Senin, 29 Juli 2013

ANCAMAN HUTAN DI WAMI DAN YARO OLEH PERUSAHAN PT NABIRE BARU DAN PT SARIWANA UNGGUL MANDIRI DI NABIRE-PAPUA


SELAMATKAN HUTAN MASYARAKAT PRIBUMI SUKU YERISIAM

27 Juli 2013 

Praktek HPH Berubah wujud menjadi Perkebunan Sawit Oleh PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Unggul Mandiri
 
Oleh SP. Hanebora (Kepala Suku Besar Yerisiam)

Catatan ini adalah tentang persolan investasi di masyarakat Suku Yerisiam (Perkebunan Sawit) yang belum adanya jaminan dan kepastian hukum dari Pemerintah kepda masyarakat Suku Yerisiam. Selamat Membaca...
 
Era beroprasinya HPH diseluruh Tanah Papua merupakan masa keemasan bagi para peengusaha hutan bahkan bagi sebagian oknum pejabat pemerintah baik pusat maupun daerah, terutama instansi teknis juga tokoh – tokoh masyarakat yang mendukung perusahan yang bersangkutan. Tapi sebaliknya era ini sekaligus menjadi masa paling kelam bagi masyarakat adat pribumi pemilik hasil hutan. Karena HPH dalam melaksanakan oprasinya tidak saja mengambil hasil hutan kayu sesuai ijinnya, mereka juga meluncurkan praktek – praktek ilegal, seperti menebang diluar peta konsensi, menebang kayu dibawah diameter yang diijigkan bahkan sampai pada manipulasi dokumen – dokumen angukatan dengan instasi tehnis.
 
Semua itu sangat membrikan keuntungan yang sangat besar kepada perusahan, sebaliknya menyebabkan kemiskinan berkepanjangan bagi masyarakat adat pribumi, serta memberikan danpak buruk terhadap kelestarian hutan yang dirasakan sampai saat ini. Hal ini kemudian mendorong oprasi hutan lestari dan dikenal dengan nama OHL II pada tahun 2005 karena terlihat secara jelas praktek – praktek kotor yang dilakukan oleh perusahan HPH pada masa itu. Praktek – praktek kotor HPH bukan saja membawa kerugian bagi negara terutama bagi penerimaan negara dari pemanfaatan hasil hutan . kini era HPH telah usai dan berlalu dengan meninggalkan kerugian bagi masyarakat adat pribumi pemeilik hasil.
 
Pertanyaannya, apakah dengan berakhirnya era HPH, hutan di Papua diselamatkan ?? Jawabanya adalah tidak. Karena praktek ekploitasi hutan berubah kewujud lain. Dengan memanfaatkan kekosongan peraturan pengololaan hutan dimasa otonomi khusus ( OTSUS ). Para pemain lama yang telah berubah wujud dapat menjarah hasil hutan kayu dalam skala kecil sampai skala menengah dan sangat sulit ditangani oleh pemerintah seperti yang terjadi dihutan tanah masyarakat adat pribumi suku yerisiam kampung wami jaya dan kampung sima distrik Yaur Kabupaten Nabire Propinsi Papua oleh PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Unggul Mandiri yang juga berkedok Penanaman Modal Asing ( PMA ).  Kalupun pemerintah mengetahui aktifitas mereka namun pemerintah tidak bisa berbuat banyak seperti yang terjadi di PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Unggul Mandiri dimana Dinas kehutanan dan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Nabire maupun Propinsi Papua membungkam penebangan kayu pada areal kelapa sawit dari kaali ajahre, sungai wami, sungai waumi, dan sungai sima sampai berita ini diturungkan tidak ada identifikasi dari dinas kehutanan badan lingkungan hidup tentang: 1. Berapa batang pohon kayu berupa ( kayu merbau, kayu indah, kayu merantai, kayu rimba campuran, dari diameter 20 cm kubik. Malahan instansi terkait berupaya mendorong dikeluarkannya ijin AMDAL. Dimana pada bulan juni 2013 ini telah dilakukan pembahasan ADAL di Badan Lingkungan Hidup Propinsi Papua. Dalam rapat komisi pembahasan AMDAL bersama instansi terkait dan pemerkasa (PT. Nabire Baru) dan masyarakat adat pribumi suku yerisiam dari dua kampung tida ada satupun yang dilibatkan. Lebih konyol lagi melecehkan masyarakat karena tidak terproteksi dalam saham.
 
Pihak PT. Nabire baru, dan instansi tehnis dalam prakteknya tidak mengacu pada Undan – Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup Bab xi dimana peran masyarakat adat pasal 70 t 1, 2, paoin a, b, c, d . masyarakat adat pribumi suku yerisiam telah berupaya  berupa tertulis dan lisan kepada kehutanan dan badan lingkungan hidup kabupaten nabire maupun propinsi papua namun tidak mendapat perhatian dan respon positif. Sebagai masyarakat adat pribumi suku yerisiam menilai bahwa undang – undang RI nomor 32 tahun 2009 tidak dijadikan sebagai indikator untuk meleegitimasi kegiatan diperkebunan PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Adi Perkasa. Harapan kami semua unsur MUSPIDA dan semua NGO maupun tokoh adat, agama untuk dapat memberikan kontribusi positif dalam bentuk advokasi terhadap hak – hak masyarakat pribumi suku yerisiam.
 
Logo HPH
Logo HPH
Foto perkebunan sawit di atas areal suku yerisiam (KM 16 Wami). Yang Berumur 4 Tahun
Foto perkebunan sawit di atas areal suku yerisiam (KM 16 Wami). Yang Berumur 4 Tahun
Lahan KM 19 wami, yang di tebang habis
Lahan KM 19 wami, yang di tebang habis
Selamatkan Hutan Dan Manusia Papua
Selamatkan Hutan Dan Manusia Papua
Daftar
 Nama-Nama PerusahanPerkebunan Sawit Di Papua
Daftar Nama-Nama PerusahanPerkebunan Sawit Di Papua
Gereja Kampung PentakostaSima/Suku Yerisam
Gereja Kampung PentakostaSima/Suku Yerisam
Peta Administrasi Kabupaten Nabire-Papua
Peta Administrasi Kabupaten Nabire-Papua
Peta Papua
Peta Papua
Gereja GKI   Kampung Sima/Suku Yerisam
Gereja GKI Kampung Sima/Suku Yerisam
Rapat sosialisasi amadal kampung sima yang berakir ricuh
Rapat sosialisasi amadal kampung sima yang berakir ricuh

KISAH PENDETA WARIA PERTAMA DI INDIA

Kisah pendeta waria pertama di India


Kisah pendeta waria pertama di India thumbnail 26/07/2013
Pendeta Bharathi

Sepuluh tahun lalu, Bhaaratii, saat masih remaja menari dengan teman-teman waria lainnya di jalan-jalan di Chennai, India untuk mencari uang. Tapi sekarang, sebagai seorang pendeta Protestan ia setia memimpin ibadah dan berencana untuk melayani sesama waria.
Pendeta Bhaaratii, 28, dari Gereja Injili India, yang aktif di India Selatan, dianggap sebagai pendeta waria pertama di negara itu.
“Saya merasa seperti orang yang spesial,” katanya ucanews.com. Tapi, hidupnya telah penuh dengan air mata, penderitaan dan kesulitan.
Terlahir sebagai Bharath Raja, dia adalah anak ketiga dan putra pertama sebuah keluarga Hindu di dekat distrik pesisir Tuticorin, negara bagian Tamil Nadu.
“Saya menyadari saya berbeda karena saya tumbuh dewasa. Dalam hati saya merasa, saya adalah seorang wanita sementara semua orang memperlakukan saya layaknya anak laki-laki,” katanya kepada ucanews.com.
Keluarganya marah pada sifat-sifat femininnya dan berulang kali mengatakan padanya untuk bertindak seperti anak laki-laki. Karena ejekan dan tekanan yang begitu besar, dia bahkan pernah mencoba untuk bunuh diri.
Di tengah perjuangan dengan kondisi seksualitas itulah, ia diperkenalkan dengan Agama Kristen. “Saya percaya Yesus sejak usia muda,” katanya.
Ayahnya sering memukulinya karena ke Gereja, kenangnya. Tapi dia berpegang teguh pada imannya.
Setelah menyelesaikan sekolahnya dan tidak mampu untuk mengambil tekanan dari keluarganya lagi, dia melarikan diri ke ibukota negara bagian Chennai dan bergabung dengan sekelompok waria di sana.
“Saya belajar gaya hidup mereka, budaya dan bagaimana mereka bertahan dalam situasi sulit. Saya merasa nyaman dengan mereka,” kata Bhaaratii.
Kaum waria umumnya tinggal bersama warga di pinggiran dan bekerja sebagai pekerja seks komersial atau mengemis untuk hidup, demikian kata Angle Glady, seorang waria yang menjadi aktivis  dan anggota sebuah LSM yang bekerja untuk kesejahteraan waria.
India diperkirakan memiliki 500.000 orang waria, yang secara umum dapat dilihat di jalanan dan di stasiun kereta api, mengemis untuk mencari uang. Mereka juga melakukan pertunjukkan jalanan untuk mencari nafkah karena mereka tidak diterima dalam kehidupan sosial yang normal.
“Tingkat bunuh diri yang tertinggi di antara kami, sebagian besar memiliki masalah psikologis, dan umumnya harapan hidup mereka rata-rata adalah kurang dari orang lainnya,” kata Glady kepada ucanews.com.
“Semuanya sulit bagi kami … memperoleh makanan, pakaian dan tempat tinggal,” jelasnya.
Untungnya, telah ada penerimaan lebih besar secara politik bagi kaum waria di Tamil Nadu selama enam tahun terakhir. Negara telah memperkenalkan beberapa langkah demi kesejahteraan kelompok waria, seperti operasi perubahan jenis klamin gratis, perumahan, dewak esejahteraan tersendiri dan menerima status waria  sebagai “jenis kelamin ketiga.”
Tahun 2007, Bhaaratii menjalani operasi perubahan jenis kelamin, yang membuatnya mengalamai transformasi menjadi seorang wanita. Semua itu dilakukan sambil ia menjadi imannya akan Kristus dan kasih untuk bekerja di antara kaum waria, katanya.
Jalan menjadi pendeta tiba ketika datang seorang Protestan yang membantunya melewati kursus teologi untuk menjadi seorang pendeta. Tahun 2011 ia lulus  teologi dan menjadi  waria pertama yang lulus di Universitas Serampore India, Benggala Barat.
“Dia adalah orang yang berdedikasi dan berkomitmen dengan kepribadian yang unik,” kata Uskup Ezra Sargunam dari Gereja Injili India.
“Kami tidak memiliki masalah dengan orang waria untuk melakukan pekerjaan pelayanan,” kata prelatus itu.
Glady, seorang Katolik, mengatakan diterimanya Bhaaratii dalam pelayanan “jelas merupakan suatu tanda penerimaan kita” dalam lingkungan Kristen.
Jemaat pedesaan dengan siapa dia bekerja menerima dia apa adanya.
“Dia baik dalam mengajar kitab suci, dan melakukan pekerjaan yang baik di komunitas kami,” kata Dayalan, salah satu jemaatnya.
Keluarga Bhaaratii yang yang sebelumnya mengasingkan dia, akhirnya bisa menerimanya kembali setelah dia menjadi seorang pendeta.
“Orang bisa hidup suci meskipun menjadi waria,” kata Pendeta Bhaaratii, yang kini berencana untuk mendirikan sebuah panti asuhan dan pusat konseling bagi kaum waria yang positif HIV.
“Saya tidak marah pada Tuhan karena menciptakan saya seperti ini, saya hanya melihat diri saya sebagai alat untuk memuliakan nama-Nya,” katanya.
“Suatu hari saya berharap untuk menikah dan menjalani kehidupan keluarga yang indah,” katanya sambil tersenyum.

GEREJA BUTUH PERAN ORANG MUDA KATOLIK. PESAN PAPUA SAAT PENUTUPAN WYD DI JANEIRO BRASIL SEJAK 29 JULY 2013

Gereja butuh peran orang muda Katolik, pesan Paus menutup WYD

Gereja butuh peran orang muda Katolik, pesan Paus menutup WYD thumbnail
 Brasil at 29/07/2013: Sekitar tiga juta orang tumpah ruah di Pantai Copacabana, Rio de Jeneiro, Brasil untuk menghadiri Misa penutupan Hari Kamu Muda Sedunia (WYD, World Youth Day), yang merupakan perjalanan bersejarah Paus Fransiskus ke benua Amerika tersebut.
Di tengah panggung berwarna putih dan kerumunan massa, Paus Fransiskus pada Minggu menyerukan orang muda Katolik untuk pergi ke luar dan menyebarkan Injil kepada mereka yang tampak jauh dari Tuhan, dan acuh tak acuh”, serta melayani masyarakat terpinggirkan.
“Gereja membutuhkan Anda, antusiasme Anda, kreativitas Anda dan sukacita yang begitu khas dari Anda” orang muda Katolik, katanya.
Hampir sepanjang empat kilometer pinggir pantai Copacabana orang muda Katolik meluapkan kegembiraan mereka dengan mengibarkan bendera-bendera negara mereka masing-masing.
Banyak dari mereka seusai Misa menghabiskan malam di pantai itu, dengan mengadakan pesta sepanjang malam untuk mengakhiri perayaan Hari Kaum Muda Sedunia tersebut.
Vatikan mengatakan lebih dari tiga juta orang menghadiri Misa itu, berdasarkan informasi dari panitia WYD dan pemerintah setempat memperkirakan dua pertiga peserta berasal dari luar Rio de Jeneiro.
Jumlah tersebut jauh lebih banyak dari satu juta pada Hari Pemuda Sedunia terakhir di Madrid tahun 2011 atau 850.000 di Toronto, Kanada  tahun 2002 yang menghadiri Misa penutupan.
Paus Fransikus mengumumkan pada hari Minggu bahwa Hari Kaum Muda Sedunia tahun 2016 akan diselenggarakan di Krakow, Polandia.
Paus menekankan bahwa ia mengandalkan orang muda Katolik untuk menjadi “rasul-rasul misionaris”.
Misa itu dihadiri oleh Presiden Brazil  Dilma Rousseff, Presiden Argentina Christina Kirchner, serta Presiden Bolivia Evo Morales.
Foto: inquirer.net

Minggu, 28 Juli 2013

TATA KELOLA HUTAN INDONESIA DINILAI SANGAT BURUK

Tata kelola hutan Indonesia dinilai buruk


Tata kelola hutan Indonesia dinilai buruk thumbnail 18/07/2013

Human Rights Watch (HRW), salah satu LSM internasional terkemuka dalam laporannya yang dirilis Selasa (16/7) mengkritik tata kelola hutan Indonesia yang dinilai gagal karena praktik korupsi dan salah urus oleh pemerintah.
Hal ini, kata lembaga yang berbasis di New York Amerika Serikat ini berdampak serius terhadap HAM dan lingkungan hidup.
Mereka menyatakan, penebangan liar dan salah urus sektor kehutanan menyebabkan kerugian pemerintah Indonesia lebih dari US$7 miliar atau sekitar 70 triliun periode 2007-2011.
“Penyebabnya, seperti, pembalakan liar, subsidi siluman, termasuk penetapan harga kayu dan nilai tukar mata uang yang dipatok lebih rendah untuk menghindari pajak”, kata HRW dalam laporan tersebut yang berjudul “Sisi Gelap Pertumbuhan Hijau: Dampak Hak Asasi Manusia dari Tata Kelola yang Lemah sektor Kehutanan Indonesia”.
HRW menjelaskan, pemerintah berupaya berbenah dengan membuat beberapa kebijakan kehutanan lalu memberi label model “pertumbuhan hijau.”
Namun, dalam praktiknya sebagian besar penebangan di Indonesia tak tercatat dan fee dipatok sangat rendah, hukum dan peraturan pun tetap diabaikan.
Dalam laporan setebal 61 halaman ini, HRW mengatakan salah satu dampak kelemahan pengawasan adalah kebakaran hutan dan lahan baru-baru ini yang menyebabkan asap di berbagai daerah di Indonesia dan negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.
Joe Saunders, Wakil Direktur Program HRW mengatakan, persoalan asap bukan satu-satunya bukti nyata kerusakan akibat kegagalan Indonesia dalam mengelola hutan.
“Penegakan hukum lemah, salah urus, dan korupsi bukan hanya menyebabkan asap, juga penyebab hilangnya miliaran dollar per tahun,” katanya.
Kehilangan pendapatan yang signifikan menjadi penyebab perkembangan yang mengecewakan pada sejumlah isu HAM, terutama terkait layanan kesehatan di pedesaan.
“Dana yang seharusnya bisa untuk meningkatkan kesejahteraan publik tersedot untuk memperkaya segelintir orang dan hilang percuma karena salah urus.”
Misalnya saja, menurut HRW, pada 2011, kerugian negara mencapai lebih dari $ 2 miliar atau Rp 2 trilun,  angka yang lebih besar dari anggaran kesehatan seluruh Indonesia pada tahun itu.
Dalam catatan HRW, meningkatnya keperluan tanah untuk perluasan perkebunan juga menciptakan sengketa tanah  yang sarat kekerasan.
“Pemerintah gagal mematuhi peraturan sendiri, dengan menerbitkan konsesi di lahan yang diklaim masyarakat dan kegagalan menuntut pertanggungjawaban perusahaan yang melanggar kesepakatan ganti rugi”.
Kondisi ini memicu peningkatan sengketa agraria. Contoh, tahun 2011, sengketa berkepanjangan dengan perkebunan sawit di Kabupaten Mesuji, Sumatera Selatan memicu kekerasan antara warga dengan keamanan perusahaan. Dua petani dan tujuh karyawan perusahaan tewas.
Merespon laporan ini, Sumarto Suharno, Kepala Pusat Humas Kementerian Kehutanan mengatakan tuduhan HRW tidak semunya benar.
“Kami mengakui ada beberapa hal yang perlu terus dibenahi oleh pemerintah. Tapi  tuduhan mereka terkait kerugian yang diderita pemerintah dan warga masyarakat perlu dicek lagi, yang angkanya mencapai puluhan triliun itu”, katanya kepada ucanews.com, Rabu (17/7).
Ia mengatakan, tuduhan HRW dalam hal korupsi di sektor kehutanan juga bertentangan dengan fakta bahwa laporan keuangan Kementerian Kehutanan selama ini tanpa cacat.
Sementara itu, Zenzi Suhadi, Manager Kampanye Hutan Perkebunan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengatakan, temuan mereka menunjukkan bahwa praktek salah urus dan korupsi dalam sektor sumber daya alam, termasuk kehutanan masih marak di Indonesia.
Ia mencontohkan, pada pertengan Juni lalu, mereka melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) praktek penyalahgunaan wewenang dan penyuapan yang melibatkan 5 kasus dalam masalah perkebunan da pertambangan di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Sumatera Selatan.
“Aktor yang terlibat di dalamnya seperti menteri, mantan menteri, kepala daerah, mantan kepala daerah, pejabat kementerian, pejabat di pemerintah daerah, dan direktur perusahaan. Potensi kerugian negara mencapai Rp 2,92 triliun”, katanya.
Hal seperti ini, kata Suhadi, menjadi peringatan bagi pemerintah untuk lebih hati-hati dalam memberi izin pengeloaan hutan dan jeli melihat persoalan yang muncul di sejumlah daerah di Indonesia.
Ryan Dagur, Jakarta

Rabu, 24 Juli 2013

KASUS KERUSUHAN TINJU DI NABIRE SEJAK 16 JULY 2013 MURNI UPAYA PENCIPTAAN KONFLIK HORISONTAL

KASUS KERUSUHAN TINJU D NABIRE 16 JULI 2013 MURNI UPAYA PENCIPTAAN KONFLIK HORSISONTAL


Oleh Gunawan Inggerui


Penulis adalah salah satu dari teman – teman aktivis di nabire yang melakukan pemantauan dan upaya pengkondisian situasi.

A. ASPEK HUKUM
Jika dilihat dari aspek hukum maka setiap kegiatan yang yang dilakukan yang mengundang hajat hidup orang banyak harus mendapat laporan polisi atau surat pemeberitahuan kepolisia tentang bentuk kegiatan, berapa jumlah peserta, siapa yang yang bertanggung jawab ini adalah aturan baku yang berlaku di negara indonesia yang termuat dalam UU NO 9 Tahun 1998. Kegiatan tinju pada partai final tanggal 16 juli yang terjadi adalah saling tolak menolak masalah. Polisi mengatakan bahwa Bupati tidak memintah aparat untuk menjaga keamanan, kemudian jika dilihat dari TUFOKSI kepolisian apakah harus diminta baru polisi mengamankan kegiatan tersebut ?,. sementara kegiatan ini adalah kegiatan BUPATI CUP yang mana BUPATI< KAPOLRES< DANDIM< KEJAKSAAN< PENGADILAN adalah unur MUSPIDA yang sudah jelas kegiatan tersebut adalah tanggung jawab bersama yang mana semua pihak ini saling terkait dalam pergelaran tinju tersebut. Sehingga sudah seharusnya keamanan pertandingan dari awal sampai akhir sudah harus mendapat pengamanan yang berarti dari pihak kepolisian tanpa diminta.

B. KRONOLOGIS:
sedikit kronologis yang aneh dari kerusuhan mematikan adalah Jika dilihat dari Kronologis kejadian, dua peserta yang bertanding yang kemudian menyebabkan konflik atau kerusuhan mematikan, sangat sportif dalam menerima hasil pertandingan tersebut. Namun ada pihak yang tidak jelas hadir ditengah – tengah sporter yang saling memberikan dukungan pada kedua peserta dengan melempar kursi kearah ring, dan memunculkan isu ras Papua gunung dan Papua pante. Kejanggalan yang terjadi adalah isu ini dilontarkan oleh sekolompok orang gunung dan kemudian melakukan aksinya namun yang anehnya banyak perempuan – perempuan dan anak dari Papua gunung yang korban ??

C. PASCA KEJADIAN.
Sehari setelah kejadian dimunculkan isu bahwa akan ada penyerangan dari orang papua gunung terhadap orang papua pante, karena banyak korban di pihak orang papua gunung. Setelah kami melakukan pegngecekan ke semua keluarga korban ternyata semua memahami masalah dan menerima kenyataan sebagai sebuah kejadian dan tidak ada niat – niat apapun untuk melakukan perlawanan terhadap pihak manapun.

Dari beberapa pengamamatan diatas maka sangat jelas sekali kasus ini murni diskenariokan oleh pihak – pihak yang ingin menciptakan konflik horisontal dikalangan orang Papua guna menghancurkan berbagai gerakan perlawanan Papua terhadap kolonialisme indonesia di Tanah papua. Sampai berita ini saya muat Kamis 18 juli 2013 isu ini masih terus di lontarkan. KNPB telah melakukan upaya dengan menghimpung rakayat Papua yang ada dikabupaten nabire dan melakukan aksi damai meminta pertanggung jawaban pemerintah atas kejadian yang telah menelang korban jiwa. Tuhan Berkati

Selasa, 23 Juli 2013

GEREJA KATOLIK HARUS SERIUS SIAPKAN KADER YANG AKAN BERKIPRAH DI DUNIA POLITIK

Gereja Katolik harus serius siapkan kader yang akan berkiprah di dunia politik

15/07/2013
Gereja Katolik harus serius siapkan kader yang akan berkiprah di dunia politik thumbnail
Sebastian Salang
Gereja Katolik harus melihat tanggung jawab untuk ikut terlibat dalam urusan politik sebagai salah satu prioritas di tengah berbagai krisis dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi bangsa saat ini.
Gereja tidak boleh mengganggap keterlibatan dalam politik sebagai sesuatu yang sepele, tetapi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari panggilan untuk menghadirkan kebaikan bagi semua orang.
Hal itu dikatakan oleh Sebastian Salang, seorang aktivis dan pengamat politik dalam seminar bertajuk “Semakin Beriman, Semakin Meng-Indonesia”, yang digelar kelompok umat peserta kursus Ajaran Sosial Gereja (ASG) di Paroki St. Paskalis, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Minggu (14/7).
“Situasi politik di Indonesia saat ini telah membuat citra politik sebagai hal yang menjijikkan, kotor, penuh dengan intrik-intrik dan permainan yang menguntungkan kelompok elit. Akibatnya, ada jarak yang sangat lebar antara segelintir kaum elit dengan masyarakat biasa”, katanya.
Di tengah kondisi demikian, menurut dia, Gereja tidak boleh cuci tangan, tetapi harus mengambil peran di dalamnya, agar bisa membawa spirit perubahan.
Ia menjelaskan, peran seperti itu, harus dimainkan dengan baik oleh hirarki maupun awam, karena Gereja zaman sekarang tidak boleh lagi hanya bicara soal surga di mimbar, tetapi juga soal surga yang harus diwujudkan di tengah masyarakat saat ini.
“Sudah saatnya hirarki bangkit dari tidur panjang dan awam berhenti  berdiam dalam ruang nyaman masing-masing untuk memikirkan secara bersama problem yang dihadapi bangsa ini”, kata Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) ini.
Ia menguraikan peran hiraki dan awam sebagai berikut. Hirarki harus mempersiapkan para imam yang dinilai berbakat dan bekompeten untuk nantinya terlibat dalam urusan politik.
“Karena itu sejak di seminari atau saat frater, Ordo atau pimpinan lembaga religius melirik, lalu mendidik dan mengarahkan mereka untuk terlibat dalam urusan-urusan politik”, katanya.
Setelah mendapati orang-orang yang dinilai berkompeten, mereka diarahkan untuk mengenal lebih dekat persoalan yang ada, misalnya dengan bekerja atau magang di lembaga-lembaga seperti Formappi, ICW, dan lain-lain.
Hal ini penting karena, menurutnya, berangkat dari keperihatinan akan peran hirarki yang  masih sangat terbatas saat ini, hanya menampilkan individu-individu tertentu saja.
“Memang ada sebagian anggota hirarki yang suaranya lantang, misalnya Romo Benny Susetyo atau juga Romo Frans Magnis Suseno SJ yang kerap menjadi pembicara dimana-mana dan selalu kritis terhadap setiap persoalan yang ada, baik lewat tulisannya di media massa, maupun lewat TV. Tapi, mengapa hanya mereka, anggota hirarki yang lain di mana?”
Sementara terkait peran awam, menurutnya, hirarki juga harus terus mendorong awam yang berkompeten untuk terlibat dalam politik serta terus melakukan pendampingan setelah mereka masuk dalam sistem, entah sebagai pengurus partai politik atau ketika mereka sudah duduk di kursi pemerintahan atau DPR.
“Saya membayangkan politisi yang didampingi dengan baik dan selalu dituntun, pasti akan mampu membawa perubahan”, katanya.
Ia mengingatkan, untuk bisa seperti itu, memang ada proses yang panjang, tetapi Gereja harus bisa mewujudkan hal ini. “Semakin banyak anggota Gereja yang mempengaruhi ruang publik dengan setia menampilkan nilai-nilai Kristiani, maka jalan menuju perubahan ke arah yang lebih baik akan terbuka lebar”, katanya optimis.
Sementara itu, pembicara lain dalam seminar ini Pastor Adrianus Sunarko OFM, Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta mengakui, keterlibatan Gereja dalam politik tampaknya masih minim.
Meski demikian, katanya, gereja sebenarnya selalu memiliki pilihan sikap yang tegas berhadapan dengan masalah-masalah bangsa saat ini.
Ia mengatakan, peran kritis Gereja saat ini, senantiasa dibutuhkan, selain untuk menghadapi masalah kemiskinan, korupsi dan lain-lain, juga untuk melawan kekuatan-kekuatan yang mengancam persatuan, seperti fenomena munculnya Perda Syariah dan Perda Injil di berbagai tempat.
Namun, ia mengingatakan, dalam rangka keterlibatan itu, baik hirarki maupun awam, hendaknya bisa mengkomunikasikan gagasan-gagasannya agar bisa diterima oleh semua golongan.
“Dalam konteks masyarakat plural saat ini, kita mesti menghindari kecenderungan mendasarkan argumentasi pada Injil, dengan menyebut ayat-ayat. Tetapi merumuskannya dalam bahasa yang bisa diterima oleh semua”, katanya.
Ia mengatakan, inilah tantangan yang mesti diatasi olah anggota Gereja yang memilih terjun dalam politik, baik hirarki maupun awam.
Ryan Dagur, Jakarta

PENERAPAN KURIKULUM 2013 DINILAI TERBURU-BURU DI INDONESIA

Penerapan kurikulum 2013 dinilai terburu-buru


Penerapan kurikulum 2013 dinilai terburu-buru thumbnail 12/07/2013
Ilustrasi

Kritikan terus muncul terhadap kurikulum pendidikan 2013,  yang menurut  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan mulai diterapkan pada tahun ajaran baru tahun ini untuk semua tingkatan sekolah dari SD, SMP dan SMA.
Para pemerhati pendidikan menilai, karena tanpa proses persiapan yang matang, kurikulum ini akan berdampak sistemik bukan saja bagi guru tapi juga siswa.
Guntur Ismail, Presidium Forum Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai, kurikulum  2013 yang menuntut perubahan proses pembelajaran agar lebih mengedepankan murid melakukan pengamatan, bertanya, dan mengeksplorasi hanya mungkin terwujud bila mindset guru telah berubah.
Memang, kata Guntur, saat ini pemerintah sedang menggalakkan pelatihan  bagi para guru sebagai ujung tombak pelaksanaan kurikulum ini.
“Namun, kami mendapat informasi banyak sekali terjadi kelemahan dalam prosesnya”, katanya kepada wartawan di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Kamis (11/7).
Ia menjelaskan, awalnya, pemerintah menggembar-gemborkan bahwa pelatihan yang dirancang akan berlangsung partisipatif dan demokratis.
“Faktanya, ternyata berlangsung searah dan mengedepankan ceramah.Kondisi ini akan berdampak pada kegagalan mengubah paradigma atau mindset guru dalam praktiknya nanti. Kegagalan mengubah mindset guru akan menjadi sumber kegagalan implementasi kurikulum 2013,” kritik Guntur.
Senada dengan itu, ketika dihubungi terpisah, Pastor Vinsensius Darmin Mbula OFM, Koordinator Forum Peduli Pendidikan Republik Indonesia (FPPRI) mengatakan, pelatihan para guru tidak akan efektif dan dipastikan hasilnya tidak akan maksimal.
“Bagaimana mungkin menyulap guru hanya dalam lima 5 hari agar memenuhi standar kurikulum baru ini”, katanya kepada ucanews.com.
Pastor Darmin yang sejak awal menolak kurikulum baru mengatakan, pemerintah salah mendiagnosis masalah pendidikan di Indonesia.
Seharusnya, kata dia, kalau yang ingin disasar adalah peningkatan kualitas para guru, maka yang perlu dibenahi adalah pola pendidikan di Lembaga Pendidikan  Tinggi Keguruan (LPTK).
“Tapi, persoalannya, pemerintah tidak memperhatikan hal ini secara serius”, katanya.
Ia menjelaskan, kurikulum sebaik apapun, tetapi kalau gurunya tidak disiapkan secara matang, maka hal itu akan sia-sia.
“Pemerintah akhirnya hanya menghabiskan dana untuk tujuan yang tidak jelas”, tegas imam yang juga Sekertaris Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK) ini.
Ryan Dagur, Jakarta

HARI PENDUDUK DUNIA: 3,2 JUTA REMAJA LAKUKAN ABORSI TIDAK AMAN

Hari Penduduk Dunia: 3,2 juta remaja lakukan aborsi tidak aman


Hari Penduduk Dunia: 3,2 juta remaja lakukan aborsi tidak aman thumbnail 12/07/2013

Kemarin (11/7) dunia memperingati Hari Kependudukan se-Dunia, dan  Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon menyerukan penyediaan sumber daya bagi pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan gadis remaja, serta menuntut perhatian global buat remaja yang hamil.
Sekjen PBB itu mengatakan komplikasi dari kehamilan dan kelahiran dapat mengakibatkan cacat dalam jumlah yang sangat banyak dan menjadi penyebab utama kematian bagi perempuan muda yang rentan.
“Untuk menangani masalah ini, kita harus membawa anak perempuan ke sekolah dasar dan memungkinkan mereka memeroleh pendidikan yang baik sampai mereka melewati masa remaja mereka,” kata Ban dalam pesannya, seperti dilansir metrotvnews.com.
Ia juga menyerukan diberikannya pendidikan yang sesuai usia dan menyeluruh mengenai seks kepada semua remaja. Ini penting untuk memberdayakan perempuan muda agar mereka bisa memutuskan waktu dan keinginan mereka menjadi ibu.
Data statistik PBB memperlihatkan sebanyak 16 juta gadis remaja yang berusia di bawah 18 tahun melahirkan setiap tahun.
Sebanyak 3,2 juta remaja lagi menjalani aborsi yang tidak aman. Kehamilan di kalangan gadis remaja sering kali akibat diskriminasi, pelanggaran hak (termasuk pernikahan dini), pendidikan yang tidak layak, dan hubungan seks secara paksa.
Ban mengatakan, “Ketika kita mencurahkan perhatian dan sumber daya pada pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan gadis remaja, mereka akan menjadi kekuatan yang lebih besar bagi perubahan positif dalam masyarakat sehingga akan memiliki dampak pada beberapa generasi ke depan.”
Pada 11 Juli ditetapkan sebagai Hari Penduduk Dunia oleh PBB sejak 1989 guna menarik perhatian masyarakat global pada tingginya angka pertumbuhan penduduk setelah penduduk dunia mencapai 5 miliar.
Indonesia
Di Indonesia rata-rata jumlah remaja usia 15-19 tahun yang melahirkan dalam rentang waktu lima tahun terakhir mengalami lonjakan tajam.
Jika tahun 2007 rata-rata kelahiran pada remaja  35 per 1.000 kelahiran, tahun 2012 menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) jumlahnya bertambah menjadi 45 per 1.000.
“Angka pernikahan dini yang meningkat menyebabkan jumlah kelahiran di tingkat remaja semakin melonjak,” kata Kepala Pusat Pelatihan Internasional BKKBN, Novrizal, pada diskusi tentang Hari Kependudukan Dunia 2013, di Yogyakarta, (10/7).
Budaya menikah dini di negara kita belakangan ini, diakui Novrizal, semakin sulit dibendung.
Menurut katagori United Nations Development Economic and Social Affairs (UNDESA) 2011, Indonesia adalah negara ke-37 dengan jumlah perkawinan dini terbanyak di dunia.
Untuk level ASEAN, tambah Novrizal, Indonesia berada di urutan kedua terbanyak setelah Kamboja. Hal ini selaras dengan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 yang menyatakan 46% perempuan Indonesia menikah sebelum berusia 20 tahun.

KEBEBASAN BERADA DI BAWAH ANCAMAN

Kebebasan berada di bawah ancaman

4/07/2013
Kebebasan berada di bawah ancaman thumbnail

Setelah berbulan-bulan penundaan dan perdebatan sengit, DPR RI akhirnya pada Selasa mengesahkan RUU Ormas, yang akan memberikan kesempatan kepada pemerintah memiliki kontrol lebih besar terkait kegiatan publik, termasuk kewenangan membubarkan sebuah organisasi yang dianggap sebagai ancaman bagi negara.
Dari 361 anggota DPR yang menghadiri rapat pleno pada Selasa, 311 menyetujui pengesahan RUU itu sebagai UU, dengan mengatakan bahwa negara membutuhkan UU tersebut untuk memberdayakan organisasi lokal dan menentang intervensi asing di tanah air melalui LSM-LSM.
Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) menentang pengesahan RUU itu, dan menurut aktivis, UU itu dapat digunakan  untuk membungkam para pembangkang politik.
“Saya menyadari kritikan di luar sana. UU ini mungkin tidak memuaskan semua kelompok tapi ini adalah yang terbaik yang bisa kami lakukan,” kata Abdul Malik Haramain, ketua Pansus pembahasan RUU Ormas.
Kelompok-kelompok keagamaan seperti Muhammadiyah, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) telah menolak pengesahan RUU kontroversial itu dan berencana melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
UU itu memberikan kewenangan kepada  Kementerian Dalam Negeri yang  bertanggung jawab untuk menyaring semua Ormas yang beroperasi di tanah air dalam koordinasi dengan kementerian terkait serta pemerintah daerah.
Berbicara di hadapan anggota DPR RI, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan bahwa pihaknya baru-baru ini mencatat 65.577 Ormas, Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia mencatat 48.866 Ormas, Kementerian Sosial mencatat 25.406 ormas dan Kementerian Luar Negeri mencatat 108 LSM asing.
Menurut Gamawan, banyak organisasi yang tidak terdaftar beroperasi di tanah air yang harus dipantau. “Kita perlu mengelola semua kelompok ini sehingga mereka dapat secara positif berkontribusi terhadap negara,” katanya.
Kelompok penolak UU itu menegaskan bahwa UU itu hanya akan memberikan kontrol negara yang berlebihan atas gerakan sipil di negara ini.
Di antara 87 pasal dalam UU itu, beberapa pasal telah menjadi keprihatinan karena berpotensi dibubarkan bila Ormas melakukan kritikan terhadap kebijakan pemerintah.
Pasal 5 UU itu, misalnya, mendesak Ormas mempertahankan dan memperkuat kesatuan bangsa serta menegakan cita-cita negara. Pasal tersebut juga melarang penghujatan terhadap agama-agama, kegiatan yang mempromosikan separatisme, gangguan ketertiban umum, dan melanggar ideologi negara, Pancasila.
Oleh karena itu kewajiban semua Ormas yang beroperasi di seluruh nusantara, yang terdaftar dan tidak terdaftar, mengikuti proses penyaringan melalui kementerian terkait untuk mendapatkan izin dari pemerintah. Hanya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di negara itu, yang dibebaskan dari persyaratan karena kontribusi mereka terhadap negara dan mereka didirikan sebelum kemerdekaan negara itu.
Berdasarkan UU itu, kelompok-kelompok asing harus menjalani proses penyaringan melalui Kementerian Luar Negeri serta Badan Intelijen Negara (BIN).
Kelompok penolak mengatakan UU Ormas tumpang tindih dengan hukum yang ada, seperti UU Nomor 24/2004 tentang dasar organisasi dan UU No 14/2008 tentang keterbukaan informasi publik (KIP).
Mereka berargumentasi bahwa UU Tahun 2008 tentang KIP memungkinkan pemerintah menilai informasi pada setiap organisasi, yang anggota parlemen mengatakan adalah salah satu tujuan utama dari RUU Ormas.
“Sudah jelas bahwa UU itu hanya akan memberikan kewenangan pemerintah untuk memonitor dan membekukan kegiatan kami setiap kali kami dianggap sebagai ancaman,” kata Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti.
RUU ini dimulai dalam menanggapi seruan publik untuk membubarkan kelompok radikal seperti Front Pembela Islam (FPI), yang seringkali membuat keonaran. Namun, para aktivis meragukan bahwa UU itu akan mengatasi masalah tersebut.
Definisi  Ormas
Ormas adalah kelompok yang secara sukarela didirikan oleh masyarakat berdasarkan aspirasi, kemauan, kebutuhan dan kepentingan bersama, serta berpartisipasi untuk menegakkan persatuan Indonesia berdasarkan ideologi negara Pancasila.
Pemerintah akan memberikan sanksi terhadap Ormas yang tidak:
• Mendaftarkan dan mendapat izin dari pemerintah
• Menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa
• Menjaga nilai-nilai budaya, moral dan agama
• Menjaga ketentraman dan ketertiban umum
• Mempromosikan cita-cita Negara
Sanksi
Pemerintah akan mengeluarkan tiga surat peringatan kepada Ormas yang dianggap telah melanggar kewajiban mereka. Setiap surat akan berlaku selama kurang lebih 30 hari.
Pemerintah sementara akan menghentikan operasi dari setiap Ormas yang gagal menanggapi salah satu surat peringatan, setelah mengamankan nasihat hukum dari Mahkamah Agung.
Pemerintah dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk membubarkan atau mencabut izin kelompok dianggap telah gagal menyelesaikan semua persyaratan.
Sumber: The Jakarta Post

KECAMATAN TERHADAP PERNYATAAN PM ASUTRALIA SOAL ISU PAPUA

Kecaman terhadap pernyataan PM Australia soal isu Papua

08/07/2013
Kecaman terhadap pernyataan PM Australia soal isu Papua thumbnail

Aktivis HAM Papua mengecam pernyataan Kevin Rudd, Perdana Menteri Australia akhir pekan lalu yang mengatakan, Australia mengakui sepenuhnya kedaulatan Indonesia atas Papua karena menilai hal itu akan membawa dampak buruk bagi penyelesaian masalah pelanggaran HAM di Papua.
Dalam konferensi pers bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Bogor,  Jawa Barat, Jumat (5/7) lalu itu setelah menggelar Pertemuan Tahunan ketiga Indonesia-Australia itu, Rudd mengatakan, “Saya ingin menegaskan kembali secara terbuka di sini, berturut-turut Perdana Menteri Australia (sebelum saya) telah mengatakan di masa lalu, bahwa Australia mengakui, diakui di masa lalu dan akan mengakui di masa depan, keutuhan wilayah Republik Indonesia yang meliputi Papua.”
Rudd memuji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan menyebutnya sebagai sosok pemimpin yang kuat dalam mengatasi berbagai masalah di Papua, termasuk adanya program paket otonomi khusus yang diberikan untuk pembangunan di Papua.
Ia juga mengatakan, Australia ingin bekerja dengan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan dan keamanan jangka panjang dan stabil di Papua yang merupakan bagian dari Republik Indonesia.
Marthen Goo, aktivis dari National Papua Solidarity (NAPAS) menilai pernyataan Rudd akan membawa dampak negatif bagi penyelesaian masalah kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua yang hingga kini masih massif.
“Seharusnya Australia menekan pemerintah Indonesia untuk mengakhiri kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua serta membuka ruang dialog antara pemerintah pusat dengan warga Papua”, katanya kepada ucanews.com, Senin (8/7).
Ia menambahkan, Australia tidak bisa hanya menyatakan dukungan terhadap kedaulatan Indonesia, tanpa peduli pada kondisi yang dialami warga Papua.
Goo mengklaim, Rudd menutup mata pada persoalan Papua dan mengatakan,  persoalan yang seharusnya menjadi perhatian Rudd adalah pelanggaran HAM yang massif yang diderita warga Papua.
 “Namun, hal itu sama sekali tidak disinggung dalam pernyataan Kevin Rudd”, kata Goo.
Elias Ramosta Patege, aktivis lain dari NAPAS mengaku curiga, pernyataan Rudd hanya bertujuan meloloskan kepentingan ekonomi Australia di Indonesia.
“Dengan memberi dukungan, mereka (Australia) sebenarnya memiliki target tertentu, menggeruk kekayaan alam di Indonesia, terutama Papua”, jelasnya.
Ia mengatakan, Australia saat ini melihat posisi pemerintah Indonesia kuat dalam meredam gejolak di Papua, sehingga mereka mendukung Indonesia.
“Mereka (Australia) akan mendukung pihak yang menguntungkan mereka, dalam hal ini yang posisinya sedang kuat”, katanya.
Menurut NAPAS, kasus pelanggaran HAM seperti penembakan dan kekerasan lainnya yang menyebabkan korban warga sipil, termasuk juga TNI dan Polri, setiap bulan masih terus terjadi dan selalu menelan korban jiwa.
Peristiwa terakhir terjadi pada 26 Juni lalu, dimana seorang anggota TNI I Wayan Sukarta dan seorang sopir bernama Tono ditembak oleh kelompok sipil bersenjata di Puncak Jaya. Sebulan sebelumnya, pada pada 1 Mei aksi damai Papua berakhir dengan penembakan yang menyebabkan 2 warga sipil meninggal di Sorong dan 1 orang ditembak di Biak, serta 5 korban lainnya luka-luka.
Selain itu, juga masih ada kasus pelanggaran HAM masa lalu yang kini belum tersesaikan, seperti penembakan yang menewaskan sekitar ratusan warga sipil di Biak pada 1998 saat mereka sedang menggelar aksi demontstrasi.
Tragedi ini yang meletus pada 6 Juli 1998  dikenal dengan istilah “Tragedi Biak Berdarah”, dan pada Sabtu (6/7) lalu sudah genap berusia 15 tahun, namun belum ada proses hukum atas peristiwa ini.

TOKOH AGAMA SANGAT BERPERAN MEMBANGUN PAPUA TANAH DAMAI

Tokoh agama sangat berperan membangun Papua Tanah Damai


Tokoh agama sangat berperan membangun Papua Tanah Damai thumbnail 23/07/2013
Romo Antonius Benny Susetyo

Sejumlah tokoh agama nasional dan Papua serta masyarakat setempat berkumpul di Sentani, Papua membahas isu-isu strategis di Papua termasuk pendirian rumah ibadah, penyiaran agama yang ekstrim/fanatik,  dan perkawinan beda agama.
Pertemuan Tenaga Harmonisasi Lintas Agama itu diselenggarakan Subag Hukum dan Kerukunan Umat Beragama Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Papua, di Hotel Travellers, Sentani, Kabupaten Jayapura, belum lama ini.
Romo Antonius Benny Susetyo, salah satu panelis mengatakan, Gereja berharap kekerasan di Papua segera dihentikan. “Harapan Gereja adalah menciptakan Papua Tanah Damai dimana kekerasan dan darah harus segera dihentikan. Ke depan pentingnya dialog Papua Tanah Damai menjadi solusi bagi Papua karena Papua Tanah Damai adalah mimpi bersama masyarakat Papua, namun  hal itu dibutuhkan political will pemerintah dalam mengupayakan perdamaian sejati.”
Romo Benny, yang juga sekretaris eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia mengatakan, “Para tokoh agama sejak awal menggagas dialog Papua Tanah Damai. Tokoh agama adalah pilar bagi kehidupan masyarakat Papua dan suara masih didengar oleh mereka.”
Lewat pemberitaan Injil yang disampaikan para pastor dan pendeta, katanya, masyarakat Papua mengalami kehidupan yang lebih damai dan memiliki kemampuan yang sama dengan masyarakat lain.
Ia mengatakan, meskipun masalah dalam inter-dominasi menjadi persoalan dalam misi Gereja di lapangan, namun ide Papua Tanah Damai, semua Gereja sepakat membangun dialog Jakarta dan Papua.
Menurutnya, Gereja tidak boleh bekerja sendiri-sendiri mengingat kompleksnya masalah Papua. Maka saatnya Gereja-gereja bergandengan tangan untuk mewujudkan Papua Tanah Damai.
Hingga kini dialog Jakarta-Papua belum terwujud dan hanya di tingkat wacana. Menurut pengamatan Romo Benny, kendalanya pada penguasa yang masih merasa curiga dengan dialog Papua Tanah Damai seolah-olah Papua ingin merdeka. Kecurigan itu membuat dialog tidak berjalan maka realisasinya dibutuhkan trust kedua pihak.
Kegiatan itu dihadiri oleh tokoh agama, pemuda, dan perempuan, dengan pembicara Romo Benny, Akmal Salim, Kasubag Bidang Perencanaan Hubungan Antar Umat Beragama Puslitbang Kehidupan Keagamaan Balitbang dan Diklat Kemenag RI, Nyoman Sucipta, Asisten I Sekda Bidang Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat, Jannus Pangaribuan, Kepala Kemenag Kabupaten Jayapura, Melias Adii, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Papua, I Gusti Made Sunartha, Sekretaris FKPPA, dan Ketua FKUB Kabupaten Jayapura.

KEMENANGAN BAGI PAPUA BARAT DI MELANESIA

Published on July 5, 2013 
 
Jason MacLeod
Jalan masih panjang untuk ditempuh tapi pengakuan Indonesia atas kemerdekaan Papua Barat yang didorong pada pertemuan regional minggu lalu merupakan sebuah terobosan. Jason MacLeod menjelaskannya mengapa.
Papua Barat baru saja memenangkan kemenangan luar biasa di pertemuan Melanesian Spearhead Group (MSG) di Noumea.

Ketika kepala-kepala pemerintahan dan orang-orang terhormat dari bangsa-bangsa Melanesia berkumpul untuk pertemuan tahunan MSG di akhir Juni, item yang paling menonjol pada aggenda adalah keanggotaan Papua Barat. Ini adalah hasil dari kerja selama 18 bulan oleh John Otto Ondawame, Rex Rumakiek, Andy Ajamiseba dan Paula Makabory, kelompok yang mengkoordinir West Papua National Coalition of Liberation (WPNCL), sebuah grup Papua Barat yang menjadi payung organisasi perlawanan di dalam dan luar negeri.

Pada pertemuan itu, perwakilan pemerintah Indonesia (yang baru-baru diberi status pengamat oleh MSG) secara publik mengakui bahwa Papua Barat telah menjadi masalah internasional. Ini sungguh-sungguh signifikan; selama berpuluh-puluh tahun pemerintah Indonesia telah bersikeras bahwa Papua Barat adalah isu internal. Jakarta telah berulangkali menolak semua tawaran bantuan internasional untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan ini.
Akan tetapi, sebagaimana dicatat oleh delegasi Papua Barat, pemerintah Indonesia sangat sadar bahwa anggota-anggota MSG telah secara berhasil mendukung dorongan-dorongan pada masa lalu untuk dekolonisasi di Vanuatu, Timor Leste, Kanaky (New Caledonia), dan sekarang Maohi Nui (Polynesia Perancis yang mencakup Tahiti).

Dalam pernyataan resmi, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan dari Pemerintah Indonesia, Djoko Suyanto mengundang menteri-menteri luar negeri MSG untuk mengunjungi Indonesia untuk mengamati pembangunan secara umum, yang juga mencakup kebijakan pemerintah untuk mempercepat pembangunan di Papua dan Papua Barat. Menteri senior itu mengatakan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mendukung rencana itu.

Pemerintah negara-negara Melanesia– Papua New Guinea, Vanuatu, Fiji, Solomon Islands, dan FLNKS (Front de Liberation Nationale Kanak et Socialiste, the National Socialist Liberation Front for Kanaky, sebuah koalisi dari empat badan yang pro-kemerdekaansepertinya akan mengunjungi Indonesia dalam jangka waktu enam bulan ke depan, bergantung pada negosiasi dengan Pemerintah Indonesia.

Secara kolektif, bangsa-bangsa MSG dapat mendesak agar Papua Barat dikembalikan pada daftar negara-negara yang belum didekolonisasi, dan karenanya membuat Papua Barat menjadi perhatian Komite Dekolonisasi PBB. Bahwa mereka telah mengundang lima pemerintah asing untuk melihat situasi di Papua Barat menampakkan betapa mereka khawatir.
Jika mereka berkunjung ke Papua Barat, menteri-menteri luar negeri harus menentukan siapa yang mewakili bangsa Papua Barat: Pemerintah Indonesia, Republik Federal Papua Barat, atau West Papua National Coalition. MSG mesti memutuskan sendiri hal ini atas desakan Commodore Vorenqe Bainimarama, kepala pemerintahan militer Fiji, dengan dukungan dari Sir Michael Somare dari Papua New Guinea. Permohonan West Papua National Coalition untuk mendapatkan status pengamat atau anggota di MSG ditunda setelah intervensi pada menit terakhir oleh Jacob Rumbiak, seorang Papua Barat yang berada di pengasingan, yang mendesak bahwa mereka bukan perwakilan yang sah dari rakyat Papua Barat.
Semua ini membuat enam bulan ke depan sungguh-sungguh menarik.
Beberapa hal bisa kita prediksi dengan peluang yang cukup besar. Pertama, pemerintah Indonesia akan berusaha untuk membeli pemimpin-pemimpin politik Melanesia. Dengan korupsi endemik di banyak negara Melanesia, penegakkan hukum yang lemah, derajat kebebasan pers yang beragam dan pertaruhan kepentingan politik dan ekonomi, mereka mungkin berhasil. Tentu saja, orang-orang Papua tidak akan bisa berkompetisi dengan kemurahan hati Indonesia.

Pemerintahan militer Bainimarama telah memiliki hubungan dekat dengan pemerintah Indonesia sehingga ia tampaknya tidak akan menolaknya. Tanpa kebebasan press atau demokrasi di Fiji, ini akan lebih sulit bagi orang-orang Fiji untuk mendesak bahwa orang-orang Papua seharusnya hidup terbebas dari sepatu Indonesia.

Papua New Guinea cukup rentan. Sejumlah politisi PNG, sangat kentara Sir Michael Somare, sangat berkepentingan di pembalakan kayu, perkebunan kelapa sawit, dan rantai supermarkat dengan pemerintah Indonesia dan militer. Politisi PNG yang lain akan cemas dengan ketidakstabilan sepanjang batas dengan Papua Barat. Militer Indonesia telah berkali-kali melanggar batas ke teritori PNG dalam usaha untuk mengejar orang Papua yang melanggar, termasuk aktivis non-kekerasan yang mencari suaka. Itu dapat diupayakan sebagai dukungan untuk demiliterisasi Papua Barat, posisi yang didukung oleh sejumlah politisi PNG.

Kepulauan Solomon juga rentan terhadap pengaruh Indonesia. dari semua negara Melanesia, Kep. Solomon memiliki kesadaran terendah akan pendudukan pemerintah Indoensia atas Papua Barat. Mereka adalah tempat yang substansial untuk kepentingan logging Indonesia dan Malaysia.
 
Mengatakan semua itu, hal ini harus diperhatikan bahwa Gordon D. Lilo, perdana menteri Kep. Solomon, mengatakna kepada anggota West Papua National Coalition for Liberation bahwa kasus Papua Barat adalah isu dekolonisasi yang tidak lengkap, itu telah berlangsung terlalu lama; itu harus diselesaikan sekarang.

Pemerintah Vanuatu dan FLNKS akan lebih kurang tanggap dengan tawaran Indonesia. Di Vanuatu tahun lalu pemerintahnya digulingkan oleh kemarahan yang cukup besar terhadap hubungan dekat perdana menteri saat itu, Sato Kilman, dengan pemerintah Indonesia. Perdana menteri yang sekarang, Moana Carcases Kalosil, adalah pendukung yang kuat terhadap kemerdekaan Papua Barat. FLNKS juga menautkan keberuntungan politik mereka kepada nasib baik perjuangan Papua Barat untuk referendum melalui bingkai solidaritas Melanesia.

Kita juga bisa menjamin bahwa pemerintah Australia dan Selandia Baru akan memutar kembali mantra usang mereka bahwa mereka mendukung keutuhan teritorial pemerintah Indonesia. Dalam sebuah artikel pada edisi Juni The Monthly Hugh White, pakar strategi merekomendasiakn pemerintah Australia untuk melepaskanconcern apa pun terkait dengan hak azasi manusi di Papua Barat demai kepentingan politik dan ekonomi.

Tetapi menteri dari kedua belah pihak Tasmania secara diam-diam mengakui bahwa pengaruh mereka terhadap kebijakan luar negeri Indonesia telah surut. Pertemuan MSG di Noumea secara jelas memperlihatkan betapa kebijakan luar negeri Australia dan Selandai Baru yang tidak relevan terhadap Papua Barat telah terjadi dan seberapa MSG telah menjadi dewasa sebagai sebuah badan politik regional.

Akan tetapi, ketegangan yang familiar antara kelompok-kelompok perlawanan Papua Barat mencuat dalam pertemuan di Noumena. Patahan yang menonjol, diekspose oleh sebuah artikel di The Island Business, adalah antara West Papua National Coalition for Liberation dan Federal Republic of West Papua, yang sama-sama mengklaim sebagai perwakilan bangsa Papua.

Baik National Coalition dan the Federal Republic melamar untuk menjadi anggota MSG. Perwakilan the National Coalition menetap di Vanuatu dengan akses yang mudah ke sekretariat MSG di Port Vila, namun kepemimpinan the Federal Republic berada di penjara, dihukum tiga tahun penjara karena deklarasi kemerdekaan yang bermartabat  dan tanpa kekerasan pada 19 Oktober 2011. Dialog di antara kedua kelompok ini sangat sengit.

Ketika Forkorus Yaboisembut, Presiden dari the Federal Republic of West Papua mengetahui permohonan the National Coalition pada awal tahun ini, ia menulis kepada Direktur Jenderal MSG. Dalam surat itu, dengan sangat sopan Yaboisembut menarik permohonannya, mengatakan:

Sebaliknya kami memohon agar surat ini dipandang semata sebagai surat dukungan dari Papua Barat untuk permohonan bagi [the National Coalition] untuk menjadi anggota MSG dan sebagai sarana perkenalan Republik Federal Papua Barat kepada MSG untuk tujuan-tujuan ke depan.

Ini, dan fakta bahwa untuk jangka waktu yang pendek pada akhir 2010-2011 keduanya merupakan bagian dari struktur pengambilan keputusan bersama, memperlihatkan bahwa kerjasama sangatlah mungkin. Orang Papua kini memiliki waktu selama enam bulan untuk menata rumahnya. Ini bisa jadi melibatkan koalisi politik di antara kelompok-kelompok resistensi, seperti model yang berhasil di Timor Leste dan Kanaky, atau penyatuan di bawah visi bersama yang serupa dengan Piagam Kebebasan African National Congress.

Ketika menteri-menteri luar negeri dari MSG sungguh mengunjungi Papua Barat mereka akan ditemani oleh media internasionalkemenangan bagi orang Papua yang telah lama menuntut negara mereka dibuka untuk media asing.
Kalau, di sisi lain, pemerintah Indonesia mendesak agar jurnalist tidak diikutkan dalam kunjungan MSG, mereka malah hanya akan menguatkan persepsi internasional bahwa mereka sungguh-sungguh menyembunyikan sesuatu.
Bagaimana pun, orang Papua, seperti Timor Leste sebelum mereka yang bermobilisasi ketika Paus Johanes Paulus II berkunjung pada 1989, akan menggunakan kesempatan ini untuk mendaftarkan teriakan mereka untuk merdeka sebanyak yang belum pernah dilihat sebelumnya.

Seruan seperti itu boleh jadi didengar lebih jauh daripada Papua Barat, yang telah menjadi isu politik yang meledak di Melanesia. Ikatan antara orang Papua dan kerabat Melanesia mereka menjadi lebih dekat daripada yang pernah ada; apa yang terjadi jika warga PNG, Vanuatu, Fiji, Kep. Solomons dan Kanaky bangkit dan mendesak pemimpin mereka untuk mendukung Papua Barat? Penggulingan pemerintahan Sato Kilman di Vanuatu adalah cerita yang layak diperhatikan.
Bagaimana negara Indonesia akan berekasi? Sepertinya mereka akan menunjuk pada uang yang sudah mereka limpahkan ke Papua Baratyang manfaatnya telah mengalir kepada perusahaan transnasional dan elite-elite Papua, sementara malah memiskinkan lebih jauh orang asli Papua. Mereka akan beralasan bahwa Papua Barat adalah demokrasi; bahwa orang-orang Papua dipilih oleh masyarakat mereka sendiri. Itu betul, tapi pemerintah Indonesia menyangkal hak orang Papua untuk membentuk partai politik mereka sendiri. Dalam kenyataan Papua Barat adalah pos terdepan kolonial yang diatur dari Jakarta.

Tahan politik Papua memenuhi penjara, bukti penyiksaan sistemik bocor keluar, dan mayat orang-orang Papua yang dibunuh oleh polisi dan militer menumpuk (seperti dugaan pembunuhan 40 orang Papua di wilayah Puncak Jaya pada bulan-bulan belakangan ini).

Akhirnya, pemerintah Indonesia akan menyebut orang-orang Papua sebagai terosisme yang menyimpang atau suatu upaya yang dikendalikan oleh asing. Propaganda semacam ini adalah pilihan yang terakhir dari penguasa otoritarian. Tokoh-tokoh militer Indonesia mengatakan bahwa gerilyawan bersenjata berjumlah sedikit lebih banyak dari 1000 pejuang purna-waktu, sebagian besar di antaranya tidak aktif. Sebaliknya, jumlah gerakan tanpa kekerasan puluhan ribu dan mereka berada di jalanan setiap minggu, jika tidak setiap hari. Gerekan kemerdekaan Papua Barat adalah perlawanan berbasis pada warga tanpa kekerasan terhadap pemerintahan Indonesia yang berkepanjangan.

Pemerintah Indonesia tidak lagi dapat ber-concern bahwa Papua Barat, seperti Timor Leste sebelumnya, akan menjadi isu internasional. Itu sudah sangat terlambat. Papua Barat sudah menjadi isu internasional.
Dalam enam bulan ke depan pekerjaan Jakarta akan berupa tekanan untuk membuat Papua taat sementara berusaha untuk meminimalisasi represi. Pekerjaan Papua adalah untuk merongrong legitimasi pemerintah Indonesia dan menaikkan biaya politik dan ekonomi dari okupasi itu. Pertaruhan sangat tinggi tapi potensi imbalnya juga besar: kemerdekaan.

Jason MacLeod adalah peneliti dan trainer di Pusat Australia untuk Studi Perdamaian dan Konflik, di Brisbane, Australia. Ia juga seorang kandidat doktor di University of Queensland.
Artikel ini diterjemahkan dari artikel bahasa Inggris yang dimuat di newmatilda.com dengan izin resmi pennulis.Jika Anda berminat membaca artikel-artikel Jason MacLeod kliki di sini.