjadi demikian? Nampaknya bahwa RI secara diam-diam sudah menerapkan darurat sipil dan militer terselubung di tanah Papua. 

Pada akhir-akhir ini, di bawah kepemimpinan Kapolda Papua, Tito Karniavan (mantan komandan Densus 88 pusat) telah menutup ruang demokrasi di tanah Papua. Demonstrasi damai dengan mengusung agenda aspirasi Papua Merdeka tidak sama sekali diberi ruang. 

Walaupun Negara Indonesia adalah penganut demokrasi liberal, namun fakta di lapangan pihak aparat keamanan tidak memberi kesempatan kepada orang Papua untuk sampaikan aspirasi politiknya di muka umum. Ini sangat memalukan. 

Walaupun RI menempati urutan ketiga dalam berdemokrasi setelah Amerika Serikat dan Hindia, namun RI masih mempraktekan gaya berdemokrasi pada jaman resim presiden Soeharto, khususnya di tanah Papua. RI masih belum dewasa dalam berdemokrasi. Karena itu RI harus belajar banyak dari praktek berdemokrasi di Amerika Serikat. 

Sebagai anggota tetap Perserikatan Bangsa Bangsa, Negara Indonesia wajib melaksanakan hukum Internasional, termasuk melaksanakan kovenan-kovenan Internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. 

Tentang penyumbatan ruang demokrasi di Tanah Papua menjadi sorotan masyarakat Internasional. Dewan HAM PBB telah mengeluarkan beberapa rekomendasi dalam Universal Periodic Review (UPR) pada tahun 2012. Salah satu rekomendasinya adalah Negara Indonesia membuka ruang kebebasan berpendapat bagi warga sipil, khususnya di tanah Papua. Dan Indonesia juga diminta membuka akses bagi pekerja HAM dan wartawan/jurnalis asing untuk berkunjung ke tanah Papua.

Dalam sidang Dewan HAM PBB pada tahun 2012, Pemerintah Indonesia telah mengundang Pelapor Khusus PBB di bidang kebebasan ekspresi dan berpendapat untuk berkunjung ke Indonesia pada bulan Januari 2013. Namun, Negara Indonesia tidak konsisten dengan undangan itu. Buktinya, RI tidak memberikan kepastian bagi pelapor khusus PBB bidang kebebasan berekspresi dan berpendapat, Frank Laure untuk datang ke Indonesia, termasuk berkunjung ke Papua dan Maluku. 

Dalam sidang tahunan Dewan HAM yang digelar pada bulan Juni 2013, Dewan HAM PBB ke 23 di Genewa telah menanyakan realisasi dari rekomendasi UPR sebelumnya. Dalam kesempatan itu, pada tanggal 3 Juni 2013  Frank Laure juga meminta kepastian Jadwal kunjungan resminya ke Indonesia, (sumber: www.tabloidjubi.com/2013/06/08/pelapor-khusus-pbb-minta-kepastian-kunjungan-ke-indonesia-juga-papua/).  

Pembungkaman kebebasan ekspresi dan berpendapat di Indonesia, khususnya di Papua dan Maluku menjadi sorotan Masyarakat Internasional, bahkan sudah direkomendasikan oleh Dewan HAM PBB dalam UPR pada tahun 2012. Negara Indonesia tidak bisa menghindar dari sorotan sorotan itu. Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia seharusnya dengan jiwa besar melaksanakan Deklasi Umum HAM PBB dan Kovenan Internasional lainnya yang telah diratifikasi oleh Indonesia. 

Melalui tulisan ini, saya menyampaikan beberapa sikap di bawah ini: 

1). Negara Indonesia sebagai anggota PBB memiliki kewajiban untuk melindungi dan menghormati Hak Asasi Manusia, termasuk mengakui hak asasi politik bangsa Papua di bagian Barat sebagai bangsa yang berdaulat penuh. 

2). RI segera membuka ruang kebebasan berpendapat di muka umum, khususnya di Tanah Papua. 

3). RI berikan akses bagi pekerja HAM dan Jurnalis Asing untuk berkunjung ke Papua, termasuk beri akses bagi pelapor khusus PBB, Frank Laure untuk berkunjung ke Papua dan Maluku.  

4). RI stop melakukan intimidasi, teror, penangkapan dan pemenjaraan sewenang wenang, serta kejahatan kemanusiaan di tanah Papua.  

5). Meminta PBB, khususnya Dewan HAM dan Dewan Keamanan PBB agar menjatuhkan sanksi berat kepada Negara Indonesia atas semua pelanggaran HAM di Indonesia, khususnya di Papua dengan cara intervensi kemanusiaan dan keamanan PBB di tanah Papua.  

6). Kepada para solidaritas Internasional untuk terus bekerja tanpa pamrih bagi keselamatan rakyat bangsa Papua di negeri Papua Barat dari proses marginalisasi, diskrminasi, minoritasi dan pemusnahan etnis Papua. 

Akhirnya, "Manusia yang menghargai hidupnya, tentunya ia juga melindungi dan menghormati kehidupan sesamanya".  


Penulis: Selpius Bobii, (Ketua Umum Front PEPERA Papua Barat, juga sebagai Tawanan Politik di Penjara Abepura - Jayapura - Papua).