Selasa, 30 April 2013

PAPUA MENGGUGAT ANEKSASI (Oleh Ketua Umum Pusat Front Pepera Papua Barat)


Papua Menggugat Aneksasi

"PERNYATAAN Ketua Umum Front PEPERA PB Menyelang 50 Tahun Aneksasi Tanah Air, Bangsa dan Negara Papua ke dalam NKRI, 01 Mei 1963 - 01 Mei 2013"

Sejarah mencatat bahwa pada tanggal 01 Mei 1963 adalah penyerahan kekuasaan adminitrasi pemerintahan Papua secara sepihak dari pangkuan UNTEA ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tanggal 01 Mei dipandang oleh Republik Indonesia (RI) sebagai hari integrasi Papua ke dalam NKRI. Atau sering juga para pejabat Indonesia, TNI dan Polri mengatakan bahwa 01 Mei 1963 adalah hari di mana Papua kembali ke pangkuan ibu pertiwi Indonesia.
Sejak kapan Papua menjadi bagian teritorial dari RI? Dan sejak kapan Papua keluar dari pangkuan NKRI, maka dikatakan bahwa pada tanggal 01 Mei 1963 Papua kembali ke pangkuan NKRI? Sejarah mencatat bahwa Papua belum pernah berada dalam pangkuan NKRI. Berikut ini ada beberapa fakta sejarah, antara lain:
pertama, Dalam suatu pertemuan untuk Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia Serikat (RIS), Mohammad Hatta menolak Papua masuk dalam teritorial RIS. Menurut Moh Hatta mengatakan bahwa tanah Papua sangat sulit dibangun karena dihuni oleh suku-suku primitif.
Kedua, pada tanggal 27 Desember 1949 dalam Komprensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Belanda, Papua tidak termasuk dalam wilayah kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS). Dalam KMB itu Belanda hanya mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) dari Sabang sampai Amboina - Maluku. Tentang ini tertuang dalam naskah piagam penyerahan kedaulatan RIS dalam pasal dua yang disepakati dan ditanda-tangani oleh Belanda dan Indonesia. (Lihat di buku: "Tindakan Pilihan Bebas", P. J. Drooglever, halaman 178).
Ketiga, Karena pemisahan Indonesia dari kolonisasi Nederlands Indiche, maka konstitusi Belanda ditinjau kembali. Dalam Sidang Parlemen Belanda yang digelar di musim panas tahun 1951, mayoritas Parlemen Belanda menyetujui mengubah konstitusi Belanda. Dalam perubahan konstitusi itu, Papua ditingkatkan status kolonisasi Nederlands Niew Guinea (Papua Belanda). Jadi secara hukum dan politik Papua bukan lagi kolonisasi Nederlands Indiche, tetapi sejak tahun 1951 ditingkatkan status kolonisasi Nederlands Niew Guinea. (Lihihat, "Tindakan Pilihan Bebas", P. J. Drooglever, halaman 226-227).
Keempat, Belanda mulai mempersiapkan Papua untuk berdaulat penuh. Dalam rangka itu, persiapan Sumber Daya Manusia (SDM) bagi orang Papua menjadi prioritas utama, khususnya dalam bidang pendidikan dan pengkaderan, dan diikuti dengan pengembangan dan pemberdayaan dalam bidang ekonomi kerakyatan, kesehatan, dan lain-lain. (Lihat, Drooglever, halaman 323 - 387).
Kelima, Rakyat Papua membentuk beberapa partai Nasional Papua (Lihat, buku Drooglever halaman 549-562), dan menggelar pemilu untuk memilih wakil Dewan Kota dan Daerah, kemudian memilih Dewan Papua secara langsung oleh seluruh rakyat Papua. Dewan Papua (Niew Guinea Raad) dilantik pada tanggal 5 April 1961. (Lihat buku Drooglever, halaman 536-548; dan 563-569).
Keenam, para tokoh intelektual Papua mewakili seluruh Papua membentuk Komite Nasional Papua (KNP), dan KNP menggelar Kongres Papua Pertama pada tanggal 19 Oktober 1961 di Hollandia, kini Jayapura. Dalam kongres itu KNP menyatakan Manifesto Politik Bangsa Papua yang mana menetapkan Papua menjadi Bangsa Papua, Bendera: Bintang Fajar, Lambang: Burung Mabruk dan Lagu kebangsaan Papua: Hai Tanah ku Papua, serta Motto: Satu Rakyat Sejiwa (One People One Soul). (Lihat buku karya Drooglever, halaman 570-572).
Ketujuh, Manifesto Politik itu selanjutnya KNP secara resmi menyerahkan kepada Dewan Papua (Niew Guinea Raad) dalam Sidang Dewan Papua yang digelar pada tanggal 30 Oktober 1961. Dan Manifesto itu dibahas dan ditetapkan dalam keputusan Niew Guinea Raad (Dewan Papua). (Lihat buku karya Drooglever, halaman 572-573).
Kedelapan, Manifesto Politik Bangsa Papua, khususnya Lambang dan Bendera serta Lagu Kebangsaan Papua itu, atas perintah Ratu Yuliana, ditetapkan dalam ordonansi-ordonansi (peraturan-peraturan ketetapan) oleh wakil Belanda di Papua yakni Gubernur, Platteel pada tanggal 18 November 1961 setelah Rapat Luar Biasa Dewan Papua, (Lihat buku karya Drooglever, halaman 575).
Kesembilan, Puncaknya pada tanggal 01 Desember 1961 Merayakan Hari Kemerdekaan Bangsa Papua, disertai dengan mengibarkan bendera Bintang Fajar diiringi lagu kebangsaan, Hai Tanah ku Papua dan juga menaikan Bendera Belanda diiringgi lagu kebangsaan Belanda, Hyronimus di Hollandia (kini Jayapura), dan di semua ibu kota onderafdeling (kota dan daerah) di Nederlands Nieuw Guinea (Papua Belanda) pun merayakannya dalam bentuk upacara. Di mana-mana di tanah Papua hal itu terjadi di dalam suasana khidmat dan tenang dihadiri oleh penguasa-penguasa setempat. Perayaan ini disambut secara meriah oleh rakyat di seluruh pelosok tanah Papua sebagai hari kemerdekaan bangsa Papua, (Lihat Drooglever, halaman 575).
Inilah beberapa fakta sejarah bangsa Papua. Dengan demikian Papua tidak pernah menjadi salah satu wilayah teritorial dalam bingkai NKRI sebelum tanggal 01 Mei 1963. Karena itu, pernyataan para pejabat RI bahwa pada tanggal 01 Mei 1963 Papua kembali ke Pangkuan NKRI adalah tidak benar dan itu kebohongan publik, kebohongan intelektual dan kebohongan sejarah. Penyerahan Papua oleh UNTEA kepada RI pada tanggal 01 Mei 1963 itu pun dipercayakan kepada RI hanya untuk mempersiapkan pemilihan bebas bagi orang asli Papua untuk menentukan masa depan bangsanya.
Fakta-fakta sejarah bangsa Papua membuktikan bahwa kemederdekaan kedaulatan bangsa Papua dianeksasi ke dalam NKRI. Sejak kapan bangsa Papua dianeksasi ke dalam NKRI? Papua dianeksasi ke dalam NKRI melalui beberapa tahapan, yaitu:
Pertama, Maklumat Tri Komando Rakyat (TRIKORA) oleh Soekarno, presiden RI pada tanggal 19 Desember 1961 di Alun-Alun Jakarta. Isi TRIKORA: 1) Bubarkan Negara boneka Papua buatan kolonial Belanda, 2) Kibarkan bendera merah putih di seluruh Irian Jaya (kini Papua) tanah air Indonesia, 3) Bersiaplah untuk mobilisasi umum. Menurut Forkorus Yaboisembut, S. Pd dalam maklumat TRIKORA dalam point pertama mengandung tiga hal penting, yakni: a) Presiden RI, Soekarno secara tersurat maupun tersirat, serta secara langsung maupun tidak langsung sudah mengakui Negara Papua, b) Namun negara Papua itu dihina sebagai negara boneka buatan Belanda, c) Karena itu Negara Papua yang dianggap oleh RI sebagai negara boneka itu harus dibubarkan. Maklumat TRIKORA itu adalah bukti autentik secara politik dan hukum pengakuan Negara Papua oleh mantan presiden RI, Soekarno. Isi TRIKORA itu juga merupakan bukti tertulis yang autentik adanya perintah aneksasi tanah air, serta Bangsa dan Negara Papua oleh Pemerintah RI, (lihat "Pernyataan Presiden NFRPB menjelang 50 tahun New York Agreement yang kelabu, 15 Agustus 1962 - 15 Agustus 2012", Halaman 4). Kemudian presiden RI, Soekarno meningkatkan invasi politik dan militer sejak tahun 1962 untuk menganeksasi Papua ke dalam NKRI.
Kedua, Perjanjian New York antara Belanda dan Indonesia, pada tanggal 15 Agustus 1962 adalah aneksasi tahap ke dua untuk merealisasikan Maklumat TRIKORA. Perjanjian New York ini menjadi payung hukum untuk mewujudkan maklumat TRIKORA. Dalam Perjanjian New York mengatur tiga hal, yakni: a) penyerahan Papua dari Belanda ke UNTEA; b) penyerahan Papua dari UNTEA ke NKRI; c) Persiapan dan Pelaksanaan Pemilihan Bebas. Setelah perjanjian itu ditanda tangani yang disaksikan oleh PBB dan Amerika Serikat, maka selanjutnya Belanda menyerahkan kekuasaan adminitrasi pemerintahan Papua ke tangan UNTEA; dan pada tanggal 01 Mei 1963 UNTEA menyerahkan Papua ke NKRI. RI mengkondisikan orang Papua sedemikian rupa untuk memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat dari sejak 01 Mei 1963. Akhirnya Pemilihan Bebas satu orang satu suara itu, diubah menjadi pemilihan tidak bebas dan diterapkan sistem perwakilan, yang hanya 1025 orang mewakili 800.000 jiwa lebih total penduduk asli Papua. Karena itu orang asli Papua menyebut Penentuan Pendapat Rakyat pada tahun 1969 itu "cacat hukum dan moral".
Aneksasi lanjutan ketiga adalah melalui paket politik yang dikemas dalam Undang-undang nomor 12 tahun 1969 tentang Otonomi Luas dan Real bagi propinsi Irian Jaya (kini Papua).
Keempat, Dengan adanya desakan rakyat bangsa Papua untuk berdaulat penuh, maka untuk meredam aspirasi politik Papua merdeka, UU Otonomi Luas dan Real itu diganti dengan UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua, dan UU Otsus itu kemudian telah direvisi berkali-kali sesuai kemauan Jakarta.
Dari empat tahapan aneksasi itu, aneksasi tahap pertama menempati urutan tertinggi karena Maklumat Trikora itu setingkat dengan proklamasi / deklarasi /manifesto. Untuk mewujudkan aneksasi pertama di dukung oleh Rusia. Kemudian demi kepentingan politik dan ekonomi, Amerika Serikat memainkan peran luar biasa dan dapat menekan Belanda dan meyakinkan PBB untuk memediasi RI dan Belanda agar menyelesaikan sengketa atas tanah Papua. Akhirnya lahirlah aneksasi tahap kedua, yaitu Perjanjian New York antara Belanda dan RI secara sepihak tanpa melibatkan orang asli Papua, dan follow up-nya adalah Penentuan Pendapat Rakyat yang cacat moral dan cacat hukum, yang dimulai dengan invasi politik dan militer untuk merealisasikan Maklumat TRIKORA. Aneksasi tahap kedua oleh RI di dukung penuh oleh Amerika, PBB dan negara sekutu lainnya.
Aneksasi tahap ketiga dan tahap keempat dikemas dalam paket politik UU Otonomi Khusus (Otsus) untuk mempertahankan aneksasi tahap pertama dan kedua. Aneksasi tahap ketiga dan keempat di dukung penuh oleh Negara-negara tertentu di dunia dan PBB. Ada pun negara-negara tertentu, seperti Amerika dan Uni Eropa, serta Australia menjadi negara-negara pendonor untuk implementasi aneksasi lanjutan tahap ketiga dan keempat yakni Otsus Jilid pertama dan Jilid kedua.
Dari penjelasan di atas, diuraikan secara jelas dan singkat bahwa kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua mengalami dari aneksasi ke aneksasi lanjutan oleh NKRI. Dalam upaya RI menganeksasi atau mencaplok tanah air, dan membubarkan keutuhan dan integritas bangsa dan kemerdekaan Negara Papua Barat telah melanggar beberapa ketentuan Hukum Nasional dan Internasional serta tata cara / norma yang berlaku, antara lain:
Pertama, RI telah melanggar butir 6 Declaration on the Granting of Indenpendence to Colonial Countries and People, yang berbunyi: "Setiap upaya gangguan sebagian atau seluruh persatuan nasional dan integritas suatu Negara tidak sesuai dengan tujuan dan Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa".
Kedua, Telah melanggar Pembukaan Undang-undang Dasar RI pada alinea pertama yang menyatakan: "Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan".
Ketiga, Perjanjian New York tanggal 15 Agustus 1962 tentang "Act of free choice" dan implementasinya melalui Penentuan Pendapat Rakyat pada tahun 1969 juga telah melanggar hukum bangsa-bangsa tentang Aneksasi dan Declaration on the Granting of Indenpendence to Colonial Countries and People dalam resolusi PBB nomor 1514 (XV), tanggal 14 Desember 1960.
Keempat, ditinjau dari hukum bangsa-bangsa, maka klaim RI atas Papua Barat sebagai bagian integral berdasarkan sejarah Kerajaan-kerajaan Kuno, seperti Kerajaan Majapahit dan Kesultanan Tidore dengan hubungan kekeluargaan bangsa, hubungan kenegaraan dan kebudayaan tidak dapat dibenarkan sama sekali. Bangsa Papua sama sekali tidak merasakan hubungan seperti itu. Maka itu, RI telah melanggar Hukum Bangsa-bangsa.
Kelima, Negara Indonesia, PBB dan Amerika Serikat telah melanggar Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia oleh PBB dan kovenan-kovenan Internasional lainnya.
Untuk memulihkan kembali Kemerdekaan Kedaulatan Negara Papua Barat yang telah dianeksasi ke dalam NKRI, maka pada puncak Forum Demokrasi tertinggi bangsa Papua yakni Kongres Bangsa Papua ke tiga, 19 Oktober 2011 di Lapangan Zakeus Padang Bulan - Jayapura yang dihadiri sekitar 12.000 (dua belas ribuh) wakil rakyat Bangsa Papua telah menyatakan "Deklarasi Pemulihan Kemerdekaan Kedaulatan Bangsa Papua di negeri Papua Barat" yang dibacakan oleh Forkorus Yaboisembut, S.Pd dan melahirkan Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB). Saat ini NFRPB sebagai negara baru di muka bumi ini sedang berjuang untuk mendapatkan status pengakuan secara de jure oleh negara-negara merdeka di dunia dan PBB, dan selanjutnya mengatur peralihan kekuasaan adminitrasi pemerintahan dari NKRI ke NFRPB secara bermartabat.

Pada Menjelang 50 Tahun Aneksasi Tanah Air dan Bangsa serta Negara Papua, Front PEPERA PB menyatakan dengan tegas bahwa:

1). Pendudukan NKRI di Tanah Papua adalah illegal secara hukum dan moral.
2). Menolak dan menggugat Aneksasi Tanah Air, dan Bangsa serta Negara Papua Barat ke dalam NKRI.
3). Negara Indonesia segera akui Kemerdekaan Kedaulatan Negara Papua Barat.
4). Stop membubarkan NFRPB dan stop memaksakan rakyat dan bangsa Papua menjadi warga negara dan bangsa Indonesia.
 5). Negara Indonesia, Belanda, Amerika Serikat dan PBB segera bertanggung jawab dengan jalan mengambil langkah-langkah kongkrit untuk penyelesaian status Politik dan Hukum Bangsa Papua secara bermartabat sesuai standar Internasional.
  6). Negara-negara di dunia, khususnya Amerika Serikat dan Belanda mendorong PBB dan atau pihak ketiga yang netral untuk memediasi dialog /perundingan agar melahirkan solusi dua bangsa (Indonesia - Papua) dan dua negara (NKRI - NFRPB) yang setara dan tanpa syarat sesuai standar Internasional. 
7). RI segera hentikan segala bentuk teror maupun sandi-sandi operasi dalam bentuk apa pun untuk membungkam perjuangan bangsa Papua dan stop membantai orang asli Papua, baik secara langsung dan tidak langsung.
 8). Solidaritas masyarakat Internasional mendorong Negara masing-masing untuk mengakui Kemerdekaan Kedaulatan Negara Papua secara de jure.
9). Negara-Negara di kawasan Malanesia (MSG) dan Pasifik Islands Forum (PIF) segera menerima Papua Barat menjadi Anggota Tetap MSG dan PIF dalam tahun ini.
10). Semua Komponen Bangsa Papua di mana saja berada segera konsolidasi bersatu untuk mengembalikan Hak Kemerdekaan Kedaulatan Bangsa dan Negara Papua yang telah dianeksasi ke dalam NKRI melalui cara-cara kotor (cacat moral) dan tidak prosedural (cacat hukum).

Demikian pernyataan sikap ini kami buat dengan sesungguhnya, untuk diperhatikan dan ditindak-lanjuti oleh pihak-pihak terkait, agar dapat menyelamatkan orang asli Papua dari marginalisasi, diskriminalisasi, minoritas, dan pemusnahan etnis Papua secara bergerak perlahan-lahan (slow moving genocide).

Penjara Abepura: Sabtu, 27 April 2013.
"Persatuan Tanpa Batas Perjuangan Sampai Menang".
TTD
Selpius Bobii, (Ketua Umum Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat, juga Tahanan Politik Papua Barat)

Senin, 22 April 2013

EKSPLOITASI SUMBER DAYA ALAM DI PAPUA SELAMA 22 TAHUN DENGAN PENDEKATAN DARI ATAS KE BAWAH

Eksploitasi sumber daya alam di Papua selama 22 tahun dengan pendekatan dari atas ke bawah

Returning from hunting, Merauke
DTE 89-90, November 2011
Oleh Carolyn Marr, Down to Earth
Proyek lumbung pangan dan energi terpadu Merauke atau Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang diluncurkan pada bulan Agustus tahun lalu saat ini merupakan rencana pengembangan sumber daya alam yang paling ambisius untuk Papua.
Rencana itu meliputi perubahan peruntukan sejumlah besar lahan, termasuk hutan, untuk dijadikan perkebunan yang akan ditanami berbagai tanaman untuk pangan, energi dan tanaman produktif lainnya. Pekerja akan didatangkan ke Merauke untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Kekhawatiran mendalam telah disampaikan oleh organisasi masyarakat setempat serta ornop regional, nasional dan internasional mengenai potensi kerusakan yang akan ditimbulkan oleh mega proyek ini terhadap masyarakat adat, tanah adat, sumber daya alam dan budaya mereka; dan juga dampak politik yang lebih luas, dampak terhadap HAM, sosiologi dan budaya serta lingkungan Papua secara keseluruhan.
MIFEE mengikuti pola baku dari mega proyek ambisius di Indonesia yang pada dasarnya ditujukan untuk pasar ekspor. Proyek-proyek itu memberikan insentif bagi investor sektor swasta, tetapi sama sekali tak mempedulikan potensi pembangunan dan kebutuhan masyarakat setempat.
Tinjauan atas proyek dukungan pemerintah yang menargetkan Papua seperti yang telah dicermati oleh DTE selama lebih dari dua puluh tahun terakhir ini menunjukkan bahwa pembangunan semacam itu cenderung memiliki beberapa persamaan karakter. Ciri-ciri tersebut antara lain: pengambilan keputusan dengan pendekatan dari atas ke bawah, pernyataan resmi bahwa proyek itu untuk kepentingan masyarakat, penyerobotan lahan milik masyarakat adat, dan didatangkannya tenaga kerja non-Papua.
Fakta bahwa MIFEE memiliki banyak persamaan karakter ini menunjukkan bahwa tak banyak perubahan dalam pola pikir para pengambil keputusan sejak jaman Suharto. Alhasil, dampak negatif serupa yang timbul dari proyek-proyek sebelumnya kemungkinan besar akan terjadi lagi.
Sementara beberapa rencana investasi yang lebih buruk di Papua belum berjalan, atau paling tidak tak berjalan sebagaimana diumumkan sebelumnya, penebangan hutan, pembangunan perkebunan, dan eksploitasi pertambangan, minyak dan gas terus berlanjut dengan kecepatan yang berbeda-beda dan tingkat dampak yang berbeda-beda pula.
Dampak menyeluruh adalah kerusakan sumber daya alam yang terus berlangsung. Garis merah dari eksploitasi sumber daya alam ini adalah terpinggirkannya masyarakat adat Papua, proyek dengan pendekatan dari atas ke bawah yang ditentukan dari luar, dan seringkali disertai ancaman atau penggunaan kekerasan untuk memaksakan pelaksanaannya.
Dampak kumulatif dari skema pembangunan ini merupakan persoalan tersendiri yang tak kalah pentingnya. MIFEE tampaknya akan kembali menjadi pukulan yang bakal mengandaskan harapan bahwa kekayaan alam Papua akan dikelola secara berkelanjutan oleh masyarakat setempat dan bermanfaat bagi mereka sendiri. Setiap pukulan semakin menjauhkan harapan karena keseimbangan populasi bergeser dengan meningkatnya penduduk migran yang bukan merupakan masyarakat adat dan semakin banyak sumber daya alam Papua dikuasai oleh sektor swasta.Pemberian status otonomi khusus untuk Papua pada tahun 2001 memberikan lebih banyak ruang bagi politisi Papua berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai sumber daya Papua dan lebih banyak kesempatan untuk memperoleh manfaat dari pendapatan. Kenyataannya, rakyat biasa masih tetap tak berdaya untuk mencegah penyerobotan tanah dan sumber daya yang merupakan sumber penghidupan mereka.

Dari Scott sampai BP
Ketika DTE didirikan pada tahun 1988, kampanye untuk menghentikan pembangunan besar-besaran oleh Scott Paper tengah berlangsung dengan gencar.[i] Lahan seluas sekitar 790.000 hektare di distrik Merauke ditargetkan untuk dijadikan perkebunan eucalyptus untuk memasok kilang kayu serpih dan bubur kayu di Bade (sekarang di distrik Mappi) di Sungai Digul. Tanah milik sekitar 15.000 masyarakat adat yang hidup sebagai pemburu dan peramu masuk dalam wilayah konsesi Scott. Perusahaan Amerika Serikat itu berjanji untuk mempekerjakan sebanyak mungkin warga setempat, tetapi juga menegaskan bahwa masyarakat non-Papua juga akan didatangkan dengan bantuan Departemen Transmigrasi pemerintah Indonesia.[ii]
Kampanye internasional menyuarakan kekhawatiran atas perlindungan penghidupan dan hak untuk mendapatkan informasi awal tanpa tekanan (FPIC), meskipun ketika itu istilah tersebut belum dikenal. Scott menampik tekanan ORNOP dengan menyatakan bahwa perusahaan itu akan mundur jika masyarakat setempat mengatakan mereka tak menginginkan proyek itu terus berjalan di sana. Akhirnya, di bawah ancaman kampanye konsumen terhadap produk terkenal perusahaan itu (tisue, kertas toilet), perusahaan mengundurkan diri dari proyek itu. Hal ini menyebabkan mitra patungannya yang berasal dari Indonesia (Astra) dan beberapa menteri marah, lalu menyerang balik kelompok ORNOP.
Sejak peristiwa dengan Scott Paper tersebut, Papua terus dikepung oleh proyek eksploitasi sumber daya alam – sebagian sudah berjalan, sebagian belum, ada yang dalam skala besar-besaran, ada juga yang tak begitu besar; ada yang dengan ijin resmi, ada yang ilegal. Proyek-proyek ini antara lain mega proyek Memberamo seluas 8 juta hektare untuk pembangunan bendungan pembangkit listrik tenaga air, infrastruktur, industri berat dan agro-industri (yang belum dimulai) hingga operasi penyelundupan kulit buaya yang melibatkan pejabat pemerintah dan militer (yang sudah terjadi). Juga ada rencana BPH untuk membuka pertambangan nikel raksasa di Pulau Gag (dibatalkan) hingga proyek Tangguh yang luar biasa besarnya milik BP berupa ekstraksi gas dan pabrik LNG di Teluk Bintuni (tengah berjalan).
Satu proyek yang terus ada dalam sejarah Papua mutakhir adalah tambang tembaga dan emas Freeport-Rio Tinto di pegunungan tengah Papua. Seperti yang tercatat dalam kronologi di bawah ini, proyek raksasa tersebut telah membawa banyak manfaat bagi investor tetapi menimbulkan banyak pelanggaran HAM dan lingkungan hidup terhadap penduduk setempat. Hingga awal abad 21 ini, proyek tambang raksasa tersebut menjadi acuan atau contoh buruk untuk tidak melakukan proyek pembangunan sumber daya alam di Papua.

Perusakan Hutan Papua
Barangkali hal yang paling mengganggu adalah pengurasan sumber daya Papua yang berdampak sangat merusak kekayaan hutan Papua yang kaya, penuh keanekaragaman hayati dan unik. Ketika hutan rusak, mata pencaharian masyarakat yang tergantung pada sumber daya itu menjadi berkurang atau bahkan hilang sama sekali.
Hutan merupakan target utama investor, mula-mula melalui konsesi HPH dan pembukaan hutan untuk lokasi transmigrasi, dan belakangan melalui konsesi HTI. Melalui peraturan daerah, lalu otonomi khusus, desentralisasi kekuasaan memicu perseteruan untuk memegang kendali antara pemerintah Papua dan pemerintah pusat. Mafia kayu yang baru adalah para pedagang kayu dan petugas keamanan serta pejabat setempat, seiring dengan beralihnya demam kayu dari Kalimantan ke Papua. Dalam dekade terakhir ini proyek kelapa sawit dan bubur kayu serta berbagai kegiatan lain semakin menghancurkan hutan Papua, di samping atau bersamaan dengan penebangan hutan.
Sekarang ini, tanaman untuk pangan dan penghasil energi yang ditargetkan melalui MIFEE merupakan ancaman tambahan bagi hutan dan penghuni hutan. HTI, proyek pengembangan kelapa sawit dan MIFEE semuanya merongrong kredibilitas komitmen yang dibuat presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengurangi emisi gas rumah kaca Indonesia sebesar 26% per tahun 2020.[iii]
Eksploitasi sumber daya di Papua dengan pendekatan dari atas ke bawah 1989-2010
Berikut adalah sebagian kasus yang dilaporkan dalam terbitan berkala DTE selama lebih dari 22 tahun terakhir. Angka dalam kurung mengacu pada edisi terbitan berkala terkait. Daftar ini tidak lengkap, tetapi memberikan indikasi besarnya kerusakan sumber daya Papua dalam beberapa dekade terakhir.
1989: Marubeni dari Jepang dijadwalkan untuk mulai mengimpor kayu serpih dari daerah hutan bakau di Teluk Bintuni sebagai bagian dari proyek bersama PT Bintuni Utama Murni yang mencakup kegiatan pabrik kayu serpih di Pulau Amutu Besar. Tak ada AMDAL, dan konsesi itu tumpang tindih dengan area hutan konservasi (1). Di Jepang protes terhadap proyek itu dilancarkan oleh JATAN dan FoE Jepang (6).
Scott Paper melanjutkan rencana pembukaan perkebunan dan proyek bubur kayu di Merauke setelah mendapat persetujuan pemerintah pada bulan Oktober 1988 (1). Surat protes dilayangkan oleh sejumlah ORNOP (2) dan aksi protes juga dilancarkan di Jakarta (3). Perusahaan akhirnya menarik diri dari proyek tersebut (6).
Perusahaan Finlandia Rauma-Repola Oy tengah menjajaki kerja sama patungan dengan PT Furuma Utama Timber Co, untuk mengembangkan proyek kertas dan bubur kayu di Papua (6).
Konglomerat Indonesia PT Garuda Mas melakukan studi kelayakan untuk pabrik pemrosesan sagu di distrik Sorong (1). PT Sagindo Sari Lestari telah membangun pabrik sagu di Bintuni-Manokwari (4)
Enam puluh enam dari 77 pemegang HPH dilaporkan telah menghentikan kegiatan penebangan mereka (1). Perusahaan Australia McLean Ltd berencana untuk melakukan penebangan di atas lahan HPH seluas 60.000 hektare di daerah Mamberamo melalui kerja sama dengan PT Sansaporinda, yang disebut Mamberamo Forest Products (5).
Gucci dan Christian Dior dikabarkan berminat atas investasi kulit buaya. Sekitar 2.500 lembar kulit buaya telah diekspor ke Perancis sejak1987 oleh PT Skyline Jayapura (2). Perburuan buaya dan penyelundupan kulit buaya dilaporkan terjadi di daerah Sungai Mamberamo, dengan melibatkan kekerasan dan korupsi dalam perdagangan itu (3).
BUMN PT Aneka Tambang berencana untuk membuka tambang nikel di Pulau Gag dengan dukungan finansial dari Queensland Nickel Joint Venture, Australia (3).
Ekspansi besar-besaran terjadi di tambang Freeport dengan peningkatan produksi emas sebanyak tiga kali lipat dari 5 ton menjadi 15 ton dalam 3 tahun ke depan dan produksi konsentrat tembaga dari 25.000 ton menjadi 40.000 ton per hari. Freeport merayakan ulang tahunnya yang ke 21 sambil meraup keuntungan terbesar yang pernah dicapai. Seorang pekerja medis melaporkan telah terjadi 143 kecelakaan kerja yang serius dan 4 kematian dalam 3 tahun terakhir (5).
Perusahaan patungan penebangan hutan Korea Selatan-Indonesia, You Liem Sari (anak perusahaan You One Construction) dan PT Kebun Sari telah menghancurkan penghidupan 90 keluarga di Muris, dekat Jayapura (6).
Enam perusahaan pertambangan emas asing, satu dari Inggris dan lima dari Australia, mengincar emas di Papua (6).
1990: Investigasi oleh kantor berita Jepang, Kyodo, menemukan bukti pembalakan liar di Teluk Bintuni oleh Bintuni Utama Murni Wood Industries yang didukung oleh Marubeni (7). Di Teluk Bintuni, pemilik tanah suku Iraturu menuntut royalti dari perusahaan, sementara kampanye terhadap keterlibatan Marubeni dalam perusakan hutan bakau terus berlanjut di Jepang (10). Perusahaan itu diperintahkan untuk menghentikan kegiatannya dan didenda oleh Menteri Kehutanan karena pembalakan liar (11).
Perusahaan minyak Amerika Serikat Conoco akan melakukan pengeboran sumur minyak yang konon terbesar di Papua di daerah Kepala Burung sesuai dengan perjanjian bagi hasil dengan perusahaan minyak negara Pertamina (8).
Pengapalan pertama ke Jepang tepung sagu yang diproduksi oleh Sagindo Sari Lestari melalui kegiatannya di Teluk Bintuni. Perusahaan itu mengumumkan rencana untuk mendatangkan 200 keluarga transmigran untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. (9).
Gubernur Suebu mempertimbangkan rencana sebuah konsorsium Australia untuk membangun pabrik pembuangan limbah beracun di Nappan, Teluk Cenderawasih, untuk memproses limbah tingkat tinggi dari Australia, Indonesia dan Singapura (9). Proyek peluncuran roket pendorong satelit di Biak juga tengah direncanakan bersama dengan sebuah perusahaan Amerika Serikat (9).
Freeport melakukan negosiasi untuk memperluas kawasan kontrak menjadi 20 kali lebih besar dari luas awalnya. (10). Ornop Indonesia SKEPHI melaporkan bahwa 77 pemegang HPH sudah mendapatkan 12,9 juta hektare dan mengatakan bahwa 70% dari hutan Papua seluas 41,8 juta hektare telah dialokasikan untuk berbagai jenis eksploitasi (penebangan hutan, pembangunan waduk, lokasi transmigrasi, perkebunan, pertambangan dan minyak) (10).
PT Yapen Utama Timber siap menghancurkan hutan perawan Pulau Yapen dan penghidupan masyarakat di pulau itu (10).
Pemerintah memberikan lampu hijau kepada 19 pabrik bubur kayu baru, empat di antaranya berada di Papua (11).
Gubernur Suebu mengatakan bahwa survei satelit yang dilakukan oleh ahli AS menunjukkan bahwa Papua memiliki cadangan emas terbesar di dunia (11).
1991: Perusahaan negara Inhutani II diumumkan sebagai pengganti Scott Paper di Merauke (12). Pemerintah Kanada mendanai studi kelayakan bagi perusahaan kayu/proyek bubur kayu yang didanai Bank Pembangunan Asia di Sorong. Perusahaan yang mengajukan diri untuk menjalankannya adalah PT Kayu Lapis, salah satu kelompok perusahaan kehutanan besar di Indonesia yang sudah melakukan penebangan hutan di Teluk Bintuni melalui anak perusahaannya PT Henrison Iriana. Perusahaan ini dikabarkan memiliki dua HPH, masing-masing di kelurahan Wasior dan Babo (12).
Proyek sagu PT Sagindo Sari Lestari berencana untuk mendatangkan 8.000 keluarga transmigran lagi untuk bekerja di proyek tersebut (12).
Sepuluh ORNOP dari AS, Inggris, Jepang, dan Belanda menyuarakan keprihatinan mereka atas dampak pertambangan Freeport dan perluasan proyek yang tengah berlangsung terhadap masyarakat adat Papua dan lingkungannya (12). Freeport menanggapi dengan membantah telah melakukan kesalahan, tetapi bersedia mengatur pertemuan dengan ORNOP AS Environmental Defense Fund bersama dengan WALHI dan wakil WWF di Jakarta serta memasang iklan untuk mencari staf lingkungan hidup. (13). Perusahaan itu menandatangani perjanjian dengan pemerintah Indonesia untuk perpanjangan kontrak selama 30 tahun yang mencakup wilayah 2,5 juta hektare lahan dan CEO James Moffett mengklaim bahwa ia “menancapkan tombak pembangunan ekonomi ke jantung tanah Irian Jaya”. Tambang itu memiliki cadangan emas terbesar yang pernah dipublikasikan (14). Bakrie Group membeli 10% saham Freeport Indonesia (15). Serangkaian berita surat kabar melaporkan kisah perjanjian antara pemimpin adat dan perusahaan itu tahun 1974 dan perlunya melakukan renegosiasi perjanjian tersebut (15).
Pemerintah mengumumkan rencana untuk membangun daerah wisata internasional di Pulau Biak dengan enam hotel yang akan dibangun di atas tanah seluas 325 hektare (13).
Empat perusahaan lain (termasuk tiga perusahaan internasional) telah menyerahkan proposal untuk melakukan eksplorasi tembaga di Papua (13).
Kantor gubernur Papua menyatakan bahwa Bintuni Utama Murni Wood Industries telah membuka hutan bakau seluas 300 hektare secara ilegal. Perusahaan itu, dengan dukungan perusahaan Jepang, Marubeni, belum membayar denda yang dikenakan tahun lalu (13).
Dikabarkan ada proyek pembangunan waduk pembangkit listrik tenaga air di Sentani dengan dukungan keuangan dari Jerman (13).
1992: Moi, masyarakat adat di Sorong, menolak kehadiran perusahaan penebangan hutan PT Intimpura di tanah nenek moyang mereka, melakukan protes, bertemu dengan wakil perusahaan dan pemerintah dan menyerukan agar dikenakan denda. Perusahaan terus melakukan pembalakan meskipun belum memenuhi janjinya terhadap masyarakat. Masyarakat setempat tak mengetahui adanya rencana pembalakan sampai kegiatan itu dimulai. (16).
Tiga perusahaan – PT Yapen Utama, Wapoga Timber dan Barito Pacific Timber melakukan penebangan hutan di Pulau Yapen, meskipun diprotes warga setempat (19).
Perusahaan patungan Perancis –Australia PT Nabire mendapat ijin untuk melakukan eksplorasi emas di lahan seluas lebih dari 825.000 ha di Papua. Perusahaan itu adalah BRGM dari Perancis dan Consolidated Rutile dari Australia, juga perusahaan Indonesia, PT Darma Bakti Cirendeu. Perusahaan asing lainnya, Montague Gold, telah memiliki tiga proyek eksplorasi patungan di Papua (16). 
Sebuah konsorsium bank Jerman akan menyediakan dana 70% untuk membangun pabrik peleburan di Gresik, Jawa Timur, untuk melebur tembaga dari tambang Freeport (16). Dampak kegiatan Freeport yang membuang puluhan ribu ton limbah batu setiap hari ke sungai setempat merusak daerah dataran rendah, mengakibatkan banjir di hutan-hutan dan mempengaruhi penghidupan masyarakat setempat (18).
PT Astra, perusahaan yang pernah menjadi mitra Scott Paper dalam proyek bubur kayu di Merauke, mengundurkan diri dari kerja sama itu karena masalah keuangan (18).
Perusahaan tambang batu bara milik negara PT Tambang Batubara Bukit Asam akan bekerja sama dengan 20 perusahaan daerah dalam usaha patungan baru di bidang batu bara, termasuk di Papua (17).
1993: Warga desa Moi di Sorong, melakukan penyerangan untuk ketiga kalinya terhadap base camp perusahaan kayu PT Intimpura (yang dimiliki oleh militer) setelah protes mereka terus menerus diabaikan (20/21). Ancaman dan intimidasi terus dilancarkan terhadap masyarakat setempat yang melakukan protes terhadap pembalakan yang terus berlanjut (22). Konflik serupa juga terjadi di distrik Manokwari antara warga Sou di distrik Bintuni, dan perusahaan penebangan hutan PT Yotefa Sarana Timber (20/21).
Rencana pembangunan lembah Sungai Mamberano diumumkan oleh Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie (20/21).
Perusahaan AS Eastern Mining bekerja sama dengan dua perusahaan Indonesia untuk melakukan eksplorasi emas dan tembaga di Papua (21/21).
Freeport akan meningkatkan pemrosesan biji besi menjadi 115.000 ton per hari hingga 1996 (22).
1994: Departemen Kehutanan menekankan pentingnya relokasi pemrosesan kayu dari Sumatra dan Kalimantan ke Papua (24).
Perusahaan Kanada Inco terus melakukan eksplorasi tembaga terbatas di Papua. Ketika ornop menyuarakan keprihatinannya, perusahaan itu mengatakan puas dengan catatan HAM Indonesia (24). Sementara itu perusahaan patungan antara Ingold dari Kanada dan Eastern Mining dari AS memperoleh ijin eksplorasi emas dan tembaga serta kontrak produksi (24).
1995: RTZ (sekarang Rio Tinto) membuat perjanjian dengan Freeport untuk mendanai ekspansi di tambangnya, dan memperolah saham di Freeport dan bagian keuntungan dari ekspansi itu sebagai imbalannya. Australian Council for Overseas Aid melaporkan bahwa 37 orang tewas dalam beberapa bulan terakhir ini di tangan militer dan aparat keamanan Freeport dan Freeport dituduh terlibat dalam penyiksaan dan intimidasi 13 warga, penembakan 3 warga desa, dan hilangnya 5 warga desa (25). Protes terhadap keterlibatan RTZ di Freeport dilancarkan pada waktu Rapat Umum Pemegang Saham perusahaan itu di London (25). WALHI menggugat Departemen Pertambangan dan Energi ke pengadilan, menuduh departemen itu gagal dalam melakukan konsultasi secara memadai sebelum menyetujui AMDAL Freeport (26). Pernyataan oleh pimpinan Amungme menyerukan dihentikannya pembunuhan dan penyiksaan, penggusuran dan perusakan lingkungan oleh kegiatan pertambangan Freeport. Laporan oleh Keuskupan Katolik menunjukkan adanya bukti pembunuhan, penyiksaan dan penghilangan di daerah konsesi pertambangan (27). Sementara itu kapasitas pemrosesan biji besi akan ditingkatkan menjadi antara 175.000-200.000 ton per hari dan Presiden Suharto menyetujui investasi Freeport (27). Badan Investasi Swasta Luar Negeri (Overseas Private Investment Corporation) pemerintah AS membatalkan jaminan risiko politik untuk Freeport senilai US$ 100 juta. Surat OPIC kepada perusahaan itu mengungkapkan adanya kerusakan lingkungan yang besar. Badan Jaminan Investasi Multilateral (Multilateral Investment Guarantee Agency) dari Bank Dunia juga didesak untuk melakukan pembatalan serupa atas jaminan yang diberikan tahun 1990 (28). Mahasiswa AS melancarkan protes terhadap Freeport. Suharto membuka kota tambang Kuala Kencana dekat tambang Freeport, dan gugatan WALHI terhadap Freeport kandas (28). Menteri Kehutanan Djamaluddin menginginkan agar perusahaan kayu meningkatkan penebangan hutan di Papua (29/30).
1996: Angka resmi menunjkkan bahwa produksi kayu telah meningkat tiga kali lipat tahun 1992-3 dibandingkan dengan dekade sebelumnya sebesar 1,3 juta m3 dari 68 HPH, tetapi ini tak cukup dan Departemen Kehutanan mendorong lebih banyak produksi. Jakarta menawarkan ijin bagi pabrik penggergajian dan pabrik bubur kayu baru untuk Papua. Tingkat royalti yang lebih rendah diberlakukan sebagai insentif (29/30).
Enambelas proyek bubur kayu diumumkan, termasuk pabrik dengan kapasitas 300.000 ton per tahun yang akan dijalankan oleh Jayanti Group mulai 2003 (29/30).
Terjadi kerusuhan massa dan penyerangan terhadap properti Freeport di Tembagapura dan Timika serta kota baru Kuala Kencana, setelah seorang warga suku Dani, yang tertabrak oleh kendaraan yang dikemudikan oleh karyawan Freeport, kemudian dikabarkan tewas dan dilempar ke jurang. CEO Freeport datang menemui pemimpin Amungme yang mewakili korban dan mengajukan tuntutan. Pemimpin adat Tom Beanal menggugat perusahaan itu di AS dan meminta ganti rugi sebesar US$6 miliar (29/30). Freeport menyorongkan penyelesaian berupa 1% dari keuntungan kotor untuk program pengembangan masyarakat dan sebagai imbalannya perusahaan dapat terus beroperasi dalam lahan konsesi seluas 2,6 juta hektare. Freeport membatalkan jaminan risiko politik dari MIGA maupun OPIC (yang sebelumnya telah diberikan kembali) (31).
Sedikitnya 82 keluarga (sebagian besar keluarga dari Jawa di lokasi transmigrasi) meninggalkan proyek PT Sago Sari Lestari karena upahnya terlalu kecil untuk dapat bertahan hidup (29/30).
Texmaco menggantikan Astra untuk proyek Scott Paper di Merauke dan akan memproduksi rayon, bukan bubur kayu (32). Perusahaan lain, Tanah Merah Hutan Lestari, tengah mengembangkan perkebunan kayu seluas 350.000 ha di wilayah itu. (32).
1997: Kekerasan terjadi, dipicu oleh suatu kasus perkosaan yang melibatkan karyawan-karyawan Papua Freeport, mengakibatkan 6 tewas dan 52 luka (33). Timbul lagi kekerasan di tambang Freeport-Rio Tinto yang menewaskan sedikitnya empat warga Papua (35). Di daerah hilir, warga tergusur oleh lumpur dan limbah tailing yang dibuang Freeport, yang telah menenggelamkan Koperapoka Lana dan merusak 300.000 ha hutan. Sementara itu, ditemukan cadangan emas baru (32). Pemerintah mendapati bahwa air sungai tak layak untuk dikonsumsi (32). Gugatan oleh pemimpin Amungme Tom Beanal, dan Yosepha Alomang ditolak di AS (32). Saham Bakrie di Freeport diambil alih oleh Nusamba, yang berada di bawah kendali keluarga Suharto dan kroninya si raja kayu Bob Hasan (33). Lebih banyak pasukan akan ditempatkan di Timika (32) dan Freeport membangun barak bagi militer setempat (35).
BHP mengumumkan proyek tambang nikel di Pulau Gag, melalui kerja sama dengan perusahaan tambang negara, PT Aneka Tambang (35).
Suharto menginstruksikan pemerintah agar membangun satu juta hektare perkebunan di Papua (35)
Rencana pembangunan pembangkit listrik, industri berat dan produksi pangan di daerah aliran sungai Mamberamo diumumkan. Ada rencana untuk menarik investor Jerman (32). Seperti halnya mega proyek lahan gambut Kalimantan Tengah, Mamberamo ditampilkan sebagai cara untuk mengembalikan swadaya beras (34). Seminar mengenai Mamberamo diadakan di Jakarta untuk menarik investor (35).
Penemuan gas di Teluk Bintuni diumumkan oleh perusahaan AS Atlantic Richfield (ARCO – ladang gas itu kemudian menjadi proyek Tangguh, yang dikendalikan oleh BP) (32).
1998: Pemerintah mengumumkan tak akan mengeluarkan ijin penebangan hutan lagi di Indonesia pada tahun 1998, kecuali di Papua dan Timor Timur (36).
Disetujui kontrak pertambangan nikel di Pulau Gag untuk usaha patungan BHP dan Aneka Tambang (37).
Badan perencanaan pembangunan nasional (BAPPENAS) membuat daftar proyek baru untuk mengeksploitasi sumber daya Papua di tujuh zona. Rencana tersebut mencakup transmigrasi besar-besaran yang dipadukan dengan penebangan hutan, proyek kayu lapis, kelapa sawit, gula tebu dan serat tekstil di Merauke dan eksploitasi gas di Teluk Bintuni (37).
Mantan Gubernur Suebu (yang duduk di badan pengawas pembangunan untuk wilayah Indonesia Timur) mengumumkan bahwa Jerman, Jepang dan Australia telah menyepakati untuk menanamkan modal di mega proyek Mamberamo (37). Rencana untuk mega proyek itu tidak terpengaruh oleh ’krismon’ dan laporan menyebutkan bahwa pembebasan tanah mulai berjalan. (37).
Sekitar 2.100 orang akan dipindahkan dari kota tambang Freeport Timika ke lokasi transmigrasi (37). Freeport terlibat dalam pembunuhan 11 orang dan tindak kekerasan lain yang dilakukan oleh militer Indonesia di dekat tambangnya. Kekerasan itu didokumentasikan dalam laporan pemimpin gereja di Mimika (38). Dinding air setinggi 20 kaki dimuntahkan Danau Wanagon, di mana Freeport membuang limbah tambangnya, mengakibatkan banjir di desa Waa dan sejumlah banjir dan tanah longsor, yang menelan korban dua pekerja (39). Kegiatan perusahaan diselidiki oleh sebuah komisi DPR yang mendapati bahwa perusahaan itu belum memberikan cukup manfaat bagi masyarakat setempat. Terjadi mogok kerja di pertambangan karena masalah gaji (39). Sementara itu, jatuhnya Suharto memicu munculnya tuntutan akan penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan rakyat Papua di seluruh wilayah itu (38).
Detail rencana ARCO dan mitranya untuk mengeksploitasi gas di proyek Tangguh diumumkan ke masyarakat luas (39).
1999: Penguasaan tanah besar-besaran, termasuk ribuan hektare di Papua, oleh keluarga Suharto mulai merebak, ,dengan sedikitnya 5 perusahaan terlibat dalam sektor perkebunan, perikanan dan industri. (40). Sementara pembicaraan tentang ‘otonomi’ dan ‘Dialog Nasional’ mengenai Papua berlanjut, Departemen Kehutanan menyerukan agar pemerintah distrik Merauke memastikan adanya pembukaan lahan dan penyelesaian pemberian kompensasi sehingga perkebunan kelapa sawit, gula dll milik Texmaco dapat mulai beroperasi. (40)
Kanwil Kehutanan mengatakan bahwa pihaknya telah menyerahkan permohonan ke pemerintah pusat untuk pembangunan 20 proyek perkebunan kelapa sawit baru skala menengah dan besar serta fasilitas pemrosesannya di distrik Jayapura, Merauke, Nabire, Fakfak dan Manokwari (40). Sebuah pembangunan perkebunan kelapa sawit di Sorong oleh Korindo Group (melalui anak perusahaan Bangun Karya Irian) tengah menunggu persetujuan. Dua anak perusahaan lain sudah mengembangkan perkebunan seluas 3.000 ha di Merauke (40).
Sebuah pembangunan perkebunan baru di wilayah Arso diumumkan, dengan pengembang PT PNII – perusahaan perkebunan negara - dengan perkebunan seluas 102.000 ha dan membangun pabrik pengolahan minyak sawit mentah (CPO) (42). Lahan seluas 1 juta hektare dialokasikan untuk ‘Zona Pembangunan Ekonomi Terpadu Biak’ untuk ditanami padi, sagu dan kelapa sawit, dan akan dikembangkan oleh PT Dato, konsorsium perusahaan Malaysia dan Jerman (42). PT Varita Majutama (anak perusahaan Jayanti Group, yang menjalankan proyek kayu lapis, sagu dan pengalengan ikan di Biak) memperluas perkebunan yang sudah ada di Babo, Teluk Bintuni, dengan mengerahkan tenaga kerja transmigran dan perusahaan itu merencanakan untuk membangun kilang pengolahan dan pelabuhan. (42). Sinar Mas mengatakan akan membangun pabrik pengolahan minyak kelapa sawit mentah dengan fasilitas pelabuhan di distrik Jayapura dan sudah menanam kelapa sawit di perkebunan seluas 13.000 hektare di sana.(42). Perusahaan lain (PT Tujuh Wali-Wali dan PT Prabu Alaska) tengah menunggu persetujuan untuk proyek mereka di distrik Jayapura dan Fakfak (42).
Lembaga Adat Suku Amungme (LEMASA) mengancam akan menutup tambang Freeport-Rio Tinto kalau perusahaan itu tidak mengubah cara kerjanya. (40). Skandal korupsi yang melibatkan Menteri Perekonomian Ginandjar Kartasasmita, Aburizal Bakrie dan Freeport, memicu munculnya tuntutan untuk melakukan negosiasi ulang atas kontrak perusahaan yang dibuat tahun 1991 itu. Sementara itu Presiden Habibie menginstruksikan para menteri untuk membantu perusahaan pertambangan itu agar meningkatkan produksinya menjadi 300.000 ton per hari (40) dan perluasan wilayah tambang disetujui setelah Freeport sepakat untuk meningkatkan pembayaran royalti atas tembaga dan emas yang dikeruk (41).
Wakil Papua yang hadir dalam pertemuan peresmian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengecam penyerobotan tanah dan sumber daya mereka oleh pemerintah pusat di Jakarta yang kemudian membagi-bagikannya ke berbagai perusahaaan. Mereka menuntut kemerdekaan dari Indonesia (Terbitan khusus DTE Oktober 1999). Sebuah kampanye internasional diluncurkan untuk mendesak pemerintah agar mengakui bahwa PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat)1969 adalah penipuan (43).
Continental Energy, untuk anak perusahaannya Apex Ltd, menandatangani kontrak bagi hasil dengan Pertamina untuk melakukan eksplorasi atas blok seluas 9.500 km persegi di lepas pantai timur laut Papua (43).
Perwakilan Papua Barat meminta Kelompok Kerja PBB untuk Masyarakat Adat agar pihak-pihak yang terlibat dalam proyek Mamberamo melakukan konsultasi dengan 7.300 warga yang terimbas. Perwakilan itu menyatakan bahwa hingga saat ini ”hampir semua kebijakan dan keputusan untuk apa yang disebut ‘pembangunan’ di Papua Barat dibuat tanpa sepengetahuan mereka” (43).
2000: Dengan latar belakang tuntutan terbuka untuk kemerdekaan atau paling tidak dialog mengenai status politik Papua, warga Papua mengajukan tuntutan baru untuk penutupan tambang Freeport-Rio Tinto dan ditariknya pasukan militer dari Timika (44). Penahan waduk Wanagon ambruk dua kali, menyebabkan tewasnya empat pekerja kontrakan dan banjir yang parah di daerah hilir. Pengurangan sementara dalam pemrosesan biji besi diberlakukan (47). WALHI menggugat Freeport karena pelanggaran undang-undang pengelolaan lingkungan hidup (47). Kapal survei yang dioperasikan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melaporkan adanya banyak endapan dari tambang Freeport di Laut Arafura (47). Freeport menyepakati kerangka kerja nota kesepahaman dengan organisasi masyarakat LEMASA dan LEMASKO (47).
Informasi dari Badan pengelolaan Lingkungan Hidup (Bapedal) di Jayapura menunjukkan bahwa 57 perusahaan kayu telah menebang pohon di lahan seluas 11 juta hektare. Bapedal menyebutkan nama enam perusahaan dengan HPH seluas lebih dari 200.000 hektare yang menguasai lahan sejumlah total 6,8 juta ha. Ketua Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) mengatakan bahwa banyak perusahaan menghentikan operasi karena konflik dengan masyarakat. (45).
Dewan Presidium Papua yang baru dan pro-kemerdekaan mengeluarkan resolusi mengenai investasi asing. Investasi asing disambut baik selama investor menghargai hak-hak masyarakat adat Papua dan lingkungannya. (47).
Kesepakatan ‘road for logs’ (jalan untuk kayu) yang melibatkan empat perusahaan Korea Selatan ditandatangani di Jakarta. Sesuai dengan kesepakatan ini perusahaan-perusahaan tersebut akan membangun jalan sepanjang 11.280 km yang menghubungkan Jayapura dengan Nabire dan Sorong dan sebagai imbalannya mereka akan mendapatkan hak penebangan pohon selebar lima kilometer di sebelah kiri dan kanan sepanjang jalan baru tersebut. (47).
Sementara itu masyarakat setempat dari Yapen Waropen menuntut kompensasi atas penebangan hutan dari perusahaan Korea lainnya, Kodeco (47).
2001: Undang-undang Otonomi Khusus untuk Papua akhirnya dikeluarkan pada bulan Oktober, dua tahun setelah diberlakukannya UU Otonomi Daerah agar daerah memperoleh bagian yang lebih besar atas pendapatan yang diperoleh dari sumber daya alam (51). Tenggat waktu 1 Mei bagi pengesahan RUU itu ditunda (49). Demonstran menolak otonomi dan menyerukan kemerdekaan sementara pihak keamanan menggilas demonstrasi politik, menangkap para pemimpin Papua yang pro-kemerdekaan. Puluhan orang dilaporkan tewas setelah ditembak dan/atau dihajar pihak keamanan. (49).
Perusahaan merger Inggris/AS, BP/Amoco (dahulu ARCO) merencanakan untuk memulai produksi dari ladang gas raksasa Tangguh di Teluk Bintuni tahun 2005. Menteri Lingkungan Hidup Sony Keraf mengatakan bahwa proyek itu akan merupakan ujian bagi UU Lingkungan Hidup yang baru, yang mensyaratkan partisipasi masyarakat dalam AMDAL. Kepala Bapedalda Ali Kastella mengatakan bahwa proyek itu mengancam ribuan hektare hutan bakau (48). Masyarakat adat Sebiar (Sebayar) mengancam akan menghentikan kegiatan BP Tangguh jika perusahaan itu gagal membayar ganti rugi yang telah dijanjikan atas pohon sagu yang hancur selama survei yang dilakukan tahun 1996-1997 (49).
Pembunuhan terhadap sejumlah pekerja penebang dan polisi memicu operasi brutal oleh Brimob di Wasior. Perusahaan yang terlibat adalah PT Dharma Mukti Persada,. Kejadian tersebut mengundang debat mengenai potensi pelanggaran HAM di sekitar lokasi BP Tangguh (50).
Bulan Februari Indonesia melelang 21 blok eksplorasi, termasuk 6 blok di Laut Arafura(48).
Freeport-Rio Tinto ditengarai oleh Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Indonesia sebagai satu dari dua perusahaan yang paling mencemari di Indonesia timur, tetapi pemerintah kembali memberikan perusahaan itu ijin untuk berproduksi lebih banyak sebesar 230.000 ton per hari (49). WALHI memenangkan gugatan atas Freeport dan perusahaan itu dinyatakan bersalah melanggar UU Lingkungan Hidup No 23/1997. Pihak militer menegaskan bahwa mereka siap mengamankan fasilitas Freeport dari ancaman keamanan di tengah-tengah seruan untuk menarik pasukan militer keluar dari Papua. Freeport menemukan lebih banyak tembaga dan emas dalam wilayah konsesinya. (51).
Mega proyek Mamberamo akan berjalan terus, menurut pejabat tingkat provinsi, tetapi Bank Dunia membantah sedang mempertimbangkan untuk mendanai waduk pembangkit listrik tenaga air itu dan mengindikasikan bahwa proyek itu merupakan gagasan yang buruk. (49). Rombongan pimpinan masyarakat adat dari Mamberamo pergi ke Jakarta untuk menuntut penghentian proyek, tetapi pemerintah tampaknya sudah berketetapan untuk terus melanjutkannya dan “terus mendesak masyarakat setempat agar menerima rencana itu” (50).
Peraturan baru untuk menghentikan pertambangan di hutan lindung diperdebatkan oleh perusahaan-perusahaan tambang, termasuk BHP, yang merencanakan untuk mengembangkan tambang nikel di Pulau Gag di perairan Papua.
2002: BP melakukan analisis dampak HAM di Tangguh di tengah-tengah kekhawatiran mengenai pengaturan keamanan gaya Freeport di Teluk Bintuni dan potensi pelanggaran HAM terhadap warga setempat. Pendudukan base-camp BP di Manokwari selama sehari penuh oleh masyarakat setempat memaksa dihentikannya kegiatan proyek Tangguh. Sejumlah ornop di Manokwari menyerukan moratorium. BP membentuk komisi (TIAP) untuk pengawasan yang lebih ketat atas pelaksanaan proyek itu, lalu komandan militer Papua mengunjungi lokasi proyek dan menyatakan bahwa militer memiliki kewajiban untuk melindungi lokasi proyek semacam itu. (53/54). Pengunjung lokasi melaporkan kekhawatiran masyarakat setempat yang mendalam atas masa depan mereka (55).
Data pemerintah menunjukkan bahwa 3,3 juta hektare dari 11,5 juta hektare hutan yag dimaksudkan untuk dijadikan hutan lindung di Papua tumpang tindih dengan konsesi pertambangan. Hal yang sama juga terjadi pada 1,5 juta ha dari 7,5 juta hektare hutan konservasi Papua. Perusahaan yang terlibat termasuk BHP dan Freeport. Gubernur Solossa melobi untuk mencabut larangan atas proyek BHP (53/54). BHP adalah satu dari enam perusahaan yang pertama kali mendapat persetujuan untuk melanjutkan operasinya, setelah pemerintah bertekuk lutut karena mendapat tekanan kuat untuk mengijinkan pertambangan di hutan lindung (55).
Menteri Kehutanan Prakosa meminta Gubernur Papua Solossa untuk mencabut keputusan yang mengijinkan ekspor kayu merbau yang berharga yang bertentangan dengan larangan pemerintah pusat (53/54). Pelanggaran HAM terkait dengan bisnis pembalakan liar dilaporkan oleh kelompok HAM di Papua, ELSHAM (55). International Crisis Group mengeluarkan laporan yang menunjukkan hubungan antara militer, eksploitasi sumber daya alam secara ilegal dan pembayaran uang keamanan oleh perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Papua. Pejabat militer atau “yayasan” yang dijalankan oleh militer dilaporkan menjadi pemilik saham dalam perusahaan penebangan hutan PT Hanurata dan Jayanti. Kasus-kasus intimidasi yang melibatkan Jayanti di Teluk Bintuni dilaporkan, juga penembakan oleh pasukan Kopassus yang menelan korban di lokasi PT Wapoga Mutiara Timber,130 km barat Jayapura. ICG merekomendasikan moratorium penebangan komersial untuk Papua dan penghapusan keterlibatan militer secara bertahap dalam ekstraksi sumber daya alam. (55).
Papua mengalami demam penebangan hutan yang berpusat di daerah Kepala Burung dengan banyak pembeli asing yang berminat atas kayu merbau. Banyak kasus penebangan liar dan penyelundupan kayu yang dilaporkan. Mafia kayu yang terkait dengan kerusakan hutan yang meningkat pesat muncul di Sorong berupa kolusi antara pejabat setempat, militer/polisi dan perusahaan kayu. (55). Terdapat 53 ijin HPH skala besar di Papua, mencakup 11-13 juta hektare, ditambah ratusan ijin HPH skala kecil yang dikeluarkan sejak 1998. Dibandingkan dengan daerah lain, laju kegiatan penebangan lebih rendah dan jumlahnya berkurang sekitar 1,8 juta ha antara 1985 dan 1997. Produksi kayu antara 1995-2000 adalah 1,7 juta meter kubik per tahun (37% dari target pemerintah). Tak ada pembangunan hutan produksi kayu dan laju pembangunan perkebunan rendah dibandingkan dengan daerah lain. (55).
Pekerja HAM berada di bawah tekanan dalam melakukan investigasi terbunuhnya tiga orang (satu warga Indonesia dan dua warga Amerika) di dekat tambang Freeport-Rio Tinto yang mengarah pada adanya keterlibatan militer. Perusahaan diketahui membayar puluhan juta dolar untuk pasukan pengamanan. Kejadian yang diprovokasi oleh militer di dekat pertambangan diyakini merupakan upaya untuk membenarkan keberadaan militer yang terus bercokol di sana dan pembayaran mereka. Sementara itu pemerintah Papua memiliki rencana untuk mendapatkan 15% saham pertambangan itu dan juga meminta adanya langkah-langkah secukupnya untuk mengatasi polusi pertambangan (55).
Medco, Perusahaan energi Indonesia terbesar yang terdaftar (dalam bursa efek Indonesia), membeli 90% saham dalam blok eksplorasi minyak dan gas di Yapen (56).
2003: Pemegang saham perusahaan memaksa Freeport untuk mengungkapkan berapa besar uang keamanan yang telah dibayarkan dan terus dibayarkan ke polisi dan militer di Papua. Hal ini mengundang debat mengenai praktik manipulasi penguasaan kendali keamanan dan pelanggaran HAM terkait dengan kegiatan Freeport. (57) Tanah longsor di lubang tambang raksasa Grasberg menewaskan delapan korban, yang segera memicu aksi protes di Indonesia dan London terhadap pertambangan (59). Yosepha Alomang, pembela HAM dari masyarakat adat Amungme menerbitkan kisah pribadinya selama tinggal di dekat tambang Freeport dan penderitaan yang dialaminya di tangan militer ketika ia memprotes dampak pertambangan itu (63).
Timbul lebih banyak keraguan mengenai proyek gas Tangguh dengan dipublikasikannya rangkuman atas penilaian dampak HAM proyek itu dan laporan dari Majelis Penasehat Independen Tangguh (TIAP). Kekhawatiran baru termasuk usulan pembagian Papua menjadi tiga provinsi (pemekaran) dan implikasi meningkatnya kehadiran militer yang ditimbulkan (57).
Delegasi DPRD dan pejabat Dinas Kehutanan menolak untuk mencabut ijin penebangan hutan dalam pertemuan dengan pejabat Departemen Kehutanan di Jakarta. Dalam masa demam logging di Papua tahun lalu, ijin HPH mencakup kawasan seluas 11,8 juta hektare diberikan kepada 44 perusahaan. (57).
Timbul kekhawatiran mengenai dampak potensial rencana BHP untuk menambang nikel di pulau Gag terhadap ekosistem kelautan Raja Ampat yang tak jauh dari situ. Diplomat Australia melakukan lobi agar penambangan dapat terus berlanjut di hutan lindung atas permintaan perusahaan-perusahaan yang bersangkutan, termasuk BHP (58).
2004: Situasi politik yang memburuk di Papua dan munculnya kembali militer sebagai kekuatan yang dominan dalam politik Indonesia menimbulkan kekhawatiran mengenai perlindungan HAM di Tangguh (60).
WALHI melaporkan bahwa ekspor kayu illegal dari Papua telah mencapai 600.000 meter kubik per bulan (61).
2005: Laporan yang dibuat EIA-Telapak mengenai pembalakan liar di Papua mengungkapkan bahwa Papua adalah pusat pembalakan liar utama di Indonesia. Setiap bulan sejumlah 300.000 meter kubik kayu diselundupkan ke Cina. Ada jaringan korupsi dan intimidasi yang melibatkan sindikat broker dan penghubung yang kuat di Indonesia, Malaysia, Singapura dan Cina. Masyarakat adat Papua hanya mendapat ‘uang receh’ sebagai pengganti sumber daya hutan mereka yang sangat berharga yang harus mereka serahkan. Distributor lantai kayu terkemuka di AS, Goodfellow Inc, menjual produk yang berasal dari kayu ilegal Papua. Beberapa menteri memerintahkan penggrebekan atas pembalakan liar di Papua, tetapi hal ini menjadi rumit karena hukum Papua dan nasional yang saling bertentangan mengenai siapa yang berhak atas penerbitan HPH (65)
Pernyataan masyarakat adat Soway, Wayuri dan Simuna yang menyerukan dihentikannya kegiatan proyek Tangguh di Teluk Bintuni hingga masalah yang berlarut-larut mengenai tanah diselesaikan. Tiga ratus ornop dan individu menandatangani surat mendesak Chief executive BP Lord Browne agar tidak meneruskan proyek itu sampai kekhawatiran tentang HAM dan konteks politik secara lebih luas diatasi. Seorang mantan vice-president BP turut mengkritik proyek itu dan TIAP dituduh meremehkan kekhawatiran atas pelanggaran HAM (65).
Ada rencana untuk membangun pangkalan militer di Taman Nasional Wasur di Merauke (65)
Mahkamah Konstitusi Indonesia memenangkan perusahaan-perusahaan pertambangan yang ingin meneruskan kegiatan mereka di hutang lindung – termasuk BHP, di Pulau Gag, padahal ada laporan mengenai ancaman dan suap (66).
Global Witness mendesak agar dilakukan investigasi terhadap kegiatan Freeport sesuai dengan hukum AS dan Indonesia terkait dengan pembayaran terhadap petugas militer dan polisi. Ada keterlibatan seorang mantan komandan militer di Papua. Pejabat yang sama pernah menduduki jabatan militer senior di Timor Timur ketika tindakan sewenang-wenang oleh pasukan dan militia yang didukung oleh angkatan darat Indonesia terjadi. (66)
2006: Detail atas pembayaran Freeport terhadap personel polisi dan militer diungkapkan lebih lanjut dalam laporan investigasi New York Times (68). Dua laporan secara terinci melaporkan dampak lingkungan hidup Freeport (WALHI) dan dampak sosialnya (Yahamak/ELSHAM), serta mencakup masalah seputar pendulangan emas oleh masyarakat setempat di aliran pembuangan tailing Freeport. Para demonstran di Jakarta mendesak agar tambang ditutup (69). Dana pensiun pemerintah Norwegia mencabut investasinya di Freeport dengan alasan etika (71).
Bank Pembangunan Asia menyetujui pinjaman untuk Tangguh, meskipun ada protes dari ornop. Pemimpin gereja Baptis Papua Pendeta Socratez Sofyan Yoman mengirim surat ke BP untuk menyatakan keberatan atas hubungan perusahaan dengan pemerintah yang melakukan tindakan sewenang-wenang di luar ‘area proyek’ Tangguh (68).
Secara resmi, Papua merupakan provinsi kedua terkaya di Indonesia, tetapi perhitungan Bank Dunia menunjukkan bahwa meskipun terdapat pertumbuhan rata-rata 10% dalam dekade terakhir dan aliran pendapatan meningkat sejak diberlakukannya otonomi khusus, 40% warga Papua masih hidup di bawah garis kemiskinan – lebih dari dua kali lipat angka rata-rata nasional (68).
Menteri Kehutanan Kaban Malam mengumumkan rencana China Light untuk menanamkan modal sebesar US$1 miliar dalam proyek penebangan dan pemrosesan kayu untuk memasok kayu keras merbau bagi fasilitas olahraga di Olympic Games 2008 di Beijing (69).
Hutan-hutan di Papua gundul dengan laju yang jauh lebih pesat daripada yang sebelumnya diperkirakan, menurut analisis Forest Watch Indonesia. Hanya 45% hutan yang masih utuh (17,9 juta ha). Penyebab utamanya adalah penebangan komersial besar-besaran. Greenpeace menyorot enam pabrik pemrosesan kayu besar di Papua, termasuk Henrison Iriana (anak perusahaan Kayu Lapis Indonesia). Peraturan daerah khusus (Perdasus) memberi masyarakat hak untuk mengelola usaha penebangan skala kecil, tetapi komitmen Jakarta untuk mendukung langkah desentralisasi patut dipertanyakan (69).
BHP mengatakan perusahaan itu tak akan membuang tailingnya ke laut di tambang nikel yang sedang direncanakan di Pulau Gag dan tak akan melanjutkan kegiatan penambangan jika daerah itu dijadikan Situs Warisan Budaya Dunia. (76-77).
2007: Ada pertanyaan mengenai emisi CO2 dari proyek Tangguh di samping kekhawatiran yang terus berlanjut mengenai situasi keamanan dan pelanggaran HAM (73).
Buruh mogok di tambang Freeport-Rio Tinto karena praktik diskriminasi tenaga kerja. JATAM dan WALHI menerbitkan buku baru mengenai Freeport. Disampaikan petisi yang mendesak pemerintah untuk menangani masalah Freeport (73). Dua perempuan tewas tertembak dan seorang luka dalam demonstrasi di lokasi pertambangan (76-77).
Rencana besar untuk perkebunan kelapa sawit – antara 1 dan 3 juta hektare tengah dipromosikan di Papua. Badan Koordinasi Penanaman Modal Indonesia mengatakan bahwa terdapat lebih dari 2 juta hektare yang tersedia untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Saat ini tengah dikembangkan sekitar 90.000 ha di provinsi Papua dan 30.000 di provinsi Papua Barat (75). Gubernur Suebu mengatakan ia telah setuju untuk menyediakan sejuta hektare tanah untuk investasi kelapa sawit sesuai permintaan Sinar MasMedco dan Felda (BUMN Malaysia) dengan fokus untuk memasok pasar bahan bakar solar nabati (biodiesel) (75). Sinar Mas memiliki rencana untuk proyek kelapa sawit di distrik Mappi, Boven Digul dan Merauke, serta telah menandatangani nota kesepahaman untuk 200.000 ha di masing-masing distrik (75). Sinar Mas dilaporkan memiliki rencana ambisius untuk 2,8 juta hektare di ketiga distrik itu, serta tiga distrik lain di bagian utara Papua (Sarmi, Keerom dan Jayapura). Investor lain dalam demam kelapa sawit ini adalah perusahaan Malaysia Genting Bhd (kelapa sawit untuk bahan bakar nabati), perusahaan Indonesia Muting Mekar Hijau (kelapa sawit dan gula); perusahaan Indonesia Rajawali Corp (distrik Keerom), Indomal (distrik Merauke). Trans Pacific, perusahaan patungan Indonesian-Singapura-Cina dilaporkan berminat untuk mengembangkan bahan bakar agro dari sagu (75).
Masalah yang berlarut-larut mengenai hak atas tanah, akses terhadap sumber daya alam dan pekerja migran, dilaporkan oleh International Crisis Group terkait proyek-proyek perkebunan kelapa sawit milik perusahaan Korea Korindo di distrik Boven Digul. ICG memperkirakan bahwa proyek Sinar Mas di bagian selatan Papua saja akan memerlukan didatangkannya tenaga kerja non-Papua sejumlah 42.000– lebih dari jumlah keseluruhan populasi distrik itu saat ini (75). Ada laporan mengenai penyiksaan dan pembunuhan dua warga Papua di dekat perkebunan Korindo dan kematian seorang pekerja Korindo (75).
Gubernur Suebu mengatakan ia ingin melindungi lebih dari setengah tanah yang ditargetkan untuk pembangunan dan menggunakan hutan lindung untuk menghasilkan kredit karbon (75).
2008: Gubernur Suebu menandatangani Nota Kesepahaman dengan Emerald Planet dan New Forests Asset Management untuk menaksir potensi karbon di Mimika, Mamberamo dan Merauke. Suebu mengatakan bahwa dari 31,5 juta hektare kawasan hutan di Papua, 50% diperuntukkan bagi konservasi, 20% untuk produksi dan 30% untuk konversi termasuk perkebunan dan pertanian (76-77). Proyek percontohan REDD telah dikembangkan di Pegunungan Cyclops dekat Jayapura bersama dengan Fauna and Flora International, tapi masih menunggu persetujuan dari Jakarta (79).
BP dan Rio Tinto mengumumkan keuntungan global dalam jumlah besar. Sementara itu di Papua, sembilan belas pendulang emas tewas ketika tailing longsor di dekat pertambangan Freeport-Rio Tinto. Di Teluk Bintuni, TIAP melaporkan adanya penambahan 100 pasukan ke Bintuni dan 30 ke Babo, dekat proyek Tangguh. Media cetak di Papua mengungkapkan keprihatinan akan pembatasan penghidupan nelayan dan relokasi di Teluk Bintuni karena proyek Tangguh (76-77).
Seiring meroketnya harga pangan dunia, direncanakan mega proyek yang disingkat MIRE (pendahulu MIFEE) untuk Merauke yang melibatkan investor dari Saudi Arabia dan dialokasikan 1,6 juta hektare tanah. Lima perusahaan lokal terlibat (PT Sumber AlamPT Wolo Agro LestariPT ComexindoPT Medco dan PT Bangun Cipta Sarana). Timbul pertanyaan mengenai apakah produksi itu sebagian besar akan diekspor atau digunakan untuk keperluan domestik. (78).
Medco sudah mulai membangun pabrik kayu serpih di Merauke dan berencana untuk membangun pabrik bubur kayu dan kertas tahun 2012. Dua perusahaan lain, Modern Group dan International Paper dikabarkan berminat atas proyek bubur kayu di Merauke (78).
Koalisi 20 kelompok masyarakat sipil Papua meluncurkan kampanye di Jakarta untuk menyelamatkan warga dan hutan Papua, yang berada di bawah ancaman penebangan, perkebunan kelapa sawit, dan tanaman untuk bahan bakar agro lainnya, serta proyek jalan. Mereka ingin pemerintah berhenti mengeluarkan ijin kehutanan sebelum ada peraturan daerah mengenai hak masyarakat adat untuk mengelola sumber daya alam. (78). Data Departemen Pertanian menunjukkan bahwa sekarang terdapat 14 perusahaan perkebunan kelapa sawit di Papua dan 6 di antaranya sudah mulai mengembangkan konsesinya; dua perkebunan kakao dan dua perkebunan sagu (78).
Laporan oleh gereja Protestan di Papua mengenai pengembangan proyek kelapa sawit oleh PT Rajawali Group di distrik Keerom menimbulkan kekhawatiran mengenai metode yang digunakan oleh perusahaan untuk mendapatkan akses ke tanah masyarakat dan dampak sosialnya. Jaringan ornop Foker LSM Papua mengeluarkan film mengenai kelapa sawit di Keerom (78).
BHP Billiton menarik diri dari proyek nikel pulau Gag. Ornop setempat mendesak dihentikannya proyek-proyek pertambangan nikel lainnya di daerah itu, yang lebih kecil dan sebagian sudah berproduksi (79).
2009: Komitmen perubahan iklim BP untuk proyek Tangguh dicermati lebih dekat seiring dengan akan beroperasinya proyek gas itu. Sekitar 3 juta ton karbon dioksida akan dilepaskan per tahun, menurut dokumen AMDAL (80-81).
Freeport mengakui bahwa perusahaan itu masih membayar militer Indonesia (80-81). Adanya penembakan-penembakan yang mengakibatkan korban tewas di dekat pertambangan memicu organisasi masyarakat sipil setempat untuk menyerukan dialog damai guna menyelesaikan konflik di Papua. Warga Amungme selaku pemilik tanah mengajukan gugatan baru terhadap Freeport dan menuntut ganti rugi sebesar US$30 miliar untuk perusakan lingkungan hidup dan pelanggaran HAM (82).
Sedikitnya 3 perusahaan eksplorasi pertambangan Australia mencari kandungan tembaga dan emas besar di Papua, yaitu Hillgrove Resources di distrik Sorong dan Manokwari, Arc Exploration Ltd (dahulu Austindo Resources Corporation) di Teluk Bintuni, melalui perusahaan bernama PT Alam Papua Nusantara, dan Nickelore Ltd, di daerah yang berbatasan dengan konsesi Freeport (82).
Pemerintah provinsi Papua mengumumkan rencana untuk membangun waduk pembangkit listrik tenaga air di Komauto untuk memasok listrik, mendukung proyek semen di Timika serta pembangunan pariwisata di Paniai (83).
2010: Pemerintah menargetkan lahan seluas 250.000 hektare untuk perkebunan tanaman industri dan tanaman rakyat pada tahun 2010-2014 dari total jumlah 2,7 juta hektare dalam skala nasional. Hutan yang baru merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. (84).
Penebangan liar dianggap sebagai penyebab banjir bandang di distrik Wasior yang menelan banyak korban. (87).
Perusahaan Cina, Far East, ingin menanamkan modal dalam pertambangan batu bara di 5 daerah di distrik Manokwari (87).

Konteks transmigrasi
Program transmigrasi pemerintah Indonesia yang sangat merusak untuk memindahkan jutaan warga desa dari Jawa, Bali dan Madura ke ‘pulau-pulau luar’ yang kurang padat penduduknya sedang gencar dilaksanakan ketika DTE didirikan tahun 1988. Papua, dengan status politik yang bermasalah, gerakan perlawanan bersenjata, operasi militer yang brutal dan sering dilakukan terhadap masyarakat setempat untuk membersihkan pembangkang politik dan daerah perbatasannya dengan Papua Nugini yang panjang dan relatif ‘terbuka’, merupakan target utama program transmigrasi. Di Papua, sama seperti di daerah perbatasan lainnya, program itu dimaksudkan untuk memperkuat kendali dan pertahanan teritorial serta mengakses dan mengembangkan kekayaan alam yang kaya dari daerah itu. Ada pula tujuan untuk ‘mengajarkan warga Papua bagaimana bertani’ selain usaha yang disengaja untuk mendorong penambahan penduduk guna ‘mempercepat pembangunan’.
Transmigrasi tetap merupakan hal sensitif khususnya di Papua. Semakin banyak pendatang menetap di Papua, baik melalui program resmi transmigrasi yang disponsori pemerintah maupun sebagai pendatang yang datang sendiri. Dampak keseluruhannya adalah meningkatnya populasi warga yang bukan merupakan masyarakat adat Papua. Riset baru-baru ini mengindikasikan bahwa warga yang bukan merupakan masyarakat adat Papua jumlahnya melebihi masyarakat adat Papua pada tahun 2010 dan bahwa jumlah penduduk yang bukan merupakan masyarakat adat Papua cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan masyarakat adat Papua.[iv]
Proyek MIFEE akan lebih menegaskan keadaan ini. Perkiraan jumlah pekerja yang diperlukan untuk perkebunan sumber pangan dan energi yang direncanakan berkisar antara puluhan ribu hingga jutaan orang. Berapa pun jumlah akhirnya, hal ini akan menambah tekanan atas sumber daya alam dan lebih menekan masyarakat adat Papua ke posisi minoritas.
Dalam konteks politik yang lebih luas, kekhawatiran terkait dengan populasi ini berhubungan dengan pertanyaan mengenai status politik Papua dan bagaimana identitas Papua didefinisikan. Jika, pada akhirnya, terlaksana penentuan nasib sendiri yang sejati di Papua, seperti apakah hasilnya, mengingat bahwa lebih dari setengah penduduknya adalah bukan merupakan masyarakat adat Papua? Atau, jika terdapat upaya untuk membatasi hak sehingga pendatang baru tak memperoleh hak untuk memberikan suara, bagaimana hak itu akan ditentukan? Jika kriteria pemberian suara dikaitkan dengan identitas Papua, bagaimana identitas itu akan ditentukan? Siapa yang akan memiliki kewenangan untuk menjawab pertanyaan tersebut?
Catatan satu dekade program transmigrasi dari arsip DTE:
1999: Setelah peluncuran buku George Monbiot, Poisoned Arrows, Kedutaan Besar Indonesia membela program transmigrasi di Papua, dengan mengatakan bahwa Indonesia tidak memaksa warga Papua untuk hidup secara modern, tetapi berusaha mencegah agar mereka tidak hidup secara berpindah-pindah (nomaden) (3). Kepala kantor wilayah transmigrasi berpendapat bahwa program transmigrasi perlu digalakkan karena kepadatan penduduk di Papua hanyalah 3,4 orang per km2. Rencana untuk mendatangkan 23.000 keluarga dalam waktu lima tahun tak terpenuhi, hanya 4.555 keluarga yang didatangkan. Selama ini sejumlah 23.000 keluarga telah didatangkan ke Papua dan yang paling banyak tinggal di Merauke (4).
1990: Target lima tahun yang baru untuk Papua adalah 29.905 keluarga. Rencana untuk memindahkan 4.000 keluarga diumumkan untuk tahun 1990/91 untuk Indonesia bagian Timur. Tetapi dilaporkan adanya lokasi yang tak dihuni di beberapa daerah di Papua dengan rumah-rumah yang perlu diperbaiki dan lahan yang perlu dibuka sebelum keluarga transmigrasi dapat pindah ke sana (8).
1992: Di Merauke, 163 keluarga meninggalkan lokasi transmigrasi karena kurangnya persiapan dan kondisi kekeringan. Angka resmi transmigrasi ke Merauke sejak tahun 1964 adalah sebesar 12.064 keluarga plus 1.712 keluarga lokal yang menetap di lokasi transmigrasi. Meskipun terdapat masalah, Departemen Transmigrasi memperkirakan bahwa Merauke memiliki potensi untuk mengakomodasi 100.000 keluarga dalam ‘kawasan segitiga transmigrasi’ seluas 1,2 juta hektare. Terdapat rencana untuk membangun waduk besar di Sungai Digul untuk menyediakan irigasi, yang akan selesai dalam waktu 25 tahun (19).
1994: Menteri Penerangan Harmoko berkata ia berharap bahwa melalui program transmigrasi penduduk Papua akan dapat cepat meningkat untuk mengeksploitasi potensi ekonominya yang besar. Suharto berencana untuk membagi Papua menjadi tiga provinsi untuk mempercepat pembangunan infrastruktur pendukung. Juga direncanakan akan dibangun lokasi transmigrasi di sepanjang daerah perbatasan dengan Papua Nugini (23).
1996: Papua adalah daerah transmigrasi paling luas untuk tahun 1996/7. Kebijakan transmigrasi baru untuk Papua diumumkan: masyarakat adat Papua tak lagi tinggal bersama pendatang dari luar Papua di lokasi transmigrasi yang sengaja dibuka, tetapi desa asli mereka akan ‘direstrukturisasikan’. Tujuannya adalah untuk mempercepat pembangunan. Lokasi baru “khusus” direncanakan di Timika dan Lereh. Lokasi transmigrasi baru di Sorong diumumkan (28). Lokasi transmigrasi tengah dibangun di dalam Taman Nasional Wasur, Merauke (35).
1997: RUU Transmigrasi yang baru tidak mencakup aspek pertahanan dan keamanan dari transmigrasi. Menteri Transmigrasi Siswono menekankan bahwa Papua memiliki “terlalu sedikit penduduk” dan berkilah bahwa lebih banyak pendatang diperlukan untuk mempercepat laju pembangunan (32). Sejak tahun 1964 246.000 orang telah didatangkan ke Papua dan 110.000 lagi akan didatangkan hingga tahun 1999. WALHI memperingatkan bahwa warga Papua akan menjadi minoritas di tanah mereka sendiri dan mendesak agar program transmigrasi dihentikan (32).
1998: Terdapat tanda-tanda bahwa krisis keuangan (‘krismon’) mungkin akan memaksa pemerintah untuk mengurangi program transmigrasi (37), tetapi dokumen pemerintah mengindikasikan bahwa program itu akan dilanjutkan. Angka transmigrasi dari tahun 1969/70 hingga 1993/4 untuk Papua dan Maluku adalah 81.401 keluarga. Rencana pembangunan lima tahun saat ini (94/95-98/99) mencakup didatangkannya 67.210 keluarga untuk wilayah yang sama (39).
2000: Pemerintah provinsi mendesak pemerintah pusat untuk menghentikan pengiriman keluarga transmigran ke Papua dan mulai memberdayakan warga Papua (45). Angka resmi menunjukkan bahwa jumlah penduduk sebesar kurang lebih 2 juta dan sekitar setengahnya merupakan masyarakat adat Papua (45).
 

MIFEE: buku yang sama dengan sampul berbeda?
Berdasarkan pengalaman sebelumnya dengan beberapa mega proyek, MIFEE dikhawatirkan akan membawa lebih banyak kerugian daripada manfaat. Mega proyek untuk mengubah lahan gambut di Kalimantan Tengah menjadi sawah yang menimbulkan banyak kerusakan pada tahun 1990-an merupakan proyek ambisius serupa dengan tujuan keamanan pangan yang berakhir dengan kehancuran ekologi—termasuk pelepasan jutaan ton CO2—dan memiliki dampak negatif bagi masyarakat Dayak setempat.[v]
Proyek MIFEE melibatkan 10 BUMN dan 37 perusahaan swasta, termasuk perusahaan asing. Paling sedikit dua perusahaan dilaporkan tengah menyelesaikan AMDAL mereka. Luas areanya berkisar antara setengah juta hektare hingga 2,5 juta hektare atau lebih, tergantung dari sumber informasi. Sementara proyek itu dipromosikan sebagai upaya untuk mendorong keamanan pangan Indonesia, keterlibatan perusahaan asing mengindikasikan bahwa pasar ekspor akan mendapat prioritas. Mega proyek itu telah menimbulkan banyak kekhawatiran di antara masyarakat setempat, kelompok gereja, dan organisasi masyarakat sipil. Sejumlah kelompok lokal, yang didukung Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menolak keras proyek tersebut,.[vi]
Apa yang berubah sejak jaman Scott Paper? Masyarakat setempat akan terpinggirkan, pekerja transmigran akan didatangkan, hutan dibuka dan sumber daya hutan digaruk; perusahaan dan investor besar mencari keuntungan. Militer mungkin juga mendapatkan manfaat dari uang keamanan sama seperti yang mereka dapatkan dari tambang Freeport-Rio Tinto, kelapa sawit dan penebangan hutan.
MIFEE dapat digunakan oleh militer sebagai pembenaran atas kebutuhan pasukan untuk mengamankan proyek—situasi yang meningkatkan potensi pelanggaran HAM terhadap warga setempat. Masih ada semua unsur untuk melanjutkan eksploitasi sumber daya dan peminggiran masyarakat setempat seperti yang sudah dilakukan selama berpuluh-puluh tahun.
Satu perbedaan besar dari jaman Scott Paper adalah, mungkin, potensi yang lebih besar bagi masyarakat sipil untuk memonitor dan memaparkan dampak negatif. Sementara wartawan independen masih mengalami banyak keterbatasan untuk mendapatkan akses ke Papua dan Papua Barat, komunikasi antara Papua dan dunia luar meskipun tersendat-sendat tetapi dimungkinkan berkat jaringan organisasi masyarakat sipil Papua dan non-Papua yang bergerak dari dalam dan luar Papua. Ini berarti bahwa informasi independen yang kritis dapat keluar masuk Papua dan kekhawatiran masyarakat dapat disuarakan dengan lebih efektif daripada di masa Scott Papper. Tapi masih harus dilihat apakah pengambil keputusan akan menanggapi pesan mereka dengan serius dan mulai memberikan dukungan berkelanjutan bagi masyarakat dengan pendekatan dari bawah ke atas ketimbang membangun berbagai mega proyek dengan pendekatan dari atas ke bawah.

Notes
i Untuk latar belakang lebih lanjut, lihat terbitan berkala DTE 1-6, 1989.
ii Kampanye internasional menentang pendanaan Bank Dunia untuk proyek transmigrasi yang banyak menimbulkan kerusakan juga terjadi tahun 1980-an. Rencana untuk memindahkan ratusan ribu warga miskin dari Jawa, Bali dan Madura ke ‘pulau-pulau luar’ yang menjadi sasaran (Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Timor, Papua) khususnya sensitif untuk Papua dan juga Aceh dan Timor Timur, karena status politik yang bermasalah di daerah tersebut.
iii Lihat DTE 84.
iv David Adam Stott, ‘Indonesian Colonisation, Resource Plunder and West Papuan Grievances’, The Asia-Pacific Journal Vol 9, Edisi 12 No 1, Maret 21, 2011, http://www.japanfocus.org/-David_Adam-Stott/3499. Angka tahun 2010 adalah 1.760.557 (49%) untuk masyarakat adat Papua dan 1.852.297 (51%) untuk warga yang bukan merupakan masyarakat adat Papua, didasarkan atas penambahan jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk untuk kedua kelompok itu dan penerapannya pada hasil sensus 2010. Tak seperti tahun 2000, sensus 2010 tidak menyediakan informasi mengenai komposisi kelompok etnis dan agama di provinsi Papua dan Papua Barat..
v Lihat DTE 42.
vi Lihat Siaran Pers Tapol & DTE, Agustus 2010.