Kamis, 30 Mei 2013

Opini: TAWANAN POLITIK PAPUA MERDEKA, oleh Selpius Bobii



TAWANAN POLITIK PAPUA MERDEKA
Oleh: Selpius Bobii

Penjara Abepura, Rabu 29 Mei 2013

"Kita bukan narapidana politik, tetapi Tawanan Politik. Dalam surat atau pernyataan sikap selama ini, saya lebih suka pakai Tawanan Politik karena sebutan narapidana politik oleh Indonesia itu identik dengan pelaku kriminal. Kita ditahan bukan karena melakukan kriminal, tetapi karena melakukan aksi politik untuk Papua merdeka", demikian pernyataan Filep J. S. Karma saat kami diskusi penyamaan persepsi menyikapi rencana pemberian grasi oleh presiden Republik Indonesia. Pernyataan Filep di atas merupakan sikap penolakan penyebutan "narapidana politik" oleh Negara Kolonial Indonesia kepada para tahanan suara hati nurani yang ditangkap dan ditahan dengan sewenang-wenang.

Dalam pertemuan yang digelar pada tanggal 24 Mei 2013, para Tahanan Suara Hati Nurani Bangsa Papua di Penjara Abepura telah menyepakati penggunaan "TAWANAN POLITIK PAPUA MERDEKA (TAPOL PM)". Mengapa kami sepakati pakai sebutan Tawanan Politik Papua Merdeka dan menolak sebutan Narapidana Politik? Pertanyaan ini ku jelaskan dalam artikel di bawah ini.
Di negara Indonesia, untuk membedakan antara orang yang diduga melakukan aksi politik yang bertentangan dengan hukum pidana, yang masih diproses hukum dan pelaku aksi politik yang sudah memiliki keputusan tetap (inkrah), menggunakan sebutan "tahanan politik" dan "narapidana politik".  Disebut tahanan politik (tapol) apabila masih dalam proses hukum; dan disebut narapidana politik (napol) apabila sudah memiliki keputusan hukum yang inkrah (tetap).

Mari kita pahami apa arti narapidana. "Narapidana" terdiri dari dua kata: Nara dan Pidana. "Nara" artinya "orang (person/human being)". "Pidana" artinya kriminal atau kejahatan, atau perkara kejahatan. Jadi narapidana artinya "orang kriminal atau pembuat kejahatan".
Sebutan "narapidana politik" berkonotasi negatif, yaitu "orang kriminal politik". Dengan adanya pengertian "narapidana politik" yang berkonotasi negatif ini, maka orang yang diduga melanggar hukum atau orang yang dipenjara akibat melakukan aksi politik dipandang juga sebagai penjahat, maka pihak berwajib (aparat keamanan) dan sipir penjara di Indonesia selalu menyamakan tahanan politik dengan tahanan dan narapidana kriminal umum. Bahkan sering kali para tahanan politik diperlakukan diskriminatif dan ditindak dengan sewenang-wenang oleh para pihak berwajib (TNI/POLRI) dan sipir penjara. Hal itu terjadi karena minimnya pemahaman mereka terhadap status Tahanan Politik.

Untuk menyikapi perlakuan sewenang-sewenang dari aparat keamanan dan sipir penjara di Indonesia terhadap tahanan politik, berbagai protes dan tekanan pun datang dari berbagai pihak dari dalam negeri maupun luar negeri, seperti Tapol di Inggris, HRW, Amnesti Internasional, dan berbagai kalangan lainnya. Bahkan Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa (Dewan HAM PBB) pun mengecam perlakuan keji dan sewenang-wenang yang dilakukan aparat keamanan dan sipir penjara di Indonesia kepada para tahanan politik yang dipenjara karena menyampaikan pendapat di muka umum dengan damai, atau melakukan aksi politik untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Salah satu rekomendasi Universal Periodic Reviuw (UPR) oleh Dewan Ham PBB pada bulan Mei 2012 adalah meminta Indonesia membebaskan para tahanan politik tanpa syarat. Dan juga meminta Indonesia mencabut pasal pasal makar dalam KUHP, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip luhur dan hukum Internasional.

Sebutan narapidana politik adalah bagian dari upaya Negara Indonesia untuk mengkriminalisasi aspirasi politik yang disampaikn dan diperjuangkan melalui cara-cara yang damai. Memang ada pula orang yang ditahan karena membuat aksi politik dengan kekerasan, misalnya dengan menggunakan senjata api/senjata tradisional untuk mencapai tujuan politiknya. Sebutan narapidana politik tidak tepat digunakan kepada mereka yang ditahan karena memperjuangkan kebebasan bangsa nya dari penjajahan bangsa lain. Mereka yang dipenjara dengan latar belakang kasus perbedaan ideologi kebangsaan, sipir penjara tidak mampu dan tidak pernah mengubah ideologi yang diperjuangkannya. Karna itu sebutan narapidana politik bagi pelaku yang berlatar belakang kasus aksi politik, tidak tepat digunakan. Penggunaan sebutan yang tepat dalam kategori kasus ini adalah "tawanan politik independen".

Sebutan "narapidana politik" yang berkonotasi negatif tidak diterima oleh para tahanan politik Papua. Pada tanggal 24 Mei 2013 di Penjara Abepura - Jayapura - Papua, para tahanan suara hati nurani bangsa Papua menyatakan menolak tegas penyebutan "narapidana politik" dan menyepakati menggunakan "TAWANAN POLITIK PAPUA MERDEKA".

Ide menggunakan Tawanan Politik diusulkan oleh Tn Filep J. S. Karma. Usulan itu, awalnya terjadi diskusi panjang diantara para tahanan suara hati nurani bangsa Papua. Akhirnya disepakati menggunakan "TAWANAN POLITIK PAPUA MERDEKA (TAPOL PM atau TPPM)".

Pemilihan penggunaan tawanan politik karena beberapa alasan, yaitu: pertama, sejak bangsa Papua dianeksasi ke dalam NKRI, bangsa Papua telah ditawan oleh NKRI dan para sekutunya. Kedua, secara khusus para Tahanan suara hati nurani bangsa Papua ditawan oleh RI di Penjara-penjara kolonial Indonesia. Ketiga, sebutan narapidana politik berkonotasi negatif, yaitu "orang kriminal politik atau pelaku kriminal politik".

Dalam kamus bahasa Inggris karya John M. Echols & Hassan Shadily, kata "prisoner" dapat disebut "orang hukuman" atau "tawanan".  Ada beberapa jenis tawanan, antara lain: tawanan perang (prisoner of war), tawanan politik (prisoner of political), dll.
Tawanan politik menurut Filep J. S. Karma adalah semua orang yang ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang oleh negara melalui pihak berwajib karena perbedaan ideologi politik atau melaksanakan kebebasan berekspresi dan aksi politik lainnya dalam memperjuangkan kebebasan suatu bangsa, baik yang belum diproses hukum, sedang diproses hukum maupun yang sudah mempunyai keputusan hukum yang inkrah.

Berikut ini saya menguraikannya agar dapat dipahami dengan baik tentang  tawanan politik. Jika negara melalui aparat berwajib menangkap dan menahan para aktifis pejuang kebebasan suatu bangsa, maka para aktifis itu ditawan oleh negara penjajah. Para tawanan itu adalah "tawanan politik pejuang kebebasan kebangsaan". Para tawanan politik pejuang kebebasan bangsa, sebagai salah satu bukti nyata adanya gerakan kebebasan bangsa dari penjajahan bangsa lain. Negara penjajah memenjara para tawanan politik secara khusus dan negara kolonial memenjara bangsa terjajah secara umum.
Para tawanan, ada yang ditawan dalam keadaan biasa dan luar biasa. Tawanan perang dan tawanan politik masuk dalam kategori tahanan khusus. 

Dalam suasana perang antara dua negara atau dua bangsa atau lebih, jika ada pihak lawan ditangkap dan diamankan, maka dapat disebut "tawanan perang" (prisoner of war). Dalam keadaan tidak perang, suatu negara dapat menahan warganya yang melakukan pembangkangan dengan kekerasan dan atau memprotes dengan damai kepada pemerintah. Kategori kasus ini dapat dikatakan "Tahanan Politik" atau bisa juga disebut "tawanan politik". 

Dalam keadaan tidak perang/ semi perang atau perang, jika rakyat pribumi dari suatu bangsa yang menuntut kebebasan bangsa dari penjajahan bangsa lain, dan berusaha mencapai tujuannya dengan melakukan aksi politik dengan damai dan atau dengan menggunakan senjata api atau senjata tradisional. Jika diantara para pejuang kemerdekaan itu, ada yang ditahan oleh negara penjajah, maka disebut "tahanan politik" atau "tawanan politik".
Untuk membedakan antara tawanan perang, dan tahanan/tawanan politik, maka berikut ini devinisinya. Tawanan perang adalah tentara yang ditangkap dan ditahan selama atau setelah berakhir konflik bersenjata antara dua negara/bangsa atau lebih. Tahanan atau tawanan politik dibagi ke dalam dua kategori; yaitu pertama, di penjara karena pembangkangan untuk merombak tatanan negara/pemerintahan (melakukan aksi politik, tetapi tujuan aksinya tidak untuk mendirikan negara);  kedua, dipenjara karena memperjuangkan kebebasan suatu bangsa (melakukan aksi politik untuk mendirikan negara baru).

Untuk membedakan antara tawanan politik yang ditahan karena aksi politik dengan tujuan memperbaiki atau merombak sistem negara/pemerintahan, dan aksi politik untuk mendirikan negara baru, maka dalam tulisan ini saya gunakan: tawanan politik biasa, dan tawanan politik kemerdekaan (Political Independence Prisoner)".

Warga negara yang ditahan oleh negara akibat pembangkangan atau melakukan aksi protes untuk memperbaiki sistem pemerintahan/negara dikategorikan ke dalam tawanan politik biasa. Sedangkan tawanan politik untuk kemerdekaan adalah orang yang ditahan oleh negara/bangsa lain akibat memperjuangkan kebebasan bangsa nya dari penjajahan negara/bangsa lain.

Dengan adanya devinisi di atas, maka sudah jelas posisi tawanan perang, dan tawanan politik biasa dan tawanan politik kemerdekaan. Tawanan perang ditahan demi kepentingan mengetahui kekuatan lawan, dan atau untuk mencapai perundingan antara kedua pihak yang bertikai dan atau sebagai efek jerah. "Tawanan politik biasa" ditahan demi merehablitasi diri dalam penjara atau tahanan rumah agar kembali menjadi warga negara yang baik dan patuh pada peraturan yang berlaku. Dan juga tawanan politik independen pun ditahan oleh negara untuk mengekang, merehablitasi diri dan menyerah, tetapi pada kenyataannya, tawanan politik Pejuang Kemerdekaan pada umumnya mempertahankan ideologi pembebasan bangsa nya dari penjajahan bangsa lain. Tak semuda para penjajah mengubah ideologi yang diperjuangkan oleh bangsanya dan tidak semudah pula menyerah. Ada pula tawanan politik tertentu menyerah pada rezim penjajah dengan mengajukan permohonan grasi dan presiden memberi grasi serta menerima grasi itu. Tindakan ini dipandang sebagai suatu pengkhianatan terhadap perjuangan kebebasan bangsa. Karena dengan menerima grasi dari kepala negara/kerajaan berarti menyerah kepada rezim penjajah.

Khususnya bagi tawanan politik biasa dapat menerima grasi karena ia tidak berjuang untuk mendirikan negara baru. "Tawanan politik biasa" selama ia dipenjara mendapat pembinaan khusus oleh negara melalui sipir penjara untuk mengubah perilaku dan merehablitasi nama baik dengan mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara setempat. Seperti para Tawanan Politik yang dipenjara karena pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia). Diantara mereka ada pula difonis seumur hidup, namun dibebaskan oleh presiden Indonesia dengan diberikan grasi.

Tawanan perang seringkali ditahan tanpa melalui proses hukum karena ditangkap dan ditahan akibat konflik bersenjata antara dua bangsa/negara atau lebih dari dua negara/bangsa. Sedangkan bagi orang yang diduga melanggar hukum karena melakukan aksi politik yang bertujuan merombak sistem pemerintahan atau negara, dapat ditahan untuk menempuh proses hukum guna membuktikan pelanggaran pasal pidana (kasus) yang dituduhkan oleh pihak berwajib; jika terbukti bersalah, maka terdakwa dijatuhi pidana penjara. 
Tawanan politik pejuang kemerdekaan bangsa dapat ditawan tanpa proses hukum dan juga ditahan melalui proses hukum. Di jaman orde lama dan orde baru, tawanan politik kebanyakan ditawan tanpa melalui proses hukum. Sejak era reformasi, para tahanan politik diproses melalui hukum diskriminatif rasial.

Melalui tulisan ini, kami Tawanan Politik Papua Merdeka sampaikan kepada rakyat bangsa Papua dan para simpatisan masyarakat internasional bahwa dalam kampanye maupun lobi politik menggunakan sebutan "TAWANAN / TAHANAN POLITIK PAPUA MERDEKA" (TAPOL PM / TPPM). Mari kita melupakan atau meniadakan terminologi kriminalisasi aspirasi politik dengan sebutan "narapidana politik" (NAPOL) yang dilahirkan oleh Negara Indonesia.

Camkanlah bahwa para tawanan politik Papua merdeka bukan kriminal politik. Justru negara kolonial Indonesia adalah "Rezim Kriminal Politik". Mengapa NKRI adalah Rezim Kriminal Politik? Pertama, NKRI menganeksasi kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua ke dalam NKRI melalui invasi politik dan militer. Kedua, NKRI tidak memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi orang asli Papua untuk Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada tahun 1969. Karena itu saya katakan "Pemaksaan Pendapat Rakyat" (PEPERA), maka Penentuan Pendapat Rakyat itu dapat dikatakan "cacat hukum dan moral". Ketiga, NKRI masih mempertahankan Papua Barat dalam NKRI dengan cara-cara kotor dan tidak beradab.

Saat ini Negara Indonesia merasa kuat dan mampu untuk mempertahankan berbagai bangsa dari Sabang sampai Merauke yang telah direkayasa menjadi satu bangsa dan satu negara dalam bingkai "NKRI", dengan semboyang "Bhineka Tunggal Ika" dan dengan falsafah "Pancasila". NKRI melakukan berbagai strategi dan taktik untuk menghancurkan tatanan dasar hidup rakyat bangsa Papua dan menciptakan berbagai krisis di tanah Papua. Krisis krisis itu bagaikan badai yang silih berganti. Tetapi bangsa Papua memiliki keyakinan bahwa berbagai badai ini pasti akan berlalu; rezim NKRI pasti akan angkat kaki dari tanah air Papua Barat; sejarah bangsa-bangsa merdeka di dunia telah mencatat bahwa "pintu penjara" telah terbukti menjadi "pintu" menuju "kebebasan total", dan ku yakin bangsa Papua pun akan terjadi demikian, indah pada waktu-Nya. Amin. 

Penulis: Selpius Bobii, (Ketua umum Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat; yang juga sebagai Tawanan Politik Papua Merdeka di Penjara Abepura) 

Selasa, 28 Mei 2013

PELAPOR KHUSUS PBB "RAQUEL ROLNIK" DALAM BIDANG KELAYAKAN PERUMAHAN DAN PEKERJAAN MEMADAI AKAN KUNJUNGI INDONESIA SEJAK 30 MEI-11 JUNI 2013.

GENEVA-JAKARTA (27 May 2013) – United Nations Special Rapporteur Raquel Rolnik will conduct her first official visit to Indonesia from 30 May to 11 June 2013 to collect first-hand information on the progressive realization of the right to adequate housing in the country, particularly with regard to the poor and other marginalized groups.

“Indonesia, the world’s fourth most populous country, faces a unique combination of challenges in promoting and protecting the right to adequate housing, such as rapid urbanization, a high proportion of households living in informal settlements and acute vulnerability to climate change,” said the independent expert charged by the UN Human Rights Council to monitor and report on the right to adequate housing worldwide.

“I see this visit as a great opportunity to assess the various policies and programmes the Indonesian Government has been developing to address these compound challenges,” Ms. Rolnik said.

The Special Rapporteur will devote specific attention to Government’s efforts to promote access to affordable housing for low income households, and to programmes to increase tenure security.

The independent human rights expert, who goes to Indonesia at the invitation of the Government, will visit communities in Jakarta as well as in other provinces during her two-week mission.

Ms. Rolnik will hold meetings with senior Government representatives, including officials from various ministries working on housing issues. She will also meet with representatives of the UN system, the donor community, non-governmental organizations, individuals and communities.

At the end of her visit, on Tuesday 11 June 2013 at 10:30 am, the Special Rapporteur will hold a press conference at the UN Menara Thamrin Building, Papua Room (7th floor), Jakarta, to present the preliminary findings of her mission.

A comprehensive report with her findings and recommendations will be presented in a report to the UN Human Rights Council in March 2014.

Raquel Rolnik (Brazil) was appointed as Special Rapporteur on adequate housing as a component of the right to an adequate standard of living, and on the right to non-discrimination in this context by the UN Human Rights Council in May 2008. Her mandate was renewed in 2011


GENEVA \/ JAKARTA (27 Mei 2013) - Raquel Rolnik Pelapor Khusus PBB akan melakukan kunjungan resmi pertamanya ke Indonesia dari 30 Mei sampai 11 Juni 2013 untuk mengumpulkan informasi dari tangan pertama pada realisasi progresif hak untuk memadai perumahan di negara ini, khususnya yang berkaitan dengan kelompok yang terpinggirkan miskin dan lainnya.

"Indonesia, negara terpadat keempat di dunia, menghadapi kombinasi unik dari tantangan dalam mempromosikan dan melindungi hak untuk memadai perumahan, seperti urbanisasi, proporsi yang tinggi dari rumah tangga yang tinggal di permukiman informal dan akut kerentanan terhadap perubahan iklim," kata ahli independen dibebankan oleh Dewan HAM PBB untuk monitor dan laporan tentang hak untuk perumahan memadai di seluruh dunia.

"Saya melihat kunjungan ini sebagai kesempatan besar untuk menilai berbagai kebijakan dan program pemerintah Indonesia telah mengembangkan untuk mengatasi tantangan ini senyawa" MS Rolnik mengatakan.

Pelapor Khusus PBB akan mencurahkan perhatian khusus untuk upaya pemerintah untuk mempromosikan akses ke terjangkau perumahan bagi keluarga berpenghasilan rendah, dan program-program untuk meningkatkan keamanan kepemilikan.

Ahli independen hak asasi manusia, yang pergi ke Indonesia atas undangan pemerintah, akan mengunjungi masyarakat di Jakarta juga seperti Provinsi lain selama misinya dua minggu.

Nn. Rolnik akan mengadakan pertemuan dengan pemerintah senior wakil-wakil, termasuk pejabat dari berbagai Kementerian bekerja untuk perumahan masalah. Beliau juga akan bertemu dengan perwakilan dari sistem PBB, masyarakat donor, organisasi non-pemerintah, individu dan masyarakat.

Pada akhir kunjungannya, pada Selasa 11 Juni 2013 di 10:30, Pelapor Khusus PBB akan mengadakan konferensi pers di gedung Thamrin Menara PBB, Kamar Papua (7th floor), Jakarta, untuk mempresentasikan temuan-temuan awal misinya.

Laporan komprehensif dengan temuan dan rekomendasi akan disajikan dalam sebuah laporan kepada Dewan HAM PBB pada Maret tahun 2014.


Raquel Rolnik (Brasil) ditunjuk sebagai Pelapor Khusus memadai perumahan sebagai komponen hak untuk standar hidup yang memadai, dan di sebelah kanan untuk non-diskriminasi dalam konteks ini oleh Dewan HAM PBB pada Mei 2008. Mandat nya telah diperbaharui pada 2011

Senin, 27 Mei 2013

DPRD KABUPATEN TEMUKAN BANYAK PROYEK FIKTIF-FIKTIF KARENA ITU MESTI ADA BPK DAN KPK PENYELIDIKAN JAJARAN PEMERINTAH DI NABIRE-PAPUA

DPRD NABIRE TEMUKAN BANYAK PROYEK FIKTIF
| May 28, 2013 



Jayapura, 27/5 (Jubi) – Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kabupaten Nabire menemukan banyak proyek fiktif di kabupaten itu. 

“Tahun 2012, kami temukan pekerjaan yang dinilai fiktif dan tengah selesai, tengah pengerjaan dan belum selesai sama sekali, tetapi di atas kertas seratus persen. Bahkan ada yang nol persen. Tidak ada sama sekali di lapangan,” kata Ketua Pansus DPRD Nabire, Yehuda Gobay, yang juga Ketua I DPRD Nabire dalam konferensi pers di Jayapura, Papua, Senin (27/5) malam.
 

Beberapa proyek yang diduga fiktif, yaitu, pembangunan bandara perintis di distrik Dipa, kampung Dikia dan distrik Mendou kampung Bopendimi. “Dan kita temukan di sana fiktif. Tetapi di dalam pencairan anggaran oleh pihak ketiga dinyatakan 100 persen, tetapi fakta di lapangan nol persen,” lanjut Yehuda.
 

Selain itu, lanjut Yehuda, proyek di Napan untuk mengantisipasi abrasi pantai senilai Rp 6 miliar lebih dan 100 persen dalam laporan tetapi fiktif di lapangan.
 

Sementara terjadi tumpang tindih anggaran pembangunan bandara Wanggar, antara  APBD kabaupaten dan APBD provinsi.
 

Begitu juga dalam anggaran APBD, belanja pegawai lebih tinggi dibandingkan belanja publik dimana belanja pegawai setiap tahun, dari  2010-2013 naik Rp 100 miliar. “Sementara jumlah pegawai berkurang setelah pemekaran Dogiyai. Sesungguhnya anggaran belanja pegawai harus turun,” kata dia.
 

Pansus DPRD juga menemukan dana bansos (bantuan social), 2010 sebanyak Rp 58 miliar, 2011 sebanyak Rp 48 miliar lebih. Begitu juga tahun 2012 meningkat. “Ini perlu investigasi oleh lembaga independen yaitu BPK RI,” kata Yehuda lagi.


Hari ini secara resmi pimpinan BPK RI Papua menerima laporan dari pansus DPRD Nabire bernomor 170/267 Sekwan tertanggal 24 Mei 2013, diterima BPK RI Papua, Senin pagi, sekitar pukul 10.00 WIT.
 

DPRD berharap, masyarakat dan media bisa mengikuti hasil kerja BPK RI Papua dalam audit kegiatan untuk invesitgasi lebih dalam. Setidaknya, 60 hari setelah tanggal penyerahan, harus dilakukan investigasi oleh BPK.
 

Yehuda menyebut, SKPD yang diduga terindikasi proyek fiktif, yaitu PU Nabire, PU Papua dan Binamarga Papua, Dinas Perhubungan Papua dan Nabire, Badan yang menggunakan anggaran khas daerah yaitu Badan Keuangan Daerah Nabire sehubungan dengan bansos.
 

Pihak DPRD juga meminta audit secara khusus pada dinas P dan P Nabire, dinas kesehatan, RSUD, dimana setiap tahun mereka mendapat porsi dana yang cukup besar.
 

Beberapa kegiatan sudah ditangani Polda Papua, namun sampai hari ini rakyat Nabire sedang menunggu. “Kita juga akan lihat sejauh mana kinerja polisi dalam penegakan hokum,” kata Gobay.
 

Tahun ini APBD  Nabire sebanyak Rp 775 miliar lebih.  Lebih dari 300 miliar rupiah untuk belanja pegawai. Sementara, lanjut Gobay, jumlah pegawai terjadi pengurangan setelah pemekaran kabupaten Diogiyai. Menurut dia, normalnya belanja pegawai sebanyak Rp 150-180 miliar.
 

Herry Dirk Senandi, Sekretaris Pansus, yang juga Ketua Komisi C mengatakan,  pansus tidak bermaksud mencari kesalahan, tetapi melaksanakan fungsi legislasi, fungsi pengawasan sesuai perundang-undangan. “Kalau ada tanggapan Pansus dibentuk untuk mencari kesalahan, itu tidak betul,” kata Herry Dirk Senandi.
 

Jumat, 24 Mei 2013

PRESIDEN SBY ABAIKAN SERUAN AGAMAWAN INDONESIA

Presiden SBY abaikan seruan agamawan

24/05/2013 Presiden SBY abaikan seruan agamawan thumbnail

Komunitas masyarakat sipil yang terdiri dari kaum agamawan dan rohaniwan, aktivis, dan penggiat hak asasi manusia, Kamis (25/5), kembali menyatakan penolakannya terhadap penghargaan yang diberikan Appeal of Conscience Foundation (ACF) terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka juga mendesak presiden untuk menolak pemberian penghargaan tersebut.
AFC adalah organisasi yang giat mempromosikan perdamaian, demokrasi, toleransi, dan dialog antarkepercayaan yang berbasis di New York, Amerika Serikat. Mereka memberi penghargaan terhadap Presiden Yudhoyono atas kontribusinya dalam demokratisasi dan rekonsiliasi konflik di Tanah Air.
Komunitas masyarakat sipil di Indonesia menolak penghargaan ini karena sama sekali tidak mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi di Tanah Air di bawah kepemimpinan Yudhoyono.
Setara menggelar acara penolakan penghargaan tersebut di Jakarta kemarin. Sejumlah tokoh dan aktivis HAM hadir dalam acara tersebut, antara lain Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis, Musdah Mulia, Allisa Wahid, dan Jallaluddin Rakhmat.
“Presiden Yudhoyono seharusnya merefleksikan rencana pemberian penghargaan kepada dirinya. Apakah pantas atau tidak menerima penghargaan tersebut? Sebab bila dia menerima penghargaan itu, banyak konsekuensi yang harus ditanggung dan dijalankannya,” kata Sekretaris Dewan Nasional Setara Institute, Romo Antonius Benny Susetyo kepada SH, Kamis.
Menurut Romo Benny, bila presiden pada akhirnya menerima penghargaan itu maka harus berani menegakkan hukum terhadap para pelaku kekerasan di Tanah Air. Bila Presiden Yudhoyono tidak mampu menegakkan hukum yang berlandaskan konstitusi maka presiden sebaiknya menolak pemberian penghargaan itu.
Sebelumnya tokoh cendekiawan dan rohaniwan dari Sekolah Tinggi Filsafat Diyarkara, Romo Franz Magnis Suseno SJ, telah terlebih dulu menyatakan protesnya dengan melayangkan surat ke AFC. Surat dikirim ke ACF melalui e-mail pada Rabu (15/5), segera setelah ia mengetahui rencana pemberian penghargaan itu dari media.
Ia tidak memprotes soal penghargaan kepada seorang presiden, tapi lebih kepada esensi bahwa penghargaan yang diberikan itu berkaitan dengan upaya memajukan toleransi di Indonesia. Menurutnya, selama 10 tahun reformasi, toleransi keagamaan di Indonesia berkurang.
Dalam suratnya, Magnis menulis, penghargaan itu hanya akan membuat malu ACF. Menurut Magnis, selama 8,5 tahun kepemimpinan Presiden Yudhoyono, kaum minoritas Indonesia justru berada dalam situasi tertekan. Presiden bahkan tidak pernah memberikan seruan kepada rakyatnya untuk menghormati hak-hak kaum minoritas. Kekerasan terhadap kelompok minoritas, termasuk Ahmadiyah dan Syiah, terus terjadi.
“Pemerintah tidak melakukan upaya perlindungan apa pun terhadap para korban konflik kekerasan itu,” ungkap Magnis kepada SH, Kamis ini.
Romo Magnis juga mengatakan, selain persoalan yang dihadapi oleh jemaah Ahmadiyah dan Syiah, hingga kini jumlah gereja yang ditutup juga meningkat; juga tentang persoalan kesulitan bagi warga Kristen untuk memperoleh izin mendirikan tempat ibadah, serta banyaknya peraturan untuk sekadar melakukan kebaktian secara terbuka.
Tetap Berangkat
Namun di tengah protes ini, Presiden Yudhoyono dipastikan tetap akan berangkat ke AS untuk menerima penghargaan tersebut. “Sejauh ini tidak ada perubahan yang saya dengar,” kata Juru Bicara Istana Kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, Kamis.
Menurut Julian, hal itu dilakukan presiden sejalan dengan agenda membahas Millenium Development Goals (MDGs) 2015 di AS.”Presiden SBY ke AS akhir Mei 2013 untuk menyerahkan hasil akhir pembahasan agenda High Level Panel Post MDGs 2015,” jelasnya.

Sumber: Sinar harapan

NEW ZELAND PEACE GROUP QUERIES SUPPORT FOR WELLINGTON'S PAPUA POLICY


New Zealand peace group queries support for Wellington’s Papua policy

Posted at 18:47 on 23 May, 2013 UTC
A member of a New Zealand Peace Group which has met with the Ministry of Foreign Affairs to discuss issues relating to West Papua has questioned this country’s links to Indonesian security forces.
Lower Hutt Waiwhetu Peace Group asked the Ministry about a range of aspects of how New Zealand engages with Jakarta over ongoing human rights abuses in Indonesia’s eastern region.
This comes as the Indonesia section of Amnesty International’s just released annual report includes concerns about impunity for Indonesian security forces for rampant rights violations in Papua.
The group’s Theo Fink says he is unhappy with the direction Wellington has taken, particularly in ongoing training and assistance programmes for Indonesian military personnel and police in West Papua.
“All we’re doing is helping them be more effective in the horrible things that they’re doing. And I don’t believe you could find five percent of New Zealanders who would agree that we should be doing that.”
Theo Fink of the Waiwhetu Peace Group.
News Content © Radio New Zealand International
PO Box 123, Wellington, New Zealand

Selasa, 21 Mei 2013

Longsor PT Freeport dan Persekongkolan jahat Pemodal-Militer-Pemerintah Atas Ppaua

(Longsor) Freeport dan Persekongkolan Jahat Pemodal-Militer-Pemerintah Atas Papua

May 21, 2013

Zely Ariane, Kordinator Napas (Foto: Ist)
Zely Ariane, Kordinator Napas (Foto: Ist)
Oleh : Zely Ariane*
Berduka cita mendalam atas tewasnya para pekerja peserta pelatihan standar prosedur keselamatan kerja PT Freeport Indonesia (PT. FI) sejak 14/5 hingga 21/5 di fasilitas pelatihan Big Gossan milik Freeport di Tembagapura, Mimika. Diberitakan bahwa sekitar 38 orang telah tertimbun keruntuhan terowongan tambang bawah tanah tersebut, dan hingga saat ini 21 orang telah ditemukan meninggal, 10 orang mengalami cidera dan dalam perawatan, sementara 7 lainnya masih dalam upaya pencarian, dan kecil kemungkinan akan ditemukan selamat. Bencana longsor ini telah mengakibatkan kematian terbesar yang diketahui dalam sejarah kelongsoran tambang PT. FI.
Peristiwa ini sudah selayaknya membawa kembali perhatian masyarakat, khususnya para pekerja kemanusiaan yang peduli Papua, pada PT. Freeport dan Papua: dua nama besar yang memainkan peran penting dalam sejarah politik ekonomi Indonesia.Peristiwa ini juga terjadi di tengah rencana perpanjangan kontrak karya PT.FI dan negosiasi royalti dengan pemerintah Indonesia, serta negosiasi pembaruan kontrak kerja bersama dengan para pekerja SPSI PT. FI yang sempat melakukan pemogokan di penghujung 2011 lalu untuk menuntut peningkatan upah dan keselamatan kerja.
Kita belum lupa, bahwa di dalam pemogokan tersebut Petrus Ayamseba ditembak, dan hingga saat ini proses penyidikan tidak jelas dan tak ada satupun pelaku yang ditangkap. Kita belum lupa bahwa PT Freeport Indonesia adalah perusahaan yang terdaftar sebagai salah satu perusahaan multinasional terburuk tahun 1996. Keuntungan ekonomi yang dibayangkan tidak seperti yang dijanjikan, dan malah harus dibayar dengan kerusakan lingkungan dan memburuknya kondisi masyarakat disekitar lokasi pertambangan. Freeport telah seringkali menjadi sasaran protes akibat berbagai pelanggaran hukum dan HAM serta dampak lingkungan dan pemiskinan masyarakat. Emas dan tembaga Freeport tidak ada hubungannyadengan peningkatan kesejahteraan rakyat Papua. Papua tetap propinsi termiskin di Indonesia, dengan tingkat resiko penyakit dan kematian tertinggi, dan kekerasan oleh tentara yang terbanyak di seluruh wilayah Indonesia—telah 100.000 kematian rakyat sejak Freeport dioperasikan.
Setiap hari operasi penambangan Freeport membuang 230.000 ton limbah batu ke sungai Aghawagon dan sungai-sungai disekitarnya. Pengeringan batuan asam—ataupembuangan air yang mengandung asam—sebanyak 360.000-510.000 ton per hari telahmerusak dua lembah yang meliputi 4 mil (6,5Km) hingga kedalaman 300 meter. Cadangan Grasberg sebegitu besarnya hingga eksplorasinya akan menghasilkan 6milyar ton limbah industri.
Bukan kali pertama
Menurut laporan Sapariah Saturi di Mogabay-Indonesia, longsor tambang Freeport bukanlah kali pertama, dan bukan kali pertama pula kasusnya menghilang tanpa kejelasan begitu saja. Pada 23 Maret 2006 tiga pekerja perusahaan PT. Pontil, subkontraktor PT. Freeport, tewas akibat longsor di areal pertambangan. Seperti halnya kejadian longsor Big Gossan, PT. FI menyatakan bekerjasama dengan kementerian ESDM untuk mencari penyebab longsor, namun hasilnya tak pernah diketahui publik. Pada 9 Oktober 2003, menurut laporan Down To Earth, longsor besar di Grasberg mengakibatkan 8 orang tewas dan 5 luka-luka. Dinding selatan galian tambang runtuh dan 2,3 juta ton batuan dan lumpur menggelosor menerjang para pekerja tambang. Ironis, karena menurut Sydney Morning Herald, Freeport sebetulnya telah mengetahui peringatan bencana namun membiarkan para pekerja memasuki wilayah bahaya, padahal para pekerjapun telah memberi peringatan pada pimpinan operasi tentang potensi bahaya tersebut.Kementerian Energi dan Pertambangan membentuk tim penyelidik, namun tidak jelas siapa yang dimintai pertanggungjawaban.
Sementara Rozik B Soethibto, Presiden Direktur PT. FI, mengatakan akan melakukan penyelidikan menyeluruh pasca penyelamatan dengan melibatkan tenaga ahli internasional dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta akan memastikan kejadian ini tidak terulang. Demikian pula SBY dalam pesan twitternya. Namun tak satupun dari mereka yang mengingatkan kita pada nasib penyelidikan 7 tahun sebelumnya, yang berujung tidak jelas. Tentu kita kerap mengerti bahwa dalam setiap tragedi yang menewaskan orang-orang tidak bersalah seperti ini, dimana para pemangku kepentingan dan pertanggungjawaban menjadi sorotan publik, janji-janji penyelidikan akan diumbar, dan ketika sorotan itu meredum dan menghilang, janji tinggallah janji tak bertuan.
Sekarang berbondong-bondong pejabat datang menyetor muka dan belasungkawa ke lokasi kejadian. Setelah CEO dan Presiden perusahaan induk Freeport McMoran dan Gold Inc Richard Adkerson datang ke Timika 18 Mei lalu, Tim Pemantau Otonomi Khusus Papua dan Aceh didampingi Wakil ketua DPR dan tim DPR lainnya juga tak ketinggalan berencana mengunjungi.
Terakhir dikabarkan Menteri ESDM, Jero Wacik, dan Menteri Tenaga Kerja, Muhaimin Iskandar, ditolak kedatangannya oleh PT. FI dengan alasan proses evakuasi yang masih berlangsung. Walau SBY menyatakan akan tetap mengirimkan kedua menteri tersebut, namun tetap saja permintaan Freeport tersebut diindahkan pemerintah untuk tak segera mendatangani lokasi kejadian tersebut. Memang kuasa Freeport sudah seperti negara di dalam negara, apalagi jika kita usut sejarahnya berikut ini.
‘Tembaga, Emas dan Minyak Berdarah’
Sengketa politik Papua sangat erat kaitannya dengan kekayaan mineral yang dikandung tanah itu. Kontrol terhadap Papua adalah ladang bisnis menggila yang ada dihadapan kita saat ini.
Tahun 1935, NNGPM (the Nederlandsche Nieuw-Guinee Petroleum Maatschappij) mulai mengeksplorasi bagian barat Papua (Vogel Kop – Bird’s Head, alias Kepala Burung) seluas 10 juta hektar. Kemudian ditemukannya mineral Ore di Ertsberg tahun 1936 menjadi awal dari bencana kemanusiaan di Papua masa kini. Perlu diingat bahwa Papua tidak serta merta menjadi bagian Indonesia setelah kemerdekaan defacto tahun 1945—seperti halnya orang-orang di pulau cenderawasih itu tidak menjadi bagian dari proses pembangunan nasionalisme Indonesia di tahun 1928.Belanda mempertahankan Papua dengan sengit dalam perundingan Meja Bundar 1949, dan memulai 10 tahun proses Papuanisasi di tahun 1957, dan untuk pertama kalinya bendera bintang kejora berkibar pada 1 Desember 1961.
Erstberg yang sempat terbengkalai selama 20 tahun mulai diperhatikan kembali setelah diketemukan juga cadangan emas di sekitar laut Arafura. Dan Freeport McMoran Copper and Gold dari Amerika Serikat pun turut mengambil kesempatan secara langsung bekerjasama dengan Soeharto untuk menyelidiki Erstberg. Dalam situasi demikian New York Agreement 15 Agustus 1962 dilahirkan, dan UNTEA menyerahkan administrasi Papua (saat West New Guinea) pada Indonesia[1].Hasilnya “integrasi” Papua ke Indonesia, didalam todongan senjata, melalui yang dianggap sebagai jajak pendapat (PEPERA) 1969 yang diikuti sekitar 1026 ( orang Papua dewasa dari 815.000 penduduk Papua dewasa saat itu.
Kita ingat dua tahun sebelum PEPERA, justru UU PMA No 1 1967 telah lahir dan PT. Freeport mendapat berkah kontrak eksplorasi penuh di Erstberg Papua. Dalam konteks politik Indonesia peristiwa ini dapat terjadi setelah Soeharto-Orde baru berhasil menjadi pemenang dari malapetaka pembantaian tak kurang dari 1 juta manusia pendukung Soekarno dan Partai Komunis Indoensia (PKI). Bagaimana mungkin suatu kontrak eksplorasi sumberdaya alam ditandatangani terhadap wilayah yang belum menjadi bagian Indonesia secara hukum? Dalam semua bisnis ekonomi keruk inilah, sejak potensinya diketemukan tahun 1936 di areal wilayah yang kini menjadi Papua, rakyat Papua asli telah sejak awal ditinggalkan dan diabaikan. Korporasi-korporasi Indonesia, Amerika Serikat, Belanda dan Inggrislah pemain-pemainnya, sementara di saat yang sama wilayah-wilayah lain Indonesia pun menjadi permainan ekonomi keruk negara-negara semacam itu.
PEPERA adalah tonggak dimulainya penghancuran ekonomi dan sosial budaya masyarakat asli Papua.Tak kurang dari 100.000 manusia Papua asli tewas dibunuh dalam berbagai operasi pembersihan gerakan Papua Merdeka di berbagai wilayah Papua sejak Orde Baru berkuasa.Diantara operasi militer terbesar yang pernah dilakukan adalah Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Brathayudha (1967-1969), Operasi Wibawa (1969), Operasi Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I dan II (1982), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-1984), Operasi Sapu Bersih (1985), Daerah Operasi Militer (1989-1998), dan pembatasan kunjungan internasional sejak 2003.
Dalam seting semacam itulah ekplorasi ekonomi keruk dan perampasan tanah orang asli Papua menghebat. Pemodal-pemodal dari Amerika Serikat, Inggris, Australia, Jepang, Cina, dan Indonesia sendiri bersaing memperebutkan kontrol sumber daya Papua. Dan hasilnya, menurut laporan Forest Watch Indonesia, dari 79,62% tutupan hutan Papua di tahun 2000-2009, 38,72% telah mengalami deforestasi—terbesar dari semua wilayah.
Akumulasi profit diatas pelanggaran HAM
Grasberg milik PT.FI adalah tambang emas terbesar di dunia. Manurut laporannya tahun 2010 keuntungan yang didapat PT.FI sebesar RP. 4000 trilyun. Terakhir eksploitasi tambang ini sedang dalam pembicaraan untuk diperpanjang lagi hingga 2041. Dari sejak empat dasawarsa beroperasi, total kontribusi (royalti, deviden, PPH badan dan karyawan) yang dibayar FI pada pemerintah hingga Juni 2011 sebesar 12,8 miliar USD[2]. Sementara gaji karyawan hanya berkisar 3,5-5,5 juta rupiah. Daisy Primayanti, kepala komunikasi korporat PT. FI mengatakan bahwa produksi emas Gasberg tahun 2013 ditargetkan naik 39,2%menjadi 1,2 juta ons dari sebelumnya 862 ribu ons. Sementara produksi tembaga 2013 dipatok meningkat menjadi 58,5% menjadi 1,1 miliar pound dibanding sebelumnya 694 juta pound.
Dalam situasi itu, berbicara Freeport, bahkan juga seluruh investasi raksasa ekonomi keruk Papua dalam road map MP3EI, tak boleh dilepaslan dari tinjauan sejarah, seting sosial budaya dan ekologi serta dampak kemanusiaan yang terjadi hingga saat ini. Oleh karena itu, tak dapat dibiarkan lagi pembicaraan terkait ekonomi ekstraktif ini menjadi sekadar kalkulasi dan bagi keuntungan bagi pertumbuhan ekonomi.
Sejarah masuknya Freeport adalah jejak perampasan, pendudukan, kontrol terhadap tanah dan alam orang-orang Amungme dan Komoro, menghancurkan ekonomi dan mata pencarian masyarakat asli. Orang-orang Amungme dan Komoro terus tergusur dan dipinggirkan secara ekonomi, politik, sosial dan budaya oleh invasi kapital yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi di kota-kota yang diciptakan oleh pertambangan dan infrastrukturnya, termasuk pemindahan besar-besaran penduduk dari P. Jawa ke Papua oleh pemerintahan Orba. Di tahun 1990-an di sekitar area tersebut populasi membuncah menjadi lebih dari 60.000 orang, membuat Timika menjadi “zona ekonomi” yang tumbuh paling cepat di seluruh nusantara (culturalsurvival.org). Satu persen royalti masyarakat asli adalah kembang gula yang tidak jelas dan pada prakteknya ditujukan untuk memecah belah orang-orang Papua sendiri[3].
Pelanggaran HAM terhadap orang asli Papua terus terjadi dalam berbagai bentuk yang paling jahat: penyiksaan, pemerkosaan, diskriminasi, penyingkiran, pembunuhan, penghilangan paksa, penangkapan sewenang-wenang, intimidasi, pengawasan dan pengamcaman, serta penutupan ruang demokrasi yang parah, menghambat akses untuk duduk di perwakilan, penghancuran sumber2 kehidupan mereka, kejahatan terhadap hak-hak kebudayaan dan spiritualitas, serta pemindahan paksa komunitas-komunitas masyarakat.
Sebagian besar dari kejahatan ini–termasuk yang menyebabkan kerusakan lingkungan–merupakan produk dari operasi pertambangan Freeport. Dan kejahatan lainnya–seperti kekerasan–adalah hasil dari penggunaan kekuatan militer Indonesia terhadap rakyat. Saat ini tak satupun data bisa dengan dengan terang menunjukkan berapa sesungguhnya tentara Indonesia yang ditempatkan di Papua. Yang tentara organik dan non organik bertambah, pasti pos-pos tentara dan komando teritorial bertambah[4], orang-orang dibunuh, dipenjarakan karena sikap politik, hak berekspresi dan berkumpul, juga bertambah. Sejak tahun 2003, sebanyak 40 orang sudah dipenjarakan karena sikap politik, dan sejak 1 Mei 2013 bertambah lagi setidaknya 29 orang. Sehingga tampak jelas, reformasi yang sudah 15 tahun di Indonesia tidak berlaku di Papua.
Di dalam seting ekonomi politik seperti inilah longsor Big Gossan terjadi. Kematian 21 orang adalah yang terbesar dalam sejarah keselamatan kerja Freeport yang kita ketahui. Sehingga Freeport, sebagai yang paling monumental daya rusak sosial dan ekologinya, tak bisa tidak, harus segera dikontrol melalui penghentian operasi untuk audit keseluruhan terkait pelanggaran HAM dan ekologi yang dilakukannya. Siapa yang bisa melakukannya? Yang pasti bukan pemerintah Jakarta saat ini, otonomi khusus, pemekaran, UP4B maupun otonomi khusus plus ala Lucas Enembe dan SBY, melainkan rakyat Papua sendiri yang bersatu dan berkehendak secara politik.***
*Penulis adalah Koordinator National Papua Solidarity (NAPAS).
[1] http://infonapas.blogspot.com/2013/04/1-mei-biarkan-rakyat-papua-berekspresi.html. Sesuai dengan perjanjian New York (New York Agreement), Belanda menyerahkan administrasi  wilayah New Guinea Barat ke suatu badan Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) bernama: United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), yang kemudian diserahkan ke Indonesia pada 1 Mei 1963. Empat poin Perjanjian New York (New York Agreement) yang hendak kami garisbawahi pada peringatan 50 tahun ini adalah sebagai berikut: (1) Penyerahan tersebut terbatas pada “tanggung jawab administrasi seluruhnya”, bukan penyerahan kedaulatan (Pasal XIV); (2) Selama periode transisi, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menjalankan “intensifikasi terhadap pendidikan rakyat, memberantas buta huruf, dan pemajuan pembangunan ekonomi, sosial dan kebudayaan” (Pasal XV); (3) Di akhir tahun 1969, dibawah pengawasan Sekretaris Jenderal PBB, diselenggarakan the act of free choice akan bagi rakyat Papua untuk menentukan status politiknya “apakah mereka hendak tetap bersama Indonesia atau mereka memutuskan ikatan mereka dengan Indonesia (Pasal XVIII); (4)  Indonesia “akan menghormati komitmen tersebut” (Pasal XXII paragraf 3) untuk menjamin sepenuhnya hak rakyat Papua, termasuk hak-hak atas kebebasan pendapat dan kebebasan berkumpul dan melakukan pergerakan (Artikel XII paragaf 1).
[2] http://www.majalahtambang.com/detail_berita.php?category=18&newsnr=4975
[3] http://z.tabloidjubi.com/index.php/2012-10-23-00-07-55/jubi-utama/9345-freeport-berapa-kontribusimu
[4] http://www.imparsial.org/id/2010/executive-summary-penelitian-papua-tahun-2011-kebijakan-keamanan-militer-di-papua-dan-implikasinya-terhadap-ham.html

Minggu, 19 Mei 2013

CATATAN PELAYARAN RAINBOW WARRIOR: ADA APA ITU DI INDONESIA KHUSUS DI PAPUA?

Catatan Pelayaran Rainbow Warrior: Belajar dari Kearifan Lokal di Teluk Cenderawasih

Oleh Zamzami (Kontributor Riau),  May 18, 2013

Aktivis Greenpeace membentangkan banner untuk menyerukan penyelamatan hutan Indonesia dari hutan adat masyarakat Desa Kwatisore, Nabire, Papua Barat. Foto Greenpeace

Sejak berlayar dari Jayapura menuju Manokwari, Kapal Greenpeace Rainbow Warrior melego jangkar di perairan Teluk Cendrawasih. Mendokumentasikan keindahan dan kekayaan anekaragaman hayati bumi nusantara dan mempublikasikannya secara luas adalah tujuan tur mereka kali ini. Rabu pagi (15/5/2013) tim kampanye dibagi dua. Satu tim mendokumentasikan keindahan dasar laut dan tim lainnya menyaksikan keindahan pedalaman hutan di Kwatisore, Distrik Nabire, Papua Barat.
Hikmat Soeriatanuwijaya begitu antusias saat diberi tahu akan pergi ke hutan masyarakat adat di Desa Kwatisore. Maklum, selama bekerja di Greenpeace sejak awal 2009, yang ia saksikan hanyalah kerusakan hutan yang luar biasa di Sumatra dan Kalimantan.
Dengan menggunakan kapal karet yang terdapat di Kapal Rainbow Warrior, pada jam sembilan pagi waktu setempat, bersama aktivis Greenpeace lainnya dan videographer Barli Fibriady, mereka menyeberang ke daratan lalu melanjutkan perjalanan darat yang melelahkan. Mendaki bukit terjal, berlumpur dan kadang menemui binatang yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. “Hati-hati ini ada ular kecil tapi berbahaya dan bisanya mematikan,” kata pemandu lokal ketika seekor ular kecil warna abu-abu sepanjang 20 sentimeter melintas di depan mereka. Uniknya ular itu berkaki tapi bukan salamander. “Saya tidak tahu jenis dan namanya,” ujar Hikmat kepada Mongabay Indonesia.
Satu jam berikutnya, mereka tiba di Desa Kwatisore dan disambut kepala desa Mathias Numberi dan sejumlah tetua masyarakat. Setelah berbincang singkat lalu mereka menuju hutan adat tidak jauh dari pemukiman masyarakat.
“Hutan-hutan ini terletak tepat di belakang rumah-rumah kami dan itulah sumber kehidupan kami. Yang paling penting adalah hutan memberi kami air. Jika hutan tidak ada, maka tidak akan ada air bersih untuk kami. Dan masyarakat di sini menghidupi diri mereka dari hutan.”kata Mathias.
Kepala Desa Kwatisore memberikan pemaparan tentang kearifan masyarakatnya dalam menjaga hutan desa mereka yang masih alami. Foto Greenpeace
Kami pun tertegun diam. Menurut Hikmat, selama di Indonesia, Greenpeace telah berkampanye untuk menyerukan pentingnya melindungi hutan dengan mendesak pemerintah melaksanakan peraturan yang bisa memastikan perlindungan hutan. Pihaknya juga berkampanye mendesak pihak industri untuk menghentikan praktik merusak mereka dan mengubahnya menjadi bisnis yang lebih berkelanjutan dengan tidak terlibat dalam deforestasi.
“Sebagian besar kami sangat akrab dalam ide dan konsep, tapi masyarakat di Kwatisore justru hidup bersama gagasan ini bertahun-tahun, melindungi hutan mereka sejak berdirinya desa pada tahun 1967. Alasan mereka sangat sederhana dan jujur: Karena hutan memberi kami kehidupan!,” ujar Hikmat.
Seperti kata penduduk desa, jika tidak ada hutan yang tersisa maka tidak akan ada air bagi mereka. Mungkin hanya akan ada bencana seperti banjir atau longsor karena rumah mereka tepat berada di bawah perbukitan. Jika tidak ada hutan yang tersisa maka tidak akan ada laut yang sehat di bawah mereka. Dan tidak akan ada sumberdaya yang membawa keuntungan ekonomi bagi mereka.
“Kami memperoleh uang dengan memanfaatkan pohon Mahosi dan Gaharu yang biasanya digunakan dalam industri parfum,” kata Agustinus, salah satu penduduk desa yang terlibat dalam perlindungan kawasan Gaharu di kampungnya.
Kehadiran Greenpeace sendiri ke desa tersebut adalah dalam rangka sebagai saksi keindahan alam dan kearifan masyarakat lokal mengelola sumberdaya alam. Perjalanan ke desa yang begitu melelahkan namun telah terbayar sudah dengan pelajaran kearifan lokal masyarakat. Pembelajaran itulah yang nantinya akan dikabarkan ke seluruh dunia melalui internet dan jaringan media massa.
“Kami belajar banyak dari desa ini,” kata Teguh Surya, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia. “Kami menyaksikan bagaimana pentingnya hutan bagi masyarakat yang bergantung padanya dan memberi mereka kehidupan dan sumbermata pencaharian. Dan mereka menjaga hutan dengan sangat baik. Ini bisa menjadi pejalaran penting bagi industri dan pemerintah untuk mengelola hutan dengan cara berkelanjutan. Sayangnya, kebijakan hari ini masih tidak terlalu kuat untuk melindungi hutan. Greenpeace mendesak pemerintah untuk segera bertindak melindungi hutan-hutan Indonesia. Ini termasuk memperkuat kebijakan moratorium perlindungan hutan dengan memulainya meninjau ulang izin yang sudah ada,”
Sementara pada waktu yang bersamaan, tim dokumentasi laut yang dipimpin juru kampanye laut Greenpeace Asia Tenggara, Mark Dia, bersama aktivis lingkungan yang juga pemimpin redaksi majalah DiveMag, Riyanni Djangkaru, blogger Nila Tansil dan penulis lepas serta fotografer Paul Hilton mulai menyusuri keindahan alam bawah laut Teluk Cendrawasih yang dikenal sangat baik sebagai tempatnya ikan hiu paus. Ketika menyelam di terumbu karang Tridacna masih di Teluk Cendrawasih, para penyelam disambut oleh ratusan lumba-lumba.
“Kami menyaksikan secara langsung kehidupan laut yang luar biasa di perairan Papua yang alami,” kata Mark Dia, Juru Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara. “Kami ingin menyampaikan pada dunia tentang kekayaan alam laut Indonesia yang rapuh, bagaimana mereka menghadapi keterancaman, dan apa yang kita diperlukan untuk melestarikan mereka. Kita semua perlu bertindak bersama, mengerti kondisi laut dan melindungi kandungannya.”
Rainbow Warrior sendiri melakukan tur dari Pelabuhan Numbay, Jayapura pada 9 Mei 2013 lalu untuk memulai tur yang bertemakan “100% Indonesia: Bersama Melindungi Hutan dan Laut Kita. Dua hari lalu Tur merapat di Pelabuhan Manokwari dan Sabtu ini akan bergerak lagi menuju Sorong dan Raja Ampat. Tur kapal akan berakhir setelah sebulan penuh berkampanye di Indonesia saat tiba di Jakarta. Presiden SBY sendiri telah menyatakan keinginannya untuk menyambut Rainbow Warrior saat menerima Direktur Eksekutif Greenpeace Internasional Kumi Naidoo tahun lalu di kantor kepresidenan.

Rabu, 15 Mei 2013

KONGRES AS AKAN BAHAS PRAKTEK HAM DI INDONESIA TERUTAMA DI PAPUA

KONGRES AS AKAN BAHAS PRAKTEK HAM DI PAPUA

James P. McGovern, anggota Kongres AS


Militer dan polisi Indonesia masih mempertahankan cara-cara impunitas di beberapa provinsi, terutama di Papua.

Kongres AS, terkait perkembangan demokrasi di Indonesia, merasa perlu membahas situasi HAM di Indonesia belakangan ini. Anggota Kongres akan menyelenggarakan sidang dengar pendapat (hearing) publik, untuk meninjau situasi hak asasi manusia di Indonesia dan kebijakan luar negeri AS berkaitan dengan pemilihan presiden dan parlemen di Indonesia pada tahun 2014. Hearing ini, sebagaimana rilis Komisi HAM Kongres AS akan diselenggarakan pada Hari Kamis, 23 Mei 2013 di Washington.

James P. McGovern, anggota Kongres AS, dalam rilis Komisi HAM Kongres AS tersebut mengatakan sistem politik Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat besar, termasuk desentralisasi signifikan kekuasaan kepada pemerintah daerah dan berkurangnya peran militer dalam urusan dalam negeri dan keamanan dalam negeri. Dalam konteks ini, perlindungan hak asasi manusia umumnya telah meningkat, termasuk di daerah dengan sejarah gerakan separatis seperti Aceh. Organisasi non-pemerintah juga telah berkembang, dan banyak orang Indonesia sekarang melihat demokrasi sebagai bagian dari identitas nasional mereka. Meskipun demikian, situasi hak asasi manusia di Indonesia membutuhkan lebih banyak kemajuan.

“Militer dan polisi Indonesia masih mempertahankan cara-cara impunitas di beberapa provinsi, terutama di Papua. Laporan tentang praktek HAM di Indonesia selama tahun 2012 menunjukkan adanya kasus pembunuhan di luar hukum, penangkapan sewenang-wenang dan penahanan, penyiksaan antara Juli 2011 dan Juni 2012 dan pembatasan kebebasan berekspresi, masih terjadi di Papua.” kata anggota Kongres AS ini.

John Sifton (Direktur Advokasi Asia, Human Rights Watch), T. Kumar (Direktur Advokasi Internasional, Amnesty International USA) Sri Suparyati (Wakil Koordinator KontraS) dan Octovianus Mote (Universitas Yale Law School Fellow) akan memberikan kesaksian dalam hearing ini.
Hearing yang terbuka untuk umum ini, juga akan membahas isu intoleransi agama yang terwujud dalam intimidasi dan kekerasan terhadap beberapa kelompok agama, seperti Komunitas Ahmadiyah dan masyarakat Kristen di Jawa Barat.

Laporan AS

Senin, 13 Mei 2013

POLICE INDONESIA COUGHT AND BLOCKADED ACTIVIST PAPUAN AND CHAIRMAN VICTOR YEIMO IN JAYAPURA PAPUA SINCE MAY 3, 2013


As planned KNPB and multiple organs motion, will be a peaceful demonstration at the office of Rayat Papuan Assembly (MRP). Purpose peaceful demonstration to urge the Government of Papua Province Governor, Papua Police Commander and immediately responsible, the victims of the shooting and arrest on May 1, 2013.

Additionally, tergait gunshot victims and arrests in a number of places like Timika, Sorong, Biak and Jayapura on May 1 2013. Peaceful demonstration today to “urge the Indonesian government to open access International Journalists and the Special Rapporteur to the UN Human Rights Council in Papua”.

When appropriate plan that has been planned for a peaceful demonstration. Jayapura today’s date (May 13, 2013). KNPB led a peaceful demonstration today, hundreds of protesters down the street. But from the middle of the road in 3 Waena Police Housing-led protesters obstructed Victor Yeimo.

Papua Police led through Jayapura Police Chief Commissioner Alfred Papare, SIK, protestors obstructed exactly at: 10:12 pm. Victor Yeimo was negotiating with the Jayapura police chief who had been intercepted. With the goal of going to the protesters remain peaceful demonstration to the destination, in the Office of MRP at Kota Raja Abepura Jayapura. But not could Jayapura Police, saying demonstrators aim to get the MRP Office.

Bargaining had occurred between Jayapura Police and protesters that led Viktor KNPB Yeimo, earlier. Jayapura Police finally arrested 4 people who are as protesters, including: Victor Yeimo (KNPB Chairman), Yong Ulimpa (Men 23 years old), Ely Kobak (Men 17 years old) and Marthen Manggaprow (A Member Of WPNA). Jayapura Police Chief Police arrested them, and then taken to the Papua Police. The Fourth people were arrested when they were tortured and beaten by members of the police force Police Jayapura.

Peaceful demonstration today in the city of Jayapura Police abort, and 4 people arrested are still being held in the police, due to the benefit requested information, related to peaceful demonstration today. Hundreds of other protesters fled around the arrest scene.

Communities around the scene of panic, and a member of the Police officers in Sentani, Jayapura City Abe and do the swiping. Police using tanks, tear gas police cars and cars and Truck Police custody. Police controlled all roads every intersection, around Sentani and Abepura.
Police on the pretext of mental terror against all Papuans in Jayapura and Sentani today do not like the current police ambush KNPB demonstrators in the past.

Silencing democracy continues RI police officers in this case the Papua Police. Space to voice their democratic rights of the people of Papua, narrow. Always limit the space for democratic rights of the Papuan people, by way of mental terror, catching, shooting demonstrators, Against Demonstrators and restrict a peaceful demonstration. Thank’s!!


Report

Ip!!!

Sabtu, 11 Mei 2013

SPP: HAM PAPUA BESOK TANYAKAN PERISTIWA SEJAK 1 MEI 2013

SPP-HAM Papua Besok Tanyakan Peristiwa 1 Mei 2013
Minggu, 12 Mei 2013

SPP-HAM Papua Besok Tanyakan Peristiwa 1 Mei
Manokwari Provinsi Papua Barat
Solidaritas Penegakan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SPP-HAM) Papua, berencana pada Senin (13/5/2013) pagi berunjuk rasa damai, untuk mempertanyakan penanganan peristiwa 1 Mei yaitu penembakan oleh polisi terhadap warga di Aimas, Sorong, Papua Barat.

"Pada Senin besok, SPP-HAM Papua bersama sejumlah elemen lain akan bergabung dan menggelar aksi demo damai di Kota Jayapura," kata Ketua SPP-HAM Papua, Bovit Bofra, di Jayapura, Papua, Minggu (12/5/2013).

Ia mengatakan, bersama elemen lainnya ingin menanyakan sikap aparat keamanan (polisi) yang menembak beberapa warga di Aimas. Padahal informasi yang didapatkan pihaknya, warga di Aimas tidak melakukan perlawanan.

"Hal inilah yang ingin kami perjuangkan. Jangan ada lagi kekerasan yang menimpa warga, dan aksi demo damai besok itu akan melibatkan sejumlah organisasi dan masyarakat Papua pada umumnya," katanya.

Bovit juga mengimbau kepada segenap masyarakat mendukung aksi tersebut, dan menolak berbagai aksi kekerasan yang sering terjadi di Tanah Papua.

"Kami berharap aksi itu didukung oleh semua pihak, dan berharap agar tidak ada tindakan represif dari aparat keamanan terkait aksi damai pada Senin besok," kata Bovit.

Sekretaris Jenderal West Papua National Authority (WPNA), Marthen Manggaprow, juga meminta kepada Pemerintah Provinsi Pusat dan Papua untuk menuntaskan masalah penembakan warga di Aimas.

"Jangan biarkan masalah ini terus menjadi pertanyaan di tengah warga, dan ini merupakan perjuangan kami," katanya.

Kasus kekerasan di Aimas pada 1 Mei, bermula dari laporan masyarakat tentang adanya warga yang berkumpul dan diduga merencanakan pengibaran bendera separatis.

Aparat gabungan TNI/Polri dengan menggunakan dua mobil mendatangi lokasi itu, namun diserang warga dengan menggunakan senjata tajam hingga menyebabkan satu anggota TNI dari Koramil Aimas yakni Peltu Sultomi, mengalami luka serius di kepala.

Di pihak warga masyarakat Aimas dikabarkan dua warga tertembak hingga mati yakni Thomas Blesya dan Abner Makagawak, serta beberapa lainya luka-luka. Kemudian pada Senin (6/5/2013) malam, Nyonya Salomina Kalaibin salah satu korban luka tembak yang sempat dirawat di RSUD setempat, juga meninggal.

Terkait kasus itu, aparat kepolisian langsung mengolah tempat perkara sekitar perkampungan di Aimas, Kabupaten Sorong, Papua Barat, dan berhasil menemukan barak yang diduga sebagai tempat pelatihan anggota OPM, bendera bintang kejora, dan sejumlah dokumen.

Wakapolda Papua Brigjen Paulus Waterpauw ketika dihubungi melalui telepon di Sorong, Jumat (10/5/2013), mengatakan, sebanyak 27 personel TNI dan Polri sedang diperiksa tim gabungan dari Polisi Militer Kodam XVII Cenderawasih dan Propam Polda Papua.

Ia mengatakan bahwa pemeriksaan terhadap anggota itu perlu dilakukan untuk mengungkap apakah peluru yang menewaskan dan mencederai warga, berasal dari senjata yang dibawa anggota TNI dan Polri.

"Kami harus dapat memastikan apakah para korban terluka dan tewas akibat peluru yang ditembakkan anggota," katanya. (Sumber: Kompas)
 

AMNESTY URGES PROBE INTO PAPUA ACTIVIST DEATHS


Amnesty urges probe into Papua activist deaths
Papuan activists rally in Jakarta to demand Papua independence.

Amnesty International has urged Indonesia to probe the deaths of three Papua independence activists who were gunned down as they protested 50 years of Jakarta's control over the restive region.

Two men were killed last week at an anti-government rally in Sorong, western Papua, and a woman died in hospital on Tuesday from gunshot wounds sustained at the protest, according to Amnesty and witnesses.

Those in attendance said police had opened fire on the peaceful demonstration. However, police deny shooting the activists and say they fired over protesters' heads in retaliation for being attacked.

Indonesian authorities must "set up a comprehensive and independent investigation into allegations of unnecessary use of firearms by security forces during the protests," said Isabelle Arradon, Amnesty's Asia-Pacific deputy director.

"Failure to take action will send a message that the security forces in Papua operate above the law," she added in a statement late Thursday.

United Nations human rights chief Navi Pillay also expressed concern over the deaths.

The shootings happened on April 30 as protesters gathered to mark 50 years since Papua was placed under Indonesian control by the UN, witnesses told an AFP journalist.

Isak Klaibin, the brother of the female victim Salomina Klaibin, 37, who was also at the demonstration, said protesters were gathering peacefully when police opened fire.

He told AFP at the scene: "There was going to be no raising of the (separatist) flag, nor reading of documents about the (rebel) movement" at the service.

"But as we were gathering, we were surprised to suddenly hear gunshots."

Abner Malagawak, 22, and Thomas Blesia, 28, died at the scene.

However, Papua police spokesman Gede Sumerta Jaya denied police had shot the activists, saying: "The shots were aimed upwards, it was self-defence because (we were) attacked."

Jaya said Salomina Klaibin was a lieutenant in the separatist Free Papua Movement (OPM), and her brother was part of a local separatist group. He said police confiscated rifles and ammunition from the scene of the protest.

Violence occasionally erupts in Papua -- the western half of New Guinea island in Indonesia's extreme east -- where separatists have for decades fought a low-level insurgency on behalf of the mostly ethnic Melanesian population. – Sapa-AFP. 

Kamis, 09 Mei 2013

PAPUA PEACE NEGOTIATOR

Papua peace journalist tries to drum up NZ support amid Indonesian crackdown

Octavianus Mote
Peace negotiator Octavianus Mote … exiled from West Papua by the Indonesian government in 1999. Image: Jamie Small/PMC
A UN Commissioner says that over the last year her office has received 26 reports of alleged human rights violations in West Papua, many of which are linked to law enforcement officials. Jamie Small reports for Asia-Pacific Journalism.
Pacific Scoop:
Report – By Jamie Small
A prominent West Papuan journalist and activist has visited New Zealand to gather support for West Papua’s inclusion in the Melanesian Spearhead Group (MSG)  while an Indonesian government crackdown was killing and arresting Papuan demonstrators.
Former editor of Kompas newspaper Otavianus Mote visited in his role ats chair of the five elected “peace negotiator” representatives of West Papua.
He says his visit has raised support among a solidarity group in New Zealand, but he doesn’t think the government is supportive of the cause.
APJlogo72_iconWest Papua marked the 50th anniversary of Indonesian occupation last week on May 1.
UN High Commissioner for Human Rights Navi Pillay issued a statement condemning the actions of Indonesian police and military forces which reportedly killed at least two pro-independence protesters.
The authorities also arrested at least 20 on April 30 and May 1.
Navi says that over the last year her office has received 26 reports of alleged human rights violations in West Papua, many of which are linked to law enforcement officials.
Peaceful negotiations
“I think that peaceful negotiations are possible, but on the other hand, Indonesian troops continue to act against civilians in West Papua,” says Mote.
He says West Papuans have asked permission to exercise peaceful freedom of expression and gathering, but the [Indonesian] government would not allow it.
Previously a Netherlands colony, control of West Papua was handed over to Indonesian dictator Sukarno by a UN authority in 1963 in disputed circumstances. This was part of a broader, militarised struggle by Sukarno to force Western colonial rule out of the area.
In 2001, the region was granted a special autonomy by the Indonesian government. But Mote says the special autonomy status has failed.
The predominantly Melanesian people of West Papua do not identify – ethnically or culturally – with their Javanese colonisers.
Mote says Indonesia is making a concerted effort to fully colonialise West Papua. There is a constant influx of Asian Indonesians to the region, accompanied by oppression and killing of the indigenous people of West Papuan.
Of the 3.5 million people living in West Papua, Mote says currently only 48 percent are West Papuans. He believes that in 10 years’ time, this number could be as low as 20 percent.
‘Genocide process’
“This is a crime against humanity. This is a genocide process,” he says.
On top of this, Indonesia is supporting widespread environmental destruction in West Papua.
The island of Western New Guinea is covered in dense rainforest and Mote says it is a “lung of the world”.
In the southern regency of Merauke, a multi-million dollar joint government and corporate project called the Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) is being initiated.
According to Mote, MIFEE could cut down four million hectares of rainforest, and bring in up to six million Indonesian people.
Mote says in the regency of Merauke, only 30 percent of MPs are West Papuan. And even if the local government opposes the project, the central government in Jakarta would go ahead regardless.
“There is nothing we can do,” he says.
Political divisions
The Indonesian government is increasingly building infrastructure at the cost of the environment. One reason for this is the manipulation of local political divisions.
In 1999, there were nine regencies in West Papua. Now there are 31. The Indonesian government has plans to divide the two provinces of West Papua into seven.
The creation of each new province or regency requires the construction of infrastructure. This means cutting down forest and bringing in Indonesian public servants, military and workers. Mote says this is a driving factor in the “extinction” of West Papuans.
“In 10 years, the number of West Papuans [in West Papua] will be 20 percent. This is not a political statement, it is fact.”
Each regency is allowed to build its own military district, and Mote says that two or three regencies together will command “a couple of battalions of Indonesian troops”.
The government has appointed Bambang Darmono to accelerate development in West Papua.
Military roads
Darmono is an ex-military major, and was notoriously in command of Indonesian occupying forces in the northern Indonesian autonomous region of Aceh from 2002 to 2005 when waging war against the GAM rebels.
He is calling publicly for all new roadway constructions in West Papua to be completed by the military, creating a reason to bring in more troops.
Mote says standard practice in Indonesia is for a captain to be in charge of provincial troops.
“But to control just three and a half million people, we have a couple of generals and an amazing amount of military in West Papua.”
Former Green Party MP Keith Locke says New Zealand should be supportive of all Pacific people, and it should back West Papua’s entry into the MSG, and hopefully its inclusion in the Pacific Islands Forum (PIF).
“If New Zealand doesn’t support its neighbours consistently, it undermines its own reputation for human rights,” he says.
Mote says that once the West Papuan population is suppressed, Papua New Guinea will be the next target for Indonesia.
Colonisation of Papua New Guinea would force refugees into Australia, New Zealand and other surrounding nations.
Environmental destruction
Also, environmental destruction in West Papua could be affecting global warming, which is a big issue for island nations such as Nauru.
Mote says West Papua is willing to do whatever it takes to get international support in negotiations.
He says the nation is willing to give land and sovereignty to people from Nauru displaced by global warming, and can offer an island for American and allied military bases.
Hone Harawira, leader of the Mana Party, says there is a “cultural and actual genocide” happening in West Papua.
“I am involved [in the West Papua issue] for no other reason than that I see indigenous people being injured by someone else,” he says.
Harawira says the issues facing West Papuan people are similar to Māori issues around the Treaty of Waitangi.
“But the difference there is that Indonesia is a highly militaristic nation.”
He says Indonesia needs to be challenged wherever they are, especially places that are not really Indonesia, like West Papua.
Harawira says that New Zealand needs to “support a call for West Papua to be raised to a clarity status with the PIF so UN Secretary General Ban Ki-Moon can take up their cause”.
Community policing
Green Party MP Catherine Delahunty says: “The New Zealand government never wants to annoy Indonesia, and that’s why we’re doing really inappropriate things involving community policing [in West Papua].”
She says that during the visit of West Papuan activist Benny Wenda earlier in the year, parliament’s speaker David Carter would not allow a forum on West Papua because he had received information from the Ministry of Foreign Affairs and Trade (MFAT) that it was a politically sensitive topic.
Mote says the United States were given early mining rights in West Papua by the Indonesian government. Even today, the US is getting gold and copper from West Papua, and the United Kingdom is getting oil.
Mote also says Indonesia is using the war on terror as a tool to gain support to crack down on peaceful movements in West Papua. The International Crisis Group (ICG) has drawn comparisons between West Papuan student activists and Islamic extremists.
A common fundraising exercise was reently condemned as “terrorising civilians”.
He says this is empowering the Indonesian government to crack down on West Papuan freedom of expression with international support.
Mote adds: “Indonesia is putting through legislation to enact terrorism law in West Papua.”
Jamie Small is a Postgraduate Diploma in Communication Studies student journalist on the Asia-Pacific Journalism course at AUT University.