Kamis, 28 Februari 2013

AMP: SIKAP PERNYATAAN AKSI DAMAI DI YOGYAKARTA SEJAK 1 MARET 2013


News 1 Maret 2013: Para militer Indonesia kosongkan Kota Mulia, semua mengarah ke Distrik Tingginambut dan Warga di Sinak. TNI-POLRI masih mengejar bukan hanya anggota TPN/OPM saja tetapi warganya pun dikejar seperti babi. Kepada setiap kita mohon dukungan doa bagi warganya dan advokasi sesegera mungkin ya. Ip!!!


Foto
‎"Pernyataan Sikap"

Pasca terjadi kontak senjata di Puncak Jaya antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) di bawah pimpinan Gend. Goliat Tabuni dan Militer Indonesia di Puncak Jaya tepatnya di Tingginabut dan Sinak beberapa waktu lalu, Pesiden Susilo Babang Yudoyono ( Presiden RI ) segerah merespon dan melakukan rapat terbatas dan memutuskan untuk melakukan Oparasi Militer di daerah tersebut, maka untuk menentang keputusan Pemerintah Indonesia dan untuk menghindari terjadinya kekerasan militer terhadap rakyat sipil setempat seperti yang telah terjadi di beberapa daerah lain di Papua sebelumnya, maka kami dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) secara tegas mengatakan sikap: “Segera ! Akui West Papua Sebagai Negara dan Stop Berlakukan Daerah Operasi Militer ( DOM ) di Tanah Papua” dan menuntut:

1. Indonesia Stop ! Mengklaim Papua Bagian Dari NKRI
2. Indonesia, Amerika Serikat dan PBB Segera Akui Kedaulatan West Papua
3. Stop Pendudukan dan Tarik Militer dari Seluruh Tanah Papua

Demikian peryataan sikap Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), atas nama Tulang Belulang Leluhur Bangsa Papua, kami mengajak kepada seluruh rekan-rekan mahasiswa Papua untuk terlibat aktif dalam memperjuangkan Kemerdekaan West Papua.

Salam Pembebasan!

RODA PEMERINTAHAN LEMAH PENYEBAB KEKERASAN DI PAPUA


Sejumlah pihak menilai, lemahnya pemerintah daerah di Papua dalam melaksanakan roda pemerintahan mengakibatkan timbul gejolak di tengah masyarakat. Gejolak itu mencuat dalam bentuk kekerasan.
Seperti aksi penyerangan kelompok sipil bersenjata yang mengakibatkan 4 warga sipil dan 8 anggota TNI meninggal dunia di Distrik Sinak, Kabupaten Puncak dan Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, pekan lalu (21/2/2013).
Uskup Timika, Mgr John Philip Saklil Pr yang ditemui siang tadi (28/2/2013) di ruang kerjanya, mengaku prihatin setiap persoalan di Papua harus berakhir dengan kekerasan, bahkan sampai jatuh korban jiwa.
Menurutnya, seharusnya tokoh-tokoh pemerintahan setempat memegang peranan penting untuk memediasi segala aspirasi masyarakat. Namun dalam kenyataannya justru pemerintah alpa, sehingga masyarakat harus berhadapan dengan aparat. Tidak mengherankan jika warga bertindak dengan cara-cara militer.
Menurut John Saklil, di Papua hampir setiap permasalahan yang dialami oleh warga, entah dengan perusahaan ataupun akibat kelalaian pemerintah, akan berhadapan dengan aparat, sehingga seolah dalam situasi perang.
"Banyak daerah di pedalaman Papua yang terisolir, hanya ada pos tentara atau polisi. Sementara aparat kampung ataupun distrik/ kecamatan tidak pernah berada di tempat. Sehingga tentara atau polisi itulah yang menjadi camat, jadi kepala kampung. Tidak mengherankan jika terjadi permasalahan, warga langsung berhadapan dengan aparat," jelas John Saklil yang cukup lama bekerja di daerah Pegunungan Tengah Papua.
John Saklil berharap agar kejadian yang berlangsung pekan lalu diusut tuntas, dan menemukan akar permasalahannya sehingga bisa diselesaikan secara manusiawi. Ia khawatir jika kasus tersebut tidak terselesaikan, kejadian serupa akan terus berulang.
Hal senada diungkapkan Ketua Komisi A DPRD Mimika, Athanasius Allo Rafra, yang menilai kasus yang terjadi pekan lalu, bukanlah yang pertama di Papua. Bahkan, menurutnya, pernah ada yang lebih bergejolak sehingga ia sangat yakin permasalahan ini sangat bisa diselesaikan.
"Buktinya, hanya beberapa daerah saja di pegunungan yang bergolak, ada apa? Apakah karena pembangunan tidak berjalan baik. Oleh karena itu perlu ada evaluasi terhadap daerah, terhadap pemerintah daerah setempat dan aparat keamanan yang bertugas. Apakah ini ada permainan ataukah karena kelalaian mereka," jelas Allo Rafra, yang pernah menjabat Kepala Biro Pemerintahan Propinsi Papua.
Allo berharap, selain melakukan evaluasi terhadap pemerintah daerah setempat, juga harus mendorong pembangunan, khususnya di daerah yang sangat terisolasi, karena menurutnya hampir semua warga Papua menginginkan pembangunan di daerah mereka. (Sumber Kompas EDISI,  28 Febaruari 2013)
.

Thousands Flee in Fear of Heavy Civilian Casualties as TNI Begin Highlands Reprisal Offensive

Major Reprisals begin with house to house searches, village and church burnings in Tingginambut by Indonesian Security Forces after TPN shoot dead 8 Indonesian special forces soldiers.

from the West Papua Media investigative team*

February 28, 2013

EXCLUSIVE: Special Investigative Report

Local communities around Sinak, Gurage, Mulia and Tingginambut in Puncak Jaya regency have felt the first effects of Indonesian military reprisals, after West Papuan independence guerrillas under General Goliat Tabuni confirmed that they had killed eight Indonesian special forces soldiers and four non-Papuan civilians on February 21 in two separate incidents.
The shootings were carried out after Kopassus officers continued to build military posts on a local sacred burial site, despite being requested not to by both community representatives and emissaries from the West Papua National Liberation Army (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat  – TPN-PB) under Tabuni.  TPN spokespeople have said that the shootings were done “to assert West Papuan sovereignty against Indonesian colonial occupation”, and to assert West Papuan cultural rights to defend their customary practices against ongoing military brutality.
A spokesman for the Goliat Tabuni’s TPN-OPM command, Nikolas Tabuni, told West Papua Media in a statement that the killings were not without cause.
“Prior to the incident TNI had wanted to make a military post in the region of Tingginambut and the TPN OPM had sent a letter to the TNI asking them not to’ go ahead with the military post construction at Tingginambut.   As that is an area of which the land is formally claimed to be owned by the TPN OPM, and as it is also a sacred area under indigenous customary law of the indigenous community of that area. However TNI disregarded the request (in principle) and continued with the construction. As a result TPN OPM carried out the shooting on 21 February,” the statement read.
Nikolas Tabuni also denied statements from the Indonesian President and Police that the shootings were connected with Indonesian election campaigns in Papua.  “This shooting had absolutely nothing to do with the election of the Bupati (Regency leader) for the region of Ilaga in the Regency of Puncak Jaya in the Province of Papua, and had nothing to do with the general election of the Provincial Governor. The shooting was purely concerned with Papuan independence and the activities of the TNI in West Papua.”
Evidence of collective punishment emerges
Despite an effective information blockade imposed by thousands of Indonesian army (TNI) troops and Police, and unchallenged by a compliant Jakarta-based colonial media, detailed reports are beginning to filter through from independent sources in the area of the military offensive, painting a vastly different picture to that reported by Indonesian and international media since the shooting of the Kopassus soldiers.
TNI_puncak_jaya
TNI soldiers manning checkpoint near Sinak, Puncak Jaya (Photo: jpnn.com/ malanesia.com)
At least 1000 members of various Indonesian security forces are currently occupying and laying siege to entire communities around Puncak Jaya, with thousands more troops being sent in from other centres in Papua, according to local church, human rights, and  sources in contact with West Papua Media stringers across the conflict area.
TNI 753 Btn interrogating locals in Sinak (photo: Malanesia.com)
TNI 753 Btn interrogating locals in Sinak (photo: Malanesia.com)
According to these sources, the villages of Tingginambut, Trugi and Nelekom have been occupied by TNI forces since Sunday February 24, with villagers being forced to give all their food and houses to soldiers, and being subject to arbitrary and harsh interrogations.  TPN sources have also stated that troops are using the villages as strategic hamlets to prepare for a hunt and destroy mission to flush out the forces of Tabuni, who have claimed they are well prepared for guerrilla defence.
In Nambut and Gurake (Gurage) villages in Sinak District, security forces began to carry out house to house sweeping operations on February 26, and in villages in  Tingginambut, Puncak Jaya.  According to our sources, the TNI Commander in the area has commanded “that the sweeping operation is to be continued until the culprits from last Thursdays killings are arrested”.  The TNI have stated to local people they “need to see 11 persons sentenced,” according to the reliable source.
Two civilians were said to be arrested on February 27, according to Indonesian military reports, however independent sources could not confirm if any other civilians have been arrested.
As of February 26, at least 18 houses have been burned to the ground, 5 GIDI churches razed, 2 schools and a library have been destroyed by the combined Police/TNI forces in Tingginambut, according to reliable church sources who have safely relayed data from witnesses to West Papua Media stringers.   Witnesses have also reported that soldiers are deliberately burning and destroying food gardens and shooting livestock, including over one hundred pigs.  There are fears of a major humanitarian disaster unfolding with the reports of the destruction of food gardens and livestock, an act of collective punishment on a civilian population.
Thousands of people from the surrounding villages have fled to the high mountains and according to church sources, the entire community populations have fled throughout the area of Gurake, Sinak, Tinggi Neri, Trugi and Nelekom.  Exact numbers are not currently known but local sources indicate that several thousand people, mainly subsistence farmers, live in the area.
Human rights workers have also reported from Mulia in Puncak Jaya that townspeople are greeting news of the offensive with panic and preparing to flee.
Reports are difficult to verify as the only media personnel allowed into the operations area are those with approval from the Indonesian army, and very few of these journalist have actually ventured into the area.  Stringers for West Papua Media in Puncak Jaya and the Baliem Valley have reported that independent journalists and human rights workers have been prevented from travelling into the area by a de facto Military Operations Area being applied across the entire highlands, including the regional centre of Wamena.
Civilians are staying off the streets as reliable local sources report a massive combat army and police show of force, including house to house searches.  On the morning of February 28, witnesses have reported to West Papua Media stringers that 8 Brimob trucks have left
Troops patrolling Wamena - February 25 (photo: supplied)
Troops patrolling Wamena – February 25 (photo: supplied)
Wamena heading to Puncak Jaya this morning, with large numbers of troops patrolling the streets across Wamena also..
Thousands more troops flooding in to attempt to destroy Tabuni’s TPN.
Thousands of heavily armed combat soldiers from Battalions 751 (Jayapura), 753 (Nabire) , and supported by the Wamena 756 Batallion, are reportedly being flown into Tingginambut over the next few days from several centres across Papua.  They are joining together with over 1000 extra Brimob paramilitary police (in addition to the at least 1000 Polda Papua police already in the highlands), and allegedly several units of the notorious Australian-funded Detachment 88 anti-terror commando, to hunt for Tabuni’s forces.  Several media reports in Indonesia are also claiming a Kostrad (Strategic Reserve) battalion is being deployed from outside Papua, though this has not been independently confirmed.
Local sources have reported that each TNI platoon is accompanied by a platoon of police, as the operation is officially under control of the Police as a “law enforcement” operation.  However, the witnesses have reported that the TNI are clearly in command.   TNI spokespeople in Jakarta have told Indonesian media outlets that there is no plan to increase non-organic troop presence in the area, but local sources are reporting a vastly different story.
West Papua Media sources in Wamena observing the airport have confirmed that two TNI Puma Helicopters are involved in the operation constantly ferrying troops between Wamena and Tingginambut, and stopping only for refuelling and crew changes.  Three Hercules c130H aircraft have each made 3 drops to Wamena then the troops have entered by road from Wamena.   Observers in Nabire have also noted daily departures of three trucks of troops from the notorious Battalion 753 Nabire, to the west of the highlands to reinforce the offensive in Tingginambut.
Human rights and church sources in Puncak Jaya and internationally have expressed deep concern about the potential for heavy civilian casualties to occur with the intensified military campaign, given extra impetus after the Indonesian President, General Susilo Bambang Yudoyhono, called for firm action on Tabuni.
Multiple narratives from Jakarta
The exact circumstances of the deaths of the eight Kopassus special forces soldiers are now mired in claim and counter-claim, with soldiers’ personal accounts of the attack conflicting with the official narrative picked up by Jakarta media.  What is confirmed is that the eight commandos – Sertu (Chief Sergeant) Udine, Sertu Frans, Sertu Romadhon, Pratu (Private 1st class) Mustofa, Sertu Edy, Praka (Chief Private) Jojon, Praka Wempi and Sertu Mudin – were killed by a cascading attack led by guerrillas of Goliat Tabuni’s TPN group as they went to the Sinak airstrip to collect cellular monitoring equipment designed to track international phone communications in the area.
However, one survivor of the attack testified in the Jakarta Post that his group was attacked by men, women and children all carrying spears, machetes and knives.  According to the TNI survivors as relayed to JP, the platoon of Kopassus was unarmed at the time of the attack, which happened as the soldiers were installing and moving communications monitoring equipment.
Troops in Tingginambut after being shot at in helicopter by TPN, Feb 24 (Photo: TNI)
Troops in Tingginambut after being shot at in helicopter by TPN, Feb 21 (Photo: TNI)
TPN forces also opened fire on a Puma helicopter that was evacuating the wounded commandos, lightly injuring three helicopter crew.
West Papua Media sources have provided a highly credible and technical but unconfirmed report that two “very large weapons” that were being moved into Sinak, and went missing during the raid by TPN.  According to our sources, there is “extreme concern from the TNI around this particular issue.”
“Apparently they have been trying to find out the whereabouts of these weapons, which suggests they might be too heavy to quickly and easily move,” explained the source.  Further investigation is still required, but credible observers in the area believe that these heavy weapons may be artillery pieces – the presence of which in Puncak Jaya represents a serious and dangerous escalation of TNI hardware to be used against civilians.  West Papua Media believes any confirmed presence of artillery is connected with the TNI’s stated aim to destroy Goliat Tabuni’s group, but any use of these weapons will place a large number of civilians at risk.  It is not the first time the TNI have used artillery against West Papuan civilians: the Bloody Wamena massacres of 2000 and 2003, as well as the aerial bombardment campaigns in the 1977 and 1984.

Indonesian outrage fuels civil society questions on Papuan motivations for resistance
The killings of the soldiers have generated outrage in Jakarta, with nationalist politicians calling for cordon and destroy missions in what human rights observers have said amount to collective civilian punishment by an occupying force.
Sjafrie Sjamsoeddin – indicted as a war criminal
Indonesian Deputy Defence Minister Lieutenant-General (LG) (Rtd) Sjafrie Sjamsoeddin - indicted as a war criminal by the UN for his role in East Timor - on Friday ordered the TNI to conduct heavy “tactical actions” in order to prevent the shooting from occurring again.  “The tactical action includes to chase, apprehend and destroy,” the deputy minister said here on Friday.  He said the latest shootings by the separatist rebels did not affect TNI`s strategic policies in Papua. TNI so far did not have a plan to send more troops to Papua, he added.
However SBY also claimed in an interview with MetroTV that “no violence” would be used to solve the situation.  The situation on the ground has illustrated that security forces have no interest in making SBY’s words truthful.
Despite  the nationalist rhetoric, there are many in Indonesia who are seeing this as a wake up call to end Jakarta’s use of state violence against civilians in Papua as it default policy.
The Indonesian Regional Representatives Council, or DPD, called for a necessary cessation of military operations to end the prolonged violence in Indonesia’s easternmost provinces, according to a report in the Jakarta Post on Wednesday.
The presence of the non-organic personnel from TNI special forces cause animosity among Papuan groups, who have launched attacks against them, according to the report.  “If Jakarta wants to end violence, the militaristic approach has to stop, and all non-garrison troops from the military elite forces must be withdrawn from the two provinces because their presence and their irregular operations have triggered attacks on garrison troops and innocent civilians,” DPD deputy chairman Laode Ida said on Tuesday.
A coalition of Papuan human rights groups urged the National Commission on Human Rights (Komnas HAM) to conduct a thorough investigation into the soldiers’ killings, saying the presence of Komnas HAM could prevent human rights violations that occurred during TNI sweep operations after shooting incidents, according to a report in the Jakarta Globe.
“We encourage law enforcers to be professional in carrying out their tasks. They must ensure that their attempts to find the perpetrators do not turn into seeking revenge against all Papuans,” Ferry Marisan from the Institute for Policy Research and Advocacy (Elsam) said in Jayapura on Monday.
The TNI has loudly complained in Indonesian media of hurt feelings about the loss of its soldiers, with the National Human Rights Commission (Komnas HAM) leaders have been forced to apologise for “insensitive” remarks saying killing soldiers is not a human rights abuse.   But not all observers are showing sympathy for the loss of the soldiers lives, pointing to the fact that the military are occupying Papuan land against the wishes of the local people.
“One has to remember that soldiers who were shot were Kopassus special forces who have been involved in ongoing human rights abuses right across Puncak Jaya, including village burnings, collective arrests and punishment, burning of villages, and acts of torture.  Many observers suspect these soldiers were part of units involved in conducting many OTK (Unknown persons) shootings blamed on West Papuans,” a long time human rights worker in the highlands told West Papua Media by email.  “These are not innocence, nor babes in the woods; Kopassus are the original wolves in the forest.”
Still, other observers believe the actions point to an assertion of tribal identity, as a complex motivator behind the declaration of Papuan sovereignty inherent in the armed resistance against Indonesia’s militarist policy in the highlands.  An Australian church worker who worked for many years with highland communities in Puncak Jaya made the observation to West Papua Media that this was not simply an act of resistance to Indonesian colonisation, but an assertion of traditional and indigenous Papuan law and cultural survival against the onslaught of an occupying colonial army.
“This must be looked at from another perspective that is relevant.  As many indigenous communities including Australian Aboriginal Peoples and traditional highland Papuan people, observe around the world, if outsiders came into their sacred lands, they would also feel compelled at whatever cost to themselves to spear the outsider to compensate (violations of) their traditional law if they belonged to the clan that was legally responsible (under customary law) to guard that site,”  she explained.
“Indigenous Law is simply not negotiable on things like that. Things have only changed in Australia because non-Indigenous systems have for years now in Australia been locking up those indigenous peoples who have acted to maintain their law,” the former church worker explained.
“As I understand the TNI despite warnings were acting in a way that broke the Papuans’ traditional laws regarding adat (Customary law), and as the TPN are still holding strong to their traditional laws, so they acted in accordance with the laws they are living by. I can’t see any difference at that level as Melanesian peoples separated historically but only a short distance of water. The difference is that the TPN OPM represent groups that have not yet been overcome by the laws of a colonising power whereas RI does not recognise the traditional Papuan customary laws,” she said
A prominent Papuan human rights activist, Yasons Sambon, has reported that the killings are causing many military families to reconsider  their support for the Indonesian colonial occupation of Papua.  In an interview with the wife of one of the eight soldiers killed at Sinak, recorded on February 23 after the soldiers funeral in a car by the old market in Sentani, the widow called for Indonesia to abandon its occupation of Papua.
Funeral of Sentani based Kopassus officer killed in SInak incident, Feb 24. (supplied)
Funeral of Sentani based Kopassus officer killed in SInak incident, Feb 24. (supplied)
The wife of an Indonesian soldier from Sentani said in a regretful tone, “SBY would be better off giving independence to the people of Papua if it meant our husbands wouldn’t become victims. Our husbands have been murdered. What will be my fate, and the fate of my children, now that my husband has been murdered? We want to hold onto our husbands but they also have a duty to the country. They are murdered and it’s the women and children who become victims, because if they aren’t at work, then what will we eat?”
“It’s better if independence is given to the people of Papua so that we can be safe,” she said.
*from the West Papua Media Editorial team, with additional reporting from stringers in Wamena, Tingginambut, Jayapura, Nabire and sources in Jakarta.

Paus Benediktus mengundurkan diri, ini pidato selengkapnya


11/02/2013 Paus Benediktus mengundurkan diri, ini pidato selengkapnya thumbnail
Paus mengundurkan diri pada tanggal 10 Feb waktu Vatikan atau 11 Feb waktu Indonesia
Pada hari ini Paus Benediktus mengumumkan pengunduran dirinya. Di berbagai situs berita internasional kabar pengunduran diri Paus ini mengundang rasa heran dan berbagai pertanyaan muncul.
Namun jika dibaca secara keseluruhan, pengurudan diri Paus Benediktus ini dilatarbelakangi oleh kondisi kesehatannya yang semakin menurun. Benediktus mulai menjabat sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik tahun 2005. Paus terakhir yang mengundurkan diri adalah Paus Gregorius XII pada tahun 1415.
Berikut adalah isi pidato Paus Benediktus hari ini seperti yang dimuat di Radio Vatikan
Saudara (i) yang saya kasihi,
Saya menghimpun anda sekalian pada konsistori (pertemuan) ini bukan saja untuk tiga kanonisasi tapi juga untuk mengumumkan kepada anda semua akan keputusan yang sangat penting bagi kehidupan Gereja.
Setelah berulang kali memeriksa batin saya di hadapan Tuhan saya akhirnya sampai pada keyakinan bahwa kekuatan saya, yang karena usia yang semakin lanjut, tidak lagi cocok untuk menjalankan tugas pelayanan yang diwarikan oleh St Petrus ini.
Saya sangat sadar akan pelayanan ini, karena esensi spiritualnya, harus dijalankan bukan saja dengan kata-kata dan perbuatan, tapi juga dengan doa dan penderitaan.
Namun dalam zaman sekarang ini, yang selalu mengalami banyak perubahan dan ditantang oleh pertanyaan-pertanyaan yang sangat berkaitan dengan kehidupan iman, demi menjaga tahta Santo Petrus dan penyebaran Injil, baik kekuatan pikiran maupun fisik sangat diperlukan, kekuatan yang selama beberapa bulan terakhir dalam diri saya sudah melemah sehingga saya harus mengakui ketidakberdayaan saya untuk menjalankan misi yang dipercayakan kepada saya ini secara penuh.
Atas alasan itu dan sadar akan dampak serius dari keputusan ini, dengan kebebasan yang penuh saya mengumumkan bahwa saya tidak lagi melanjutkan pelayanan sebagai Uskup Roma, Pewaris Tahtas St Petrus, yang dipercayakan kepada saya oleh para Kardinal pada 19 April 2005, yang mana bahwa pada tanggal 28 Februari 2013, jam 20:00, Tahta Suci, Tahta Santo Petrus, akan kosong dan suatu Konklaf untuk memilih Paus baru akan dilaksanakan oleh mereka yang berkompeten.
Saudara (i) yang saya kasihi, saya mengucapkan terima kasih atas segala cinta dan kerja yang sudah kalian tunjukkan untuk mendukung saya dalam pelayanan saya dan saya meminta maaf atas segala kekurangan saya.
Dan sekarang, mari kita percayakan Gereja Kudus ini ke dalam penyelenggaraan Sang Gembala Utama, Tuhan Kita Yesus Kristus dan memohon kepada Bunda Maria, sehingga ia menuntun para Kardinal dengan semangat keibuannya, dalam memilih Paus yang baru. Mengenai diri saya, saya akan tetap mempersembahkan diri saya utuk pelayanan Gereja Kudus di masa mendatang melalui kehidupan yang khusus didedikasikan untuk berdoa.
Vatikan, 10 Februari 2013
Paus Benediktus XVI

Tanggapan Gereja Asia terhadap pengunduran diri Paus Benediktus


13/02/2013
Tanggapan Gereja Asia terhadap pengunduran diri Paus Benediktus thumbnail

Klerus dan awam Katolik di seluruh Asia menyambut dengan tenang terkait pengumuman Benediktus pada Senin bahwa ia akan mengundurkan diri sebagai Paus.
Beberapa reaksi telah menyatakan terkejut dengan pengunduran dirinya, yang pertama sejak Paus Gregorius XII mengundurkan diri tahun 1415.
Reaksi lain mengatakan mereka telah menduga sebelumnya bahwa Paus Benediktus delapan tahun kepausannya akan berakhir seperti ini.
Namun, banyak yang sepakat bahwa penggantinya harus memperhatikan Gereja yang sedang bertumbuh dan pentingnya Gereja Asia bagi Gereja Universal.
“Paus yang baru harus terbuka untuk berdialog dengan para uskup di seluruh dunia, menjalin hubungan yang baik dengan mereka, memberdayakan Gereja lokal maupun Universal secara pastoral,” kata Uskup Agung Patrick D’Rozario OSC dari Dhaka, Bangladesh.
Dia menambahkan bahwa apa yang Gereja butuhkan sekarang adalah bimbingan, bukan seorang otokrat.
Muliawan Margadana, ketua Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA), mengatakan sesuatu yang  lebih eksplisit.
“Saya berharap bahwa dalam beberapa hari mendatang paus berikutnya akan memberikan perhatian lebih kepada Gereja yang tumbuh cepat di Asia dan Afrika. Jika memungkinkan, saya berharap paus baru akan datang dari Asia atau Afrika.”
Uskup Agung Joseph Coutts dari Karachi, Pakistan mengatakan Paus Benediktus adalah sekutu Gereja di Pakistan, di mana minoritas sering bertentangan dengan mayoritas Muslim.
“Dia mendukung sikap kami terkait hukum penghujatan dan isu-isu lain yang berkaitan dengan komunitas minoritas Kristen.”
Sementara dua kardinal India, yang akan bergabung dengan konsistori untuk memilih paus berikutnya, memuji Paus Benediktus atas kontribusinya bagi Gereja India.
“Paus Benediktus XVI selalu menunjukkan kasih sayang yang besar kepada saya dan bagi Gereja Katolik Malankara. Tanpa dia, Gereja tidak akan menerima pengakuan dengan mudah,” kata Baselios Kardinal Mar Cleemis dari Gereja Siro-Malankara, yang ditahbiskan sebagai kardinal pada November tahun lalu.
Kardinal George Alencherry, yang ditahbiskan pada Oktober, mengatakan dia tidak terkejut dengan pengunduran diri dan bahwa meskipun apa yang ia lihat sebagai kesehatan paus yang menurun, Paus Benediktus tetap menjadi kekuatan vital bagi Gereja India.
“Bapa Suci mungkin lemah karena kesehatannya yang buruk dalam beberapa bulan terakhir, tapi ia memiliki kejelasan visi dan komunikasi, dan Gereja Oriental selalu dihargai,” katanya.
Di Myanmar, di mana Gereja mencoba mengimbangi reformasi demokrasi karena negara itu sedang berupaya mengatasi pemerintahan otoriter selama beberapa dekade, pemimpin Gereja memuji pengunduran diri Paus Benediktus sebagai pemberani.
Uskup Agung Paul Zinghtung Gawng dari Mandalay mengatakan Paus Benediktus menunjukkan “keberanian dan kerendahan hati” karena mengetahui kemampuan fisiknya yang telah berkurang untuk memenuhi tugas-tugasnya.
Meskipun mengakui harapan bahwa Paus berikutnya berasal dari luar Eropa, Uskup Agung Charles Bo dari Yangon mengakui bahwa ini tidak mungkin.
“Hal ini sangat sulit untuk menebak siapa pengganti Paus Benediktus nanti, tapi saya pikir Paus mendatang berasal dari Eropa atau Amerika Selatan,” katanya.
Untuk beberapa orang, pengunduran diri Paus itu menunjukkan Gereja berkesempatan untuk merangkul perubahan yang nyata dan perubahan dalam kepemimpinan Gereja.
Pastor Bartolomeus Choi Jai-in, seorang imam pensiunan dari keuskupan Suwon, Korea Selatan, menyatakan Gereja menderita karena memiliki seorang Paus yang telah berusia lanjut.
“Ketika saya melihat gambar Paus yang nampak tua dan lemah, membuat saya berpikir tentang dirinya sebagai Gereja tua dan lemah,” katanya.
“Kita perlu seorang Paus muda yang akan memimpin Gereja secara dinamis.”
Ricardo Kardinal Vidal, uskup agung emeritus Cebu, Filipina juga sepakat.
Sambil mengungkapkan kekagumannya kepada Paus Benediktus, Kardinal Vidal, 82, mengatakan perubahan zaman memerlukan perubahan dalam kepemimpinan Gereja.
“Apa yang bisa kita lakukan? Gereja modern membutuhkan seseorang yang lebih muda, seseorang yang secara fisik sehat,” katanya.
Kardinal Filipina lain yang akan berpartisipasi dalam konsistori mendatang, Antonio Kardinal Tagle dari Manila, yang banyak berspekulasi sejak pengangkatanya tahun lalu, seorang yang berani, bisa mungkin sebagai penggantinya.
Berusia 55 tahun, dan terkenal karena karisma alami, Kardinal Tagle tampaknya akan mewujudkan harapan banyak orang untuk menjadi Paus, karena lebih muda, lebih modern dan, yang paling penting non-Eropa yang mencerminkan demografi perubahan Gereja.
Tetapi, meskipun spekulasi tersebut, berita pengunduran diri Paus Benediktus disambut dengan tenang, terima kasih atas jasanya dan berharap Paus berikutnya membimbing Gereja dalam menghadapi beberapa tantangan yang paling sulit ke depan.
Salah satu tantangan tersebut adalah Cina.
Uskup Joseph Gan Junquiu dari Guangzhou, yang diakui oleh pemerintah Cina dan Vatikan, mengatakan Paus Benediktus telah membawa dampak yang besar bagi Gereja di Cina.
Sementara hubungan di antara Beijing dan Roma belum pulih karena itu ada banyak harapan di bawah bimbingannya. Paus Benediktus telah memberikan bimbingan penting melalui surat pastoral ke Cina tahun 2007, yang “bisa menjadi dasar untuk normalisasi hubungan ke depan,” kata Uskup Gan.
Oswald Kardinal Gracias, yang diangkat oleh Paus Benediktus tahun 2008 dan salah satu dari 11 kardinal Asia yang akan memilih Paus berikutnya, berbicara atas nama orang di Asia dalam sebuah pernyataan yang mengakui bahwa rugi bagi Gereja dengan pengunduran diri Paus Benediktus dan berharap bahwa Gereja akan menemukan orang yang tepat ke depan.
“Kita pasti akan kehilangan pemimpin rohani besar untuk zaman modern kita. Seorang pria dengan pemikiran yang jelas tentang isu-isu agama dan sekuler dan tidak takut dan berani berbicara kebenaran dalam hal iman dan moral,” kata Kardinal Gracias, Uskup Agung Bombay dan ketua Konferensi Waligereja India, dalam sebuah pernyataan.
“Saat ini kita berdoa yang terus menerus bagi Gereja agar kita bisa mendapatkan seorang pemimpin yang hebat, bijaksana, kasih sayang, bela rasa, dan keberanian.”
Sumber: Asia reacts to pope’s resignation

TANTANGAN PENGABDIAN PASTORAL DI TANAH PAPUA


(Refleksi Atas Situasi Pastoral Umat di Tanah Papua)

Oleh Santon Tekege
 
Pengantar
Perjuangan Gereja terutama para petugas Pastoral dalam menegakan kebenaran dan keadilan di tanah Papua terinspirasi oleh sikap dan tindakan Yesus sendiri. Ketika Yesus menerima kekerasan sepenuhnya, ketika Dia digantungkan di Kayu Salib, Dia mengampuni mereka yang menganiaya dan membunuh-Nya. Pada saat itulah kepala pasukan mengatakan: “Sungguh, orang ini adalah anak Allah” (Mrk, 15:39). Pada saat kita mengabdi dan membela kebenaran, keadilan dan perdamaian terutama membela kaum lemah dan miskin, kita menyatakan diri sebagai anak-anak Allah dan serentak menegaskan bahwa Allah hanya akan ditemukan dalam keberpihakan akan nilai kebenaran, keadilan dan perdamaian. Refleksi ini sekedar memberikan spirit bagi para petugas pastoral di lima Keuskupan Papua, Gereja-gereja lain dan juga para pengabdi kebenaran, keadilan dan perdamaian di tanah Papua.

A. Situasi Umum Pastoral Kita Dalam Pengabdian Injil di Tanah Papua
Mencermati situasi pastoral kita terutama dalam karya pewartaan dan pelayanan Gereja di tanah Papua dewasa ini terasa amat genting. Mengapa demikian? Karena karya pewartaan dan pelayanan Petugas Pastoral sangat terbuka dan telanjang di hadapan dunia. Dewasa ini Petugas Pastoral yang berkarya di tanah Papua dihadapkan dengan sejuta persoalan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Persoalan-persoalan yang terjadi sangat kompleks dan rumit. Berbagai media cetak maupun elektronik selalu menampilkan wajah-wajah masyarakat Papua yang sedih, suram, kelam dan wajah yang tengah menantikan uluran tangan dan belas kasihan dari Sang gembala pembawa Kebenaran, Keadilan dan Perdamaian. Gambaran-gambaran yang menakutkan ini terlihat dalam pemandangan tentang konflik dan kekerasan sosial, praktek korupsi, kolusi, nepotisme, hedonisme, perjudian, kemabukan, tahyul, diskriminasi suku, budaya, gender, fanatisme religius, materialistis yang menggila dan menggurita, keserakahan ekonomi, mewabahnya kekerasan masyarakat bawah oleh aparat penegak hukum, kambing hitam yang mengatasnamakan kelompok separatis (OPM) dan merong-rong keutuhan NKRI, serta pelanggaran HAM yang tidak dapat dilitanikan satu persatu. Stigma bagi orang Papua muncul di mana-mana tanpa mempertimbangkan hak kebebasan berekspresi dan berpendapat zaman demokrasi di Indonesia ini. Akhirnya warga Papua mengalami ketertutupan ruang bebas dan demokrasi sebagai warganya di Indonesia.
Persoalan yang marak dipublikasikan oleh pers akhir-akhir ini adalah konflik dan kekerasan terhadap masyarakat asli Papua di Tingginambut Puncak Jaya, penyisiran pada warganya di Pugo dan Deyatei (pintu masuk pesawat) di Paniai dan tidak menghargai hak-hak orang asli Papua termasuk SK MRP No.14 tentang Ketua/Wakil Gubernur/Bupati adalah orang asli Papua di tanah Papua hingga kini belum tuntas di negeri Papua. Adanya krisis identitas budaya di Papua karena pemerintah Indonesia buta untuk proteksi bagi orang asli Papua. Selain itu, terjadinya pemaksaan masyarakat lokal untuk mengikuti zaman modern melalui perusahan-perusahan di luar negeri maupun dalam negeri tanpa pemberdayaan masyarakat asli Papua. Para pembela kebenaran, keadilan dan perdamaian sedang menyuarakan tentang pembasmian dan pengrusakan segala kebun, ternak, pembakaran rumah-rumah masyarakat asli di Yambi dan Guragi di Tingginambut Puncak Jaya-Papua. Kamudian malah mereka dikejar-kejar dan bahkan diancam untuk dibunuh hidup-hidup karena tidak mendiamkan atas sebuah realitas sosial daerah Papua. Tindakan ini dilakukan oleh kelompok “terorisme ” yang diduga oknum TNI dan POLRI yang mengaku diri sebagai penjaga, pengayom dan penegak kebenaran serta keadilan di tanah Papua.
1.      Kasus Teror sejak 2007-2009
Kasus-kasus teror terlihat dalam berbagai media lokal di Papua. Kasus-kasus teror itu terdapat dalam: (Tabloid Jubi, Senin, 25 Juni 2007, mengulas: Paskalis Letsoin, SH. “Diancam dan Dibunuh Resiko Pekerja Kemanusiaan”, ditegaskan kembali oleh, Poengky Indarti dalam tulisannya berjudulAncaman Bagi Pekerja HAM Masih Terjadi Di Papua”. Dialami juga oleh, Albert Rumbekwan, Cepos, Senin, 24 September 2007, dalam tulisan berjudul “ Teror Mulai Ke Pekarangan Rumah”, dan P. Jhon Jonga, Pr, dalam artikel Laporan Awal Situasi Keamanan DI Daerah Perbatasan PNG-RI Distrik Kabupaten Keerom Papua”, Waris, 17 September 2007). Dalam pemilihan bupati Nabire terjadi kerusuhan antara pihak gabungan militer dan warga di Nabire. Akibatnya warga mengalami luka-luka tembakan oleh aparat gabungan keamanan. Korban tersebut adalah Rius Douw (20), Philipus Douw (32), Darius Douw (30), Boas Douw (22), Dengki Douw (19), dan Yoseph Tekege (20). Aktivis mereka sebagai Mahasiswa dan Masyarakat Sipil . Pelanggaran yang diderita adalah ditembak oleh pihak keamanan Polisi dan TNI sehingga para korban mengalami luka-luka di seluruh badan, maka mereka dilarikan ke RSUD Nabire- PAPUA –Indonesia sejak 27 Januari 2009. Kemudian sejak 1 Februari 2009 terjadi penganiayaan dan pemukulan babak belur terhadap Selpius Bobii (33), Yusak Pakage (38), Nelson Rumbiak (23) dan Ricky Jitmau (30) oleh Petugas pemerintah di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Abepura Papua. Mereka diteror, dicaci maki dan bahkan diancam dibunuh sambil dikarantinakan dan tidak diberi makan dan minum selama 2 minggu di (LP) Abepura. Catatannya pertama: Saya tidak lampirkan dalam tulisan walaupun ada banyak korban penganiayaan dan penangkapan bahkan di tembak mati dalam rangka sukseskan Pilpres Indonesia di Papua sejak April 2009.  

Photo: Close PT Freeport Indonesia in Timika Papua.
Setelah itu Jenderal Kelly Kwalik dibunuh di Timika pada 16 Desember 2009 oleh TIM Gabungan TNI, POLRI, BRIMOB dan DENSUS 88. Beliau adalah orang besar dan pejuang keadilan yang sejati di Tanah Papua. Beliau tokoh besar yang perlu dipandang dan dilihat sebagai orang besar tetapi ditelan oleh penjilat kelas gabungan militer Indonesia di Timika Papua. Catatan kedua: Saya tidak lampirkan data-data selama tahun 2010 karena saya sedang menjalani tugas lain yang perlu diselesaikan di Pedalaman Papua tanpa jaringan komunikasi. Akhirnya menyebabkan ketidaktahuan situasi perkembangan dan data korban teror, penganiayaan atau penembakan terhadap warga Indonesia di Papua. Namun jelasnya bahwa setiap tahun selalu saja terjadi teror, intimidasi, penganiayaan, pengrusakan hutan, pemerkosaan bahkan pembunuhan oleh gabungan militer maupun orang tak kenal (OTK) di Tanah Papua.
2.      Kasus Teror sejak 2011-2012
Seperti contoh: Pemboman gedung DPRD Kabupaten Jayawijaya pada 1 September 2012. Pelakunya yang dilakukan Orang Tak Kenal (OTK). Pelemparan bom di pos polisi lalulintas Kabupaten Jayawijaya sejak  18 September 2012.  Penemuan bom di Timika, Jumat, 19 Oktober 2012. Penemuan 3 buah bom di Manokwari sejak 9 Oktober 2012. Peledakan tiga bom rakitan di Sorong sejak Minggu 28 Oktober 2012. Selanjutnya ada  penemuan amunisi kaliber 762 sebanyak 9 butir, peluru tajam 5 TJ 5,6 sebanyak 121 butir, peluru hamba 5,6 sebanyak 20 butir dan penangkapan empat pemuda  berinsial DIH (26) warga Organda Abepura, YP (28) warga Sempan Timika, AK (24) seorang wanita, warga Organda Abepura, YJW (27) warga Karubaga Wamena sejak 30 Oktober 2012. Polda Papua dan Polresta menangkap seorang warga sipil berinisial OG (27) di PTC Jayapura yang diduga pemilik amunisi (berita Cenderawasih Pos Jayapura sejak 31 Oktober 2012.
Barisan Merah Putih (BMP) menentang peluncuran Parlemen Rakyat Daerah (PRD) Numbay yang di luncurkan oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di Lapangan Theys Eluay, di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Selasa (31 Januari 2012). Hal ini di kemukakan Sekretaris Jenderal BMP, Yonas Nussy kepada pers di Waena, Abepura, Rabu 1 Februari 2012. “Pembentukan PRD Numbay ini sudah jelas menentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Seharusnya parlemen itu tidak dibentuk,”
Pesca intruksi Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait membasmian gerilyawan di Papua Barat, situasi keamanan di tanah Papua berubah. Perubahan situasi ini terkait perampingan organisasi-organisasai milisi yang telah lama ada dan perekrutan anggota baru. Juga, aktivitas TNI AD, TNI AU, TNI AL, Polri, serta Intelijen meningkat. Organisasi milisi yang dibentuk di Papua Barat tidak hanya Barisan Merah Putih (BMP—ketua Ramses Ohee) yang telah lama ada tetapi sekarang diperbanyak lagi dengan nama organisasi yang berbeda. Pembentukan dilakukan di kabupaten-kabupaten baru di seluruh tanah Papua setelah Presiden SBY selaku kepala perang mengintruksikan hal itu. Hingga saat ini tahun 2012 ada 4 organisasi milisi di Papua Barat yang namanya berbeda, termasuk BMP, yang memunyai tujuan yang sama, yaitu mendukung integrasi Papua ke Indonesia. 
Jumlah kabupaten di tanah Papua saat ini adalah 39. Setiap kabupaten ada 4 organisasi milisi yang berbeda yang difasilitasi oleh Negara untuk melawan orang Papua yang menuntut hak-hak politik. Anggota yang direkrut dalam organisasi-organisasi itu diberi tawaran mobil, rumah, motor, uang dan lainnya. Perekrutan dilakukan mulai dari kampung hingga kota. Anggotanya mulai dari anak-anak sekolah, anak terminal, pegawai, pejabat pemerintah dan bahkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di seluruh Tanah Papua. 
Warga Masyarakat Kampung Maribu, Distrik Sentani Barat merasa terancam panik dan mengungsi ke hutan akibat Operasi Pengembrekan yang dilakukan oleh Detasemen Khusus 88 (Densus 88) di rumah Bpk. Terrianus Satto, pada Pkl. 10.30 pagi waktu Papua. Korban baru ditemukan setelah melewati beberapa hari di kem pengungsian di hutan. Korban merasa dikorbankan oleh pihak Kepolisian karena menurutnya, “Kami selalu ada komunikasi dengan pihak ke polisian POLSEK SENTANI BARAT di Dosai, tapi kenapa tidak menyampaikan kepada kami atau melalui prosedur hukum, berarti POLSEK Sentani Barat telah menyalahi aturan hukum. Pengungsian Keluarga Terrianus Satto di Hutan karena Takut, Panik dan Trauma dengan Operasi Penggebrekan “DENSUS 88” di Kampung Maribu Distrik Sentani Barat-Jayapura sejak 30 Oktober 2012.
Selanjutnya kasus kekerasan seksual terjadi di Merauke Papua. Modus kasus tersebut terlihat di media Kompas edisi, 9 November 2011. Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang juga Ketua Gugus Kerja Papua Sylvana Apituley mengungkapkan, modus di atas jamak dilakukan aparat keamanan yang bertugas di daerah perbatasan Papua dan PNG.
Seorang perempuan yang menjadi korban kekerasan oleh tiga aparat keamanan yang berbeda. Modusnya, dia (perempuan Papua di perbatasan PNG dan Papua) dipacari dijanjikan akan dinikahi, kemudian sampai enam bulan ketika masa tugas aparat keamanan itu selesai, lantas ditinggalkan begitu saja. Malah sampai ada yang hamil. Nama-nama perempuan yang bisa dipacari itu lalu ditinggalkan di pos keamanan. Sehingga ketika datang aparat yang baru bertugas, dia bisa mencari nama-nama perempuan yang bisa dijadikan obyek kekerasan seksual itu," kata Sylvana Apituley di Jakarta. Menurut Sylvana, temuan Komnas Perempuan terhadap salah satu modus kekerasan seksual terhadap perempuan Papua oleh aparat keamanan itu ditemukan di Merauke. Akan tetapi menurut Sylvana, modus yang sama juga ditemukan di daerah perbatasan lainnya di Tanah Papua.
3.      Kasus Teror dan Penembakan Warga Indonesia sejak Januari-Februari 2013
Kasus-kasus penembakan dan terjadi di beberapa kabupaten di Papua. Terjadi kasus tabrakan antara motor dan truk di Wonorejo Nabire. Masyarakat tidak menerima kejadian tersebut karena itu masyarakat meminta pelakunya bertanggung jawab. Beberapa menit kemudian masyarakat dikagetkan dengan tembakan gas air mata dan penembakan terhadap warga di sekitar kejadian tersebut. Dalam kasus itu mengakibatkan 2 orang tewas di tempat sedangkan 8 orang lainnya ditangkap oleh Polisi dari Polresta Nabire. Mereka ditangkap dan ditembak tanpa alasan yang jelas dari pihak kepolisian sejak 4 Januari 2013. Kemudian gabungan militer Indonesia (TNI, Polisi dan BIN) terjadi penyisiran secara besar-besaran di Kampung Pugo Paniai tanpa alasan yang jelas. Sekitar 16 rumah milik warga sekitarnya dibakar hangusan oleh gabungan militer di Paniai. Akibat penyirisan tersebut warga setempat mengalami ketakutan dan cemas bahkan trauma sehingga aktifitas rumah lumpuh sejak 7 Januari 2013.
Selanjutnya anggota TNI 753 Nabire Praka Hasan dan Abbas Hadis ditembak mati tempat oleh Orang Tak Kenal (OTK) di Mulia Puncak Jaya sejak 10 Januari 2013. Saling membalas tidak tuntas dan giliran berikutnya adalah terjadi penangkapan 8 warga Serui oleh Gabungan Militer (TNI dan Polri) di bawah pimpinan (Polres Koptu Gidion Karubaba) tanpa alasan yang cukup jelas. Warga-warga tersebut adalah Isak Warkawani (21), Dani Ayum (22), Yokan Ayum (22), Lamkiar Ayum (30), Penina Pangkurei (23), Oky Warkawani (30), Wamniwa Wandawani (28), dan Simeon Ayum (31). Mereka bukan hanya ditangkap saja tetapi dipukul hingga babak belur oleh aparat gabungan militer Indonesia di Serui sejak 16 Januari 2013. Setelah tiga hari kemudian penganiayaan dan pemukulan atas nama Hanok Rumansara (40) hingga tewas ditempat di Kwamki Lama Timika sejak 19 Januari 2013. Selanjutnya gara-gara tulis berita kasus Bupati Kaimana, wartawan Fajar Papua: Yakop Onweng, dan Wartawan Radar Sorong: Dominika Hunga Andung, diancam dan diteror oleh kubunya Bupati Kaimana sejak 20 Januari 2013. Dalam pemilihan gubernur Papua terjadi penganiayaan dan pemukulan hingga tewas oleh amukan masa pendukung Luk-Men adalah Yosias Mambrasa (43) anggota DPRD Komisi A Kabupaten Tolikara sejak 29 Januari 2013.
Kasus penyiksaan terhadap 7 orang warga Papua ditangkap oleh Kepolisian Sektor Depapre untuk diinterogasi terkait keberadaan Terianus Satto dan Sebby Sambom. Ketujuh warga ini diduga mengalami penyiksaan saat ditangkap. Ketujuh orang yang dapat penyiksaan adalah Daniel Gobay (30), Arsel Kobak (23), Eneko Pahabol (23), Yosafat Satto (41), Salim Yaru (35), Matan Klembiap (30) dan Obed Bahabol (31), (Majalah local: Jubi edisi sejak 15 Februari 2013). PEMERINTAH INDONESIA TIDAK MAMPU MEMPERTEMUKAN KEDUA PIHAK YANG BERTIKAI SELAMA INI DI TANAH PAPUA. Ada banyak korban di pihak aparat Indonesia maupun TPN/OPM di Papua selama ini. Begitu pun warganya menjadi korban amukan dan kepentingan kedua belah pihak yang musuh paling dahsyat sepanjang ini di Papua. Pemerintah Indonesia tidak mencari solusi yang terbaik antara Indonesia dan Papua. Solusinya adalah Penyelesaian konflik melalui DIALOG demi Perdamaian di Tanah Papua. Korban penembakan di dua Distrik, yakni Tingginambut dan Sinak, Kabupaten Puncak Jaya, Papua sejak 21 Februari 2013. Sebelumnya berjumlah lima orang, kini totalnya menjadi delapan orang. Berikut nama-nama anggota TNI dan warga yang tewas dalam penembakan misterius di Puncak Jaya, Papua, antara lain: yang tewas di Distrik Sinak: 1. Sertu Udin (tewas), 2. Sertu Frans (tewas), 3. Sertu Romadhon (tewas), 4. Pratu Mustofa (tewas), 5. Sertu Edy (tewas), 6. Praka Jojon (tewas), 7. Praka Wempi (tewas). Sedangkan yang tewas di Distrik Tingginambut: 1. Pratu Wahyu Prabowo (tewas) dan Lettu Inf Reza (luka-luka berat di lengan tangan)  2. Dua orang anggota TPN/OPM ditembak mati di Tingginambut-Mulia Puncak Jaya. Akibatnya warga di Tingginambut dan Sinak sedang cemas dan ketakutan bahkan dikejar oleh pihak gabungan TNI, POLRI dan BRIMOB. Kami belum mampu mendata secara berapa warga yang korban pemukulan, penganiayaan dan penyiksaan kedua tempat ini.
Catatan Penegasan: Persoalan-persoalan ini menjadi topik yang ramai didiskusikan oleh kebanyakan orang tetapi menakutkan karena melibatkan gabungan militer (TNI, Polri dan BIN serta milisi lain). Dari kenyataan ini muncul pertanyaan, “kebenaran model manakah yang mau ditegakan oleh kelompok konflik (oknum TNI dan POLRI)” yang menggunakan terror, konflik dan kekerasan bahkan penembakan sebagai medium untuk memperjuangkan kebenaran? Apakah kekerasan, konflik dan pembunuhan merupakan bagian dari tindakan menegakan kebenaran, keadilan dan perdamaian? Mengapa harus terjadi?. Semua masalah-masalah itu sesungguhnya bertentangan dengan kebenaran, keadilan dan perdamaian di tanah Papua. Konflik dan kekerasan bahkan pembunuhan merupakan sebuah upaya pembungkaman terhadap nilai-nilai Kerajaan Allah dan proses pembusukan hati nurani seseorang bagi orang asli Papua di tanah Papua.
Kata teror atau terorisme adalah kata yang sering kita dengar dan sering diumpamahkan dengan wabah atau virus yang menyebar cepat dan mengancam peradaban manusia dimana-mana. FBI (Federal Bureau Of Investigation) mendefinisikan teror sebagai suatu penggunaan kekuatan atau kekerasan yang tak absah menyerang manusia atau barang atau menakut-nakuti atau memaksa pemerintah, masyarakat sipil, atau kelompok tertentu demi pencapaian tujuan sosial dan politik Negara. Pendefenisian ini hendak menegaskan sebuah kebenaran yang sedang bergulir dalam wacana mengenai terorisme bahwa, teror dimengerti sebagai senjata orang-orang yang tak kuat dan bentuknya bersifat terselubung. Dalam konteks mengabdi kebenaran terutama situasi pastoral di tanah Papua, yang menjadi sasaran teror adalah orang asli Papua yang tak bersalah dan para penegak kebenaran, keadilan dan perdamaian. Cita-cita para teroris adalah membasmikan dan memerangi para pembela kebenaran, keadilan dan perdamaian.
Akumulasi ketidakpuasan masyarakat sipil dan para pembela kebenaran dan keadilan atas tindakan teror yang dilakukan oleh oknum TNI dan POLRI di Tingginambut Puncak Jaya-Papua dengan sendirinya menghadirkan dalam ingatan kita akan sejarah perjuangan sejumlah wilayah yang dihadapi oleh TNI dan POLRI dengan kekerasan dan senjata, terutama ingatan masyarakat Papua tentang peran TNI dan oknum TNI, peran POLRI dan oknum POLRI yang bercorak represif dalam mempertahankan keutuhan wilayah NKRI. Masyarakat Papua sesungguhnya adalah korban isu politik Papua yang tidak menentu. Dalam kenyataan, masyarakat Papua selalu ditindas, diperkosa, dibunuh, diintimidasi dengan berbagai pertanyaan yang mengarah kepada pemaksaan hati nurani untuk mengakui diri sebagai kelompok separatis (OPM), kelompok yang menyembunyikan senjata dan kelompok pengibar bendera Bintang Kejora. Akhir dari semua pengakuan ini adalah tindakan kekerasan dan membunuh psikologis umat kesayangan Allah di tanah Papua.
Jika kita jujur, akhir-akhir ini tidak jarang kita mendengar dugaan orang bahwa begitu banyak konflik yang terjadi di tanah Papua dewasa ini di sutradarai oleh TNI dan Polri. Persoalan TNI-Polri semakin rumit, ketika pertikaian antara TNI - Polri yang terjadi secara terbuka melukai rasa keamanan masyarakat di Tanah Papua. Berbagai ketidakpuasan ini tentunya menimbulkan luka yang mendalam di hati masyarakat orang asli Papua. Selama berbagai persoalan dan berbagai ketidakpuasan itu tidak diangkat dan dibicarakan secara publik, maka dia redam saja dan akan menjadi semacam bom waktu ketidakpuasan. Harapan mayarakat Papua akan perdamaian, keadilan dan kesejahteraan menjadi sirnah. Slogan “jadikan tanah papua sebagai tanah damai”, sekedar topeng untuk menutupi borok kekerasan dan ketidakadilan yang terjadi selama ini. Tetapi juga sebagai senjata ampuh untuk melawan kekerasan, terorisme, konflik, pemerkosaan, pengrusakan hutan dan alam dan bahkan pembunuhan yang terjadi selama ini. Pendekatan yang dilakukan untuk masyarakat Papua dewasa ini mesti diikat oleh sebuah kesadaran lain daripada oleh bayang-bayang sebuah pemerintahan sentralistik yang menggunakan berbagai instrument represif. Pemerintah dan aparat militer mestinya berperan melindungi, mempersatukan dan bukan merusak persatuan di antara masyarakat asli Papua melalui kaki-tangan TNI dan POLRI, juga melalui kelompok organisasi buatan TNI atau POLRI di tanah Papua seperti Kelompok Barisan Merah-Putih (BMP), Lembaga Masyarakat Adat (LMA) bentukan Menkopolhukam Indonesia khusus di wilayah Tanah Papua sejak 2011 dan milisi-milisi lain.
Semua persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dan juga para pembela kebenaran dan keadilan di tanah Papua akhir-akhir ini adalah iklim saling mencurigai. Agaknya ini telah menjadi budaya yang telah sangat memperkeruh kesatuan kita sebagai bangsa. Kecurigaan itu selalu menjadi alasan terjadinya sebuah konflik. Misalnya kecurigaan antar agama, antar etnis, kecurigaan terhadap masyarakat Papua yang merong-rong keutuhan NKRI dan mereka dituduh sebagai separatis (OPM). Kecurigaan ini didukung oleh ketertutupan sebuah rezim yang represif. Akibat dari ketertutupan dan rezim yang represif adalah bahwa kita senantiasa mencari dalang, aktor intelektual jika terjadi kerusuhan. Kita sudah sekian dikondisikan oleh iklim ketidakpercayaan, maka kita tidak muda diyakinkan dan menjadi tidak puas dengan apa yang tampak, tetapi suka mencari - cari sesuatu dibelang apa yang tampak itu. Karena kita sudah dikondisikan dengan sistem seperti ini maka, jika ada kerusuhan kerangka penjelasannya sudah dibuat jauh sebelumnya. Hal ini terbukti ketika para penegak dan pembela kebenaran bersuara tentang HAM, keadilan serta persoalan-persoalan lainya, mereka dianggap separatis atau oposan pemerintah, karena itu harus dihancurkan dan dikuburkan hidup-hidup. Cara berpikir seperti ini sesungguhnya adalah salah dan membahayahkan integrasi. Kecurigaan hanya terkikis oleh transparansi dan transparansi lahir dari diri yang jujur, yang bersih sehingga tidak perlu menutup-nutupi sesuatu. Di sini kebenaran menjadi tolok ukur dalam berpikir dan bertindak
Fakta berbicara, seringkali militerisme dalam suatu bangsa cenderung mengarah kepada ekses-ekses yang dehumanisasi atau merendahkan martabat manusia. Salah satu sebabnya mereka ingin status quonya diakui, baik dimata nasional maupun di mata Internasional (A. Suryawarsita). Di bawah ini akan dikemukakan pendekatan militer (militerisasi) telah melecehkan HAM di Indonesia (Frans Magnis-Suseno) Pertama, kebrutalan ABRI menangani unjuk rasa, perlakuan terhadap tahanan, baik tersangka kriminal maupun tersangka politik, kekerasan sudah berada di luar batas-batas kemanusiaan. Kebrutalan yang mencuat ke permukaan terlihat dalam berbagai kasus yang terjadi di Indonesia yang melibatkan ABRI. Kedua, tindakan kekerasan militer juga terjadi ketika penetrasi yang begitu besar sehingga mengalahkan wewenang lembaga hukum. Hal ini terlihat jelas ketika orang ditangkap tanpa adanya surat penangkapan (asus praduga tak bersalah) yang legitim. Banyak orang ditangkap tanpa bantuan atau perlindungan hukum, sementara hakim karena diintimidasi menolak mendengar saksi yang meringankan, atau merekayasa sedemikian rupa sehingga orang tersebut benar-benar menjadi terdakwa. Ketiga, Keterlibatan militer nampak dalam penggusuran, pengambilan tanah rakyat untuk proyek-proyek besar demi kepentingan orang-orang elite di negeri ini, dengan ganti rugi yang tidak memadai. Hal ini berlanjut pada penutupan sumber penghasilan bagi orang kecil dan pengrusakkan yang bersifat ekologis. keempat, Penetrasi ABRI telah meracuni hak-hak dasar demokrasi tertentu seperti hak berkumpul, hak membentuk serikat dan organisasi. Mahasiswa atau kelompok lain yang melakukan demonstrasi damai di depan DPR tanpa tindakan kekerasan apapun malah ditangkap, dianiaya dan bahkan ada yang dijatuhi hukuman penjara. Sikap-sikap seperti ini cukup terasa dialami oleh para pengabdi dan pembela kebenaran serta keadilan yang ada di tanah Papua akhir-akhir ini.
Di tengah situasi pastoral seperti ini pada setiap kita diutus, ibarat Domba yang berada di tengah Serigala. Berhadapan dengan kegentingan situasi pastoral seperti ini, apakah pada setiap kita menjadi takut, lari, diam atau bersikap apatis dengan situasi yang dialami oleh umat kita? Dimanakah suara profetis kita? Dimanakah kita benamkan sebagai anak-anak Allah yang diutus ke dunia? Apa yang harus dibuat dalam situasi caruk-marut bagi setiap kita?
Keberpihakan setiap kita, terutama keterlibatannya dalam mengabdi pelayanan pastoral bukan bermaksud untuk mengikis tuntas sejuta persoalan yang dialami oleh umat atau warga di Tanah Papua, tetapi melalui gerakan kenabiannya, setiap kita dituntut untuk bersuara membongkar praktik-praktik yang menindas dan menindis manusia terutama mereka yang miskin dan menderita. Perjuangan ini telah ditunjukan oleh Yesus tanpa ada rasa gentar dan takut.

B. Tanpa Kekerasan: Opsi Dasar Perjuangan Gereja di Tanah Papua
Menjadi Petugas Gereja dalam mengabdi kebenaran, keadilan dan perdamaian di tanah Papua mestinya bertindak cerdas, cepat, tepat, kreatif untuk melahirkan solusi. Kepentingan dan carut-marutnya situasi politik dan medang pastoral yang sangat-sangat rumit dijangkau di Keuskupan dari Dekenat ke Dekenat lain, juga masalah kurangnya tenaga Pastoral di semua wilayah Keuskupan di Tanah Papua, selain itu, harga transportasi yang cukup mahal, keanekaragam suku, budaya dan pola dan cara berpikir yang berbeda-beda yang mendominasi di tanah Papua khususnya wilayah pelayaan Papua menuntut seorang pelayan atau para petugas pastoral yang handal dan baik bahkan semua warga Papua (Pemerintahan, Gereja-gereja, Petugas Pastoral, TNI, POLRI dan lembaga-lembaga kemanusiaan) untuk bertobat, mempertajam citra rasa, membaharui pemahaman metode dan menetapkan prioritas-prioritas pastoral yang kontekstual, pastoral yang terlibat, menciptakan Papua Tanah Damai, menjauhi kekerasan dan konflik terhadap orang asli Papua. Di samping itu perlu adanya pergeseran pastoral yang bersifat konvensional, yang berpusat pada upacara-upacara menuju penciptaan alternatif baru yang memberdayakan dan membebaskan umat. Di sini prinsip kontemplatif perlahan-lahan beralih menuju aksi. Hal ini telah diajar dan diwariskan oleh Yesus Kristus Sang pembawa kebenaran, keadilan dan perdamaian bahkan pembebasan yang dilandasi dengan kasih. Bagi Yesus antara doa dan karya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa lepas dipisahkan. Dalam mengabdi kebenaran dan keadilan bahkan PerdamaianYesus selalu memihak pada kaum lemah dan miskin, kaum yang selalu ditindas dan direndahkan martabatnya oleh pihak penguasa dan militer bahkan oleh pihak feodal dan para kapitalisme di Tanah Papua.
Photo: Pembibitan 4 Juta Pohon Kelapa Sawit di Wami dan Yaro Nabire sejak Januari 2012.
 
Perjuangan yang dilakukan oleh Yesus didasarkan pada misi Allah yakni menegakan Kerajaan Allah, sebuah Kerajaan yang penuh dengan kebenaran, kedamaian, keadilan dan kesejahteraan: bukan kerajaan yang penuh dengan kekerasan, teror, konflik, pembantaian etnis, intimidasi, penindasan bahkan pembunuhan baik secara langsung maupun terselubung oleh pihak militer dan kaki-tangan Negara Indonesia.
“ Jika kamu hendak menjadi saudara satu sama lain, biarkan senjata jatuh dari tanganmu. Kamu tidak bisa mencintai sesama dengan senjata di tanganmu. Jauh sebelum membunuh dan menghancurkan, senjatamu yang ngeri dan yang dihasilkan oleh ilmu modern sudah memfermentasi perasaan dan mimpi buruk dan rencana jahat. Senjata membutuhkan anggaran yang sangat besar dan menghalangi proyek kemanusiaan dan solidaritas yang sangat berguna. Kita hanya perlu ingat bahwa darah jutaan manusia, perempuan dan laki-laki, bahwa penderitaan tanpa hitungan dan tak terdengar, pembantaian dan penghancuran yang tak berguna dan yang mengerikan, adalah saksi mata pada masa lampau yang menyatukan kamu dengan sebuah sumpah yang harus mengubah sejarah dunia masa depan. Tidak lagi berperang, menindas kaum kecil dan tak boleh lagi. Kebenaran, Keadilan dan Perdamaian yang harus membimbing nasib bangsa dan seluruh umat manusia” di bumi ini terlebih di Papua.
Bagi para petugas Pastoral yang mengabdi kebenaran, keadilan dan perdamaian di wilayah Pelayanan Keuskupan dan di tanah Papua, perjuangan Yesus dalam menegakan Kerajaan Allah dimuka bumi adalah inspirasi dalam menegakan Kerajaan Allah di tanah Papua. Pantang kekerasan merupakan pilihan dasar Yesus. Demikian juga perjuangan semua umat kesayangan Allah di Negara Indonesia dan Papua, juga para petugas pastoral. Berpantang karena kekerasan menyangkut citra Allah. Allah manakah yang kita yakini selama ini?


C. Dasar Pijakan Dalam Pengabdian di Tanah Papua
Ensiklik Rerum Novarum (1891) dan ensiklik Quadragessimo Anno (1931) berbicara tentang keberpihakan sosial Gereja terhadap kaum buruh sebagai pelayan pastoral-kerohanian. Dokumen Konsili Vatikan kedua secara tegas memberikan pendasaran teologis untuk keterlibatan Gereja yang lebih menyeluruh, tidak lagi terbatas pada kelas buruh dan persoalannya tetapi lebih pada hubungan antara Gereja dan dunia. Dalam refleksi ini Gereja memberikan pendasaran teologis terhadap komitmen politisnya sebagai bagian utuh dari keterlibatan dan kehidupannya di dunia. Gereja mau menjadi partner dalam dialog bersama umat manusia menuju terciptanya tatanan masyarakat dunia yang lebih manusiawi. Dalam dokumen Mater et Magistra menyebutkan secara eksplisit tugas Gereja untuk mengungkapkan dan melawan ketidakadilan yang terkandung dalam sistem-sistem tertentu.
Pada tataran ini Gereja sudah harus dan terus-menerus berusaha mendefenisikan diri dalam menghadapi berbagai persoalan kemasyarakatan, termasuk di dalamnya masalah-masalah sosial yang muncul di dalam maupun di luar umat beriman. Gereja pada dasarnya menolak pengilahian kekuasaan politis yang melebihi kekuasaan Allah. Bagi Gereja, para penguasa politis mesti mengejawantahkan kebijaksanaan dan nilai-nilai Kerajaan Allah (Kebenaran, Keadilan dan Perdamaian) yang ada dalam diri Allah di tengah dunia. Atas dasar pemikiran ini maka Gereja selalu terlibat dalam menyuarakan kebenaran, keadilan dan perdamaian. Keterlibatan dan keberpihakan Gereja terhadap kehidupan manusia ditegaskan kembali dalam dokumen Gadium Et Spes, ar. 1, yang berbunyi “ kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan manusia dewasa ini, terutama yang miskin dan terlantar adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan murid-murid Kristus pula ”.
Dokumen – dokumen Gereja ini menjadi titik pijak keterlibatan para Petugas Pastoral dalam mengabdi kebenaran, keadilan dan perdamaian di tengah kegentingan situasi hidup masyarakat Papua dewasa ini. Keterlibatan Para Petugas Pastoral dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat merupakan penerapan “ teologi terlibat”, teologi yang merefleksikan iman, yakni tanggapan manusia atas tawaran diri Allah demi keselamatan manusia di bumi ini. Di dalam defenisi ini sudah terkandung keyakinan akan keterlibatan diri Allah. Allah yang menawarkan diri demi keselamatan manusia adalah Allah yang peduli akan manusia dan kehidupannya. Kalau demikian, tanggapan yang diberikan manusia kepada Allah adalah tanggapan yang terlibat, sebab iman pada dasarnya melibatkan diri dalam gerak keterlibatan Allah dalam dunia ini khususnya di Tanah Papua. Dalam konteks ini kebenaran, keadilan dan perdamaian yang diwartakan oleh Petugas Pastoral tidak hanya bersingungan dengan himpunan pengetahuan dan obyek refleksi pergulatan ilmiah, tetapi terutama merupakan bagian dari iman yang dihayati dan dipersaksikan sebagai suara kenabian di tengah gejolak konflik dan kekerasan di tanah Papua..
Banyak orang memberikan definisi tentang apa itu kebenaran, keadilan dan perdamaian?. Defenisi ketiga nilai Kerajaan Allah yang sesuai dengan konteks kita adalah penyesuaian antara realitas atau kenyataan yang kita amati dengan apa yang ada dalam pikiran kita, juga apa yang dirasakan dan dialami oleh umat manusia teristimewa umat kesayangan Allah di tanah Papua. Tetapi yang paling penting di sini, nilai-nilai Kerajaan Allah tidak hanya terbatas pada pengetahuan, namun berkaitan juga dengan penghayatan moral dan religius yang terungkap dalam sikap batin dan saleh untuk tidak memanipulasinya dengan penjelasan dan penafsiran yang keliru. Nilai-nilai Kerajaan Allah juga berlandaskan pada sikap rendah hati dan terbuka untuk terus mencari, selalu bersedia untuk berdialog dengan sesama dalam menemukan kebenaran serta bertindak sesuai dengan kebenaran. Mengabdi kebenaran tidak lain adalah dengan menata hidup sesuai dengan apa yang ditemukan dan diyakini sebagai kebenaran dengan harus menumbuhkan dalam dirinya a loving veneration of truth ( sikap hormat yang dilandasi cinta akan kebenaran). Sikap ini akan bertumbuh dalam diri para petugas Pastoral, jika petugas pastoral terlibat secara langsung dalam mewartakan, menghidupi dan mempertahankan kebenaran. Menjadi Petugas Pastoral di tanah Papua dewasa ini terasa amat berat. Menjadi Tenaga Petugas Pastoral  di tanah Papua bukan sekedar untuk memperoleh status atau jabatan, memperoleh ketenaran nama, keluarga, suku di tengah masyarakat, tetapi menjadi Petugas Pastoral adalah suatu bentuk panggilan, pilihan dan perutusan dengan tugas khusus sebagai Pelayan. Karena itu menjadi Petugas Pastoral di tanah Papua berarti menjadi pribadi Pelayan yang mampu membawa kegembiraan dan harapan, mengubah duka dan kecemasan umat yang miskin dan terlantar ke dalam kegembiraan dan harapan seperti yang diwartakan oleh Yesus Sang pembawa jalan kebenaran dan kehidupan.

D. Sikap Keberpihakan Pastoral Bersama
Apakah kita cemas bahwa jalan yang ditawarkan Allah, jalan yang telah ditempuh oleh Yesus, tidaklah benar? Apakah kita memelihara rasa kurang percaya terhadap Allah, terhadap Yesus Kristus dan Roh Kudus? Apakah kita sungguh-sungguh orang beriman?. Janganlah takut, Tuhan telah mempercayakan kepada Gerejanya dan setiap kita bermisi untuk menyelamatkan sesame kita dan seluruh umat Allah dan mewahyukan kuasa penyembuhan, kuasa pertobatan, perdamaian dan pantang kekerasan sebagai bagian utuh dari misi penyelamatan universal bagi manusia di bumi ini. Keutuhan Gereja dan setiap kita terutama semua pelayan akan Injil bergantung pada kesetiaannya pada Injil. Dalam situasi kekerasan yang kita hadapi dewasa ini, kita membutuhkan kesaksian hidup dan pelaksanaan karya nyata yang sungguh profetis. Injil adalah sebuah tantangan rohani yang mengundang kita untuk mengambil sikap profetis dan yang menantang tata nilai dan cara dunia dalam menawarkan sebuah alternatif yang menuntut pengorbanan.
Salah satu bentuk keberpihakan oleh para petugas pastoral dan semua umat beriman dalam kehidupan bersama adalah menyuarakan suara kebenaran, keadilan dan perdamaian di wilayah pelayanan bersama-sama di Tanah Papua. Keterlibatan semua pihak benar-benar sebagai motivator, fasilitator dan inspirator untuk menata kebekuan masyarakat yang “terpenjara” oleh suatu sistem tertentu khususnya sisten negara Indonesia. Kepedulian ini harus nyata dalam kesediaan untuk merasa senasib dan sepenanggungan dengan mereka yang menjadi korban dari berbagai praktik ketidakadilan dan penyelenggaraan kekuasaan yang sewenang-wenang. Suara profetis di tengah arogansi kekuasaan merupakan sebuah tindakan sosial karitatif Gereja. Pemaknaan yang sempurna akan nilai keberpihakan semua orang adalah sebuah kepastian positif bahwa mereka yang kalah dalam hidup adalah manusia yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia di bumi ini. Justru karena itu, setiap kita mengusahakan model komunitas basis (kombas) yang partisipatif aktif untuk mengsharingkan situasi sosial-politik dan ekonomi dalam kelompok kecil setiap dedominasi Gereja dan semua pihak yang ada di Tanah Papua.

Penutup
Akhirnya kepada setiap kita yang bertugas di medan bakti, berjuanglah terus bersama Yesus dalam mengabdi Injil (Kebenaran, Keadilan dan Perdamaian) di tanah Papua. Biarkanlah Kebenaran, Keadilan dan Perdamaian menyelimuti hati seluruh umat yang merindukannya akan Tritunggal yang Maha Kudus dan jadikanlah tanah Papua sebagai Tanah Damai dan bukan zona kekerasan, penindasan, konflik, teror, pembunuhan (penembakan terhadap masyarakat sipil), pengrusakan lingkungan dan hutan Papua. Juga jangan ada lagi perselingkuhan antara pihak militer dengan para kapitalis atau para feodal di Tanah yang diberkati oleh Allah Tuhan di Pulau Cenderawasih Papua. Demikianlah!!!!!

Abepura, 22 Februari 2013
Penulis: Mahasiswa Pasca Sarjana pada STFT-Fajar Timur Abepura-Papua