Sabtu, 30 Maret 2013

CAGAR ALAM PAPUA MENJADI ANCAMAN KEHANCURAN


Cagar Alam Panua, Dulu Rumah Maleo Kini “Istana” Tambang dan Perkebunan

Oleh Christopel Paino (Kontributor Sulawesi),  March 9, 2013 
 
Cagar Alam Panua, dengan luas menyusut dari 45.575 hektar menjadi 36.575 hektar, dengan RTRW baru pada 2010. Nasib cagar alam ini pun di ambang kehancuran. Foto: Christopel Paino
Dulu, di cagar alam ini pernah menjadi ‘rumah’ paling besar bagi maleo. Saking banyak burung endemik Sulawesi ini di sini, satu desa diberi nama Desa Maleo. Bahkan, Panua, dalam bahasa Gorontalo, berarti Maleo. Kini, Cagar Alam Panua, di ambang kehancuran, habitat maleo dan species lainpun mengkhawatirkan.
Siang akhir Februari 2013, cahaya mentari memantulkan sinar di pasir putih. Panas terik. Namun, panas mentari tak menyurutkan langkah Daud Badu. Dia terus menjejakkan kaki melewati hutan dan pasir pantai menuju lokasi penangkaran telur maleo (Macrocephalon Maleo). Dia menjelajah di Cagar Alam Panua.
Usianya 44 tahun. Dia dulu pemburu, awal 2012, direkrut Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Gorontalo. Kini, dia bertugas memantau lokasi penangkaran telur Maleo di Cagar Alam Panua.
Daud memiliki kelebihan yang sulit ditandingi warga lain: mampu menebak tempat bertelur maleo. Padahal, setiap bertelur, burung langka khas Sulawesi ini membuat dua atau lebih tempat bertelur palsu. Bahkan Daud mampu membedakan mana tempat bertelur maleo dan mana gosong (Eulipoa wallacei), yang bertelur di lokasi sama.
Setelah tiba di lokasi penangkaran telur maleo sekitar enam hektar, Daud langsung menggali. Tangan terus mengais-ngais pasir yang dalam mencapai setengah meter itu.  “Kalau ini telur burung Gosong,” katanya.
Dia lalu memperlihatkan temuan dua butir telur gosong. Gosong dikenal salah satu burung endemik Sulawesi. Bentuk tubuh hampir menyerupai maleo. Namun telur lebih kecil.
Usai mendapatkan telur burung gosong. Daud melanjutkan penggalian di lokasi lain. Di tempat ini, ada puluhan lubang maleo. Sangat sulit mendeteksi tempat  bertelur asli. “Kalau yang ini telur maleo. Usia baru tiga hari.”
Daud memperlihatkan, dua butir telur maleo dengan besar tiga kali lipat dari telur ayam. Menurut dia, telur maleo akan menetas pada usia satu bulan lima hari. Ketika menetas, anak maleo langsung terbang tanpa harus belajar terlebih dahulu seperti burung lain.
Sejak bekerja sebagai penangkar telur dan pelestari maleo, Daud telah berhasil menangkar sebanyak 150 butir selama 2012. Semua menetas dengan baik. Menariknya, selain telur maleo, Daud ikut menangkar penyu di Cagar Alam Panua ini.
Banyak yang tak begitu kenal dengan Cagar Alam Panua di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Namun, di kawasan hutan dengan garis pantai indah ini, dulu merupakan habitat terbesar maleo di Sulawesi. Bahkan, nama Panua, diambil dari bahasa Gorontalo, yang berarti maleo. Karena begitu banyak maleo, sebuah desa yang berbatasan langsung dengan cagar alam ini dinamakan Desa Maleo.
Sayangnya, nasib Cagar Alam Panua kini tak sesuai nama lagi. Populasi si burung endemik Sulawesi yang makin langka dan di ambang kepunahan ini, dari tahun ke tahun makin menurun. Selain gangguan predator, alih fungsi dan keserakahan manusia merusak hutan menjadi ancaman terbesar maleo dan Cagar Alam Panua. Belum lagi perburuan telur maleo yang diyakini bisa menyembuhkan penyakit, dilakukan sembunyi-sembunyi.
Tatang Abdulah, Kepala Resort di Cagar Alam Panua, mengatakan, luas hutan Panua 45.575 hektar sesuai SK Menteri Kehutanan nomor 471/Kpts-11/1992. Namun, luas ini menyusut ketika disahkan rencana tata ruang wilayah Gorontalo tahun 2010 menjadi 36.575 hektar. Perubahan kawasan Cagar Alam Panua ini diputuskan melalui SK Menteri Kehutanan nomor 325/Menhut-11/2010 tentang penunjukan kawasan hutan Gorontalo.
Sesuai kajian tim terpadu pada 2007, kata Tatang, cagar alam ini dialih fungsi menjadi kawasan pertambangan, perkebunan, dan tata hutan kota. Padahal, pihaknya tidak memberikan rekomendasi untuk perubahan kawasan.
Menurut Tatang, selain menjadi habitat maleo, di cagar alam ini bisa ditemukan penyu tempayan, penyu sisik, penyu belimbing, julang Sulawesi (rangkong), babi rusa, anoa, tarcius, monyet Sulawesi, dan berbagai jenis anggrek.
BKSDA mengalami kendala kekurangan personil dan tidak ada pos jaga. Untuk memantau penyu pada malam hari mereka sangat kesulitan. Belum lagi di lokasi penangkaran maleo, kerap kali dimasuki ternak lepas, seperti sapi milik warga. “Banyak masalah di cagar alam ini. Ada perburuan rangkong, pencurian telur maleo dan masih ada meski sedikit, juga peladang berpindah-pindah. Namun ancaman paling besar adalah alih fungsi hutan untuk pertambangan dan perkebunan,” ucap Tatang.
Saat ini, Tatang maupun Daud, hanya bisa berharap, Cagar Alam Panua mendapat perhatian serius, baik pemerintah pusat juga daerah.
Pasir pantai yang panjang nan indah, dulu rumah dan tempat bertelur maleo yang aman. Bahkan, dulu, kawasan ini merupakan tempat tinggal terbesar burung endemik Sulawesi ini. Sampai-sampai, nama cagar alam ini Panua, berarti Maleo. Foto: Christopel Paino.
Daud memegang telur maleo. Dulu, kawasan pasir pantai di Cagar Alam Panua, adalah surga maleo berkembangbiak. Namun, kini tinggal kenangan. Tak hanya maleo yang terancam, habitat satwa endemik Sulawesi, yang ada di sini mengalami nasib sama. Alih fungsi kawasan hutan menjadi tambang dan perkebunan, mengancam habitat mereka. Foto: Christopel Paino
Telur gosong, jenis burung yang juga bertelur di pantai sepanjang Cagar Alam Panua. Foto: Christopel Paino


Sumber :http://www.mongabay.co.id/2013/03/09/cagar-alam-panua-dulu-rumah-maleo-kini-istana-tambang-dan-perkebunan/#ixzz2P5gvGKmS

Jumat, 29 Maret 2013

REVIEW: West Papua's Freedom Struggle in Its Global Context


Review: West Papua’s freedom struggle in its global context

Eben Kiksey invites the world to wake up to a crucial struggle unfolding in the Pacific

Jason MacLeod

macleod 1Eben Kirksey was not always interested in freedom. When he first started his academic research in West Papua it was the effect of La Niña on farming amongst the Ekari/Mee people that captivated his attention. Kirksey was into insects, not independence. Like the metaphor of the Banyan tree absorbing its host, an image that Kirksey returns to again and again to describe the entangled relationships between resistance and power, Kirksey’s book depicts his own transformation from bystander to partisan.
I don’t use the word bystander lightly. Eben Kirksey arrived in West Papua for his first intensive research trip after the May 1998 revolution that deposed longstanding Indonesian dictator, Suharto. By riding a wave of economic instability and through large scale unrelenting unarmed pressure students fractured the political elite in Indonesia and ushered in democracy, an effort that has been stillborn in West Papua. Suharto’s departure released a pressure valve on years of suppressed longing for freedom in West Papua. It was in the wake of these events that Kirksey first came to West Papua. And as he describes in his book the only conversation people wanted to have was about freedom.
Shortly after arriving in the capital Kirksey witnessed the Indonesian government’s security forces open fire on unarmed civilians at Cendrawasih (Bird of Paradise) University in Abepura. Fleeing the violence he sought refuge on Biak Island. It was a case of out of the frying pan and into the fire. In Biak Kirksey was witness to a second shooting. Again the Indonesian military opened fire on a crowd of nonviolent Papuan protesters. Those not shot dead were rounded up, herded on trucks and taken out to a waiting warship anchored off the coast. Bodies later washed up on the shore. Many showed signs of torture. Over a hundred people were massacred that day and in the days that followed. Throughout the killing Eben Kirksey lay low, trying desperately to keep out of sight. Captain Andrew Plunket, an intelligence officer from the Australian Defence Force, later described the 1998 Biak Massacre as a ‘dress rehearsal for TNI (Indonesian military) violence in East Timor’.
But Freedom in Entangled Worlds: West Papua and the Architecture of Global Power is far more than a biographical sketch of one person’s journey from passive observer to active solidarity. With a depth of knowledge that few outsiders possess, Kirksey documents and analyses West Papuan resistance against Indonesian rule between 1998 and 2008. The result is an extraordinary book – part biography, part erudite analysis, part indigenous allegory, part history and part call to action.
Much scholarship and reportage on West Papua is dominated by two myths: a portrayal of West Papuans as some kind of noble savage and a preoccupation with armed struggle. Kirksey demolishes both with panache. He argues that expanding the contours of freedom in West Papua is about ‘negotiating complex interdependencies rather than promoting fictions about absolute independence’. The freedom desired by Papuans, Kirksey maintains, is both more than and less than independence. Kirksey is clear here, West Papuans desire independence from Indonesia but that desire extends to hopes to ‘actualise a new model of nationalism’.
Central to his argument are the concepts of collaboration and resistance. To illustrate the structures of resistance he employs the image of the Banyan tree – the strangler fig – and the rhizome, that subterranean decentralised network structure of entangled fibres and roots as organising metaphors. The Banyan tree represents the often misplaced faith that repressive power can be transformed without replicating structures of domination. The rhizome represents the fluid nature of collective action from below, power flowing subversively through unseen capillaries in the social body, a hidden potential to bring about large and decisive change.
Less useful – for me at least – is Kirksey’s use of the term collaboration. Not because Papuans are not seeking to cooperate with and exploit their entwined relationships with the Indonesian state; they clearly are. I found myself translating the word ‘collaboration’ because what Kirksey illustrates are several different types of entanglement each with their own unique dynamics. In West Papua overt resistance often operates side-by-side close engagement with power-holders. At times this is motivated by deep desires for political freedom. Then there is the tenacious ability to maintain dignity and self-identity in the midst of brutality such as the story of Ester, a Papuan woman subjected to sexual violence by the Indonesian military then taken as a ‘wife’. In the midst of this intolerable situation Ester finds ways to not only to survive but prevent acts of violence against her people. Kirksey also analyses the 2002 shootings in Freeport in forensic detail uncovering a complicated and compromising relationship between Papuans and the Indonesian military. But collaboration for Kirksey also means other things. He depicts the movements’ pursuit of intermediate strategic goals and ability to recruit powerful international allies. While at times these goals might be less than full freedom they also take the movement closer to the cherished goal of self-rule. As one senior indigenous West Papuan leader put it to me recently, “a demand for basic rights should not be the enemy of independence”.
Freedom in Entangled Worlds is not a dry academic book. Kirksey writes with verve. His analysis is sharp, his writing engaging. Kirksey draws the reader in. Not content to seduce the reader with tales of suffering – although he does that without recourse to sentimentality – Kirksey inspires solidarity. He probes and illustrates how Papuans are working to transform the conflict. He invites the reader to join her or his efforts with those of the Papuans. Although he documents the pervasive national and global architecture of unrelenting violent domination in West Papua, including a forensic examination of the role of the Indonesian military and FBI in the 2002 shootings in Freeport, this is not a depressing book. It is infused with a subtle sense of hope. Kirksey amplifies the voices and imagination of Papuans who see not only a repressive global net that binds and restricts action, but who imagine that ordinary people can ‘join with … friends to encircle and penetrate existing architectures of power – town councils, corporate boardrooms, national parliamentary assemblies – like a multitude of Banyan tree saplings slowly growing up and around the canopy trees of a forest’. Whether talking about the Indonesian military or transnational corporations like Freeport and BP, Kirksey shows how the worlds of domination and resistance are entangled.
Ultimately Freedom in Entangled Worlds pries open the shutters that have ensured the international communities gaze remains averted from the brutality and injustice that is unfolding in West Papua. Kirksey exposes the violence of the Indonesian military, the greed of transnational corporations and the wilful neglect of the international community. But in doing so Eben Kirksey achieves something far more important. He illustrates that in the spaces in between entanglement and domination Papuans are enacting surprising indigenous visions of peace and justice and with them possibilities for change.
The struggle in West Papua is as extraordinary as it is complex. But Kirksey is a gifted narrator and patient guide. Combining metaphor, mysticism and allegory with the hard positivist data of the most rigorous investigator, Kirksey delivers a brilliant read wrapped up with enormous insight. He does the struggle for freedom in West Papua a great service.
Eben Kirksey, Freedom in Entangled Worlds: West Papua and the Architecture of Global Power, Durham, NC: Duke University Press, 2012. 
Jason MacLeod (damai@bigpond.com) works as an educator, researcher and community organiser. He recently completed his doctorate on Civil Resistance in West Papua at the University of Queensland.

Selasa, 26 Maret 2013

PANIAI NEWS: 6 WARGA DITANGKAP DAN 2 WARGANYA DISIKSA OLEH POLISI INDONESIA DI PANIAI-PAPUA

PANIAI-- Pada malam hari Polisi dan Tentara, dikabupaten Paniai, dikabarkan  6 warga sipil asal Mabii ibu kota Kabupaten Paniai di tangkap dan 2 warga sipil lainnya disiksa tanpa bukti yang jelas , oleh Pasukan bersenjata lengkap (Tni-Polri). pada kamis tanggal 07 Maret 2013, Pukul 09:30 malam sampai 03:00 pagi subuh.

D. Gobai, Seorang Anggoto Dewan Perwakilan (DPR) Kabupaten Paniai, melaporkan malanesia.com. bahwa banyak warga yang di tangkap pada malam hari, tanpa alasan yang tak jelas. Mereka diantaranya 6 warga sipil dan 2 disiksa oleh aparat negara, warga sipil yakni MESAK YEIMO, KALEP YEIMO, YULIANUS YEIMO, MUSA YEIMO, HAM YEIMO, DAN SAM YEIMO. dan 2 warga lagi yakni OTILI GIYAI dan MESAK MOTE,"

Gobay, menyatakan Polisi dan tentara melalukan Operasi Militer (OM) di daerah Madii. lalu enam orang terebut diatas ini ditangkap. "pada hal 6 warga sipil ini pekerjaan sehari-hari hanya penjual Pasir untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka. "ungkapnya

kejadian tersebut, masyarakat yang berada di lokasi wilayah Madii dan sekitarnya, dikagetkan dengan cara tidak manusiawi sweping malam yang dilakukan oleh oknum Aparat Militer. "Tindakan Brutal tak mausiawi itu, maka masyarakat jadi trauma serta ketakutan yang sangat mendalam. Gobay juga menyatakan akibat dari itu banyak warga yang melarikan diri kehutan, Polisi dan tentara mencari laki-laki dan penyejar ke hutan menurutnya tidak tahu nasib mereka apa yang terjadi di hutan, "tuturnya.

hal ini dibenarkan juga, Y. Tatogo salah satu pegawai negeri sipil (PNS), bekerja di rumah Sakit Daerah Umum (RSUD) Uwibutu Kabupaten Paniai. Menurut dia juga kami kaget karena Aparat Militer dengan senjata lengkap memasuki rumah kami, lalu menakuti kami, lalu mereka tanya kamu siapa? saya menjawab saya bekerja di Rumah sakit. kemudian mereka langsung jalan, apa alasan mereka sweeping malam saya tidak tahu ,"tuturnya

Senin, 25 Maret 2013

Puncak Jaya Heats Up Again, One Citizens Shot and Two Women Raped by Army Indonesia Forces in Tingginambut Puncak Jaya-PAPUA


Puncak Jaya Heats Up Again, One Citizens Shot and Two Women Raped by INDONESIAN ARMED FORCES

TNI/Polri Operations in Papua
Jayapura News: Puncak Jaya in Papua--back heats up, Indonesia national armed forces (TNI) shot dead one civilian indigenous Papua Origin Tingginambut District, when the victim was walking in the village, he was shot by Yamo TNI ranges the distance of 100 M from the post of TNI Tingginambut District. The victim regarding the Bullets penetrate heat right thigh, and victims while still critical.

The victims in the blast were civilians the AIR district of Tingginambut on behalf of Wundiwili Tabuni (25Th). This event happened on (21\/03\/2013) local time.

The source of the word WPNLA, "before Wundiwili was shot by INDONESIAN ARMED FORCES, TNI members in the District of Tingginambut, there is a 1 in Yamo tanks and praise the flag red white. They say if the people of Papua via here we will shoot ". He Said.

Other sources claim it was conveyed to the source by one of TNI soldiers to the source whose name did not want loaded in WNLA, but are allowed to Tabuni is written.

Two Female rape victims

In addition, on Saturday (30\/03\/2013), fought against rape by INDONESIAN two women from Post Tingginambut District unified 753 Nabire.
Two victims were rape, Regina Murib (25Th) and Weresina Tabuni (22Th) citizens the District of Tingginambut.

Two INDONESIAN women rape victims names Regina Murib TNI Soldier raped by 5 of 753 assigned in Nabire district of Tingginambut.  Then the victim was raped by 10 Weresina TNI Soldiers 753 Nabire. It is reportedly one of the Noble families of the victims after he got the event information via mobile phones, through to WPNLA.

Asked to source related events firing Wuniwili is true? The source said "it really Wundiwili was shot by INDONESIAN I also heard that information". He said, to the Admin WPNLA.

Indonesia national army of National Liberation Army Fishing West Papua, by way of firing civil society and in inhumane rape women.

This is in violation of HUMAN RIGHTS, because the INDONESIAN MILITARY who commit civil society resistance, whereas it should be the TPN-OPM, which killed the TNI.

If the TNI wanted revenge rather than to civil society, but look for TPN-OPM. Let alone a woman who did not know anything was raped. This is actually violating human rights by the INDONESIAN ARMY 753 in Puncak Jaya-Papua.

Actually, if the TNI did resistance to TPN-OPM is not wrong, not against civil society. Resistance or war that took place in Puncak Jaya between TPN-OPM and TNI are according to laws of war aka the Geneva Convention.
For TPN-OPM does resistance to defend the integrity of the nation of Papua to become free and sovereign countries as Full independence in the world.

While the ARMY maintains the integrity of NKRI of Papua as part of Indonesia to impose the will of NKRI but indigenous people of Papua New Guinea, for part of the NKRI is not true.

Finally, after the Events of the shooting at (21\/03\/2013) and the rape of two women (23\/03\/3013). The situation in Puncak Jaya heats up today, the families of the victims of gunshot victims care Wundiwili difficulties, and two women rape victims experience pain. Please note da top advocacy of human rights violations in the District of Puncak Jaya Regency Tingginambut. Hope the joiner HAM voicing these things seriously.

Written By Turius Wenda on March 25, 2013
Admin WPNLA 2013-03

PANIAI SITUATION: Haven't Gooten the attention of the Public.


PANIAI SITUATION: Haven't Gotten the Attention of the Public.

News Paniai: Violent acts in the Paniai continues, while the situation has not been brought to the attention of the public. Whereas in Paniai is going on the tension between the security apparatus and the Army Liberation National or Freedom Papuan Organitation “TPN/OPM”. This tension takes place long after the dissolution of the forcibly against the TPN/OPM from the headquarters in Eduda in October last year. After the dissolution of the TPN OPM Chief Jhon Yogi cs, security apparatus are adding personnel in large quantities in Paniai. On February 24, 2013 and then the community directly witnessed the arrival of the security apparatus in Paniai by riding 52 ground vehicles from Nabire and arrived in Paniai in the afternoon. Meanwhile, one member of the local police as saying that in February yesterday had plus 1000 units of Brimob personnel. As a result the community especially the youth and fathers not free activity and suspected members of the feared TPN/OPM.
In such situations, the tension is happening also in the evening amid the examination of housing residents, the arrest is not procedural, persecution, torture and disappearances of lives still being lived daily coloring community. The last two cases for example. On Friday, March 22, 2013 at about 15.30 wit Force Brimob shot dead a young man Stephen Yeimo in Kopo (Paniai) when the victim together with his colleague to buy cigarettes in one of the stalls in Uwibutu, Madi. All of a sudden the car parking in front of the glassy riben them and for some reason, the security apparatus that came down from the car immediately caught the pair. Thus, they escape from the apparatus and fled, but the intention is then broken apparatus with direct fire up to 3 bullets lodged at body victims. Eventually the victim died at 6 pm local time and buried his family on Saturday, March 23, in Village Kopo, Paniai. Meanwhile, another victim was a young man of Moni persecuted and tortured by a group of members Timsus 753 in Uwibutu Madi on Saturday 23 March, at 9.30 CEST. After capturing the apparatus, he was beaten, kicked and dragged her on the asphalt highway. At the time, some residents had witnessed acts of violence the authorities who then they pull into the post and torture victims throughout the night until he was taken to the General Hospital area (PROVINCIAL HOSPITAL) to get medical treatment.
Meanwhile, according to his family, the victims were slightly affected by the alcoholic, but he is doing well, and quietly went to visit a family member who is being treated in hospital. Then, he came home at around 21.30 wit, and he was arrested by the soldiers and they bring to the post Timsus. They struck him until his condition is severe punishment, then the army itself admits came across the hospital, said a member of the families of the victims who refused to be named. Thus, the question; why all parties in Paniai passive and let this situation continue? Whether it's as a sign of loss of democracy put forward persuasive approach? Another question is when the journalist access to expose situations that TSE Paniai? Inasmuch, when the role of the House of representatives building communication with both groups so that people do not become victims of Paniai continue from year to year? Here's a piece of reality amid the current of democracy above stage special autonomy that access human-humans is not productive.

Marko Okto Pekei, SS.
(Activist SKP Diocese Of Timika).

PRESS RELEASE: ETNIS PAPUA SEDANG MUSNAH, PBB SEGERA MEMEDIASI PERUNDINGAN ATAU DIALOG INDONESIA DAN PAPUA (Oleh Ketua Umum Front Pepera Papua Barat: Selpius Bobii)


Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat.
(Front PEPERA PB)
Etnis Papua Sedang Musnah,
PBB segera memediasi Perundingan atau Dialog


“Bersama Sejarah Sang Bintang Fajar”

Press Release 
Etnis Papua sedang musnah, PBB segera memediasi Perundingan atau Dialog antara bangsa Indonesia dan bangsa Papua. 
Rakyat pribumi Papua Barat adalah suku-suku yang mendiami di Tanah Papua Barat. Papua Timur adalah PNG. Suku-suku yang mendiami di Papua Barat berjumlah 248 suku berdasarkan penelitian oleh Tim Peneliti pada tahun 2008.
Ada temuan bahwa ada suku-suku tertentu di Papua Barat sudah musnah dan masih ada juga suku-suku tertentu sedang menuju kepunahan. Penemuan yang paling mengejutkan adalah hasil penemuan para peneliti dari Universitas Yale Amerika Serikat dan peneliti dari Australia yang menyimpulkan bahwa di Tanah Papua sedang terjadi praktek pemusnahan etnis (genocide), para aktor utamanya adalah TNI dan POLRI.
Penyebab pertama dan terutama pemusnahan etnis bangsa Papua adalah operasi-operasi militer secara terbuka dan tertutup yang dimulai oleh Negara Indonesia sejak tahun 1962 (invasi militer) untuk mewujudkan maklumat Tri Komando Rakyat oleh presiden RI (Soekarno).
Ada tiga jilid operasi militer yang diterapkan di tanah Papua. Operasi jilid pertama diawali dengan pengiriman pasukan militer secara illegal pada tahun 1962 karena pada tahun itu Papua masih di bawah kekuasaan administrasi pemerintahan Belanda. Dan tindakan RI itu kami sebut invasi militer Indonesia. Operasi militer jilid pertama dimulai setelah penyerahan adminitrasi pemerintahan Papua dari Belanda ke NKRI (dari tahun 1963 - 1969). Ada berbagai nama operasi yang digunakan RI, antara lain: operasi tumpas, operasi banteng I, operasi banteng II, operasi garuda merah, operasi garuda putih, operasi serigala dan operasi naga. Setelah RI memenangkan penentuan pendapat rakyat yang cacat hukum dan moral, RI masih terus melakukan operasi militer yang paling menentukan adalah Operasi Wibawa (1970-1974), Operasi Kikis (1977), Operasi Sadar (1979), Operasi Sapuh Bersih (1981-1984).
(Sumber:www.mail-archive.com/indomarxist@yahoogroups.com/msg00550.html).
Secara resmi Daerah Operasi Militer (DOM) diberlakukan sejak tahun 1978 - 5 Oktober 1998. Pencabutan status DOM oleh RI di Papua didorong oleh semangat reformasi yang digulirkan pada tahun 1998. Walaupun secara de jure status Daerah Operasi Militer dicabut pada tanggal 5 Oktober 1998, tetapi secara de facto operasi-operasi militer masih berlangsung sampai detik ini.
Operasi militer jilid III dimulai sejak reformasi tahun 1998 sampai saat ini. Beberapa operasi militer yang digelar antara lain: Biak berdarah (06 Juli 1998), Nabire berdarah (2000), Abepura berdarah (6-7 Desember 2000), Wamena berdarah (6 Oktober 2002), Wasior berdarah (13 Juni 2001), Kimaam berdarah, Padang Bulan Berdarah (19 Oktober 2011), dan operasi-operasi militer yang masih berlangsung di Puncak Jaya, Puncak, Wamena dan Paniai, serta operasi militer tertutup lainnya di Tanah Papua.
Menurut penelitian ilmiah Universitas Yale diperkirakan bahwa antara tahun 1963 - 1969 lebih dari 10.000 orang asli Papua dibantai yang para aktornya TNI dan POLRI. Sejak operasi militer 1971 sampai dengan pemberlakuan Daerah Operasi militer secara resmi tahun 1978 - 5 Oktober 1998 orang asli Papua yang telah dibantai belum dapat dipastikan karena semua proses itu tidak terekam mengingat tidak ada ruang bagi pihak mana pun untuk mendata dan mempublikasikan.
Operasi-operasi militer Indonesia mencakup pemboman, penembakan, penculikan, pembunuhan, penghilangan paksa, penangkapan, pemenjaraan, penyiksaan, pemerkosaan, perampasan ternak, penghancuran kebun, pembakaran rumah-rumah warga dan gereja, pengusiran warga, pembunuhan melalui peracunan lewat makan dan minum, dll.
Ada pula pembunuhan dilakukan secara sadis, yakni dicincang dengan parang/kapak, diiris-iris dengan silet, pisau lalu disiram dengan air cabe, pria dan wanita dipaksa bersetubuh lalu alat kelamin pria dipotong dan istrinya dipaksa makan, kemudian mereka dibunuh, dibunuh dengan cara menggantung, dibuang hidup-hidup dalam jurang, diisi dalam karung lalu dibuang hidup-hidup ke dalam laut, ke dalam danau dan ke dalam kali; dikubur hidup-hidup. Juga besi dipanaskan di api lalu dibunuh dengan memasukkan besi panas ke dalam dubur / mulut / alat kemaluan wanita.
Pemusnahan etnis penyebab kedua adalah penyakit sosial. Penyakit-penyakit menular yang dibawa oleh para pemukim baru yang datang dari luar Papua Barat jika tidak segera diobati dapat merenggut nyawa. Penyakit-penyakit baru itu antara lain: penyakit TBC, penyakit cacing pita, penyakit tipes, penyakit kolera, penyakit hepatitis, penyakit menular seksual, diantaranya HIV/AIDS, dll. Jaman dahulu para nenek moyang Papua tidak pernah mengidap penyakit-penyakit jenis ini. Penyakit-penyakit ini menular dengan cepat ketika para pemukim baru masuk dan menetap di Papua.
Pelayanan kesehatan yang tidak memadai, sarana prasarana kesehatan yang tidak tersedia di kampung-kampung, dan kalaupun ada, tetapi pelayanan kesehatan dengan stengah hati adalah penyebab untuk mempercepat pemusnahan etnis Papua. Karena penyakit-penyakit baru yang dibawa oleh para pemukim baru dari luar Papua itu pada umumnya penyakit menular dan paling ganas, dan jika tidak ditangani segera maka dapat mengakibatkan kematian.
Penyakit sosial yang lain adalah konsumsi minuman keras. Saya pernah melihat di salah toko di karton tertulis: stok khusus Papua. Saya heran bahwa ada minuman keras stok khusus Papua yang langsung dipaketkan dari tempat produksi minuman keras. Kenapa ada minuman keras stok khusus Papua? Apakah ada bahan campuran lain dalam stok khusus Papua itu dan jika miras itu dikansumsi dapat memperpendek umur dan berujung kematian? Entalah! Tetapi terbukti bahwa banyak orang asli Papua mati, keluarga berantakan, banyak kasus kriminal terjadi, masa depan anak muda Papua hancur karena akibat mengkonsumsi minuman keras.
Pemerintah RI dalam berbagai kesempatan berkampanye bahwa dilarang mengkonsumsi minuman keras, tetapi justru pemerintah memberi ijin bagi pengusaha untuk mendatangkan minuman keras dan menjual di toko-toko tertentu, serta di bar-bar menyediakan minuman keras bagi para pengunjang yang hendak meluangkan waktu sejenak. Tentu alasan pemerintah adalah meningkatkan pendapatan pajak daerah untuk pembangunan. Alasan ini tidak dapat diterima karena masih banyak potensi daerah yang tentunya dikelolah oleh pemerintah untuk meningkatkan pendapatan daerah. Pendapatan pajak yang didapat pemerintah dari para pengusaha yang menjual minuman keras tidak sebanding dengan dampak dari konsumsi minuman keras yang merusak tatanan hidup masyarakat, menghancurkan masa depan generasi muda, serta banyak orang mati. Selain itu, ada minuman lokal alias milo. Khusus milo dapat ditangani secara bijak oleh pemerintah dengan bekerjasama tokoh masyarakat dan agama untuk membatasipengelolaan minuman lokal. Dengan tidak ada kemauan baik dari pemerintah untuk memutuskan mata rantai produksi dan distribusi minuman keras itu dalam bentuk Peraturan Daerah, maka ini terbukti bahwa sesungguhnya pemerintah secara tidak langsung mempraktekkan pemusnahan etnis Papua.
Selain itu, ada pula penyakit sosial lain yaitu program Keluarga Berencana (KB). Di saat orang asli Papua menjadi minoritas di tanah leluhurnya, ada upaya pemerintah RI untuk membatasi kelahiran anak dengan program KB. Bahkan ada slogan: dua anak lebih baik. Wah, ini sangat tidak dapat diterima. Orang asli Papua yang makin minoritas yang memiliki tanah luas dan kekayaan alam yang berlimpah dipaksa mengikuti program KB. Tentu upaya ini dalam rangka pemusnahan etnis Papua secara tidak langsung.
Penyebab pemusnahan etnis ketiga adalah faktor kesejahteraan. Ekonomi menjadi salah satu penyebab suku-suku di Papua Barat dapat mengarah ke pemusnahan etnis. Dampak perekonomian ini dapat dialami oleh suku-suku yang mendiami di kota-kota di Papua. Akibat tanah dan kekayaan alamnya telah dikuasai oleh para pendatang baru, entah dijual atau dirampas, maka suku-suku tertentu yang berasal dari kota-kota itu kehilangan tanah dan kekayaan alam yang menjadi sumber penghidupan mereka, yang dapat menyebabkan depresi, stres, gangguan jiwa, gisi buruk, sakit dan akhirnya meninggal dunia.
Ada dua wilayah yang sedang dilanda bahaya itu adalah suku-suku asli di kota dan kabupaten Jayapura yang menjual tanah kepada pemukim baru; juga suku-suku di Merauke kota. Anak cucu dari suku-suku yang mendiami di dua wilayah ini akan kehilangan tanah leluhurnya. Dan ini sangat berdampak pada eksistensi dari suku-suku itu dan dapat menuju kehancuran dan kepunahan.
Penyebab pemusnahan etnis keempat adalah faktor migrasi. Menurut mantan gubernur propinsi Papua pada tahun 2010 di hadapan masyarakat asli Papua mengatakan: Kita akui bahwa jumlah migrasi di Papua cukup tinggi, bahkan lebih tinggi di dunia karena mencapai 5% pertahun. Pada hal normalnya 1% pertahun", ucapnya. Selain itu, menurut kepala Bapeda Propinsi Papua, dalam bedah buku karya Antonius Ayorbaba, dengan judul: The Papua Way: Dinamika Konflik Laten dan Refleksi 10 tahun Otsus Papua, mengatakan: angka migrasi ke Papua pertahun 6,39% sehingga dari data sensus penduduk sebenarnya orang asli Papua ada 30% dan pendatang 70% ", (sumber: tabloidjubi.com, 12 Januari 2012). Sedangkan di Propinsi Papua Barat sesuai laporan data BPS bahwa jumlah penduduk asli Papua di propinsi itu sebanyak 51,67% dari total 760.000 jumlah keseluruhan penduduk Papua Barat, (Sumber: www.kompas.com, Selasa 11/01/2011).
Terkait dengan populasi penduduk, ada laporan mengejutkan dari seorang akademisi dari Australia, Jim Elmslie. Laporan itu ia beri judul: West Papua Demographic Transition and the 2010 Indonesia Census: Slow motion genocide or not? Laporan Jim diterbitkan oleh Univercity of Sydney, Centre for Peace and Conflict Studies menyebutkan bahwa jumlah keseluruhan penduduk mencapai 3.612.854 jiwa. Dalam laporan itu disebutkan bahwa pada tahun 1971 orang asli Papua berjumlah 887.000 jiwa dan pada tahun 2000 berjumlah 1.505.405 jiwa. Ini artinya persentase pertumbuhan penduduk pertahunnya 1,84%; sementara jumlah penduduk non Papua pada tahun 1971 sebanyak 36.000 jiwa dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 708.425 jiwa. Ini artinya presentase pertumbuhan penduduk non Papua 10,82% pertahun.
Lonjakan pertumbuhan jumlah penduduk non Papua terjadi dalam sepuluh tahun terakhir. Pada pertengan tahun 2010 penduduk orang asli Papua sebanyak 1.730.336 jiwa atau 47,89%; sementara populasi penduduk non Papua berjumlah 1.882.517 jiwa atau 52,10%. Di akhir tahun 2010 orang asli Papua berjumlah 1.760.557 jiwa atau 48,73% dan populasi penduduk non Papua mencapai 1.852.297 jiwa. Jumlah keseluruhan penduduk Papua hingga 2010 adalah 3.612.854 jiwa.
Dalam laporan itu, Jim memperkirakan pada tahun 2020 jumlah penduduk Papua secara keseluruhan akan mencapai 7.287.463 jiwa atau 100%; dengan pembagian jumlah orang asli Papua 2.112.681 jiwa atau 28% dan jumlah penduduk non Papua 5.174.782 jiwa atau 71,01%. Ini artinya pertumbahan penduduk orang asli Papua lambat dibanding non Papua. Menurut Jim penyebab pertama karena pelanggaran HAM dan penyebab kedua yang paling utama adalah migrasi paling besar. (Sumber: www.majalahselangkah.com/old/papua-30-persen-pendatang-70-persen-mari-refleksi/) dan sumber aslinya (www.sydney.edu.au/arts/peaceconflict/docs/workingpapers/westpapuademographicsin2010/census.pdf).
Pertumbuhan penduduk non Papua pada tahun 1971 sebanyak 36.000 jiwa. Pada tahun 2000 jumlah penduduk non Papua 708.425 jiwa dan tahun 2010 mencapai 1.852.297 jiwa. Pertumbuhan penduduk non Papua antara tahun 2000 - tahun 2010 melonjak tinggi. Arus migrasi yang amat tinggi ini tentu disebabkan dengan adanya penerapan UU Otsus Papua yang diikuti dengan pemekaran-pemekaran propinsi, kabupaten/kota, distrik serta kampung yang semakin meningkat. Jika pemekaran-pemekaran ini terus ditingkatkan, maka arus migrasi akan meningkat dan diperkirakan sebelum tahun 2030 orang asli Papua menjadi semakin minoritas dan etnis Papua musnah.
Dan pertumbuhan penduduk asli Papua pada tahun 1971 penduduk orang asli Papua 887.000 jiwa, tahun 2000 meningkat menjadi 1.505.405 jiwa dan pada tahun 2010 berjumlah 1.760.557 jiwa. Antara tahun 1971 - tahun 2000 penambahan penduduk orang asli Papua hanya 618.405 jiwa dan antara tahun 2000 - tahun 2010 bertambah hanya 255.152 jiwa.
Jumlah penduduk orang asli Papua versi Balai Pusat Statistik ini belum bisa dipastikan keakuratannya, karena saya pernah dapat kabar bahwa para kepala kampung tertentu bekerjasama dengan para kepala distrik tertentu memasukkan nama-nama orang yang sudah meninggal dunia atau merekayasa nama untuk mendapatkan uang bantuan berupa IDT, atau bantuan beras miskin, atau bantuan dana pembangunan kampung (dana respek), dan juga demi kepentingan Pemilihan Kepala Daerah/Pemilu.
Kami yakin jika diadakan Sensus Penduduk yang kredibel, jujur dan tepat, maka jumlah penduduk asli Papua pasti didapati kurang dari jumlah penduduk versi BPS tahun 2010; dan sebaliknya jumlah penduduk non Papua pasti melambung tinggi karena hampir setiap kali kapal penumpang (kapal putih) dan pesawat udara masuk ke Papua ada penambahan migran baru di Tanah Papua.
Perbandingan populasi penduduk asli antara Papua dan PNG pada tahun 1971 orang asli Papua berjumlah 887.000 jiwa dan PNG kurang lebih 900.000 jiwa. Pada tahun 2010 jumlah orang asli Papua 1.760.557 jiwa dan jumlah populasi penduduk PNG sekitar 6,7 jiwa. Pada tahun 1971 populasi orang asli Papua dan PNG perbedaannya sangat tipis. Jumlah penduduk antara Papua dan PNG pada tahun 2010 perbandingannya sangat mencolok yakni sebesar sekitar 4 juta jiwa. Ini artinya sejak tahun 1971 sampai dengan tahun 2010 sekitar 4 juta jiwa orang asli Papua Barat telah hilang musnah.
Dari data-data di atas, saya menyimpulkan bahwa di Tanah Papua sedang terjadi proses pemusnahan etnis Papua secara merangkak perlahan-perlahan tetapi pasti (slow motion genocide).
Konflik yang berkepanjangan di Tanah Papua hanya karena konflik antara dua ideologi yaitu Ideologi Pancasila Indonesia dan Ideologi Mabruk Papua. Untuk mempertahankan tanah Papua dalam NKRI, maka RI gunakan politik devide et impera (pecah belah dan jajahlah). Dan sebaliknya Bangsa Papua juga berjuang keras untuk mengembalikan kedaulatan Bangsa Papua yang telah dianeksasi ke dalam NKRI.
Akar persolan di Tanah Papua yang telah melahirkan berbagai masalah di tanah Papua adalah Distorsi sejarah bangsa Papua yakni aneksasi kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua ke dalam NKRI yang berpuncak pada manipulasi Penentuan Pendapat Rakyat yang hanya diwakili oleh 1025. Aneksasi kedaulatan bangsa Papua ke dalam NKRI itu didukung penuh oleh Amerika Serikat dan PBB demi kepentingan ekonomi dan politik semata. Akibatnya bangsa Papua saat ini sedang terjadi pemusnahan etnis secara merangkak perlahan-lahan tapi pasti.
Atas dukungan penuh Amerika Serikat, PBB pernah memediasi bangsa Indonesia dan Bangsa Belanda pada tanggal 15 Agustus 1962 di New York yang disebut Perjanjian New York untuk menganeksasi bangsa Papua ke dalam NKRI tanpa melibatkan rakyat bangsa Papua dalam perjanjian itu, akibatnya di Papua sedang terjadi darurat kemanusian yang mengerikan secara terselubung walaupun secara nyata belum nampak secara signifikan. 
Untuk menyelamatkan etnis bangsa Papua dari kepunahan, maka Front PEPERA PB menyatakan dan menyerukan dengan tegas bahwa: 

1). PBB atau pihak ketiga yang netral segera memediasi Perundingan atau Dialog yang setara antara bangsa Indonesia dan bangsa Papua tanpa syarat untuk mencari solusi alternatif. 

2). Masyarakat Internasional, baik secara individu, lembaga non Pemerintah dan pemerintah mendorong PBB untuk memediasi perundingan atau Dialog antara Bangsa Indonesia dan Bangsa Papua.

3). Masyarakat Internasional dan PBB menekan Bangsa Indonesia untuk berunding dengan bangsa Papua yang dimediasi oleh PBB atau pihak ketiga yang netral sesuai standar internasional.

Demikian pernyataan sikap ini dibuat agar perhatikan dan ditindak-lanjuti oleh pihak-pihak terkait.


Penjara Abepura: Senin, 25 Maret 2013 

Persatuan Tanpa Batas Perjuangan Sampai Menang

TTD 

Selpius Bobii
(Ketua Umum Front PEPERA Papua Barat, Juga sebagai tahanan Politik Papua Barar di Penjara Abepura - Jayapura - Papua Barat)

ETNIS BANGSA PAPUA SEDANG MUSNAH (Tantangan dan Harapan di Tanah Papua)


(Tantangan dan Harapan di Tanah Papua)

Oleh: Selpius A. Bobii.
Abepura, 20 Maret 2013 

Judul artikel ini menantang semua pihak yang menaruh hati dan bekerja tanpa pamrih untuk menyelamatkan etnis bangsa Papua yang sedang menuju kepunahan. Dalam artikel ini ada tiga hal yang penulis bahas, yaitu: Apakah memang benar etnis bangsa Papua sedang menuju kepunahan? Apa saja tantangan yang dihadapi dalam menyelamatkan bangsa Papua? Adakah harapan bahwa bangsa Papua akan diselamatkan? 

ETNIS PAPUA SEDANG MUSNAH? 
Rakyat pribumi Papua Barat adalah suku-suku yang mendiami di Tanah Papua Barat. Papua Timur adalah PNG. Suku-suku yang mendiami di Papua Barat berjumlah 248 suku berdasarkan penelitian oleh Tim Peneliti pada tahun 2008.

Ada temuan bahwa ada suku-suku tertentu di Papua Barat sudah musnah dan masih ada juga suku-suku tertentu sedang menuju kepunahan. Penemuan yang paling mengejutkan adalah hasil penemuan para peneliti dari Universitas Yale Amerika Serikat dan peneliti dari Australia yang menyimpulkan bahwa di Tanah Papua sedang terjadi praktek pemusnahan etnis (genocide), para aktor utamanya adalah TNI dan POLRI.
Penyebab pertama dan terutama pemusnahan etnis bangsa Papua adalah operasi-operasi militer secara terbuka dan tertutup yang dimulai oleh Negara Indonesia sejak tahun 1962 (invasi militer) untuk mewujudkan maklumat Tri Komando Rakyat oleh Presiden RI (Soekarno).

Ada tiga jilid operasi militer yang diterapkan di tanah Papua. Operasi jilid pertama diawali dengan pengiriman pasukan militer secara illegal pada tahun 1962 karena pada tahun itu Papua masih di bawah kekuasaan administrasi pemerintahan Belanda. Dan tindakan RI itu kami sebut invasi militer Indonesia. Operasi militer jilid kedua dimulai setelah penyerahan adminitrasi pemerintahan Papua dari Belanda ke NKRI (dari tahun 1963 - 1969). Ada berbagai nama operasi yang digunakan RI, antara lain: operasi tumpas, operasi banteng I, operasi banteng II, operasi garuda merah, operasi garuda putih, operasi serigala dan operasi naga. Setelah RI memenangkan penentuan pendapat rakyat yang cacat hukum dan moral, RI masih terus melakukan operasi militer yang paling menentukan adalah Operasi Wibawa (1970-1974), Operasi Kikis (1977), Operasi Sadar (1979), Operasi Sapuh Bersih (1981-1984).
(Sumber:www.mail-archive.com/indomarxist@yahoogroups.com/msg00550.html).

Secara resmi Daerah Operasi Militer (DOM) diberlakukan sejak tahun 1978 - 5 Oktober 1998. Pencabutan status DOM oleh RI di Papua didorong oleh semangat reformasi yang digulirkan pada tahun 1998. Walaupun secara de jure status Daerah Operasi Militer dicabut pada tanggal 5 Oktober 1998, tetapi secara de facto operasi-operasi militer masih berlangsung sampai detik ini.

Operasi militer jilid ketiga dimulai sejak reformasi tahun 1998 sampai saat ini. Beberapa operasi militer yang digelar antara lain: Biak berdarah (06 Juli 1998), Nabire berdarah (2000), Abepura berdarah (6-7 Desember 2000), Wamena berdarah (6 Oktober 2002), Wasior berdarah (13 Juni 2001), Kimaam berdarah, Padang Bulan Berdarah (20 Oktober 2011), dan operasi-operasi militer yang masih berlangsung di Puncak Jaya, Puncak, Wamena dan Paniai, serta operasi militer tertutup lainnya di Tanah Papua.
Menurut penelitian ilmiah Universitas Yale diperkirakan bahwa antara tahun 1963 - 1969 lebih dari 10.000 orang asli Papua dibantai yang para aktornya TNI dan POLRI. Sejak operasi militer 1971 sampai dengan pemberlakuan Daerah Operasi militer secara resmi tahun 1978 - 5 Oktober 1998 orang asli Papua yang telah dibantai belum dapat dipastikan karena semua proses itu tidak terekam mengingat tidak ada ruang bagi pihak mana pun untuk mendata dan mempublikasikan.

Operasi-operasi militer Indonesia mencakup pemboman, penembakan, penculikan, pembunuhan, penghilangan paksa, penangkapan, pemenjaraan, penyiksaan, pemerkosaan, perampasan ternak, penghancuran kebun, pembakaran rumah-rumah warga dan gereja, pengusiran warga, pembunuhan melalui peracunan lewat makan dan minum, dll.
Ada pula pembunuhan dilakukan secara sadis, yakni dicincang dengan parang/kapak, diiris-iris dengan silet, pisau lalu disiram dengan air cabe, pria dan wanita dipaksa bersetubuh lalu alat kelamin pria dipotong dan istrinya dipaksa makan, kemudian mereka dibunuh, dibunuh dengan cara menggantung, dibuang hidup-hidup dalam jurang, diisi dalam karung lalu dibuang hidup-hidup ke dalam laut, ke dalam danau dan ke dalam kali; dikubur hidup-hidup. Juga besi dipanaskan di api lalu dibunuh dengan memasukkan besi panas ke dalam dubur / mulut / alat kemaluan wanita.

Pemusnahan etnis penyebab kedua adalah penyakit sosial. Penyakit-penyakit menular yang dibawa oleh para pemukim baru yang datang dari luar Papua Barat jika tidak segera diobati dapat merenggut nyawa. Penyakit-penyakit baru itu antara lain: penyakit TBC, penyakit cacing pita, penyakit tipes, penyakit kolera, penyakit hepatitis, penyakit menular seksual, diantaranya HIV/AIDS, dll. Jaman dahulu para nenek moyang Papua tidak pernah mengidap penyakit-penyakit jenis ini. Penyakit-penyakit ini menular dengan cepat ketika para pemukim baru masuk dan menetap di Papua.. Pelayanan kesehatan yang tidak memadai, sarana prasarana kesehatan yang tidak tersedia di kampung-kampung, dan kalaupun ada, tetapi pelayanan kesehatan dengan stengah hati adalah penyebab untuk mempercepat pemusnahan etnis Papua. Karena penyakit-penyakit baru yang dibawa oleh para pemukim baru dari luar Papua itu pada umumnya penyakit menular dan paling ganas, dan jika tidak ditangani segera maka dapat mengakibatkan kematian.

Penyakit sosial yang lain adalah konsumsi minuman keras. Saya pernah melihat di salah toko di karton tertulis: stok khusus Papua. Saya heran bahwa ada minuman keras stok khusus Papua yang langsung dipaketkan dari tempat produksi minuman keras. Kenapa ada minuman keras stok khusus Papua? Apakah ada bahan campuran lain dalam stok khusus Papua itu dan jika miras itu dikansumsi dapat memperpendek umur dan berujung kematian? Entalah! Tetapi terbukti bahwa banyak orang asli Papua mati, keluarga berantakan, banyak kasus kriminal terjadi, masa depan anak muda Papua hancur karena akibat mengkonsumsi minuman keras.

Pemerintah RI dalam berbagai kesempatan berkampanye bahwa dilarang mengkonsumsi minuman keras, tetapi justru pemerintah memberi ijin bagi pengusaha untuk mendatangkan minuman keras dan menjual di toko-toko tertentu, serta di bar-bar menyediakan minuman keras bagi para pengunjang yang hendak meluangkan waktu sejenak. Tentu alasan pemerintah adalah meningkatkan pendapatan pajak daerah untuk pembangunan. Alasan ini tidak dapat diterima karena masih banyak potensi daerah yang tentunya dikelolah oleh pemerintah untuk meningkatkan pendapatan daerah. Pendapatan pajak yang didapat pemerintah dari para pengusaha yang menjual minuman keras tidak sebanding dengan dampak dari konsumsi minuman keras yang merusak tatanan hidup masyarakat, menghancurkan masa depan generasi muda, serta banyak orang mati. Selain itu, ada minuman lokal alias milo. Khusus milo dapat ditangani secara bijak oleh pemerintah dengan bekerjasama tokoh masyarakat dan agama untuk membatasi pengelolaan minuman lokal. Dengan tidak ada kemauan baik dari pemerintah untuk memutuskan mata rantai produksi dan distribusi minuman keras itu dalam bentuk Peraturan Daerah, maka ini terbukti bahwa sesungguhnya pemerintah secara tidak langsung mempraktekkan pemusnahan etnis Papua.

Selain itu, ada pula penyakit sosial lain yaitu program Keluarga Berencana (KB). Disaat orang asli Papua menjadi minoritas di tanah leluhurnya, ada upaya pemerintah RI untuk membatasi kelahiran anak dengan program KB. Bahkan ada slogan: dua anak lebih baik. Wah, ini sangat tidak dapat diterima. Orang asli Papua yang makin minoritas yang memiliki tanah luas dan kekayaan alam yang berlimpah dipaksa mengikuti program KB. Tentu upaya ini dalam rangka pemusnahan etnis Papua secara tidak langsung.

Penyebab pemusnahan etnis ketiga adalah faktor kesejahteraan. Ekonomi menjadi salah satu penyebab suku-suku di Papua Barat dapat mengarah ke pemusnahan etnis. Dampak perekonomian ini dapat dialami oleh suku-suku yang mendiami di kota-kota di Papua. Akibat tanah dan kekayaan alamnya telah dikuasai oleh para pendatang baru, entah dijual atau dirampas, maka suku-suku tertentu yang berasal dari kota-kota itu kehilangan tanah dan kekayaan alam yang menjadi sumber penghidupan mereka, yang dapat menyebabkan depresi, stres, gangguan jiwa, gisi buruk, sakit dan akhirnya meninggal dunia.

Ada dua wilayah yang sedang dilanda bahaya itu adalah suku-suku asli di kota dan kabupaten Jayapura yang menjual tanah kepada pemukim baru; juga suku-suku di Merauke kota. Anak cucu dari suku-suku yang mendiami di dua wilayah ini akan kehilangan tanah leluhurnya. Dan ini sangat berdampak pada eksistensi dari suku-suku itu dan dapat menuju kehancuran dan kepunahan.

Penyebab pemusnahan etnis keempat adalah faktor migrasi. Menurut mantan gubernur propinsi Papua pada tahun 2010 di hadapan masyarakat asli Papua mengatakan: Kita akui bahwa jumlah migrasi di Papua cukup tinggi, bahkan lebih tinggi di dunia karena mencapai 5% pertahun. Pada hal normalnya 1% pertahun", ucapnya. Selain itu, menurut kepala Bapeda Propinsi Papua, dalam bedah buku karya Antonius Ayorbaba, dengan judul: The Papua Way: Dinamika Konflik Laten dan Refleksi 10 tahun Otsus Papua, mengatakan: angka migrasi ke Papua pertahun 6,39% sehingga dari data sensus penduduk sebenarnya orang asli Papua ada 30% dan pendatang 70% ", (sumber: tabloidjubi.com, 12 Januari 2012). Sedangkan di Propinsi Papua Barat sesuai laporan data BPS bahwa jumlah penduduk asli Papua di propinsi itu sebanyak 51,67% dari total 760.000 jumlah keseluruhan penduduk Papua Barat, (Sumber: www.kompas.com, Selasa 11/01/2011).
Terkait dengan populasi penduduk, ada laporan mengejutkan dari seorang akademisi dari Australia, Jim Elmslie. Laporan itu ia beri judul: West Papua Demographic Transition and the 2010 Indonesia Census: Slow motion genocide or not? Laporan Jim diterbitkan oleh Univercity of Sydney, Centre for Peace and Conflict Studies menyebutkan bahwa jumlah keseluruhan penduduk mencapai 3.612.854 jiwa. Dalam laporan itu disebutkan bahwa pada tahun 1971 orang asli Papua berjumlah 887.000 jiwa dan pada tahun 2000 berjumlah 1.505.405 jiwa. Ini artinya persentase pertumbuhan penduduk pertahunnya 1,84%; sementara jumlah penduduk non Papua pada tahun 1971 sebanyak 36.000 jiwa dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 708.425 jiwa. Ini artinya presentase pertumbuhan penduduk non Papua 10,82% pertahun.

Lonjakan pertumbuhan jumlah penduduk non Papua terjadi dalam sepuluh tahun terakhir. Pada pertengan tahun 2010 penduduk orang asli Papua sebanyak 1.730.336 jiwa atau 47,89%; sementara populasi penduduk non Papua berjumlah 1.882.517 jiwa atau 52,10%. Di akhir tahun 2010 orang asli Papua berjumlah 1.760.557 jiwa atau 48,73% dan populasi penduduk non Papua mencapai 1.852.297 jiwa. Jumlah keseluruhan penduduk Papua hingga 2010 adalah 3.612.854 jiwa.
Dalam laporan itu, Jim memperkirakan pada tahun 2020 jumlah penduduk Papua secara keseluruhan akan mencapai 7.287.463 jiwa atau 100%; dengan pembagian jumlah orang asli Papua 2.112.681 jiwa atau 28% dan jumlah penduduk non Papua 5.174.782 jiwa atau 71,01%. Ini artinya pertumbahan penduduk orang asli Papua lambat dibanding non Papua. Menurut Jim penyebab pertama karena pelanggaran HAM dan penyebab kedua yang paling utama adalah migrasi paling besar. (Sumber:www.majalahselangkah.com/old/papua-30-persen-pendatang-70-persen-mari-refleksi/) dan sumber aslinya (www.sydney.edu.au/arts/peaceconflict/docs/workingpapers/westpapuademographicsin2010/census.pdf).

Mari kita simak pertumbuhan penduduk non Papua. Pada tahun 1971 sebanyak 36.000 jiwa. Pada tahun 2000 jumlah penduduk non Papua 708.425 jiwa dan tahun 2010 mencapai 1.852.297 jiwa. Pertumbuhan penduduk non Papua antara tahun 2000 - tahun 2010 melonjak tinggi. Arus migrasi yang amat tinggi ini tentu disebabkan dengan adanya penerapan UU Otsus Papua yang diikuti dengan pemekaran-pemekaran propinsi, kabupaten/kota, distrik serta kampung yang semakin meningkat. Jika pemekaran-pemekaran ini terus ditingkatkan, maka arus migrasi akan meningkat dan diperkirakan sebelum tahun 2030 orang asli Papua menjadi semakin minoritas dan etnis Papua musnah.

Mari kita juga simak pertumbuhan penduduk asli Papua. Pada tahun 1971 penduduk orang asli Papua 887.000 jiwa, tahun 2000 meningkat menjadi 1.505.405 jiwa dan pada tahun 2010 berjumlah 1.760.557 jiwa. Antara tahun 1971 - tahun 2000 penambahan penduduk orang asli Papua hanya 618.405 jiwa dan antara tahun 2000 - tahun 2010 bertambah hanya 255.152 jiwa.

Jumlah penduduk orang asli Papua versi Balai Pusat Statistik ini belum bisa dipastikan keakuratannya, karena saya pernah dapat kabar bahwa para kepala kampung tertentu bekerjasama dengan para kepala distrik tertentu memasukkan nama-nama orang yang sudah meninggal dunia atau merekayasa nama untuk mendapatkan uang bantuan berupa IDT, atau bantuan beras miskin, atau bantuan dana pembangunan kampung (dana respek), dan juga demi kepentingan Pemilihan Kepala Daerah/Pemilu.
Saya yakin jika diadakan Sensus Penduduk yang kredibel, jujur dan tepat, maka jumlah penduduk asli Papua pasti didapati kurang dari jumlah penduduk versi BPS tahun 2010; dan sebaliknya jumlah penduduk non Papua pasti melambung tinggi karena hampir setiap kali kapal penumpang (kapal putih) dan pesawat udara masuk ke Papua ada penambahan migran baru di Tanah Papua.

Mari kita menyimak perbandingan populasi penduduk asli antara Papua dan PNG. Pada tahun 1971 orang asli Papua berjumlah 887.000 jiwa dan PNG kurang lebih 900.000 jiwa. Pada tahun 2010 jumlah orang asli Papua 1.760.557 jiwa dan jumlah populasi penduduk PNG sekitar 6,7 jiwa. Pada tahun 1971 populasi orang asli Papua dan PNG perbedaannya sangat tipis. Jumlah penduduk antara Papua dan PNG pada tahun 2010 perbandingannya sangat mencolok yakni sebesar sekitar 4 juta jiwa. Ini artinya sejak tahun 1971 sampai dengan tahun 2010 sekitar 4 juta jiwa orang asli Papua Barat telah hilang musnah.

Dari data-data di atas, saya menyimpulkan bahwa di Tanah Papua sedang terjadi proses pemusnahan etnis Papua secara merangkak perlahan-perlahan tetapi pasti (slow motion genocide).

TANTANGAN
Pemusnahan etnis Papua yang terjadi secara merangkak perlahan-perlahan tetapi pasti (slow motion genocide) adalah sebuah fakta yang tidak dapat dibantah oleh siapa pun. Kondisi ini menantang setiap orang asli Papua dan semua pihak yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan di mana saja berada untuk menyatukan tekad bersama demi menyelamatkan bangsa Papua dari darurat kemanusiaan terselubung yang amat mengerikan di Tanah Papua.

Berikut ini ada beberapa tantangan yang menghambat penyelamatan etnis Papua, antara lain: Tantangan Pertama, tantangan paling terberat dalam misi penyelamatan etnis Papua adalah perasaan ketakutan. Takut dibunuh, takut diteror, takut kehilangan pekerjaan, kekayaan dan jabatan, takut kehilangan dukungan atau simpati, takut disiksa dan difitnah, takut ditangkap dan di penjara, dan lain-lain.

Barang siapa takut kehilangan semuanya itu, maka ia sesungguhnya kehilangan harga dirinya. Harga diri itu adalah martabat manusia yang serupa dan segambar dengan Allah. Sebagai mahkluk ciptaan Tuhan yang paling mulia, ia telah mengabaikan rasa takut kepada Tuhan. Ia takut kepada hal-hal duniawi yang fana. Ia tidak takut kepada Tuhan yang memberinya anugerah dan kehidupan dengan cuma-cuma.. 

Agar dapat memperjuangkan misi penyelamatan etnis Papua tanpa takut kepada hal-hal duniawi, maka yang pertama dan terutama yang kita lakukan adalah menaklukan semua perasaan ketakutan dan milikilah sikap takut kepada Tuhan. Perasaan ketakutan kepada hal-hal duniawi adalah merupakan musuh terbesar yang melawan eksistensi kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia; rasa takut juga melemahkan daya tahan kita. Musuh perasaan ketakutan itu harus ditaklukan dengan merendahkan diri dan takut kepada Tuhan. Ketika kita menaklukan perasaan ketakutan pada hal-hal duniawi, dan memiliki sikap takut kepada Tuhan, maka dalam diri kita terbangunlah tembok pertahanan yang kokoh dan tidak terkoyahkan. Tembok itu adalah kepasrahan diri dan takut kita kepada Tuhan: itulah iman, pengharapan dan kasih.

Tantangan kedua dalam misi penyelamatan etnis Papua adalah ketidak-bersatuan komponen-komponen bangsa Papua. Tantangan ini sangat mencerai-beraikan kesatuan kita sebagai satu bangsa. Bagaimana mungkin kita mau mendirikan sebuah negara, jikalau kita tidak membangun persatuan nasional sebagai landasan berdirinya sebuah negara bangsa yang modern? Memang tujuan perjuangan kita satu dan sama yakni Papua Berdaulat Penuh; Tetapi kubu-kubu pertahanan masing-masing (elemen-elemen gerakan/faksi) yang dibangun telah melemahkan kekuatan yang ada pada kita dan ini melemahkan kedaulatan rakyat bangsa Papua dan akibatnya memperpanjang penindasan yang berdampak pada kepunahan etnis Papua.

Sungguh amat menyedihkan melihat kenyataan ini. Apa solusinya? Solusinya kita harus kompromi politik internal bangsa Papua untuk sepakati: bersatu dalam satu konsep ideologi perjuangan, bersatu dalam agenda/program bersama, bersatu dalam satu organisasi yang menjadi kendaraan politik bersama dan bersatu dalam kepemimpinan politik sentral (penanggung jawab politik bangsa Papua) yang diterima dan diakui bersama.

Tantangan ketiga adalah penerapan metode perjuangan. Ada orang Papua bilang bangsa Papua tetap berjuang dengan jalan damai. Ada pula orang Papua katakan kita berjuang dengan jalan perang terbuka. Ada juga bilang kita menerapkan keduanya: dengan jalan damai dan perang terbuka.

Dalam kongres bangsa Papua pada tahun 2000 rakyat bangsa Papua telah memutuskan bahwa perjuangan ditempuh dengan jalan damai. Gereja-gereja di Tanah Papua juga telah mendeklarasikan Papua Tanah Damai pada tahun 2002. Bahkan Pangdam Cendrawasih juga menebarkan slogan: Kasih dan Damai itu Indah; Tapi slogan dari Pangdam ini hanyalah kiasan semata. Slogan yang diusung oleh Pangdam itu hanyalah sebagai tameng untuk melindungi TNI-POLRI dari berbagai tekanan dari pihak-pihak pemerhati kemanusiaan dan slogan itu sebagai jalan untuk tetap melakukan kekerasan demi kekerasan untuk memusnahkan etnis Papua. Dibalik slogan ini, konflik semakin tumbuh subur di Tanah Papua. Banyak orang asli Papua mati, banyak orang Papua mengalami diskriminasi, dimarginalisasi, menjadi minoritas, mengalami ketidak-adilan dan sedang menuju kepunahan etnis Papua secara merangkak perlahan-lahan tetapi pasti (slow motion genocide).

Tanah Papua sedang terjadi darurat kemanusiaan secara terselubung walaupun secara nyata belum nampak. Karena itu, kami menyarankan slogan Papua Tanah Damai itu perlu ditinjau kembali dan diganti dengan slogan berikut ini: Papua Darurat Kemanusiaan, Mari Kita Wujudkan Papua Tanah Damai. Deklarasi Papua Darurat Kemanusiaan itu penting agar semua pihak memperjuangkan untuk mewujudkan Papua Tanah Damai itu.

Untuk menyelamatkan bangsa Papua dari diskriminasi, marginalisasi, minoritas, dan kepunahan etnis Papua secara pelan tetapi pasti yang sedang terjadi, maka apa langkah yang sangat tepat dan cepat yang bangsa Papua tempuh? Sesuai dengan tiga pendapat berbeda dari orang Papua, maka bangsa Papua dihadapkan pada tiga pilihan: Apakah bangsa Papua menempuh jalan perang terbuka? Ataukah bangsa Papua tetap menempuh dengan jalan damai? Dan ataukah kita menerapkan dua jalan itu secara bersamaan dengan pembagian peran antara sayap sipil dan diplomat dengan jalan damai dan sayap militer bergerilya?

Kita bisa memilih perjuangan dengan perang terbuka, tetapi populasi orang Papua hanya 1,7 juta jiwa. Sangat tidak mungkin orang asli Papua yang sedikit dan tidak memiliki sarana prasana perang yang memadai ini untuk menghadapi perang terbuka dengan Negara Indonesia yang (menurut Soedibyo pada tahun 2013) berpenduduk 250 juta jiwa dengan kekuatan angkatan TNI dan POLRI yang didukung dengan peralatan perang lengkap. Apakah kita harus mengorbankan sebagian orang asli Papua dalam perang terbuka dengan Indonesia? Tentu kami sangat menghargai taktik sayap militer (TPN OPM) yang sudah lama bergerilya di hutan sejak tahun 1965 untuk mempertahankan api revolusi dan mengambil kembali hak kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua yang telah dirampas oleh NKRI. Kini api revolusi itu sudah masuk juga dalam kota sejak tahun 1998 dan rakyat sipil bangsa Papua juga sedang berjuang dan suara-suara pembebasan Papua sudah menggema ke seluruh dunia.

Kita berjuang ini untuk menyelamatkan etnis Papua yang sedikit ini maka kita harus mempertimbangkan dengan baik untung dan ruginya. Memang setiap kita dilahirkan sekali dan setiap kita akan mati sekali. Tetapi jalan yang kita tempuh dapat menyelamatkan etnis Papua yang sedikit ini (bukan memusnahkan) dan jalan itu dapat membawa kita ke tujuan akhir perjuangan kita yakni kebebasan total. Kita musti pikir baik-baik bahwa dengan jalan perang fisik dapat mengorbankan etnis Papua, namun ternyata impian tidak terwujud karena orang Papua sudah musnah dalam perang terbuka dan akhirnya tanah Papua dikuasai selamanya oleh NKRI.

Dengan jalan perang terbuka kita tidak akan mungkin mengusir ke luar negara Indonesia yang memiliki kekuatan sarana-prasarana perang fisik yang memadai. Tetapi itu akan terjadi apabila Tuhan menghendakinya dan Tuhan sendiri akan memimpin kita perang terbuka mengusir keluar RI dari tanah Papua. Seperti ada tertulis dalam Kitab Roma: Jika Tuhan memihak kita, siapakah yang berani melawan kita?

Camkanlah bahwa jaman sudah berubah. Negara-negara di dunia pada jaman sekarang menempatkan perang fisik sebagai langkah (opsi) terakhir jika upaya-upaya damai lain tidak berhasil. Upaya lain seperti diplomasi-diplomasi politik melalui dialog atau perundingan. Karena itu memang perang terbuka kita tempatkan sebagai opsi terakhir setelah jalan-jalan diplomasi politik tertutup dan atau tidak membuahkan hasil yang kita inginkan dan itu pun kalau Tuhan menghendaki demikian.

Kita belajar dari tokoh-tokoh legendaris perdamaian seperti Moh Gandhi, Marthen Luter King, Nelson Mandela. Mereka menggunakan metode-metode damai untuk mencapai cita-cita mereka. Memang konteks dan jamannya berbeda dengan Papua. Perjuangan di Afrika Selatan yang dipimpin Nelson Mandela dan Marthen Luter King di AS adalah perjuangan melawan pemberlakuan rasisme. Bukan perjuangan untuk mengusir ke luar penjajah dari tanah leluhurnya. Karena itu metode-metode perjuangan yang mereka gunakan hanya untuk merombak sistem pemerintahan yang menciptakan diskriminasi dan ketidak-adilan bagi kulit hitam oleh kulit putih. Kenapa mereka sukses? Ya karena rakyatnya bersatu di bawah kepemimpinan sentral yang diakui dan diterima bersama.

Sedangkan perjuangan Moh Gandi adalah perjuangan untuk berdaulat penuh. Memang perjuangan India memakan waktu yang cukup lama. Moh Gandhi mampu membangkitkan puluhan juta India untuk melawan penjajah. Metode-metode dengan jalan damai yang diterapkan sangat didukung oleh rakyat India secara penuh maka dapat melemahkan resim penjajah. Akibatnya Moh Gandi ditembak mati. Walaupun demikian, perjuangan dengan jalan damai yang dirintisnya dapat diteruskan oleh kader-kadernya, akhirnya kemenangan diraih oleh masyarakat India. Moh Gandhi menjadi tokoh legendaris bagi India dan juga sebagai tokoh inspirator bagi perdamaian dunia. Kenapa masyarakat India berhasil? Karena mereka bersatu dan tetap solid pantang mundur dan pantang menyerah.

Apakah Bangsa Papua juga bisa bersatu di bawah satu kepemimpinan sentral (satu penanggung jawab politik bangsa Papua), bersatu dalam satu wadah politik bersama yang menjadi kendaraan politik bersama, bersatu dalam agenda/program bersama serta bersatu dalam satu konsep ideologi? Silahkan kita renungkan dan mengambil sikap untuk kita kompromi politik internal bangsa Papua untuk bersatu agar kita tidak memperpanjang penindasan dan orang Papua yang sedikit ini diselamatkan.

Tantangan keempat adalah: Tanah Papua adalah dapur dunia dan Indonesia adalah pasar terbesar yang diperhitungkan dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa, Amerika Serikat, Australia, Belanda, Inggris, dan negara lain mengetahui bahwa bangsa Papua dianeksasi ke dalam NKRI dan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969 itu cacat hukum dan cacat moral. Hasil PEPERA itu dengan terpaksa dicacat saja dan tidak ditetapkan dalam resolusi PBB, karena 15 Negara menyatakan menolak dan tidak mengakui hasil PEPERA itu.

Mengapa aneksasi Papua ke dalam NKRI itu didukung penuh oleh AS, PBB dan dalam proses PEPERA itu cacat hukum dan moral, tetapi dengan terpaksa hasil itu dicacat saja dalam dokumen PBB? Jawabannya: Karena Tanah Papua mau dijadikan Dapur Dunia. Buktinya di Tanah Papua ada PT. Freeport milik AS dan berbagai negara-negara penanam saham, BP (Penampang Minyak dan Gas) milik Negara Inggris di Sorong dan Bintuni dan perusahaan lain.

Menjaga dapur dunia di Tanah Papua oleh kebanyakan negara-negara menjadi lebih penting, karena itu kita menjadi korban konspirasi kepentingan ekonomi dan politik semata. Tanah Papua digarap hanya untuk kepentingan perut mereka, tetapi kepentingan hak kedaulatan kemerdekaan bangsa Papua diabaikan, bahkan dirampas dan kita dipaksa tetap berada dalam bingkai NKRI. Hasil kekayaan dari Tanah Papua dapat menyamin kebanyakan negara-negara di dunia, terutama Amerika Serikat dan Inggris, tetapi suara-suara kebebasan yang dikumandangkan oleh orang asli Papua pemilik kekayaan alam itu diabaikan dan dilupakan.

Bangsa Papua harus bangkit untuk memproteksi tanah air dan kekayaan alam serta orang Papua yang sedang menuju kehancuran. Dewan Adat Papua (DAP) dibentuk dalam Konfrensi Besar Masyarakat Adat Papua I pada tahun 2002 untuk memperjuangkan Hak-hak Dasar Masyarakat Adat Papua. Kami harap ke depan DAP menata diri dan bekerja keras dalam memproteksi orang asli Papua, proteksi tanah air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta mengklaimnya sebagai hak mutlak bangsa Papua yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun dan dengan kekuatan apa pun. Walaupun memang kita sadari bahwa kita dilemahkan oleh RI melalui sistem-sistem pertahanannya, tetapi sesungguhnya kekuatan Dewan Adat Papua dapat menggerakan masyarakat adat Papua untuk menyatakan non cooperatif (tidak kerja sama) dengan RI dalam bentuk apa pun dan sikap ini pernah dinyatakan oleh Tn Forkorus Yaboisembut, S.Pd selaku Presiden NFRPB yang juga adalah Ketua Umum DAP. Bentuk-bentuk non cooperatif (tidak kerja sama) dengan RI dalam bentuk apa pun, antara lain: tidak menjual belikan tanah untuk kepentingan pembangunan RI di Papua, tidak memberi ijin kepada investor asing masuk membuka tambang apa pun jenisnya untuk merampas kekayaan di Tanah Papua dan menutup semua perusahaan yang ada di Tanah Papua sebelum menuntaskan status hukum dan politik bangsa Papua, tidak mensukseskan Pilkda dan Pemilu, dan lain-lain.

Kita terus menerus menjadi korban konspirasi kepentingan ekonomi dan politik dari negara-negara di dunia, khususnya Amerika, Inggris, dan lainnya. Semua perusahaan tambang yang beroperasi di tanah Papua menjadi tiang utama penopang Papua Barat dalam NKRI. Dengan demikian kita dirugikan dan dikorbankan, sementara negara-negara yang menanam saham di Papua mendapat keuntungan berlipat ganda.
Selain itu, negara-negara di dunia lebih memilih menjaga hubungan kerja sama bilateral dengan RI karena Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki wilayah yang luas dan berpenduduk banyak yang berpeluang besar bagi pasar dunia yang amat menjanjikan. Mereka lebih memilih mengutamakan kepetingan pasar ekonomi, ketimbang mendukung gerakan pembebasan bangsa Papua. Walaupun negara-negara dunia menyerukan perdamaian dunia, menyerukan kebebasan, penegakan keadilan, Hak Asasi Manusia dan demokrasi; tetapi kenyataannya seruan mereka tidak disertai dengan tindakan nyata (aksi nyata). Kita dilupakan oleh negara-negara di dunia, bahkan negara-negara se ras Malanesia dan negara-negara sekawasan Pasifik pun mengabaikan suara-suara kita dan melupakan kita. Namun, pada akhir-akhir ini negara-negara kawasan Pasifik, khususnya Negara-negara Malanesia mulai angkat bicara tentang masalah-masalah Papua atas desakan masyarakatnya, baik LSM, Adat dan Agama di negara masing-masing. Harapan kita bahwa mereka dapat menerima kita sebagai anggota resmi MSG dan atau menjadi peninjau, dan selanjutnya MSG membawa status Papua ke tingkat PIF (Pasifik Islands Forum) dan selanjutnya dibawa ke forum PBB. Itu harapan kita dan untuk itu kita doakan.

Tantangan kelima adalah musuh dalam selimut. Musuh dari luar kita bisa antisipasi dan menghindar, tetapi musuh dalam selimut sulit dihindari karena modusnya tidak terbaca. Banyak orang asli Papua yang telah dipasang oleh RI untuk melemahkan dan menghancurkan perjuangan kita. Setiap agenda-agenda pertemuan bocor dan agenda-agenda itu gagal dilaksanakan dan atau itu pun dilaksanakan, tetapi tidak mencapai hasil yang maksimal karena agenda-agenda itu telah dibocorkan kepada sistem pertahanan NKRI dan melalui sistem-sistem RI melakukan berbagai cara untuk menggagalkan rencana agenda-agenda kita.

NKRI dalam rangka menjaga kesatuan dapat memasang siapa saja, entah itu keluarga dekat, aktifis Papua tertentu, teman dekat, pihak agama/gereja tertentu, pihak LSM tertentu, teman kerja di kantor, buruh atau masyarakat umum yang ada di sekitar rumah dan aktifitas kita. Jadi musuh dalam selimut bagaikan pembajak untuk membajak perjuangan dari dalam, dan sistem pertahanan NKRI membajak perjuangan Papua dari luar. Dengan demikian, kita sulit bersatu dan sulit untuk mewujudkan agenda/program yang telah kita susun rapi.

Musuh dalam selimut ini bekerja hanya untuk mencapai kepentingan ekonomi semata. Mereka adalah pengkhianat, musuh rakyat dan musuh revolusi; mestinya kita tidak perlu melibatkan mereka lagi dalam perjuangan luhur ini. Kita harus tegas dalam hal ini. Jangan kita memberi ruang dan waktu kepada para pengkhianat ini untuk memainkan perjuangan ini.

Tantangan keenam adalah kekurangan finansial, sarana dan prasarana untuk menunjang gerakan pembebasan bangsa Papua. Perjuangan bangsa Papua dapat dikatakan perjuangan yang paling miskin di dunia. Walaupun tanah Papua kaya dengan kekayaan alam, tetapi kita belum memaksimalkan potensi-potensi sumber daya alam untuk mendatangkan uang. Kita juga belum memiliki sarana penunjang yang memadai. Tempat pertemuan, seperti Aula, mesin foto copy, mobil khusus, motor khusus, kontor khusus yang dibangun sendiri saja tidak ada. Ironis memang! Perjuangan sudah memakan waktu setengah abad lebih, tetapi kita belum memiliki sarana umum yang digunakan khusus untuk perjuangan ini. Akhirnya uang sedikit-sedikit yang kita dapat habis digunakan untuk menyewa ruangan, foto copy, menyewa motor dan mobil, menyewa rumah untuk kantor sekretariat, dll.

Rakyat bangsa Papua juga belum sepenuhnya mendukung kita karena kita belum satukan mereka di bawah satu komando, satu wadah bersama dan agenda/program. Masyarakat bangsa Papua sedang bigung hendak mau ikut faksi/organ dan agenda/program yang mana. Tentu ada rakyat bangsa Papua yang mendukung perjuangan ini, tetapi kita belum menggunakan dana-dana itu secara tepat dan bertanggung jawab.

Tantangan ketujuh adalah malas tahu dan bermasa bodoh, tidak mau kerja keras, berpangku tangan saja, tahu memanfaatkan orang lain hanya untuk mencapai kepentingan pribadi/kelompok, menunggu menerima hasil dari kerja keras orang lain, tidak punya pendirian, mudah dipengaruhi, mudah menyerah, mudah tersinggung, merasa senioritas/ superioritas, merasa punya kapasitas dan menganggap yang lain tidak punya apa-apa, tidak mau mengakui kesalahan, tidak menghargai yang lain, tidak rendah hati. Masih banyak mental lain dipraktekkan dan itu melemahkan perjuangan kita. Itu bertanda bahwa nilai-nilai dasar kebudayaan kita telah dihancurkan oleh Negara Indonesia. Ini fakta! Sungguh menyedihkan. Kapan kita hendak mengubur mental-mental busuk ini?

Tantanggan kedelapan adalah sistem pertahanan NKRI yang sudah tertata rapi yang menerapkan strategi serta taktik yang terencana, terarah, sistematis dan terkontrol di bawah komando presiden Republik Indonesia untuk menghadapi perjuangan rakyat bangsa Papua. Ini tantangan terbesar. Tujuh tantangan di atas adalah dampak dari segala manufer politik NKRI melalui sistem-sistemnya yang didukung oleh sarana dan prasarana yang sangat memadai. Kita memang dilemahkan oleh NKRI melalui sistem-sistemnya yang amat kuat dengan slogan politik Indonesia: Devide et impera (pecah belah dan jajalah).

Kekuatan NKRI berada di TNI, Polri, BIN/BAIS, birokrasi pemerintahan dan yang terakhir adalah islam radikal sebagai kekuatan pelengkap serta didukung oleh kekuatan lembaga-lembaga non pemerintahan tertentu dan ikatan-ikatan penguyuban non Papua tertentu. Selain itu, NKRI di dukung oleh negara-negara di dunia melalui kerja sama bilateral, khusus kerja sama di bidang ekonomi. Perusahaan-perusahaan tambang milik negara-negara tertentu di dunia yang sedang beroperasi di tanah Papua adalah bukti dukungan nyata mereka agar Papua tetap dalam NKRI. Mampukah rakyat bangsa Papua menghadapi dan dapat mengusir NKRI ke luar dari tanah Papua?

HARAPAN
Jawaban dari pertanyaan menantang di atas adalah: Dengan keyakinan ku dari lubuk hati yang paling dalam saya katakan: Atas campur tangan Tuhan dan dengan dukungan masyarakat Internasional yang berhati mulia, bangsa Papua pasti akan mampu meraih kemenangan, yaitu kebebasan total. Itulah iman, harapan dan kasih: itulah kekuatan bangsa Papua.

Dalam upaya penyelamatan etnis Papua tentu tidak terlepas dari berbagai tantangan. Tak ada solusi, jika tidak ada masalah. Justru karena ada masalah, maka ada solusi. Tantangan itu adalah masalah. Tetapi dengan adanya tantangan itu, maka kita mencari solusi untuk mengatasi tantangan.

Menurut tn Forkorus Yaboisembut, SP.d ada beberapa kekuatan dunia, antara lain: 1) Iman dan taqwa (IMTAQ); 2) Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK); 3) Rakyat; 4) Uang; 5) Militer; 6) Media. Dari enam kekuatan itu bangsa Papua memiliki: iman dan taqwa, ilmu pengetahuan dan teknologi, rakyat, dan media. Sementara khusus uang dan militer, bangsa Papua sangat lemah.

Negara Indonesia dan para negara tertentu di dunia beranggapan bahwa bangsa Papua tidak akan merdeka karena berbagai alasan. Tetapi saya katakan bahwa RI dan siapa pun yang beranggapan demikian, saya katakan bahwa mereka bukan Yahwe/Elohim/Tuhan. Bangsa Papua akan berhenti berjuang, apabila Tuhan melarang bangsa Papua untuk tidak berjuang. Di dalam Alkitab saya tidak pernah menemukan ayat perintah Tuhan yang mengatakan bahwa bangsa Papua tidak akan merdeka.

Bangsa Papua memiliki iman dan taqwa yang amat mendalam, dan memiliki pengalaman rohaniah yang rumit dan amat panjang. Stengah abad lebih bangsa Papua mengembara di bawah penindasan RI dan para sekutunya; itulah pengalaman rohaniah itu. Seperti bangsa Israel mengembara di Padang Gurun selama 40 tahun menuju tanah perjanjian, yakni tanah Kanaan yang penuh susu dan madu; demikian pula bangsa Papua sedang mengembara di Padang Papua selama setengah abad lebih menuju ke Tanah Nubuatan Papua, yaitu Kota Emas, Papua Penuh Kemuliaan Tuhan.

Gerakan pembebasan Nasional Papua hari ini ada karena Tuhan mendukung perjuangan bangsa Papua dengan misteri tetapi nyata dan menggagumkan. Walaupun NKRI melalui sistem-sistem pertahanannya berupaya menumpas gerakan Papua, tetapi gagal dan akan gagal terus karena Tuhan mendukung penuh perjuangan bangsa Papua. Sesungguhnya bangsa Papua sudah merdeka dari dalu, tetapi Tuhan sedang mematangkan iman orang asli Papua agar dengan terang iman dapat memahami dan melihat kehendak Tuhan dan rancangan Tuhan yang gilang gemilang untuk bangsa Papua.

Untuk memahami kehendak Tuhan tidaklah sulit jika setiap orang asli Papua tidak mengeraskan hati dan merendahkan diri kepada sesama dan Tuhan. Berkenaan dengan itu, persatuan dan pemulihan menjadi hal utama dan terutama. Persatuan terkait dengan pemenuhan kebutuhan jasmaniah dan pemulihan adalah menyangkut pemenuhan kebutuhan rohaniah. Persatuan terkait bagaimana semua rakyat bangsa Papua, termasuk semua komponen perjuangan bersatu dalam satu komando untuk satu tujuan, bersatu dalam satu organisasi yang menjadi kendaraan politik bersama; dan bersatu dalam satu konsep ideologi perjuangan dan agenda/program bersama. Dan pemulihan terkait bagaimana setiap pribadi memulihkan dirinya sendiri, pemulihan diri dengan sesama manusia, pemulihan diri dengan alam lingkungan, pemulihan diri dengan leluhur dan yang terakhir adalah pemulihan diri dengan Tuhan.

Dua hal ini: persatuan dan pemulihan ini saling kait mengkait dan paling menentukan dalam perjuangan ini. Sesungguhnya persatuan menyeluruh (hollistic union) dan pemulihan menyeluruh (hollistic recovery) adalah kekuatan kita yang tidak terkalahkan.

Masa depan bangsa Papua berada dalam rancangan Tuhan, bukan berada dalam rancangan negara mana pun di dunia. Perjuangan bangsa Papua adalah perjuangan penggenapan nubuatan Tuhan. Melalui para abdi-abdi-Nya, Tuhan telah menubuatkan masa depan bangsa Papua. Berikut ini nubuatan Tuhan melalui hambanya Pdt. I. S. Kejne: Di atas batu ini ku meletakan peradaban bangsa Papua; Sekalipun bangsa lain membangun negeri ini dengan segala hikmat dan mahrifat, tetapi mereka tidak akan mampu membangun negeri ini, dan suatu saat bangsa ini akan bangkit untuk membangun dirinya, Autumeri, 25 Oktober 1928. Dan Pdt. Keijne pun melukiskan masa depan bangsa Papua dalam sebuah kisah dalam buku seruling emas Papua, yakni kisah tentang Thom dan Regi yang di dalamnya dikisahkan adanya kota emas, masa depan bangsa Papua.

Nubuatan termasyur yang diukirkan di atas sebuah batu dan dalam buku seruling emas oleh Pdt. I. S. Keijne adalah bukti bahwa bangsa Papua ada dan berjalan dalam rancangan Tuhan. Karena itu, Tanah Papua adalah Tanah nubuatan, Tanah yang telah diberkati oleh Tuhan. Buktinya bahwa Tanah Papua menyimpan harta karun, antara lain berupa bahan-bahan mineral seperti emas yang tiada bandingnya di dunia. Bergunung-gunung emas diam membisu dalam ibu bumi Papua dan siap untuk dimanfaatkan. Pada saatnya semua kekayaan itu akan mengalir ke berbagai penjuru dunia, memberkati bangsa-bangsa sebagai ungkapan rasa solidaritas untuk menciptakan damai sejahtera di bumi seperti di Surga. Itulah harapan bangsa Papua.

Ada pula nubuatan Tuhan kepada salah satu tahanan Politik Papua, tn Sananay Kraar. Pada tanggal 18 Maret 2013 jam 18.30 - 19.00 WPB ia menonton berita. Berita di TV Lensa Papua memberitakan bahwa Pangdam XVII Cendrawasih mengatakan: Batalion infantri 751 Sentani Jayapura statusnya ditingkatkan menjadi Batalion Raider. Tugasnya adalah: 1) Pasukan penangkal, pemukul cepat, dan bergerak secara rahasia untuk memukul siapa saja yang mau merongrong kedaulatan NKRI di Papua; 2) Membasmi para penjahat di Papua di Tingginambut, Sinak dan seluruh wilayah Papua. Ketika status itu diumumkan oleh Pangdam di depan ribuan tentara, TV Lensa Papua menayangkan sambutan meriah dengan yel yel sambil mengangkat senjata oleh para tentara infantri 751 menyatakan kesiapannya untuk menumpas orang Papua yang mau merdeka. Setelah pulang menonton berita itu, tn Sananay Kraar merasa putus asah dan kecewa karena rakyat bangsa Papua yang sedang berjuang untuk kebebasan total akan dibantai dan dimusnahkan oleh tentara pemukul itu. Pada malam hari ia berdoa menyerahkan masalah ini kepada Tuhan. Kemudian pada subuh hari Selasa, 19 Maret 2013 mendapat penglihatan dalam bentuk mimpi, ia melihat ada tulisan Kitab Yesaya pasal 29. Ia bangun dan membaca pasal Alkitab itu. Dalam pasal itu terdapat tiga perikop. Perikop pertama, Yerusalem terkepung tetapi diselamatkan; perikop kedua, Bangsa yang buta; dan perikop ketiga, keselamatan sesudah penindasan. Inti dari penglihatan itu terdapat pada Kitab Yesaya pasal 29 ayat 5 yang berbunyi: Akan tetapi segala pasukan lawanmu akan hilang lenyap seperti abu halus, dan semua orang yang gagah sombong akan menjadi seperti sekam yang melintas terbang. Sebab dengan tiba tiba, dalam sekejap mata. Inilah nubuatan Tuhan dan Sananay Kraar meyakini bahwa nubuatan ini pasti akan digenapi. Ada pula tertulis dalam Kitab Roma: Jika Tuhan dipihak kita, siapakah yang berani melawan kita?

Camkanlah bahwa rakyat bangsa Papua itulah kekuatan yang tidak terkalahkan. Pada rakyat bangsa Papua telah memiliki iman dan taqwa, memiliki Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta media. Itulah satu kesatuan kekuatan kita. Jika ada masyarakat, maka ada uang. Namun, saat ini kekuatan uang belum diatur mekanisme sumbangan sukarela yang baku, karena organisasi perlawanan belum tertata rapi sampai di tingkat kampung. Termasuk sayap militer pun masih lemah karena beberapa alasan.

Satu hal yang menjadi kekuatan yang tidak terkalahkan adalah rakyat bangsa Papua sudah bertekad bulat untuk berdaulat penuh (merdeka). Tekad itulah modal utama dan itulah nasionalisme. Jika tidak ada tekad dalam diri orang Papua, jika tidak ada nasionalisme ke-papua-an, maka bagaimana mungkin gerakan ini dapat bertahan? Tekad untuk Papua berdaulat itulah kerinduan kita. Dengan adanya kerinduan yang satu dan sama untuk Papua merdeka penuh, maka ada harapan bahwa pada suatu saat nanti, setelah semua pihak sadar akan betapa pentingnya persatuan menyeluruh dan pemulihan menyeluruh, pada saat itulah kita akan menjadi satu-kesatuan utuh yang tidak dapat terkalahkan, dan maju melangkah bersama dengan jalan damai sesuai keputusan Kongres Bangsa Papua pada tahun 2000 bahwa mengawal perjuangan Papua dengan jalan damai.

Walaupun negara Indonesia menerapkan berbagai strategi dan taktik untuk membunuh tekad dan nasionalisme kita dengan politik devide et impera (pecah belah dan jajahlah), antara lain melalui operasi-operasi militer terbuka dan tertutup, pemekaran-pemekaran yang makin tumbuh subur di Tanah Papua, penerapan UU Otsus Papua dan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), tetapi tekad (komitmen) rakyat bangsa Papua untuk berdaulat penuh tetap kokoh. Tekad itu adalah antara hidup atau mati, artinya kemauan untuk Papua berdaulat penuh itu tidak dapat ditawar-tawar lagi dan berjanji berjuang sampai titik darah penghabisan.

Berbagai tawaran murahan, seperti penerapan UU OTSUS Papua dan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) di Tanah Papua bukanlah solusi final bagi penyelesaian masalah-masalah Papua. Solusi final adalah bangsa Papua berdaulat penuh. Solusi itulah yang ada dalam hati dan itu menjadi kerinduan bangsa Papua dan para solidaritas masyarakat Internasional. Camkanlah bahwa masalah Papua bukan masalah kesejahteraan, tetapi bagaimana menegakkan harga diri bangsa Papua, bagaimana mengembalikan hak kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua yang telah dirampas oleh NKRI dengan cara-cara kotor dan tidak beradab.

Memang kami tidak punya kekuatan, seperti apa yang dimiliki oleh NKRI, kami hanya punya iman dan taqwa, kami punya ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat menunjang, kami punya rakyat, dan punya media; dan memang dalam hal uang dan militer kami lemah, tetapi kami punya tekad untuk berjuang dengan damai, kami punya tekad untuk berubah, kami punya keyakinan yang kuat untuk mencapai kerinduan bangsa Papua dan itulah kekuatan kami yang tidak terkalahkan dengan kekuatan apa pun.
Kami percaya pada kekuatan yang ada pada kami walaupun itu menurut ukuran Negara Indonesia tidak sebanding dengan kekuatan yang RI miliki. Tetapi ingatlah bahwa ada kekuatan yang sangat sulit dikalahkan oleh RI dan siapa pun yang dimiliki rakyat bangsa Papua adalah iman (doa) dan harapan, nasionalisme dan tekad untuk Papua berdaulat penuh.

Bangsa Papua juga memiliki kekuatan pelengkap lain, yaitu dukungan masyarakat Internasional. Dukungan mereka dapat memotivasi rakyat bangsa Papua untuk tetap berjuang. Mereka mendukung gerakan pembebasan tanpa pamrih. Sebagian dari mereka mendukung dengan cara memberikan pengorbanan moril maupun materil. Mereka menjadi sayap keempat dalam gerakan perjuangan ini. Upaya mereka memberikan warna tersendiri kepada sayap sipil, militer dan diplomat. Ada pula dari mereka memberikan saran yang berguna kepada ketiga sayap yang ada.

Mereka terpanggil mendukung gerakan pembebasan hanya semata-mata karena kemanusiaan. Karena itu sebutan yang tepat bagi mereka adalah masyarakat solidaritas Internasional. Mereka bersolider kepada orang asli Papua yang sedang mengalami diskriminasi, dimarginalisasi, mengalami ketidak-adilan, menjadi minoritas dan yang sedang menuju kepunahan etnis Papua. Mereka menginginkan bangsa Papua terbebas dari segala bentuk tirani.

Satu hal yang mereka tertarik mendukung Papua adalah karena bangsa Papua menempuh perjuangan dengan jalan damai. Karena perjuangan dengan jalan damai adalah perjuangan kudus dan murni. Walaupun NKRI melalui sistem-sistemnya menerapkan berbagai strategi dan taktik untuk menumpas gerakan Papua, tetapi bangsa Papua tetap berjuang dengan damai, dan hal ini memotivasi solidaritas masyarakat internasional untuk mendukung Papua. Di antara mereka ada yang kecewa jikalau bangsa Papua menempuh perjuangan dengan kekerasan. Maka itu, ada pula di antara mereka tidak segan-segan memberi saran kepada aktifis Papua untuk tetap berjuang dengan damai.

Mereka memberi apresiasi kepada aktifis Papua yang sungguh-sungguh mengabdikan hidupnya bagi perjuangan Papua. Di antara aktifis Papua tertentu mendapat penghargaan dari masyarakat internasional non pemerintah. Salah satu aktifis yang juga tokoh Gereja Papua yang mendapat penghargaan dari Yayasan Keadilan dan Perdamaian Tji Hak-soon di Korea Selatan adalah Dr. Neles Kebadabi Tebai, Pr pada tanggal 13 Maret 2013. Penghargaan ini diberikan atas upaya kerasnya sebagai penanggung jawab dan koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) dalam mendorong Dialog Jakarta-Papua. Penghargaan ini membuka mata dunia bahwa di Papua ada berbagai masalah yang harus ditangani dan diselesaikan melalui perundingan atau dialog yang setara antara Papua dan Indonesia yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral sesuai standar Internasional. Masyarakat Internasional tentu memberikan apresiasi dengan penghargaan yang didapat Dr Neles Kebadabi Tebai, Pr. Mereka berharap masalah-masalah Papua dapat diselesaikan dengan bermartabat melalui jalur diplomasi dan dialog atau jalur-jalur resmi lain di PBB.

Masyarakat solidaritas Internasional kecewa jikalau ada orang Papua yang menjadikan perjuangan Papua hanya untuk mencapai kepentingan pribadi. Mereka juga kecewa karena bangsa Papua tidak bersatu. Tetapi mereka solid mendukung kita. Di antara mereka memberi saran kepada aktifis Papua betapa pentingnya membangun persatuan nasional Papua Barat. Selain itu, ada pula yang mengatakan mereka bingung mendukung agenda yang mana: apakah refrendum, pengakuan atau menuju ke komisi dekolonisasi? Walaupun aktifis Papua mengusung agenda yang berbeda-beda, tetapi mereka juga mengatakan bahwa kami tahu tujuan perjuangan Papua adalah untuk merdeka penuh.
Mereka akan pasti memberi apreasisi setinggi-tingginya jikalau pada suatu saat nanti bangsa Papua bersatu. Karena kesatuan bangsa Papua akan memotivasi mereka untuk meningkatkan tekanan ke negara mereka untuk memperhatikan dan menyelesaikan masalah-masalah di Papua. Juga kesatuan bangsa Papua akan memberi sinyal kepada masyarakat Internasional bahwa Papua sudah siap berdaulat penuh. Dengan demikian, solidaritas masyarakat Internasional tidak akan bingung lagi karena kita telah bersatu dalam satu konsep ideologi perjuangan, agenda dan program kerja bersama, bersatu dalam satu organisasi sebagai kendaraan politik bersama (tanpa membubarkan faksi/elemen gerakan yang ada), dan bersatu dalam kepemimpinan sentral sebagai penanggung jawab politik bangsa Papua. Jika kita bersatu, maka kerja-kerja para solidaritas masyarakat Internasional akan lebih terarah dan terfokus. Saat ini mereka sedang menunggu kapan bangsa Papua akan bersatu?

Harapan mereka untuk kita bersatu agar segera kita keluar dari penindasan adalah merupakan harapan kita bersama. Mari saudara-saudari se-bangsa dan se-tanah air bangsa Papua di mana saja anda berada, kita konsolidasi bersatu menjawab harapan solidaritas masyarakat internasional. Karena persatuan nasional adalah faktor terpenting dalam perjuangan bangsa mana pun. Bagaimana mungkin kita mau merdeka jika kita tidak bersatu? Setelah merdeka pun dibutuhkan kesatuan nasional agar bangsa dan negara itu tetap kokoh. Jika tidak ada kesatuan nasional, maka bangsa-bangsa yang kuat pun akan goyah karena unsur kesatuan terpenting tidak stabil. Persatuan nasional akan memberikan kestabilan kehidupan suatu bangsa dan negara. Sekali lagi mari kita bersatu di bawah satu komando untuk satu tujuan yakni menuju kemenangan akhir, menuju kemenangan iman.

Mari kita kompromi politik internal bangsa Papua dan bersatu dalam Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) sebagai kendaraan politik bersama untuk menuju ke mekanisme Internasional untuk mendapatkan pengakuan secara de jure melalui jalur hukum atau jalur diplomasi dan dialog atau jalur resmi lain di PBB. Ini hanyalah bersifat tawaran saja agar kita mempercepat dan tiba di pelabuhan kebebasan total. Persatuan dan pemulihan kita adalah kekuatan kita. Akhirnya, keselamatan jiwa-jiwa yang dibelenggu tirani penindasan adalah hukum tertinggi.

“Persatuan Tanpa Batas, Perjuangan Sampai Menang”

Penulis: (Ketua Umum Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat, Juga tahanan politik Papua Barat di Penjara Abepura - Japura - Papua Barat).


Publisher by Group Justice and Peace in Land of Papua: Abepura, 26 Maret 2013.