Senin, 30 September 2013

INDONESIA: INVESTIGATE DEADLY SHOOTING WAGHETE DEIYAI-PAPUA

For Immediate Release

Indonesia: Investigate Deadly Shooting in Papua
Lethal Force Used Against Stone-Throwing Protesters 


(New York, September 30, 2013) – The Indonesian government should impartially investigate the possible use by police officers of unnecessary lethal force against rock-throwing protesters in Papua on September 23, 2013, Human Rights Watch said today. There should also be an inquiry into harassment of victims, medical personnel, and witnesses at a local hospital.

During a weapons search that resulted in a confrontation, one bystander, Alpius Mote, a 17-year-old high school student, died from gunshot wounds and at least three others were wounded.

“The Indonesian government needs to explain why police officers found it necessary to fire directly into a crowd of protesters throwing rocks,” said Phelim Kine, deputy Asia director at Human Rights Watch. “Lethal force may only be used as a last resort to protect lives.”

Several witnesses told Human Rights Watch that two police Brigade Mobile (Brimob) officers began a search for weapons in the central market of the town of Waghete on the morning of September 23. The weapons search was part of a security response to recent unrest following the inauguration of a new regency chief on August 18.

The two Brimob police began randomly stopping and searching pedestrians in the crowded market for concealed weapons, witnesses said. A large crowd gathered and began criticizing the police when they stopped and searched elderly men wearing traditional koteka (penis gourds). A group of crowd members then began throwing stones at the two officers, which prompted one or both of the officers to fire directly into the crowd. It is not clear if they first issued a warning. Police spokesman Sulistyo Pudjo Hartono declined to comment on the details of the incident, saying an investigation is underway. Within minutes of the shooting, an estimated 35 other Brimob officers arrived in the market from their nearby barracks to disperse the crowd.

After the shooting, local residents brandishing bows and arrows and clubs converged on the scene and pelted the police with stones. Crowd members also beat an army officer present. Papuan police have not reported any injuries related to this confrontation.

Witnesses said that Alpius Mote was not part of the demonstration, but had been leaving the school grounds when he was shot. The other gunshot wound victims included two students, Aprida Dogopia and Alex Mote, as well as Frans Dogopia, a local government employee.  All were taken to Uwibutu Madi hospital for treatment.

Harassment of medical personnel and witnesses at a local hospital
Witnesses told Human Rights Watch that Brimob officers arrived at the hospital shortly after the arrival of the wounded and forbade doctors and nurses from taking photographs of the victims. The police posted guards who required visitors to leave their mobile phones at the entrance. Police reportedly confiscated the mobile phone of a nurse who had used her phone to take photos of the victims. The Brimob actions at the hospital seemed more designed to limit evidence gathering about injuries suffered than to secure the facilities, Human Rights Watch said.

There were also unconfirmed reports that police beat and arbitrarily detained Yance Pekey, a teacher at the Tigi High School attended by Alpius Mote, after Pekey went to the market to confront police in protest of Mote’s death. Police have accused Pekey of provoking unrest and he remains in detention.

The United Nations Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials, which set out international law on the use of force in law enforcement situations, provide that security forces shall as far as possible apply nonviolent means before resorting to the use of force. Whenever the lawful use of force is unavoidable the authorities should use restraint and act in proportion to the seriousness of the offense. Lethal force may only be used when strictly unavoidable to protect life. Governments shall ensure that arbitrary or abusive use of force and firearms by law enforcement officials is punished as a criminal offense.

Human rights abuses remain rife in Papua, in the extreme east of the Indonesian archipelago. Over the last 15 years, Human Rights Watch has documented hundreds of cases in which police, military, intelligence officers, and prison guards have used unnecessary or excessive force when dealing with Papuans taking part in protests. While a handful of military tribunals have been held in Papua against security force personnel implicated in abuses, the charges have been inadequate and soldiers that committed abuses continue to serve in the military.

The Indonesian government has deployed military forces in Papua since 1963 to counter a long-simmering independence movement and restricts access to international media, diplomats, and civil society groups by requiring them to obtain special access permits, which are rarely granted. Tensions heightened in Papua following the February 21, 2013 attack on Indonesian military forces by suspected elements of the armed separatist Free Papua Movement. The attack resulted in the deaths of eight soldiers, the most in the area since President Suharto stepped down from power in 1998.

“Indonesia’s security forces have history of using excessive force against civilians with impunity in Papua,” Kine said. “A transparent and impartial investigation into the Waghete shootings is necessary to prevent even greater distrust of the security forces.”

For more Human Rights Watch reporting on Indonesia, please visit:
http://www.hrw.org/asia/indonesia

Senin, 16 September 2013

PANGDAM URUSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PT NABIRE BARU DI YARO DAN WAMI KABUPATEN NABIRE PAPUA


" PANGDAM Ke Nabire Urusi Perkebunan Sawit"

 
Mayjen TNI Christian Zebua


Yerisiam News/Nabire- PANGDAM (Panglima Daerah Papua)
Mayjen TNI Christian Zebua tiba di nabire (rabu/11 september/2013/). Kedatangan pangdam tersebut, mendapat pengawalan extra ketat oleh aparat TNI/POLRI nabire. Kedatangan tersebut di berikan peringatan/pelarangan kepada media nabire untuk tidak meliput dan juga menerbitkan berita tentang kedatangan pangdam tersebut. Kedatangan pangdam langsung di jemput oleh Bupati Nabire,Ketua DPRD,Dandim,Kapolres, Direktur PT.Nabire Baru dan PT.Sariwana Unggul Mandiri (pemeilik perkebunan sawit) dengan pengawalan ketat dan. perjalanan langsung di lanjutkan menuju lahan perkebunan sawit di daerah Wami Distrik Yaur/Nabire Barat.

Menurut keterangan yang dihimpun oleh Yerisiam News dari warga masyarakat kampung wami/sima/suku besar yerisiam, bahwa kedatangan pangdam adalah untuk melihat perkembangan investasi sawit di nabire sedang berjalan dan persoalan mendasar yang terjadi oleh perkebunan dan masyarakat. Menurut informasi kedatangan pangdam tersebut berlangsung di areal perkebunan sawit di km16 wami distrik yaur/nabire barat. Kedatangan pangdam di lakukan dengan beberapa kegiatan yaitu; Ceramah tentang Pentingnya Mendukung Investasi Sawit di NAbire dan penanaman pohon sawit perdana. Pangam juga berjanji bahwa; akan meminta BAPEDALDA Provinsi Papua, untuk menerbitkan ijin amdal, kepada PT.Nabire Baru dan Sariwana Unggul Mandiri.

Kedatangan pangdam juga mendapat protes dari beberapa kalangan di nabire. Menurut " Ayub Kowoy, Ketua LMA Kabupaten Nabire bahwa; " Kedatangan pangdam ke nabire dalam mengurusi perkebunan sawit sangat melecehkan dirinya sebagai seorang pimpinan meliter. Karena tidak tepat sasaran, seorang petinggi meliter di daerah ini mengurusi investasi ini, pangadam punya kewenagan apa "...katanya. Tambah Ayub..." Investasi perkebunan sawit di nabire sarat dengan persoalan, mulai dari ijin Amdal, tarik menarik pemilik ulayat pro sawit dan kontra. Jadi pangdam jangan bikin susah masyarakat lagi. Masyarakat Suku Besar Yerisiam selama ini 95% sudah tidak mengiginkan kehadiran sawit, masyarakat yang hadir kemarin ketika pangdam datang adalah masyarakat sisa 5% yang sisa dari 95 persen, yang pro sawit selama ini, mereka itu orang-orang yang mengatasnamakan seluruh masyarakat adat bersama pemerintah daerah bawa sawit masuk di nabire. Masyarkat nabire 95 persen itu kemarin tidak hadir....tegas Ayub LMA sambil menjelaskan.

Selain itu menurut Ibu Emi Mandosir...KASUBDIN AMDAL Bapedalda Provinsi Papua, mengatakan, lewat telepon selulernya kepada Yerisiam News bahwa; " AMDAL tidak akan di terbitkan, karena perkebunan sawit di nabire sarat dengan banyak persoalan dan harus di selesaikan, karena aktivitas sawit sudah berjalan tampa ijin amdal...tegasnya kepada yerisiam news. Tentang kedatangan pangdam dalam mengurusi sawit di nabire, Ibu Emi menanggapinya dengan kepala dingin; katanya; Itu bukan tugas dia, jadi jangan ambil pusing. Sekarang saya mau kita duduk di meja hukum untuk menyelesaikan persoalan ini, Bupati Nabire dan kedua perusahan itu, karena mereka melakukan aktivitas tampa ada ijin Amdal. Tegasnya...

Sekedar info sejauh ini lahan yang sudah di tebang oleh PT.Nabire Baru dan Sariwana Unggul Mandiri mencapai luas 11 ribu hectare, dan aktivitas tersebut tampa ada Analisis Dampak Lingkingan dari Bapedalda Papua.

Berikut foto-foto terbaru aktivitas penebangan oleh PT.Nabire Baru dan PT.Sariwana Unggul Mandiri  di Lahan Adat Masyarakat Pribumi Suku Yerisiam. Tampak ribuan pohon kayu dan rotan yang di tebang tampa ada pertanggung jawaban dan ganti rugi. Berikut gambranya :






Minggu, 15 September 2013

PERAN ALUMNI ADHI LUHUR NABIRE DI ERA OTONOMI KHUSUS DI TANAH PAPUA " Sebuah Rfleksi yang disampaikan dalam Pertemuan Alumni Adhi Luhur Nabire di Kota Study Jayapura, sejak 15 September 2013"


PERAN ALUMNI ADHI LUHUR NABIRE
DIERA OTONOMI KHUSUS DI PAPUA

“Sebuah Refleksi yang disampaikan dalam pertemuan Alumni Adhi Luhur Nabire di Kota Study Jayapura, sejak 15 September 2013”

Oleh Santon Tekege
 
Dalam realitas memperlihatkan bahwa banyak masalah yang kita hadapi di Papua. Masalah-masalah tersebut, pemerintah tidak mampu mencari jalan keluar yang baik. Maka itu keterpurukan dan kemiskinan semakin meningkat setiap tahun di Papua. Bahkan masalah sejarah Papua sejak 1963 sampai Papua dicaploknya menjadi bagian Indonesia sejak 1969, masalah pelanggaran HAM, marginalisasi orang setempat, masalah pendidikan dan kesehatan, serta krisis budaya “Schock Cultur” pun dapat didengarkan di mana-mana di Papua. Itulah dampak yang muncul akibat adanya tidak konsisten dari pemerintah pusat dan daerah untuk kedua Propinsi Indonesia Timur “Propinsi Papua dan Papua Barat”. Dalam suasana seperti ini, di manakah peran Alumni Adhi Luhur Nabire untuk Papua?

Keterpurukan dan Kemiskinan Orang Papua
Di sini hukum keberpihakan bagi orang Papua “orang asli Papua” sangat jelas dalam Pemberlakuan UU. No.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Special Autonomy) atau “Otsus”. Tetapi Otsus selama 12 tahun ini tidak berhasil menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh orang asli Papua. Implementasi UU Otsus Papua hingga kini tidak dapat memperlihatkan keberhasilan dan kesejahteraan ekonomi bagi orang asli Papua. Dalam tahun 2003, BPS Propinsi Papua melaporkan bahwa 80% dari 2.469.785 Penduduk Papua adalah penduduk miskin secara nasional. Setelah beberapa tahun kemudian tahun 2007, BPS Propinsi Papua mengatakan bahwa 81,52%  miskin di Papua. Kini data BPS Pusat (Indonesia) 2010 menunjukkan bahwa Propinsi Papua (37,53%) dari 2.851.999 jiwa penduduk Papua dan Papua Barat (35,71%) paling tinggi tingkat kemiskinan secara nasional dari seluruh Propinsi di Indonesia. Kedua Propinsi ini paling termiskin di seluruh Indonesia. Meskipun dana trilyun rupiah dikucurkan ke Propinsi Papua dan Papua Barat, orang Papua masih hidup di bawah garis kemiskinan yang kaya raya akan sumber daya alamnya. Kita tidak bisa disangkal atas realita ini. Kita tidak boleh manipulasi kenyataan hidup bagi orang Papua. Memang orang Papua mengalami keterpurukan dan kemiskinan di tanahnya sendiri. Saya sangat menarik salah satu tulisan di spanduk saat Mama-Mama Pedagang Asli Papua demo di Gubernur Papua di ruangan Sasana Krida, bunyinya:

“Ketidakseriusan Pemerintah Papua
untuk Meningkatkan Kesejahteraan Ekonomi Bagi Orang Asli Papua, Maka MAMA-MAMA PEDAGANG ASLI PAPUA MENDESAK SEGERA MEREALISASIKAN PEMBANGUNAN PASAR DI KOTA SENTRAL JAYAPURA, 23 April 2012”

Kita mengakui bahwa “masalah pelanggaran HAM, marginalisasi orang Papua, masalah pendidikan dan kesehatan, krisis budayanya sendiri (shock cultur), dan  kerusakan lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam semakin meningkat di Papua”. Orang Papua dengan segala kekayaan alam yang melimpah hanya menjadi objek dasar di negerinya sendiri. Keanekaragaman hayati dan non hayati yang berada diperut bumi Papua seperti tembaga, nikel dan emas serta kayu, ikan dan minyak telah dikeruk dan diambil oleh para penguasa. Semua kekayaan alam itu diambil hanya demi kepentingan para kapital. Semua hasil kekayaan di bumi Papua dibawah keluar Papua, sementara orang setempat dari kedua Propinsi Indonesia timur tercatat urutan pertama termiskin di Indonesia.
Semua kekayaan alam hanya dimanfaatkan demi kepentingan para elit dan kapital Indonesia dan negara asing. Orang Papua hanya merasa bahwa di satu sisi sumber daya alam habis dan di bawa keluar Papua, tetapi di sisi lain peningkatan kaum transmigrasi ke Papua. Orang Papua sungguh sangat dilemantis bagaikan seekor udang kejepitan di tengah-tengah batu. Makanya itu, orang asli Papua mengalami kehilangan hak-hak dasar, krisis nilai-nilai budaya akibat pengaruh luar dan kehilangan tempat-tempat sakral di Papua. Lebih jauh, mereka hanya berada dalam substansi kemiskinan dan keterpurukkan. Lantas: Di manakah kesejahteraan bagi orang Papua?




Tidak Konsisten Pemerintah Pusat Di Papua
Pemberlakuan UU Otsus oleh pemerintah pusat bagi Papua dengan tujuan “untuk menjamin meningkatkan kesejahteraan, melindungi hak-hak dasar orang asli Papua dan memelihara nilai-nilai kultur serta melancarkan pembangunan”. Namun, Pemerintah (Pusat dan daerah) tidak melaksanakan substansi dari amanat Otsus secara konsisten dan menyeluruh. Empat pilar amanat Otsus ini hanya sebuah wacana di publik agar dipercayai oleh negara lain yang mendukung implementasi UU Otsus bagi Propinsi Papua dan Papua Barat. Ketidakseriusan Pemerintah pusat dapat diperlihatkan setelah pengesahan UU Otsus oleh Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No.1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pembentukan Propinsi Irian Jaya Barat dan Tengah tanpa pendekatan dengan pemerintah daerah Papua dan masyarakat asli Papua. Keputusan ini dibuat oleh Presiden yang sama tanpa menyadari melanggar UU Otsus Papua. Di zaman kepemimpinan Presiden SBY dapat meneruskan dan  memaksakan pembentukan Propinsi Irian Jaya Barat (Irjabar). Karena merasa gagal implementasi UU Otsus di Papua, Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan SBY dapat menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No.5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan di Propinsi Papua dan Papua Barat. Instruksi Presiden (Inpres) ini menjadi peraturan Presiden SBY No.66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatakan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Kini berita ini sangat hangat diwacanakan di publik di Indonesia pada umumnya dan Papua pada khususnya. Masyarakat Papua menolak dengan paket Pemerintah Indonesia melalui UP4B di Papua dan Papua Barat.
Kini isu mengenai “RUU Otsus Plus” ramai dibicarakan di Papua. Pemerintah Indonesia melalui Gubernur Propinsi Papua Lukas Enembe berpikir dengan adanya Otsus Plus, warga Papua akan peningkatan kesejahteraan orang Papua.  Namun setelah dibacanya RUU Otsus Plus ternyata diketahui jiplakan dari UU Otsus Pronpinsi Aceh di Papua. Bahkan isinya dari RUU sangat bertolak belakang dengan situasi masyarakat Papua. RUU Otsus Plus itu, ternyata copy paste dari propinsi lain di Papua. Ketika mendengar itu, masyarakat dan semua pihak Papua menolak RUU Otsus Plus di Papua. Dinilai mencoreng nama Indonesia dan Presiden Indonesia di Publik. Bodohlah Indonesia tapi juga bodohlah pejabat Papua yang menjiplak RUU dari Propinsi lain di Papua.


Peran Alumni Adhi Luhur Nabire di Papua
Dalam konteks di Papua bahwa orang Papua merasa tidak diperhatikan Pemerintah (pusat dan daerah) di Papua. Orang Papua merasa tidak disapa oleh Pemerintah Indonesia dan Papua. Mereka juga dapat hidup seperti yatim piatu. Mereka disingkirkan oleh sistem dan struktur Pemerintah yang mencari keuntungan dan kenikmatan semata di Papua. Pemerintah Papua tidak mampu membuat kebijakan yang jelas bagi orang Papua, “misalnya tidak adanya kebijakan khusus bagi orang asli Papua”. Orang Papua dibiarkan oleh Pemerintah Papua tanpa tempat jualan yang layak secara modern, begitu pun aspek lainnya di Papua. Pemerintah Papua tidak memberdayakan orang Papua. Walaupun mereka merasa penting pembangunan manusia melalui bidang pendidikan dan kesehatan serta diberdayakannya untuk peningkatan kesejahteraan ekonomi. Namun Pemerintah Indonesia (pusat dan daerah) buta melihat walaupun tahu karena itu bagusnya diberi gelar “matanya terbuka lebar tapi tidak melihat seperti ikan cakalang di pasar Youtefa”.
Maka dari itu, Alumni Adhi Luhur Nabire dipanggil untuk membuat terobosan-terobosan baru demi pembaharuan situasi di Papua. Alumni Adhi Luhur bukan penonton tetapi mesti menjadi pemain dalam segala aspek pembangunan dengan prinsip dasarnya adalah keberpihakan pada orang Papua. Alumni Adhi Luhur juga mesti hadir sebagai sarana pembangunan di segala aspek. Bahkan mesti menjadi jembatan bagi orang Papua dalam keterpurukan dan kemiskinan yang dialaminya di Papua.
Akhirnya setiap kita mesti memperlihatkan peradaban kasih pada ciptaan di bumi ini. Karena peradaban kasih merupakan harapan setiap orang, apa pun latar belakangnya. Semua orang hendak hidup dalam kasih, damai, dan diperlakukan adil pada semua tempat dan waktu. Seruannya: wa..wa..wa..wa..wa.

Penulis: Alumni Adhi Luhur Nabire pada STFT-Fajar Timur, Abepura-Papua


Kamis, 12 September 2013

PENTINGNYA DIALOG ANTARA JAKARTA DAN PAPUA DEMI PERDAMAIAN DI PAPUA



Oleh Santon Tekege

Pengantar oleh Pastor Neles Kebadabii Tebay, Pr dalam diskusi terbatas dengan tamu dari Norwegia mengungkapkan bahwa dialog antara Jakarta dan Papua penting untuk di selenggarakan, menggingat selama ini tidak ada satupun model penyelesaian konflik yang di tawarkan. Konflik yang muncul sejak tahun 1963 hingga saat ini seperti bom waktu, yang sekali waktu akan muncul terus. Pemerintah tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah antara lain masalah sejarah orang Papua, pelanggaran HAM, marginalisasi, masalah kemiskinan, masalah pendidikan dan kesehatan serta masalah terancamnya budaya orang asli Papua. Masalah-masalah tersebut tidak pernah mencari jalan terbaik dan solusi penyelesaiannya antara orang asli Papua dan Pemerintah. Sementara belum menyelesaikan masalah Papua, konflik dan kekerasan pun semakin meningkat di Papua. Yang korban dari permasalahan adalah warga Papua (orang Papua dan Non Papua), OPM dan militer Indonesia (TNI dan Polisi) sama-sama korban di Papua. Maka itu, dialog itu penting untuk menyelesaikan masalah Papua demi perdamaian di Papua. Jalan damai dalam menyelesaikan sebuah persoalan adalah kerinduan seluruh warga Papua. Otonomi Khusus “Otsus” yang telah hampir 11 tahun merumput di Papua, dianggap telah gagal, hal ini karena pejabat Papua yang lebih kena dampak dari pada rakyat asli Papua. Begitupun sepihak membuat RUU Otsus Plus di Papua, sementara masalah dalam masa Otsus belum diselesaikan dengan baik malah semakin banyak konflik dan kekerasan di Papua.

Apa itu Dialog?
Pastor Neles menjelaskan tentang apa itu dialog kepada Uskup Oslo Norwegia Dr. Gunnar Stalsett “President Religious for Peace: European Council of Religious Leaders” dan Stig Traavik “duta besar Norwegia” dalam kunjungannya di Pendopo Seminari Tinggi di STFT-Fajar Timur, Abepura-Papua sejak 11 September 2013. Dialog adalah cara komunikasi yang baik antara kedua belah pihak yang bertikai khususnya antara Jakarta dan Papua. Jakarta dan Papua selalu mempertahankan konsepnya masing-masing tanpa mencari jalan keluar dalam konflik dan kekerasan di Papua. Karena itu, dialog hadir sebagai sebagai sarana untuk mempertemukan kedua belah pihak antara Jakarta dan Papua. Walaupun demikian, awalnya dialog menstigma sebagai politik separatis dari Organisasi Papua Merdeka “OPM”. Bahkan konotasinya diterjemahkan agak keliru karena berbau politik oleh berbagai pihak saat peluncuran Buku Dialog Jakarta-Papua “Sebuah Perspektif Papua” maupun selama konsultasi publik dan terbatas dialog itu, katanya. Namun setelah konsultasi publik tentang dialog di Papua “Kota dan beberapa kabupaten khususnya di Wamena, Manokwari, Merauke, Fak-fak, Sorong, Timika, Paniai, dan Nabire serta terakhir konsultasi publiknya di Jayapura”, maka warga Papua yang menolak dialog pun diterima sebagai jalan keluar dari konflik dan kekerasan di Papua. Demikian pun di tingkat Jakarta menerima dialog sebagai jalan dan sarana terbaik demi menciptakan Papua Tanah Damai.
Kami membentuk Jaringan Damai Papua “JDP” sejak 5-7 July 2011. Dalam deklarasi perdamaiannya, telah membentuk team juru runding sebagai keterwakilan dari Papua sebanyak 5 orang sesuai kriteria JDP. Dalam konferensi Perdamaian itu, telah hadiri sekitar 500-an orang dari berbagai kota dan kabupaten di Papua. Dalam konferensi itu, Pastor Neles sebagai Panitia dan menjelaskan pentingnya dialog demi perdamaian di tanah Papua bukan pendekatan militer atau pendekatan kekerasan dan konflik di Papua. Kemudian JDP merangkul orang menjadi anggotanya dari berbagai kalangan dan agama serta perempuan untuk mensukseskan dialog antara Jakarta dan Papua. Kemudian para anggotanya berperan penting dalam menjelaskan apa itu dialog dan tujuan serta target yang hendak dicapai dalam dialog itu. Kini dialog bukan lagi hal tabu atau dilarang dibicarakan di publik tetapi agenda bersama untuk membicarakan dan mencari jalan penyelesaian konflik dan kekerasan di Papua demi perdamaian di tanah Papua.
Dalam diskusi terbatas itu, seorang anggota JDP Ibu Miriam Ambalom, menjelaskan dialog perspektif perempuan. Para perempuan Papua sangat mendukung dialog yang diperjuangkan oleh JDP. Dengan alasan bahwa perempuan selalu menjadi korban di negeri Papua. Perempuan korban pihak pertama dalam konflik dan kekerasan yang terjadi di Papua selama ini. Maka dari itu, kami mendukung dialog itu agar kami perempuan dan anak hidup dalam damai dan aman tanpa mengalami tekanan dan trauma seperti di masa lalu sejak 1963 hingga kini. Selain itu, seorang ibu Iren Waromi, dia adalah anggota JDP menyampaikan bahwa kami perempuan mendorong dialog karena kami ibu dan anak menjadi korban dari kekerasan dan konflik bahkan kami ibu dan anak korban dari sistem ketidakadilan baik dari perspektif budaya, pendidikan, kesehatan, dan politik di tanah Papua. Selanjutnya Dokter Raflus Dorang, M.H menjelaskan tentang masalah kesehatan dan HIV/AIDS di Papua. Masalah kesehatan dan HIV/AIDS juga menjadi masalah dominan di Papua karena orang Papua dan Non Papua sama-sama mengalami yang sama dan menderita yang sama tanpa mencari solusi penyelesaian masalah kesehatan dan HIV/AIDS di Papua. Dalam masa Otsus pun semakin menambah masalah padahal kami berpikir bahwa dengan adanya Otsus akan menyelesaian masalah dibidang kesehatan di Papua. Dan selalu yang menjadi korban kesehatan adalah ibu dan anak. Angka indeks pembangunan manusia (IPM) memperlihatkan bahwa pertumbuhan indeks manusia sangat minim di Papua bahkan urutan ke-33 dari 33 Propinsi Indonesia sejak 2012. Ketika kita menganalisa penurunan angka demikian karena memang pemerintah tidak memfokuskan pada pertumbuah indeks pembangunan manusia bahkan sangat minim diperhatikannya oleh pemerintah di Papua sebelum Otsus maupun sesudah berlakunya Otsus di Papua sejak 2001 hingga kini 2013.

Dialog Menjadi Isu Publik
Masalah dialog antara Jakarta-Papua menjadi isu publik yang baik demi penyelesaian konflik dan kekerasan di Papua sehingga kami di Jakarta sangat mendukung segala upaya yang dilakukan oleh JDP, kata Ding Samsudin (ketua Muhammadyah Indonesia di Jakarta). Pihak Inditernasional selalu konsen dengan isu dialog sehingga kami di Jakarta, selalu bersedia memberikan dukungannya agar masalah Papua diselesaikan melalui dialog, bukan dengan pendekatan konflik dan kekerasan dan bukan pula pendekatan militer di Papua. Dialog menjadi langkah yang baik untuk menyelesaikan masalah Papua.
Duta besar Norwegia Mr. Stig Traavik berkata bahwa ia merasa senang bertemu dengan orang anda sekalian di Papua. Pimpinan agama di Papua berperan penting dalam masalah Papua khususnya dalam penyelesaian konflik dan kekerasan melalui jalan dialog demi perdamaian di Papua. Karena kami di Norwegia selalu kerjasama antara pemerintah dan pimpinan agama. Kemudian kami selalu mencari jalan keluar dari masalah yang kami alami bersama di Norwegia. Kini kami pun hadir di Negara Indonesia untuk menjalankan program perlindungan hutan di Indonesia, maka kami punya tugas besar untuk melindungi dan lingkungan di Papua. Kami tranparan saja atas apa yang kami buat di Indonesia tanpa disembunyikan. Tanpa ragu dan bimbang kami membangun persahabatan dengan pemerintah Indonesia dan rakyat sipil Indonesia. Pesan terakhirnya suatu saat kami akan kembali untuk memberikan kontribusi bagi Papua.
Apa pesan akhir dari Diskusi terbatas itu?
Dengan demikian diskusi terbatas antara Uskup Oslo Norwegia, “President Religions for Peace: European Council of Religious Leaders”, Mr Stig Traavik “Duta Besar Norwegia” dan Pastor Neles Kebadabii Tebay, Pr “Koordinator Jaringan Damai Papua” setelah menjelaskan tentang pentingnya dialog dan apa artinya dialog antara Jakarta dan Papua demi perdamaian di Papua. Akhirnya diskusi terbatas telah ditutup dengan pesan terakhir oleh Uskup Oslo Norwegia bahwa kami Internasional mendukung untuk dialog dan apa saja yang dibuat saudara-sadara di Papua demi perdamaian di tanah Papua. Dalam memperjuangkan dialog mesti memperlihatkan “iman berbeda tetapi aksi yang sama”. Karena itu, kami menekankan dalam aksinya mesti berjalan bersama dalam segala aspek bukan hanya dalam dialog saja. Kami percaya bahwa apa yang kamu buat adalah kombinasi antara iman dan aksinya demi perdamaian di bumi ini. Akhirnya ditutup dengan ungkapan: wa…wa..wa..wa.

Abepura, 11 September 2013

Penulis: Mahasiswa Pasca Sarjana pada STFT-Fajar Timur, Abepura-PAPUA